Uek! Uek! Maria memperhatikan putranya yang lari terbirit-birit menuju wastafel di dapur. Baru juga dua suap bubur ayam yang masuk ke mulutnya, tetapi sudah keluar lagi. Maria berlari menyusul Dhuha sambil membawakan minyak kayu putih. Wanita itu dengan perhatian mengurut leher belakang sang Anak. Uek! Uek! "Duh, kamu kenapa, Dhu? Udah dua hari begini loh. Masa baru diisi sedikit udah keluar lagi. Ke dokter ya?" Dhuha hanya pasrah saja karena kepalanya berkunang-kunang. Tubuhnya lemas bagaikan tak bertulang. "Mama anter ke kamar kamu ya?" Dhuha hanya mengangguk saja. Maria memapah Dhuha masuk ke kamar. Mengoleskan minyak angin di dahi putranya sebelum ia keluar dari kamar. "Ma, mangga yang di kulkas minta tolong dikupas. Dhuha mau ngilangin eneg. " Maria yang sudah diambang pintu, langsung menoleh kembali ke belakang. "Apa? Mangga? Lambung kamu nanti luka. Gak makan nasi, malah makan mangga. Semalam juga makan mangga sebelum tidur. Gak boleh, nanti kita ke dokter. Tunggu Mama te
"Bukan gitu, tapi Aini tinggal sama Alex.""Hah, apa? Serius lo?""Iya, gue mau ceritain ke lo, tapi gue lagi gak enak begini. Uek! Uek!"Baru bicara sedikit lebih banyak, Dhuha sudah kembali muntah dan tidak bisa menahannya. Padahal, sudah ada obat anti mual di suntikan ke dalam cairan infus. Hakim dan perawat pun sibuk membereskan muntahan Dhuha. Tidak ada yang keluar dari perut pria itu, hanya air saja, tapi berwarna pucat. Maria masuk ke ruangan IGD kembali, tetapi Luna tidak. Ibu hamil tidak disarankan masuk ke ruangan IGD karena khawatir banyak virus. "Ya Allah, kenapa, Dhu?" tanya Maria saat melihat perawat, petugas kebersihan membersihkan lantai dan juga seprei bed. "Dhuha muntah lagi, Mami. Mabok berat ini." Hakim menjawab sambil menahan sedikit rasa jijik. "Ya ampun, kamu kenapa sih, Nak?"Disaat Maria sibuk dengan Dhuha, Hakim keluar dari ruangan IGD, maksud hati ingin langsung menelepon Alex. Namun, hal itu belum jadi ia lakukan karena tiba-tiba sudah ada Luna yang men
FlashbackPoV Anton"Jadi, Bos, suaminya Mbak Aini itu nikah juga sama perempuan namanya Luna. Ini saya punya fotonya." Dedi memberikan ponselnya padaku. Ada tiga foto di sana dengan berbagai angle. "Cantik.""Iya, Bos, lulusan sarjana luar negeri. Mantan pacarnya suaminya Mbak Aini." Aku mengangguk paham. "Jauh banget bedanya sama Aini. Pantesan si Aini disia-siain lakinya. Nikah gak jelas." Aku memberikan ponsel itu lagi pada Dedi. "Tapi, Bos, kayaknya nih cewek mau menyingkirkan Mbak Aini. Biar Mbak Aini cerai dari suaminya." "Udah bisa ketebak, sih. Mana ada perempuan mau dimadu. Mau cakep, jelek, hitam, putih, yang namanya istri, pasti gak terima dimadu. Kasihan Aini ya.""Begitulah, Bos. Mm... apa saya perlu mengikuti ke mana cewek itu lagi, Bos?""Ya, ikuti trus. Pokoknya jangan sampai dia ganggu atau menyakiti Aini dan anak-anak." "Baik, Bos." Dedi keluar dari gudang tempat biasa aku bekerja. Hari ini tidak terlalu banyak masuk barang karena sudah tiga hari hujan. Kardus
"Den, lu di mana? Bantuin gue, mobil mogok nih!""Yah, Bos, istri saya mau lahiran nih. Udah mules, jadi gak bisa ditinggal.""Eh, cepet amat. Baru bulan lalu nikah, udah mau lahiran sekarang? Serius lu? Hamil apaan cepet banget?""Ha ha... Nikahnya udah setahun Bos. Masa lupa sih! Maaf ya Bos Anton, saya beneran lagi gak bisa. Mau saya telepon Udin?""Gak usah, si Udin nanti malah nyuruh gue. Ya udah, gue akalin dulu deh!" "Mobil yang mana dibawa, yang lama ya?""Iya, pick up lama.""Saya udah bilang itu mobil rusak. Bos masih pake aja!"Aku segera menutup telepon. Udah lagi susah, malah kena omel. Suara gemuruh langit yang akan segera menumpahkan air hujan membuatku semakin tak fokus memperbaiki mesin mobil. Mesin udah aku cek, semuanya aman. Memang mesinnya aja udah tua. Aku juga sampai masuk ke kolong mobil untuk mengecek bagian bawah. Sayangnya aku gak bawa senter. Terpaksa menggunakan senter HP. Bep! Aduh, batrei ponselku sudah mau habis pula. Mau nelepon tukang service, ma
"Jangan bohong, Mas. Dari mana Mas Alex tahu kalau mas Dhuha sakit?" tanya Aini tak yakin. "Pria bernama Hakim yang menelepon. Sepupunya kan?" Aini terkejut. "Iya, Mas Hakim." "Mau jenguk?" Aini menggelengkan kepala. "Gak, Mas. Saya sebenarnya udah selesai dengan lelaki itu hanya saja.... ""Pikirkan dulu, Ai. Ayah bayi kamu lagi sakit dan dia bilang ingin ketemu kamu. Kalau kamu mau, bisa aku anter. Gak nginep di Jakarta gak papa kalau mau langsung pulang ke Surabaya. Mumpung aku masih di sini. Biar aku temani." Aini tidak menjawab. Jujur hatinya ingin sekali menjenguk Dhuha, tetapi ia khawatir bertemu dengan Maria. Ia sudah berjanji untuk tidak muncul lagi di Jakarta, tetapi di sudut hatinya yang lain, Aini ingin mengunjungi Dhuha. Bagaimana kalau umur suaminya tidak lama lagi? Semalaman Aini tidak nyenyak tidur karena teringat Dhuha. Perutnya juga sejak tadi pagi; mendengar kabar Dhuha sakit, tak hentinya melakukan kontraksi. Wanita itu mengambil ponsel yang ada di atas naka
"Mbak Aini jadi ke sini kan? Sudah di mana?"SendIstri Orang 1"Jadi, ini lagi di jalan. Saya naik kereta api.""Apinya kecil apa gede?"SendIstri Orang 1"Wkwkwkwk... bisa aja, Mas Hakim."Hakim tertawa cekikan di sofa. Dhuha menatap heran sepupunya yang sejak tadi hanya senyam-senyum di depan ponsel. "Lu lagi chatting sama siapa, Kim?" tanya Dhuha dengan suara serak. "Cewek lu? Siapa?"Hakim menoleh pada Dhuha. "Istri orang ha ha.... ""Jangan sembarangan lu, Kim. Ditembak m@ti lakinya nanti lu!" Hakim malah terbahak. "Kagak bakalan, orang lakinya lemes." Kening Dhuha mengerut. Jika saja ia bisa merampas ponsel sepupunya itu, sudah pasti ia lakukan sejak tadi. "Lakinya sakit?""Iya, mau sakaratul maut." "Oh, kasihan sekali istrinya mau ditinggal mati." Hakim malah semakin terbahak mendengar komentar Dhuha. Pria itu memutuskan untuk segera keluar dari kamar perawatan Dhuha agar tidak terus-terusan menggoda orang sakit. Dhuha hanya bisa termenung melihat langit-langit kamar p
a ke sini untuk melihat kondisi Mas Dhuha. Ternyata benar-benar memprihatinkan. Mas sakit apa? Apa beneran gak lama lagi?" awalnya Dhuha tersenyum tipis, tetapi setelah pertanyaan Aini barusan, senyumnya hilang. Wanita itu duduk di kursi samping Dhuha. "Gak lama lagi apanya?" tanya Dhuha berpura-pura tak paham. "Kata dokter kondisi Mas Dhuha kritis ya. Namanya umur gak ada yang tahu, Mas. Mas harus.... ""Maksud kamu apa, Ai? Aku mau mati, gitu? Kamu senang jadi janda dua kali?" Aini menahan senyumnya. "Bukannya emang udah janda ya, Mas?""Kata siapa? Udah, kalau kita ngobrol, pasti akan bertengkar. Sekarang kamu suapin aku buah. Itu, di piring kecil ada buah, suapin aku. Biar kita gak usah bicara!" Aini menoleh pada meja kecil yang ditunjuk Dhuha dengan dagunya. Aini melakukan apa yang diperintahkan oleh Dhuha. Wanita itu mengambil buah jeruk, lalu mengupas kulitnya. Sabar Aini, Dhuha lagi sakit dan kamu harus ekstra sabar. Gak sakit aja menguji kesabaran, apalagi sakit. Ungkap A
"Sejak kapan perut pindah ke atas!?" tanya Aini sewot sambil mengusap kasar bibirnya. Ia hendak bergeser, tetapi Dhuha menahannya. "Kita itu bukan suami istri lagi, Mas! Jadi gak bisa sembarangan cium! Zie na!""Kata siapa cerai? Nggak!" Dhuha menjauhkan tubuhnya dari Aini. Ia tahu istrinya belum benar-benar menerima keadaan seperti ini setelah fitnah yang pernah ia tuduhkan pada Aini. "Saya mau pulang!""Nggak, jangan! Iya, iya, boleh pulang. Tapi kamu nunggu Alex dulu. Perut kamu udah gede gitu. Berapa bulan sekarang usianya?" Dhuha mengalah. Suaranya ia pelan kan agar Aini tidak merajuk. "Delapan," jawab Aini singkat. "Oh, udah lama juga ya. Terakhir itu kita yang sore-sore ya. Itu mungkin langsung jadi, Ai!" Aini memutar bola mata malasnya. "Anaknya laki-laki atau perempuan?""Gak usah kepo, Mas. Bukannya Mas bilang ini bukan anak Mas? Kenapa sekarang berubah lagi?" Dhuha menghela napas. Ia tahu ia salah dan gak mudah membetulkan kembali apa yang sudah dirusak olehnya. "Tapi
Hakim kembali memijat pelipisnya setelah pertemuannya dengan Salsabila. Dua miliar bukan jumlah yang kecil, tetapi ia tahu bahwa dengan posisi dan kekayaan keluarganya, itu bukan angka yang mustahil. Yang menjadi pertanyaannya sekarang, apakah Tania akan meminta hal yang sama?Ia meraih ponselnya dan menghubungi Amel."Halo, Mas Hakim," suara Amel terdengar ceria seperti biasa."Amel, aku baru saja bertemu dengan Salsabila dan dia setuju, tapi ada syaratnya," kata Hakim."Syarat seperti apa?" tanya Amel penasaran."Dua miliar sebagai kompensasi atas perannya. Dia ingin semuanya berjalan profesional tanpa perasaan terlibat," jawab Hakim jujur.Amel terdiam sesaat sebelum tertawa kecil. "Wah, nggak kaget sih. Salsabila memang tipe wanita yang tahu apa yang dia mau.""Nah, itu yang mau aku tanyakan ke kamu. Apakah menurutmu Tania juga akan meminta kompensasi seperti itu?" Hakim bertanya hati-hati.Amel menghela napas. "Sejujurnya, aku nggak tahu, Mas. Tania orangnya berbeda dari Salsabil
Hakim duduk di kursinya dengan perasaan campur aduk setelah mengirim pesan kepada Amel. Ia memijat pelipisnya, mencoba mencerna semua pilihan yang tiba-tiba datang dalam hidupnya. Tiga minggu bukan waktu yang lama untuk mencari pasangan hidup, meskipun hanya sekadar pernikahan pura-pura.Di satu sisi, ada Salsabila. Wanita yang direkomendasikan oleh Aini dan tampak sangat profesional. Sikapnya tegas dan penuh perhitungan. Hakim bisa melihat bahwa Salsabila bukan tipe orang yang mudah dibohongi atau dimanfaatkan. Jika ia setuju, Hakim yakin mereka bisa menyusun kesepakatan yang jelas dan tidak akan ada drama di kemudian hari. Namun, justru itulah yang sedikit membuatnya khawatir. Wanita seperti Salsabila pasti punya standar tinggi dan bisa jadi ia tidak akan mau menjalani sandiwara ini tanpa syarat yang ketat.Di sisi lain, ada Tania. Wanita yang diperkenalkan oleh Amel. Dari deskripsi Amel, Tania tampak seperti gadis sederhana yang pekerja keras dan penuh tanggung jawab. Yatim piatu,
Hakim menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Setelah menelepon Dhuha, ia merasa sedikit lebih tenang, tetapi tetap saja, waktu yang diberikan orang tuanya sangatlah singkat. Ia bukan tipe pria yang terbiasa terburu-buru dalam mengambil keputusan besar, apalagi soal pernikahan. Namun, kali ini ia tidak punya banyak pilihan.Di sisi lain, Dhuha masih mencerna ucapan Hakim barusan. Ini bukan permintaan yang biasa. Mencari calon istri dalam waktu tiga minggu saja sudah sulit, apalagi jika syaratnya adalah pernikahan pura-pura. Ia merebahkan diri di sofa sambil menatap langit-langit. Aini, yang baru saja selesai mandi, keluar dari kamar dan melihat ekspresi suaminya yang sedang berpikir keras."Kenapa bengong begitu?" tanya Aini sambil mengeringkan rambutnya.Dhuha menoleh dan tersenyum kecil. "Barusan Hakim nelepon. Dia butuh istri dalam tiga minggu."Aini mengernyit. "Istri? Maksud Mas, dia mau menikah? Emang Hakim punya ayang? ""Iya. Tapi bukan pernikahan yang sebenarnya. Dia
Hotel Mulia Sahabat sudah beroperasi sejak subuh. Para staf dengan cekatan mempersiapkan segala sesuatu untuk memastikan tamu mendapatkan pelayanan terbaik. Dari lobi yang dipenuhi dengan aroma kopi segar hingga restoran yang mulai menyajikan sarapan prasmanan, semuanya berjalan dengan rapi dan efisien. Hakim duduk di ruang rapat utama, menatap layar presentasi yang menunjukkan proyek ekspansi terbaru hotel mereka di Kota Malang."Baik, untuk grand opening di Malang, saya ingin semua berjalan sesuai jadwal. Pak Irwan, bagaimana progres renovasi gedungnya?" tanya Hakim dengan suara tegas namun tetap tenang."Alhamdulillah, Pak Hakim. Progresnya sudah mencapai 85 persen. Kami hanya tinggal menyelesaikan beberapa bagian interior dan pelatihan staf baru."Hakim mengangguk puas. "Bagus. Saya ingin kita pastikan bahwa pelayanannya tetap setara dengan standar hotel kita di kota lain. Bu Siska, bagaimana dengan marketingnya?""Sudah berjalan sesuai rencana, Pak. Kami sudah melakukan kampanye
Dhuha menatap ibunya dengan perasaan terluka. "Mama, jangan bicara seperti itu. Aku memilih Aini bukan karena sihir atau apapun yang Mama pikirkan. Aku memilihnya karena aku mencintainya. Mama, aku mohon, berhentilah mencurigainya tanpa bukti yang jelas. Aini tulus mencintaiku, Ma. Dulu kami berpisah karena aku yang tidak dewasa. Sekarang aku sudah dewasa dan paham. Aku gak mau sampai pernikahanku gagal lagi.""Kamu tidak pernah tahu kan, kenapa bisa cinta berat sama Aini? Kamu saja jarang solat. Orang yang jarang solat itu, mudah dimasukin jin." Dhuha menggelengkan kepala. Mamanya selalu saja keras kepala dan pasti tidak akan menerima pembelaan darinya. Maria menghela napas panjang. Ia ingin membantah, tetapi dalam hatinya, ia pun ragu. Foto-foto itu memang tampak mencurigakan, tetapi apakah itu cukup sebagai bukti bahwa Aini tidak layak untuk Dhuha? Apalagi setelah mendengar bahwa foto tersebut adalah foto lama."Mama akan mencari tahu lebih lanjut. Tapi untuk sekarang, Mama tidak
Setelah membaca pesan itu, Aini merasa hatinya mulai tidak tenang. Meskipun Dhuha sudah meyakinkannya bahwa ia akan selalu melindunginya, tetap saja perasaan gelisah itu tidak bisa hilang begitu saja. Ia mencoba mengabaikan rasa takutnya dan melanjutkan aktivitasnya, tetapi firasat buruk itu terus menghantuinya.Keesokan harinya, Aini dan Dhuha pergi ke Sentul seperti yang mereka rencanakan. Udara pagi yang sejuk dan pemandangan hijau pegunungan sedikit mengurangi kegelisahan yang masih tersisa dalam hati Aini. Mereka mengunjungi rumah yang akan segera menjadi milik mereka, sebuah hunian minimalis dengan halaman luas dan suasana yang tenang."Masya Allah, indah sekali," gumam Aini takjub.Dhuha tersenyum melihat ekspresi bahagia istrinya. "Aku ingin kamu bahagia di sini. Aku ingin kita membangun rumah tangga yang penuh ketenangan dan cinta."Aini menggenggam tangan suaminya erat. "Terima kasih, Mas. Aku tidak butuh rumah besar atau barang mewah, yang penting kita selalu bersama." Mesk
Dhuha menggeleng-geleng sambil tertawa, menarik Aini kembali ke dalam pelukannya. "Adek benar-benar bikin abang kalah terus ya?"Aini terkikik. "Bukannya kalah, tapi harusnya bangga punya istri cerdas."Dhuha mengecup kening istrinya lembut. "Iya, iya, abang bangga sekali."Mereka duduk berdua di ranjang, menikmati momen tenang setelah kejadian barusan. Aini bersandar di bahu Dhuha, memainkan jari-jarinya di telapak tangan suaminya. "Mas, menurutmu, Mama akan terus begini?"Dhuha menghela napas panjang. "Entahlah. Aku tahu Mama butuh waktu. Tapi aku yakin lama-lama beliau akan menerima kamu sepenuhnya."Aini mengangguk. "Aku tidak ingin buru-buru. Yang penting kita berdua tetap satu hati."Dhuha tersenyum. "Selalu."Sementara itu, di kamar Maria, wanita paruh baya itu duduk di depan cermin riasnya, memandangi wajahnya dengan ekspresi penuh pertimbangan. Ia memegang dompet pemberian Monic, mengelus permukaannya pelan. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan.Monic adalah kandidat
Aini tertawa kecil melihat ekspresi terkejut Dhuha. "Sudah, sekarang kita diam saja di dalam kamar, biarkan Mama dan Monic di luar."Dhuha menggelengkan kepala, tetapi akhirnya hanya bisa tersenyum pasrah. Ia menarik Aini ke dalam pelukannya, membiarkan istrinya bersandar di dadanya. "Kamu benar-benar tidak ada takutnya, ya?""Kenapa harus takut? Aku istrimu, sah di mata agama dan negara. Mau Mama undang Monic, Silvi, atau siapa pun, yang terpenting hatimu hanya untukku, kan?" goda Aini.Dhuha tertawa pelan. "Iya, iya. Kamu memang satu-satunya buatku.""Ada yang bilang, selama suami berpihak pada istri, jangankan pelakor, set an pun gak berani menggoda." Dhuha kembali tertawa. "Jadi, apa kita ada momen untuk bikin bayi siang-siang begini?" goda Dhuha. "Of, course, Sayang. Kali ini, aku di atas ya." Dhuha terbahak sambil menekan hidung istrinya karena gemas. Sementara itu, di ruang tamu, Maria menyambut Monic dengan senyuman ramah. Wanita itu terlihat anggun dengan gaun merah marunn
Setelah kunjungan mereka ke panti asuhan Cahaya Kasih, Dhuha dan Aini kembali ke rumah mereka yang nyaman. Hari itu terasa begitu indah bagi Aini, berbagi kebahagiaan dengan anak-anak di panti asuhan yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama.Sore itu, ketika mereka baru saja tiba di rumah, ponsel Dhuha bergetar. Nama yang tertera di layar membuatnya menghela napas panjang sebelum mengangkat panggilan itu. "Mama," sapanya pelan."Dhuha, Mama ingin bicara. Bisa Mama datang sekarang?" suara Maria terdengar lebih lembut dari biasanya.Dhuha melirik Aini yang sedang menata beberapa barang di ruang tamu. Ia mengangguk kecil seolah mengizinkan, meski tak tahu apa yang akan dibahas mamanya kali ini. "Baik, Ma. Mama ke sini sekarang?""Ya, tunggu Mama sebentar.""Kenapa, Mas?" tanya Aini sambil menatap suaminya. "Mama mau berkunjung ke sinu." Aini mengangguk. "Terus kenapa?""Kamu gak papa?" tanya Dhuha khawatir. "Ish, Mama itu juga mamaku sekarang