"Za pelan-pelan dong nyabutnya, sakit tahu." Rania meringis menahan sakit dan juga perih.
"Iya, ini juga udah pelan. Kamu tahan dong," ujar Reza. Ia, melihat jika wanita yang baru ia nikahi pagi tadi, terus meringis kesakitan."Ya ampun, Za. Jangan digoyang tambah sakit," kata Rania. Seketika Rania mencengkeram sprei, akibat rasa sakit yang luar biasa."Biar mudah nyabutnya," sahut Reza."Tapi sakit banget, Za. Tuh kan darahnya keluar," ujar Rania."Sepreinya jadi kena darah, gimana dong," lanjutnya."Enggak apa-apa, nanti kan bisa diganti," sahut Reza."Tapi kamu yang ganti ya," pinta Rania."Iya aku yang ganti, udah diam, aku cabut sekarang," ujar Reza. Sementara Rania hanya mengangguk."Aaaaaaaa. Reza sakit!" teriak Rania. Sontak Reza terkejut mendengar teriakan istrinya itu, bukan hanya Reza orang yang ada di luar pun demikian."Rania kamu kenapa? Reza kamu pelan-pelan dong, ingat itu anak orang." Hesti ibu mertua Rania menggedor pintu kamar putranya itu."Iya, Ma. Mama tidak perlu khawatir!" teriak Reza dari dalam kamar."Tuh kan gara-gara kamu, dasar bocah," ujar Reza."Salah kamu sendiri nyabutnya nggak pelan-pelan," sahut Rania yang tak mau kalah."Gara-gara paku sekecil ini, mama mengira kita sedang melakukan malam pertama." Reza menunjukkan paku kecil yang berhasil ia cabut dari telapak kaki Rania."Sekarang diam, mau aku obati dulu," lanjutnya. Reza langsung mengambil kotak p3k yang tersimpan di lemari.Dengan telaten Reza membersihkan darah yang masih mengalir di telapak kaki Rania. Sakit dan perih yang kini Rania rasakan, agar tidak menimbulkan suara, wanita berambut panjang itu memilih untuk menggigit bibir bawahnya, dan juga memejamkan mata."Udah selesai," ujar Reza. Lalu menyimpan kembali kotak p3k tersebut.Rania tidak menyangka jika Reza sangat perhatian dan juga baik. Reza merupakan teman dan juga tetangga Rania, jarak rumah mereka tidak terlalu jauh. Keduanya menikah karena terpaksa, lantaran calon suami Rania kabur entah ke mana.***"Apa?! Evan kabur." Rudy, ayah Rania terkejut saat mendengar calon menantunya itu kabur. Bukan hanya Rudy, begitu juga dengan yang lain."Bagaimana ini, Pa. Tidak mungkin kita membatalkan pernikahan ini, semuanya sudah kita persiapkan," ujar Indah, ibunda Rania."Papa juga nggak tahu, Ma. Kasihan Rania." Rudy menatap putrinya yang sedari tadi menunduk, setelah dapat kabar jika Evan kabur."Reza mana, Ma?" tanya Rudy."Tadi ke toilet, memangnya kenapa .... ""Papa punya rencana." Rudy memotong ucapan istrinya. Melihat Reza datang bergegas Rudy menghampirinya."Reza, ada yang ingin om bicarakan," ujar Rudy seraya menarik tangan pria itu menuju ruang tengah."Ada apa, Om?" tanya Reza."Reza, om minta tolong. Tolong kamu gantikan Evan untuk menikahi Rania," pinta Rudy, sontak Reza terkejut mendengar hal tersebut."Apa?! Tapi, Om. Siapa tahu nanti .... ""Om sudah tidak peduli, Evan sudah membuat malu keluarga, om. Sekarang kamu nikahi Rania, om percaya kamu bisa membahagiakan Rania." Rudy memotong ucapan Reza.Setelah cukup lama berpikir dan juga berdebat, akhirnya Reza bersedia untuk menikahi Rania. Jujur, Reza memang pernah menyimpan rasa untuk Rania, tetapi ia tahu jika persahabatan berubah menjadi cinta. Biasanya persahabatan akan retak jika salah satu dari mereka menolaknya.Setelah itu, Reza dan Rudy berjalan menghampiri Rania. Wanita dengan balutan baju pengantin itu cukup terkejut saat melihat Reza duduk di sebelahnya, begitu juga dengan Indah. Awalnya Indah hendak protes, tetapi Rudy langsung menjelaskannya."Za, untuk apa kamu menggantikan Evan. Kita kan sudah berjanji untuk tetap menjadi sahabat. Tapi kenapa .... ""Ini permintaan papamu, papamu tidak ingin kamu menanggung malu. Bukan itu saja, papamu juga tidak ingin para tetangga menggunjing gara-gara kamu gagal nikah." Reza memotong ucapan Rania.Sedetik kemudian Rania diam, ia menatap wajah pria yang sering bermain dengannya. Reza memang selalu ada saat Rania butuhkan, meski sering jahil, tetapi Reza selalu bisa membuatnya tersenyum. Tidak terasa ijab kabul telah terucap, Rania tersentak saat pak penghulu menyuruhnya untuk tanda tangan.***"Mandi woy, jangan ngelamun nanti kesambet aku juga yang repot." Reza melempar celana dalam miliknya tepat mengenai wajah Rania."Ih, jorok banget sih." Rania melemparnya ke sofa yang tak jauh dari tempat tidur."Aku nggak mandi, kakiku masih sakit," ujar Rania."Lebay, makanya jadi perempuan jangan pecicilan." Reza berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Sementara Rania hanya diam, telapak kakinya masih terasa nyeri. Rania memang melarang Reza, agar tidak memberitahu hal tersebut pada mertuanya.Dua puluh menit kemudian, Reza keluar, ia melihat Rania yang berdiri di dekat meja sembari memperhatikan bingkai foto yang terpajang. Rania sampai tidak sadar jika Reza telah selesai mandi."Rania sedang apa kamu?" tanya Reza. Reflek Rania menoleh.Rania membalikkan badannya, tiba-tiba saja Rania tersandung kaki meja saat hendak melangkah. Tubuh Rania oleng dan jatuh, sedangkan tangannya tidak sengaja menarik handuk yang melilit pinggang Reza. Detik itu juga handuk tersebut terlepas dan jatuh, sedetik kemudian Rania menjerit karena melihat senjata tempur Reza.Rania menutup matanya dengan kedua telapak tangan miliknya, sesekali ia mengintip dari sela-sela jarinya untuk melihat apakah Reza sudah memakai handuk itu kembali atau tidak. Sementara Reza yang panik langsung mengambil handuknya dan segera memakainya kembali. "Udah, buka matanya," titah Reza. Sebelum Rania benar-benar membuka matanya, ia mengintip terlebih dahulu melalui sela-sela jemarinya. "Atau mau lihat lagi," godanya. Detik itu juga mata Rania melotot. "Dasar mesum," cebiknya. Rania berusaha untuk bangkit, tetapi cukup kesulitan. "Butuh bantuan nggak." Reza mengulurkan tangan kanannya. Rania masih diam, gara-gara kejadian tadi kini mata sama otaknya telah ternoda. "Buruan, mumpung masih berlaku." Suara Reza mampu membuat Rania terkejut dan sadar dari lamunannya. "Nggak usah mikirin yang tadi, kalau mau lihat lagi juga boleh. Jangankan lihat, dipegang juga nggak apa-apa," ujar Reza. Detik itu juga mata Rania melotot. "Maksud aku fotonya, tuh otak jangan ngeres. Dasar pikt
"Meluknya udah apa belum." Suara Reza mampu membuat Rania membuka mata dan menyadari jika dirinya masih memeluk tubuh kekar lelaki yang kini telah sah menjadi suaminya. Buru-buru Rania bangkit lalu merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Setelah itu, Reza pun bangkit, pria berkemeja hitam itu tersenyum mengingat kejadian tadi. Rasanya seperti mendapatkan durian runtuh, tetapi tidak dengan Rania, wanita itu merasa malu. "Maaf, tadi aku kaget gara-gara ada kecoa," ujar Rania. "Nggak apa-apa, sering-sering aja seperti itu, justru aku yang seneng," sahut Reza, seketika mata Rania melotot. "Udah-udah, sekarang kalian sarapan dulu. Setelah ini Reza bawa Rania ke rumah sakit," titah Hesty. Setelah itu mereka bergegas menarik kursi untuk duduk. "Sebagai istri yang baik itu, mau melayani suaminya, entah itu di meja makan atau di kam .... ""Iya bawel, gini-gini aku juga tahu kok cara melayani suami." Rania memotong ucapan Reza, lalu dengan cekatan mengambil piring dan disisi dengan n
Malam harinya, usai makan malam Rania memilih untuk istirahat di kamar. Tiba-tiba ia teringat kado dari para sahabatnya saat menikah. Ia belum sempat membukanya karena menurut Rania itu tidak penting. "Aku buka nggak ya," ucap Rania seraya melihat tumpukan kado yang tertata di lemari. Rania memang membawa semua kado tersebut ke rumah Reza. "Aku penasaran isi kado dari Lina," gumamnya. Setelah itu Rania mengambil kado yang dari Lina. "Awas aja kalau isinya barang aneh." Rania mulai membuka kertas yang membungkus kado tersebut. Setelah terbuka, Rania terkejut saat melihat isinya. "Astagfirullah, Lina benar-benar ya. Untuk apa sih dia ngasih kaya ginian, kurang .... ""Kurang banyak ngasihnya, tenang saja nanti aku belikan lagi." Suara yang tidak asing bagi Rania, membuat wanita itu menoleh. "Reza, apaan sih." Rania melempar kado yang Lina berikan. Sebuah benda yang biasa digunakan oleh pasangan suami istri. "Kok dibuang sih, mubazir tahu." Reza menjatuhkan bobotnya di sebelah istr
Plak, buk. Rania memukul lengan dan juga hidung Reza. Detik itu juga Reza memegangi hidungnya, beruntung tidak mengeluarkan darah. Entah kenapa Rania selalu seperti itu saat dekat dengan Reza, padahal mereka sudah sah menjadi suami istri. "Kasar banget jadi cewek, aku kutuk jadi istri penurut baru tahu rasa," ujar Reza seraya mengusap hidungnya yang masih terasa sakit. "Salah kamu sendiri, kenapa ... aaa." Rania kembali menjerit saat mendengar petir. Bukan itu saja, Rania juga memeluk tubuh Reza seperti sebelumnya. "Tuh kan, yang meluk dulu siapa," sindirnya. Seketika Rania terdiam, lalu membuka matanya. Detik itu juga Rania melepas pelukannya. "Maaf, itu reflek. Bukan kesengajaan," kata Rania pelan. Raut wajahnya sudah memerah, karena malu. "Nggak apa-apa kok, rezeki nomplok nggak bakal ditolak," sahut Reza. Rania melotot mendengar hal itu, seolah-olah Reza menggunakan kesempatan dalam kesempitan. "Nggak usah melotot kaya gitu, nanti itu biji mata jatuh siapa juga yang repot,"
Reza terus merem melek melihat pemandangan tak biasa di depan mata. Susah payah ia mengendalikan diri agar tidak terbawa oleh nafsu. Sementara itu, Rania masih pada posisinya, rasa takut dan geli pada cicak membuat Rania melupakan rasa malunya. "Mau sampai kapan seperti ini terus, Ran? Cicak udah pergi. Aku sih nggak keberatan justru .... " Reza menghentikan ucapannya saat Rania menyentil bibirnya. "Kalau bukan karena cicak aku juga nggak bakal kaya gini." Perlahan Rania turun dari tubuh suaminya."Buruan pakai baju, jangan memancingku, jika tidak ingin aku khilaf," ucap Reza. Tanpa pikir panjang Rania mengambil pakaian dan masuk ke dalam kamar mandi. Dua puluh menit kemudian, keduanya sudah berada di meja makan untuk sarapan pagi bersama. Rania terlihat cantik mengenakan seragam kerjanya, hanya saja Reza sedikit risih dengan rok hitam di atas lutut yang Rania pakai. "Ran, emang nggak ada rok yang lebih panjang gitu. Aku risih lihat kamu pakai rok sependek itu," ungkap Reza sembar
Rania bergegas menuju lemari untuk mengambil pakaian, sementara itu Reza memilih untuk mandi terlebih dahulu. Usai mandi dan berpakaian, kini keduanya segera turun untuk makan malam bersama. "Reza, Rania, kapan kalian pergi honeymoon?" tanya Hesty. Mendengar hal itu membuat Rania tersedak. Uhuk, uhuk, dengan cepat Reza memberinya segelas air putih. Rania langsung menerimanya, lalu meneguknya. Sementara itu Hesty terlihat khawatir melihat menantu kesayangannya itu sampai tersedak. "Rania kamu baik-baik saja kan?" tanya Hesty. "Aku nggak apa-apa kok, Ma." Rania menggelengkan kepalanya. "Mama sih nanyanya aneh-aneh," timpal Irwan. "Ya nggak aneh lah, Pa. Kan biar kita cepat dapat cucu," sahut Hesty seraya memukul lengan suaminya itu. "Apa tidak terlalu cepat, Ma? Umur mereka saja masih muda," kata Irwan. Kemudian Hesty menatap putra dan menantunya secara bergantian. "Rania apa kamu belum siap untuk pergi honeymoon?" tanya Hesty dengan lembut. "Hah, aku ... em, aku .... ""Kami s
"Berhenti, Za. Aku nggak kuat lagi," ucap Rania seraya mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Keduanya berhenti di sebuah jalan yang cukup sepi, Reza menyapu pandangannya ke sekeliling, ia khawatir jika mereka masih mengejar. Entah kenapa Reza merasa ada yang aneh dan juga janggal. "Mereka sudah tidak mengejar kita," kata Reza seraya bernapas lega."Iya, Za." Rania mengangguk. Reza menatap wajah Rania yang basah oleh keringat. "Kamu capek?" tanya Reza. Sementara Rania hanya mengangguk. "Ya udah kita pulang sekarang," kata Reza. "Ish, aku pikir sini aku gendong. Nggak tahunnya cuma ngajak pulang." Rania ngedumel, gara-gara kesal dengan jawaban yang Reza berikan. "Emang mau digendong," tawarnya. Sontak Rania terkejut, ia pikir Reza tidak akan mendengarnya. "Enggak, aku bisa jalan sendiri," kata Rania seraya melangkahkan kakinya mendahului Reza. "Huh dasar, wanita memang selalu begitu, gengsinya kegedean," gerutunya. Reza bergegas mengikuti langkah istrinya itu. Setelah cukup lama
Reza yang baru selesai mandi bergegas keluar dari kamar mandi. Rania semakin panik saat melihat Reza yang baru saja selesai mandi. Pikiran Rania benar-benar sudah travelling, ia khawatir jika Reza telah merenggut haknya tanpa izin darinya. "Kenapa." Reza berjalan mendekati Rania. "Semalam kamu ngapain, kenapa kamu melakukannya tanpa seizin dariku," tuduh Rania. Rasanya ia ingin menelan hidup-hidup lelaki yang ada di hadapannya itu. Reza mengerutkan keningnya. "Melakukan apa? Aku nggak ngerti maksud kamu apa.""Jangan pura-pura nggak tahu, bajuku lepas itu semua gara-gara kamu kan. Kamu sudah mengambil .... "Reza tertawa. "Oh jadi itu masalahnya, aku pikir ada apa.""Reza kamu harus tanggung jawab," ujar Rania yang masih emosi. "Tanggung jawab apa, wong kita aja udah nikah. Lagian semalam baju kamu basah, kalau nggak dilepas yang ada kamu masuk angin. Yang penting bungkusnya kan masih ada." Reza menjelaskan. Rania melongo saat mendengar penjelasan dari suaminya itu. Kemudian Rani
Waktu terus bergulir, tidak terasa pernikahan Reza dan Rania kini menginjak tujuh tahun. Suka dan duka mereka lalui bersama, tak jarang pertengkaran dan rasa cemburu ikut mewarnai kehidupan mereka. Namun, keduanya mampu melawan dan melaluinya bersama. "Mama, kaos kakinya mana!" teriak Sean dan Sheina secara bersamaan. "Sebentar, Sayang," sahut Rania dari dalam kamar. "Astaghfirullah, Mas kamu tuh kebiasaan banget sih. Udah aku bilang, jangan naruh handuk sembarangan," omelnya, saat melihat Reza menaruh handuk basah di atas kasur. "Aku buru-buru, Sayang." Reza mengambil kemeja lalu memakainya.Rania menggelengkan kepala, lalu keluar dari kamar, dan masuk ke dalam kamar si kembar. Sean dan Sheina nampak sudah siap dengan seragam sekolahnya. Kini keduanya sudah duduk di bangku sekolah dasar. "Ini kaos kakinya." Rania menyerahkan kaos kaki tersebut pada si kembar. "Ma, iketin rambut Sheina," pinta Sheina. "Iya, Sayang sebentar ya." Rania segera mengambil sisir serta dua ikat rambut
Butuh waktu setengah jam untuk imunisasi si kembar, pasalnya Reza yang takut jarum suntik membuat Lina sedikit kewalahan. Sementara Rania hanya bisa menggelengkan kepala, heran. Ia pikir setelah punya anak, rasa takut terhadap jarum suntik akan hilang, tapi ternyata tidak. "Sheina kamu memang hebat, nggak kaya papa kamu. Sama jarum suntik aja takut," pujinya. Lina baru saja selesai melakukan tugasnya itu. "Nggak usah nyindir deh," sahut Reza yang merasa sedikit kesal. "Aku nggak nyindir, tapi ini kan fakta. Sheina sama Sean nggak nangis waktu disuntik," kata Lina. "Ish nyebelin banget sih." Reza berdecih. Setelah selesai mereka bergegas untuk pulang, Rania terus tersenyum saat mengingat kejadian tadi saat berada di rumah sakit. "Kamu kenapa senyum-senyum begitu?" tanya Reza. Kini mereka sudah dalam perjalanan pulang. "Nggak papa, ingat tadi aja waktu .... ""Mau ikutan nyindir iya, sama kaya Lina." Reza memotong ucapan istrinya, sementara Rania hanya tersenyum. "Sayang, nanti k
Sepuluh menit kemudian Reza sudah mengganti kemejanya, bahkan pria itu harus kembali mandi. Kini Reza sudah bersiap untuk berangkat ke kantor, sementara Rania masih sibuk memberikan ASI untuk Sean. "Sayang, aku pergi sekarang ya." Reza mencium kening istrinya. "Iya, hati-hati di jalan," ujar Rania. "Iya, Sayang papa pergi dulu ya. Jangan rewel kasihan mama." Reza mencium pipi Sean, lalu mencium pipi Sheina. Setelah itu Reza bergegas keluar dari kamar. Selang beberapa menit, pintu kamar kembali terbuka, terlihat Hesty berjalan menghampiri menantunya itu. Sementara Rania baru saja merebahkan tubuh Sean di ranjangnya. "Wah, cucu-cucu nenek udah pada kenyang ya." Hesty mencium pipi si kembar secara bergantian. "Sayang kamu sarapan dulu sana, apa mau mama bawakan ke sini," ujar Hesty. "Nggak usah, Ma. Aku turun saja," sahut Rania. "Ya sudah, si kembar biar sama mama," balas Hesty. Setelah itu Rania beranjak keluar dari kamarnya, lalu turun ke lantai bawah. Setibanya di ruang makan
Satu jam kemudian, Rania sudah dipindahkan ke ruang perawatan, tak lupa kedua buah hatinya diletakkan di box. Rania melahirkan bayi kembar, baby girl dan baby boy, Reza benar-benar bahagia karena dalam satu kali hamil, istrinya bisa melahirkan dua bayi sekaligus, terlebih sang istri melahirkan anak laki-laki, seperti keinginannya. Reza terus menghujani sang istri dengan kecupan, tak peduli jika mereka masih berada di rumah sakit."Ehem." Deheman Lina membuat Reza dan Rania menoleh."Ish, mengganggu saja kau. Ada apa, Lin," ujar Reza, kini pria merubah posisi duduknya."Ish, aku nggak ada urusan denganmu, tapi istrimu." Lina berjalan mendekati brangkar di mana Rania terbaring."Aku akan memeriksa kondisinya sekarang," ujar Lina. Reza hanya mendengus kesal, lalu segera bangkit dan berdiri di sebelah brangkar."Aku periksa dulu ya," ucap Lina, sementara Rania hanya mengangguk.Lina segera memeriksa kondisi Rania, kondisinya memang sudah stabil, mungkin hanya tubuhnya yang masih membutuhk
Hari ini Reza terpaksa tidak pergi ke kantor, dan semua itu gara-gara Rania. Namun bagi Reza tidak masalah, asal bisa membuat wanita yang sangat dicintainya bahagia dan tersenyum. Apa pun akan Reza lakukan. Saat ini Rania dan Reza sedang duduk santai di depan televisi. Rania sedang sibuk menyantap rujak mangga muda buatannya sendiri. Sementara Reza memilih sibuk bermain game di ponselnya. "Enak rujaknya?" tanya Reza tanpa mengalihkan pandangan. "Enak banget, mau coba." Rania menyodorkan sepotong mangga muda yang sudah berlumuran bumbu rujak. "Enggak, buat kamu aja," tolaknya. "Cobain dulu, dijamin nanti ketagihan," bujuknya."Enggak, Sayang. Buat kamu aja, nggak usah aneh-aneh deh," tolaknya, tetapi Rania terus membujuk Reza untuk memakan rujak tersebut. "Yang ngidam kan kamu, masa aku yang makan rujaknya," sambungnya. "Aku ngidam pengen lihat kamu makan rujak," kata Rania, mendengar itu mata Reza langsung melotot. "Rania, Sayang. Kamu minta apa pun aku mau nurutin, tapi pleas
Panik, itu yang Rania rasakan, walaupun sudah sering melihat dalam keadaan seperti saat ini. Rania tetap saja merasa malu, dengan panik ia mengambil handuk kimono lalu memakaikannya pada sang suami. "Maaf, a-aku tadi kaget jadi reflek deh." Rania nyengir, menunjukkan deretan giginya yang putih. Reza hanya menggelengkan kepala lalu beranjak keluar dari kamar mandi. Dengan masih menutup hidungnya menggunakan tangan, Reza memilih untuk duduk di sofa. Rasa sakit di hidungnya masih terasa, bahkan kepalanya sedikit pening. Melihat Reza diam, Rania langsung berlari menyusul suaminya itu, ada rasa bersalah karena sudah sering sekali membuat Reza terluka. Sementara Reza, ia diam karena merasa sakit, bukan karena marah. "Coba aku lihat, Za." Rania meminta Reza untuk menurunkan tangannya. Dengan perlahan Reza menuruti apa yang Rania inginkan. "Astagfirullah." Rania langsung mengambil tisu untuk mengelap darah yang keluar dari hidung suaminya itu. "Lama-lama hidung aku pesek gara-gara kamu
Reza langsung mengangkat tubuh istrinya dan membawanya ke kamar. Di kamar Reza membaringkan Rania di atas tempat tidur, panik dan khawatir bercampur menjadi satu, bahkan Hesty langsung menelpon dokter untuk memeriksa kondisi menantunya itu. "Dokter mau ngapain?" tanya Reza saat melihat Dokter Andi hendak memeriksa kondisi Rania. "Mau memeriksa kondisi istri .... ""Jangan dipegang, apa lagi diraba. Tutup mata, jangan ngintip." Reza memotong ucapan Dokter Andi. Hal tersebut membuat kedua orang tuanya merasa heran dan juga bingung. "Za kamu apa-apaan sih, Dokter Andi itu mau memeriksa kondisi Rania, kamu nggak lihat istrimu itu pingsan," ujar Hesty. Ia sering bingung dengan kelakuan putranya itu. "Iya, tapi dilarang memegang anggota tubuh Rania. Apa lagi kalau sampai melihat dalamnya," sahut Reza. Seketika mereka saling pandang. "Aduh, Za. Kamu tuh ya, udah sekarang kamu duduk, lihat bagaimana Dokter Andi memeriksa kondisi Rania." Hesty mendudukkan putranya tepat di sebelah Rania.
Melihat Reza kembali tersungkur, Evan menarik paksa tangan Rania dan hendak membawanya pergi dari tempat tersebut. Reza yang melihat istrinya akan dibawa pergi tidak tinggal diam. Pria berjaket hitam itu bangkit lalu memukul tengkuk Evan. Bugh, saking kerasnya tubuh Evan ambruk ke ubin, melihat itu Reza langsung membawa pergi istrinya. Rasa sakit di kepala tidak sebanding jika harus kehilangan Rania. Kini mereka sudah ada di mobil, tetapi sebelum itu Rania telah membayar makanan yang telah dipesan. "Za, kita ke rumah sakit ya," kata Rania. "Enggak mau, kita pulang saja," tolaknya. "Tapi luka kamu .... ""Please, Rania. Tolong jangan bawa aku ke rumah sakit." Reza memotong ucapan istrinya itu. "Ya udah kita pulang." Rania segera menyalakan mesin mobilnya. Setelah itu mobil melaju meninggalkan halaman resto. Dalam perjalanan, Reza terus memegangi kepala bagian belakang, sementara Rania memilih fokus untuk menyetir. Sesekali Rania menoleh ke arah di mana suaminya duduk. Khawatir, i
Kini Reza dan Rania sudah tiba di rumah, awalnya Reza hendak membawa istrinya itu ke rumah sakit, tetapi Rania menolak dan meminta untuk pulang ke rumah. Setibanya di rumah, Reza langsung membaringkan istrinya di sofa ruang tengah. Hesty yang melihatnya bergegas menghampiri menantunya itu. "Reza, Rania kenapa, Sayang kamu kenapa?" tanya Hesty dengan raut wajah khawatir. "Biasa lah, Ma. Cemburu buta ya kaya gini," sahut Reza, seketika Rania mencubit lengan suaminya itu. Hesty tersenyum. "Wah mantu, mama sekarang nambah cinta ya sama, Reza. Tapi kok bajunya bisa kotor begini, terus itu kakinya kenapa.""Sepertinya terkilir, Ma. Mama bisa mijit kan, mau ke rumah sakit Rania nggak mau," jawab Reza. "Yang bisa mijit kan kamu, buktinya pas mama keseleo kamu yang mijit. Udah sana kamu bawa Rania ke kamar, jangan lupa bajunya diganti, setelah itu kakinya kamu pijit," perintahnya. Rania hanya bisa pasrah, toh kakinya memang benar-benar sakit. "Ya udah, Ma." Reza segera mengangkat tubuh is