Dhuha meletakkan kepalanya di atas tangan. Ia berbaring miring sambil menatap wajah polos Aini yang kini sudah terlelap. Istrinya masih kurang sehat, tapi karena ia tak bisa menahan diri, istrinya menjadi kelelahan. Dari wajah sederhana berkulit coklat itu, sorot mata pria itu kini berpindah pada perut Aini. Ia menghela napas, lalu memberikan senyuman. Dengan pelan dan hati-hati, Dhuha meletakkan telapak tangannya di atas perut Aini. Baik-baik di dalam sini sampai lahir ya. Do'akan ayah bisa menjadi ayah terbaik nanti dan do'akan ayah bisa segera jatuh cinta sama ibu. Dhuha mendaratkan kecupan di kening Aini. Lalu pria itu membetulkan selimut sang Istri. Sementara itu, Hakim yang baru saja melihat telepon genggamnya, tentu saja merasa terkejut akan pesan yang dikirimkan Dhuha. Ia baru saja selesai menyuapi Intan makan sambil menunggu suami istri itu sampai di rumah. Namun, hingga jam satu siang, tak kunjung pulang juga. "Waduh, Izzam!" Hakim terlonjak saat menyadari bahwa Izzam b
"Senang sekali rasanya saya boleh tidur di sini. Gak sia-sia ajak kamu tidur di hotel satu malam." Dhuha menarik garis bibirnya begitu lebar. Pria itu semangat menepuk-nepuk bantal yang persis di samping Aini. Intan sudah tidur dan sengaja ditaruh di pinggir dekat tembok. Awalnya Intan di letakkan di tengah oleh Aini, tetapi Dhuha menggernya. "Mas kapan mau tidur? Ini sudah jam sepuluh. Emangnya besok gak kerja?" protes Aini. Sejak jam sembilan malam ia berbaring karena sudah mengantuk, tetapi suaminya terus saja mengoceh tidak jelas. "Aku gak bisa tidur. Mungkin karena belum capek." Aini melotot pada suaminya. "Di depan rumah Bu Ahmad lagi direnovasi. Mas Dhuha kalau mau capek, ke depan aja!" Mendengar celetukan istrinya, membuat pria itu tertawa. "Iya, aku cuma bercanda. Lagian aku juga ngerti. Masa minta hak mulu. Nanti anak kita kenapa-napa!" Aini yang sudah memunggungi suaminya, kini tiba-tiba berbalik. "Anak kita? Anak kita itu kalau bikinnya pakai cinta. Kalau bikinnya kar
Dhuha sudah sampai di kantor. Emosi masih bersarang di hati dan pikirannya. Pantas saja pria bernama Anton tiba-tiba datang ke rumahnya membawa gulali. Apa karena memang pria itu adalah ayah dari bayi yang dikandung Aini? Atau sebenarnya mereka adalah komplotan? Semakin ia memikirkan peristiwa tadi, semakin sakit hatinya. Tok! Tok! "Pak, permisi!""Jangan ganggu saya! Jangan biarkan siapapun masuk ke ruangan saya, termasuk kamu! Paham!""B-baik, Pak." Sekretaris pria itu begitu syok dan hampir menangis karena dibentak oleh bosnya. Dhuha belum pernah semarah ini sejak ia ditugaskan sebagai sekretaris. "Pak Dhuha kenapa, Mit?""Gak tahu, gue dibentak kenceng banget! Baru kali ini Pak Dhuha marah besar. Ada apa ya?" "Serius? Pak Dhuha bentak lo?" "Iya, pantesan dari baru sampai gue terus juga gak nengok sama sekali. Pintu ruangannya juga dibanting keras. Duh, ada apa ya? Gue jadi takut." Kasak-kusuk antar sekretaris Dhuha dan staf lainnya tentu saja dengan mudah menyebar sampai ke
PoV Dhuha"Dhuha, ini sudah masuk bulan kelima kehamilan Luna. Kamu gak kepengen lihat bayi kamu? " ujar mamaku saat tengah menikmati sarapan di rumahnya. Ya, sejak Aini pergi entah ke mana, aku kembali tinggal di rumah mama. "Belum pasti juga itu bayi Dhuha, Ma." Mama menghela napas. "Kalau ternyata memang bayi kamu, gimana?" aku menaruh lagi sendok yang sudah aku pegang. "Dhuha akan tanggung jawab menafkahi anak Dhuha, tapi untuk rujuk dengan ibunya, mohon maaf, Ma. Dhuha tidak bisa. Luna selingkuh.""Bukannya Aini juga? Aini juga selingkuh'kan?" Aku langsung bangun dari duduk dengan kasar. "Saya berangkat, Ma. Pulang malam." Aku langsung keluar rumah tanpa mendengar interupsi dari mamaku. "Mama gak mau tahu, sore ini kamu harus ke rumah sakit. Temani Luna USG!" Aku sempat mendengar teriakan mama dari depan pintu, tetapi aku enggan menjawab. Hari-hariku sudah seperti biasa lagi. Hanya saja, jika aku melihat anak kecil seumuran Izzam, aku kembali mengingat anak dari Aini. Sayan
"Ibu Luna!" Tiba-tiba tanganku ditarik oleh Luna saat seorang perawat memanggil namanya. Aku dan Anton masih saling mengunci pandangan, tetapi kemudian lelaki itu pergi. Aku menoleh pada Luna yang berekspresi biasa saja. "Wah, Mbak Luna datang bersama suami juga akhirnya." Aku hanya tersenyum tipis pada dokter yang nampak senang aku ikut datang. "Silakan langsung berbaring di ranjang, Mbak." Luna pun berbaring. Dokter mengoleskan seperti gel di atas perut Luna yang membuncit. "Mas-nya boleh mendekat, sini lihat bayinya." Aku pun mendekat, meski enggan. Bayi itu bergerak dan sudah terlihat bentuknya. Mata, hidung, kaki, telinga, semuanya ada. Jauh dalam hatiku aku bersyukur karena jika bayi yang dikandung Luna memang bayiku, paling tidak, ia sempurna secara fisik. "Gimana kondisi bayi saya, Dok?" tanya Luna. "Alhamdulillah semua kondisi baik dan sesuai ukuran bulannya. Bulan depan kontrol lagi, berarti masuk enam bulan ya. Banyak istirahat dan minum vitamin. Saya akan berikan vita
"Rumah lo segede gini, gak takut dirampok, kalau sering ditinggal?" tanyaku berbasa-basi. "Nggak, ada satpam yang bantu bersih-bersih seminggu sekali. Awalnya emang di rumah ini ada CCTV, tapi sekarang udah gak berfungsi karena rumah ini emang gak ditempati mama. Ini karena kebetulan aja.""Oh, jadi lo nanti balik ke Surabaya s-sama cewek hamil tadi?" "Iya, gue ke Surabaya nganter Aini sama mama. Jadi, mama pergi ke sekolah lama Izzam. Itu nama ponakan gue yang laki. Sekalian ijin dan minta surat pindah." Aku menghela napas. Berarti Aini akan dibawa ke Surabaya. "Lex, kayaknya gue mules nih, gue pinjem kamar mandi belakang ya. Gak enak kalau ke kamar mandi di kamar lo lagi?" aku pura-pura menepuk pelan perut dengan wajah meringis. "Oh, gitu, bukan karena masakan di rumah gue kan?""Oh, b-bukan, ini gue beneran mules. Emang biasanya gue selalu rutin pagi-pagi, tapi tadi belum mules. Mungkin karena semalam gue minum." "Oh, ya, udah, terus aja, belok kiri dekat dapur kotor." "Oke,
PoV AiniAku membantu bu Asma memasak sarapan pagi ini. Ini hari kedua aku tiba di Jakarta lagi, setelah sekian bulan aku tinggal di Surabaya. Alasannya adalah karena sekolah baru Izzam meminta surat pindah sekolah. Padahal masih TK, aku mengira tidak perlu pakai surat pindah, tetapi kebijakan sekolah baru Izzam, membutuhkan tersebut. "Masak apa?" tanya Alex, adik dari almarhumah mbak Listy. Wanita yang merupakan cinta pertama suamiku dan kemudian menjadi pelakor dalam rumah tanggaku. "Mama bikin nasi goreng dan ayam goreng serundeng. Ada roti bakar untuk anak-anak. Kamu mau makan yang mana, terserah kamu aja. Tinggal pilih." Jawaban dari bu Asma. Aku sedang menyeduh teh dalam teko saat itu. "Ada teman Alex, Ma.""Iya, Mama lihat dari jendela semalam. Kamu bawa temen mabuk. Dia boleh gabung di meja makan kalau sudah hilang mabuknya. Mama gak mau kalau sampai ponakan kamu melihat orang mabuk berkeliaran di rumah ini.""Iya, Ma, lagian karena dia terlalu mabuk aja. Kalau nggak, juga
"Dhuha, lo bisa tolong bawain paper bag belanjaan gue? Please!" "Oh, gitu, ya... baiklah. Biar gue bantu bawain." Mas Alex menggendongku untuk sampai di bangku yang terletak di pinggir dekat tenant kopi. Lalu mas Dhuha benar-benar membawakan paper bag dengan wajahnya yang ditekuk. "Mbak mau makan dulu?" tanyaas Alex. "Iya, lagi pengen makan ayam crispy." Aku menelan ludah membayangkan betapa nikmatnya makan ayam kriuk. "Tapi, kita bungkus aja ya. Saya khawatir kalau makan di tempat, Mbak Aini malah kenapa-napa. Tunggu di sini ya, saya belikan dulu.""Dhuha, lo temenin dulu mbak Aini ya." Duh, kenapa mas Alex malah minta pria itu yang menungguku. "Ya, gue di sini saja." Aku mengeluarkan ponsel berlogo apel digigit yang dibelikan bu Asma. HP canggih seperti milik mas Dhuha dan mbak Luna. HP yang selama ini hanya bisa aku lihat saja, kini bisa aku gunakan meskipun hanya untuk berkirim pesan whatsapp dan menelepon. Aku sama sekali tidak peduli dengan mas Dhuha yang ternyata sudah du
Hakim kembali memijat pelipisnya setelah pertemuannya dengan Salsabila. Dua miliar bukan jumlah yang kecil, tetapi ia tahu bahwa dengan posisi dan kekayaan keluarganya, itu bukan angka yang mustahil. Yang menjadi pertanyaannya sekarang, apakah Tania akan meminta hal yang sama?Ia meraih ponselnya dan menghubungi Amel."Halo, Mas Hakim," suara Amel terdengar ceria seperti biasa."Amel, aku baru saja bertemu dengan Salsabila dan dia setuju, tapi ada syaratnya," kata Hakim."Syarat seperti apa?" tanya Amel penasaran."Dua miliar sebagai kompensasi atas perannya. Dia ingin semuanya berjalan profesional tanpa perasaan terlibat," jawab Hakim jujur.Amel terdiam sesaat sebelum tertawa kecil. "Wah, nggak kaget sih. Salsabila memang tipe wanita yang tahu apa yang dia mau.""Nah, itu yang mau aku tanyakan ke kamu. Apakah menurutmu Tania juga akan meminta kompensasi seperti itu?" Hakim bertanya hati-hati.Amel menghela napas. "Sejujurnya, aku nggak tahu, Mas. Tania orangnya berbeda dari Salsabil
Hakim duduk di kursinya dengan perasaan campur aduk setelah mengirim pesan kepada Amel. Ia memijat pelipisnya, mencoba mencerna semua pilihan yang tiba-tiba datang dalam hidupnya. Tiga minggu bukan waktu yang lama untuk mencari pasangan hidup, meskipun hanya sekadar pernikahan pura-pura.Di satu sisi, ada Salsabila. Wanita yang direkomendasikan oleh Aini dan tampak sangat profesional. Sikapnya tegas dan penuh perhitungan. Hakim bisa melihat bahwa Salsabila bukan tipe orang yang mudah dibohongi atau dimanfaatkan. Jika ia setuju, Hakim yakin mereka bisa menyusun kesepakatan yang jelas dan tidak akan ada drama di kemudian hari. Namun, justru itulah yang sedikit membuatnya khawatir. Wanita seperti Salsabila pasti punya standar tinggi dan bisa jadi ia tidak akan mau menjalani sandiwara ini tanpa syarat yang ketat.Di sisi lain, ada Tania. Wanita yang diperkenalkan oleh Amel. Dari deskripsi Amel, Tania tampak seperti gadis sederhana yang pekerja keras dan penuh tanggung jawab. Yatim piatu,
Hakim menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Setelah menelepon Dhuha, ia merasa sedikit lebih tenang, tetapi tetap saja, waktu yang diberikan orang tuanya sangatlah singkat. Ia bukan tipe pria yang terbiasa terburu-buru dalam mengambil keputusan besar, apalagi soal pernikahan. Namun, kali ini ia tidak punya banyak pilihan.Di sisi lain, Dhuha masih mencerna ucapan Hakim barusan. Ini bukan permintaan yang biasa. Mencari calon istri dalam waktu tiga minggu saja sudah sulit, apalagi jika syaratnya adalah pernikahan pura-pura. Ia merebahkan diri di sofa sambil menatap langit-langit. Aini, yang baru saja selesai mandi, keluar dari kamar dan melihat ekspresi suaminya yang sedang berpikir keras."Kenapa bengong begitu?" tanya Aini sambil mengeringkan rambutnya.Dhuha menoleh dan tersenyum kecil. "Barusan Hakim nelepon. Dia butuh istri dalam tiga minggu."Aini mengernyit. "Istri? Maksud Mas, dia mau menikah? Emang Hakim punya ayang? ""Iya. Tapi bukan pernikahan yang sebenarnya. Dia
Hotel Mulia Sahabat sudah beroperasi sejak subuh. Para staf dengan cekatan mempersiapkan segala sesuatu untuk memastikan tamu mendapatkan pelayanan terbaik. Dari lobi yang dipenuhi dengan aroma kopi segar hingga restoran yang mulai menyajikan sarapan prasmanan, semuanya berjalan dengan rapi dan efisien. Hakim duduk di ruang rapat utama, menatap layar presentasi yang menunjukkan proyek ekspansi terbaru hotel mereka di Kota Malang."Baik, untuk grand opening di Malang, saya ingin semua berjalan sesuai jadwal. Pak Irwan, bagaimana progres renovasi gedungnya?" tanya Hakim dengan suara tegas namun tetap tenang."Alhamdulillah, Pak Hakim. Progresnya sudah mencapai 85 persen. Kami hanya tinggal menyelesaikan beberapa bagian interior dan pelatihan staf baru."Hakim mengangguk puas. "Bagus. Saya ingin kita pastikan bahwa pelayanannya tetap setara dengan standar hotel kita di kota lain. Bu Siska, bagaimana dengan marketingnya?""Sudah berjalan sesuai rencana, Pak. Kami sudah melakukan kampanye
Dhuha menatap ibunya dengan perasaan terluka. "Mama, jangan bicara seperti itu. Aku memilih Aini bukan karena sihir atau apapun yang Mama pikirkan. Aku memilihnya karena aku mencintainya. Mama, aku mohon, berhentilah mencurigainya tanpa bukti yang jelas. Aini tulus mencintaiku, Ma. Dulu kami berpisah karena aku yang tidak dewasa. Sekarang aku sudah dewasa dan paham. Aku gak mau sampai pernikahanku gagal lagi.""Kamu tidak pernah tahu kan, kenapa bisa cinta berat sama Aini? Kamu saja jarang solat. Orang yang jarang solat itu, mudah dimasukin jin." Dhuha menggelengkan kepala. Mamanya selalu saja keras kepala dan pasti tidak akan menerima pembelaan darinya. Maria menghela napas panjang. Ia ingin membantah, tetapi dalam hatinya, ia pun ragu. Foto-foto itu memang tampak mencurigakan, tetapi apakah itu cukup sebagai bukti bahwa Aini tidak layak untuk Dhuha? Apalagi setelah mendengar bahwa foto tersebut adalah foto lama."Mama akan mencari tahu lebih lanjut. Tapi untuk sekarang, Mama tidak
Setelah membaca pesan itu, Aini merasa hatinya mulai tidak tenang. Meskipun Dhuha sudah meyakinkannya bahwa ia akan selalu melindunginya, tetap saja perasaan gelisah itu tidak bisa hilang begitu saja. Ia mencoba mengabaikan rasa takutnya dan melanjutkan aktivitasnya, tetapi firasat buruk itu terus menghantuinya.Keesokan harinya, Aini dan Dhuha pergi ke Sentul seperti yang mereka rencanakan. Udara pagi yang sejuk dan pemandangan hijau pegunungan sedikit mengurangi kegelisahan yang masih tersisa dalam hati Aini. Mereka mengunjungi rumah yang akan segera menjadi milik mereka, sebuah hunian minimalis dengan halaman luas dan suasana yang tenang."Masya Allah, indah sekali," gumam Aini takjub.Dhuha tersenyum melihat ekspresi bahagia istrinya. "Aku ingin kamu bahagia di sini. Aku ingin kita membangun rumah tangga yang penuh ketenangan dan cinta."Aini menggenggam tangan suaminya erat. "Terima kasih, Mas. Aku tidak butuh rumah besar atau barang mewah, yang penting kita selalu bersama." Mesk
Dhuha menggeleng-geleng sambil tertawa, menarik Aini kembali ke dalam pelukannya. "Adek benar-benar bikin abang kalah terus ya?"Aini terkikik. "Bukannya kalah, tapi harusnya bangga punya istri cerdas."Dhuha mengecup kening istrinya lembut. "Iya, iya, abang bangga sekali."Mereka duduk berdua di ranjang, menikmati momen tenang setelah kejadian barusan. Aini bersandar di bahu Dhuha, memainkan jari-jarinya di telapak tangan suaminya. "Mas, menurutmu, Mama akan terus begini?"Dhuha menghela napas panjang. "Entahlah. Aku tahu Mama butuh waktu. Tapi aku yakin lama-lama beliau akan menerima kamu sepenuhnya."Aini mengangguk. "Aku tidak ingin buru-buru. Yang penting kita berdua tetap satu hati."Dhuha tersenyum. "Selalu."Sementara itu, di kamar Maria, wanita paruh baya itu duduk di depan cermin riasnya, memandangi wajahnya dengan ekspresi penuh pertimbangan. Ia memegang dompet pemberian Monic, mengelus permukaannya pelan. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan.Monic adalah kandidat
Aini tertawa kecil melihat ekspresi terkejut Dhuha. "Sudah, sekarang kita diam saja di dalam kamar, biarkan Mama dan Monic di luar."Dhuha menggelengkan kepala, tetapi akhirnya hanya bisa tersenyum pasrah. Ia menarik Aini ke dalam pelukannya, membiarkan istrinya bersandar di dadanya. "Kamu benar-benar tidak ada takutnya, ya?""Kenapa harus takut? Aku istrimu, sah di mata agama dan negara. Mau Mama undang Monic, Silvi, atau siapa pun, yang terpenting hatimu hanya untukku, kan?" goda Aini.Dhuha tertawa pelan. "Iya, iya. Kamu memang satu-satunya buatku.""Ada yang bilang, selama suami berpihak pada istri, jangankan pelakor, set an pun gak berani menggoda." Dhuha kembali tertawa. "Jadi, apa kita ada momen untuk bikin bayi siang-siang begini?" goda Dhuha. "Of, course, Sayang. Kali ini, aku di atas ya." Dhuha terbahak sambil menekan hidung istrinya karena gemas. Sementara itu, di ruang tamu, Maria menyambut Monic dengan senyuman ramah. Wanita itu terlihat anggun dengan gaun merah marunn
Setelah kunjungan mereka ke panti asuhan Cahaya Kasih, Dhuha dan Aini kembali ke rumah mereka yang nyaman. Hari itu terasa begitu indah bagi Aini, berbagi kebahagiaan dengan anak-anak di panti asuhan yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama.Sore itu, ketika mereka baru saja tiba di rumah, ponsel Dhuha bergetar. Nama yang tertera di layar membuatnya menghela napas panjang sebelum mengangkat panggilan itu. "Mama," sapanya pelan."Dhuha, Mama ingin bicara. Bisa Mama datang sekarang?" suara Maria terdengar lebih lembut dari biasanya.Dhuha melirik Aini yang sedang menata beberapa barang di ruang tamu. Ia mengangguk kecil seolah mengizinkan, meski tak tahu apa yang akan dibahas mamanya kali ini. "Baik, Ma. Mama ke sini sekarang?""Ya, tunggu Mama sebentar.""Kenapa, Mas?" tanya Aini sambil menatap suaminya. "Mama mau berkunjung ke sinu." Aini mengangguk. "Terus kenapa?""Kamu gak papa?" tanya Dhuha khawatir. "Ish, Mama itu juga mamaku sekarang