Hari-hari di Panti Asuhan Cahaya Kasih menjadi jauh lebih sunyi bagi Aini. Setelah percakapan terakhir dengan Erwin, ia terpaksa menerima kenyataan pahit: ia tetap menjadi istri Erwin, namun harus berbagi peran dengan Diana, wanita yang begitu jelas tak menginginkannya ada.Keputusan itu bukan pilihan yang Aini buat dengan hati ringan, melainkan pengorbanan demi menghormati Nara, sosok yang sudah ia anggap seperti ibu sendiri.Namun, hidup sebagai istri kedua sama sekali tidak mudah. Erwin semakin jarang bicara dengannya, dan jika pun mereka berbicara, nada suara pria itu dingin dan sering kali terdengar seperti perintah. Diana, di sisi lain, dengan terang-terangan memandang Aini sebagai ancaman.Suatu pagi, Aini sedang sibuk menyusun berkas administrasi yayasan di ruang kerja kecil di lantai dua. Diana tiba-tiba masuk tanpa mengetuk, membawa tumpukan pakaian di tangannya."Aini!" panggil Diana dengan nada tinggi.Aini menoleh cepat, berdiri dari kursinya. "Ada apa, Kak Diana?""Pakai
"Kak Diana! Apa yang terjadi?!" Aini segera berlutut, mencoba membantu Diana duduk. Wanita itu msih terus memegang perutnya. Aini pun ikut gemetar dan takut. Keringat tiba-tiba membanjiri kening dan lehernya. Diana tidak menjawab. Ia hanya menangis, mengerang, dan mencengkeram tangan Aini dengan kuat. "Tolong... perutku sakit... darah...!"Tanpa berpikir panjang, Aini memanggil Pak Zainal penjaga panti untuk membantu mengangkat Diana ke mobil. Dengan tangan gemetar, Pak Zainal menyetir secepat mungkin menuju rumah sakit terdekat. Dalam perjalanan, Diana terus merintih kesakitan, suaranya memecah keheningan malam."Aku tidak mau kehilangan dia!" isak Diana, matanya berlinang air mata."Sabar, Kak. Kita hampir sampai," jawab Aini, meski hatinya berdegup kencang. Ia tak tahu apa yang sedang terjadi, namun rasa paniknya tak bisa ia kendalikan."Kalian terlalu lama, aku takut... Aarg!""I-iya, Mbak, sedikit lagi sampai. Maaf, ini tumben macet sekali," tambah pak Zainal. Sesampainya di ru
Diana duduk di sofa ruang keluarga, menatap Erwin dengan mata penuh amarah. Tangannya yang kurus mengepal erat di atas meja, napasnya pendek-pendek."Berapa lama lagi aku harus bersabar, Mas?" tanyanya dingin. "Kamu bilang pernikahan ini hanya formalitas, tapi lihat apa yang terjadi. Dia masih di sini, menjalani hidup seperti istrimu yang sah. Ibumu juga sangat membelanya." Diana melipat kedua tangannya di dada. Erwin mendesah panjang, menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Sayang, aku sudah bilang, ini tidak semudah itu. Sabar sedikit lagi ya.""Tidak semudah itu?" Diana mencemooh, matanya menyala. "Kalau memang hanya formalitas, kenapa kamu tidak bisa mengusirnya? Apa kamu lupa? Dia hanya istri kedua yang bahkan tidak pantas ada di sini!"Erwin memijat pelipisnya, mencoba menahan kesabarannya yang mulai terkikis. "Diana, aku tidak bisa begitu saja menyuruhnya pergi. Kamu tahu bagaimana ibu memandang Aini. Dia menganggap Aini seperti anak sendiri. Kalau aku tiba-tiba menceraikannya atau
Tiga tahun kemudian…Aini berdiri di dapur, mengaduk panci besar berisi bubur yang ia siapkan untuk makan siang anak-anak panti. Asap mengepul, memenuhi ruangan kecil itu dengan aroma sederhana. Meski lelah, ia tetap memastikan makanan itu matang sempurna. Namun, hatinya terasa berat. Ia tahu bubur itu tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi anak-anak.Tiga tahun yang lalu, ia masih disibukkan dengan agenda kursus anak-anak panti dan juga berhubungan dengan donatur, meskipun ia bukan orang sekolahan. Namun, kini ia hanya bisa berdiri di depan kompor dan mesin cuci. “Aini, jangan terlalu banyak pakai susu,” suara Diana terdengar dari ambang pintu. Perempuan itu berdiri dengan tangan terlipat, matanya mengawasi setiap gerakan Aini.Aini menoleh, mencoba menahan perasaan kesal yang muncul. “Kalau susu tidak cukup, anak-anak akan semakin kekurangan gizi. Anak-anak terlihat kurus, Kak. Sudah ada donatur yang berkomentar."“Jangan berlagak tahu segalanya,” Diana memotong tajam. “Aku
Pagi itu, suasana di panti yatim piatu milik Nara sedikit lebih riuh dari biasanya. Anak-anak berlarian ke halaman, saling bersahutan dengan suara ceria. Mereka jarang terlihat seantusias ini. Sebuah mobil hitam baru saja berhenti di depan gerbang panti, dan seorang pria bertubuh tinggi, berkulit cerah, serta berpenampilan rapi keluar dari kendaraan itu.Pria itu adalah kakak sulung Erwin yang telah menetap di luar negeri selama beberapa tahun terakhir. Meskipun jarang pulang, Rio selalu mengirimkan kabar dan sumbangan untuk membantu panti. Namun kali ini, ia datang karena ingin melihat kondisi ibunya. “Om Rio!” teriak salah satu anak kecil sambil berlari ke arahnya.Rio tersenyum hangat, menunduk untuk mengangkat bocah itu ke pelukannya. “Hei, Nia, kamu makin besar ya!” ucapnya dengan tawa ringan."Udah, dong, Om Rio juga udah besar." Rio tertawa. "Bukan sudah besar, Nia, tapi sudah tua." Rio pum tertawa. Anak-anak yang lain mengikuti gerakan Nia yang mencium punggung tangan Rio.
Keesokan paginya, Rio memutuskan untuk mulai menyelidiki laporan keuangan panti yang baru dikirim oleh Diana. Ia tahu bahwa masalah terbesar yang disampaikan ibunya adalah mengenai kebutuhan anak-anak panti yang tidak terpenuhi. Hal ini hanya bisa dijelaskan jika ia menemukan sesuatu yang tidak beres dalam pengelolaan dana panti yang semuanya diatur oleh Diana. Rio langsung menuju ruang kantor yang biasa digunakan oleh Diana. Ia menemukan meja yang penuh dengan tumpukan kertas, dokumen, dan beberapa map yang terlihat acak-acakan. Saat membuka laci, ia menemukan sebuah buku besar yang tampaknya menjadi catatan keuangan utama panti.Ia membawa buku itu ke ruang tamu dan mulai memeriksa halaman demi halaman. Di situ, tercatat pemasukan dari donatur tetap, sumbangan insidental, serta beberapa pengeluaran utama seperti makanan, pakaian, dan biaya operasional. Namun, semakin lama ia membaca, semakin banyak hal yang mencurigakan.Rio memusatkan perhatiannya pada kolom pengeluaran. Di sana
Ganteng, tinggi, putih, baik, murah senyum, siapa yang gak suka melihat pemandangan pria seperti itu? Diana berdiri di balkon lantai dua, memandang ke halaman panti tempat Rio sedang bermain bola dengan anak-anak. Ia tidak bisa memungkiri, ada sesuatu pada pria itu yang menarik perhatiannya. Wajah tampannya, sikap tegasnya, dan bagaimana ia memperhatikan anak-anak membuat Diana semakin sulit mengalihkan pikirannya.Berbeda sekali dengan suaminya yang memang cukup ramah pada anak-anak panti, tapi gesturnya tidak seluwes Rio. “Aku tidak mengerti kenapa dia selalu mempermasalahkanku,” gumam Diana sambil memandangi Rio yang tertawa bersama anak-anak.Meskipun Rio sering menegurnya karena ketidakpeduliannya terhadap panti, Diana tidak pernah benar-benar merasa terganggu. Sebaliknya, ia justru menikmati setiap interaksi mereka, bahkan yang penuh ketegangan sekalipun.Kenapa sampai sekarang, pria itu belum menikah? Sepertinya wanita manapun yang ia tunjuk jadi istri, pasti akan langsung se
Hari-hari berlalu, dan ketegangan di panti asuhan semakin terasa. Diana semakin sering menunjukkan sikap tidak peduli terhadap anak-anak panti. Ia juga semakin terang-terangan memperhatikan Rio, meskipun pria itu selalu menjaga jarak. Diana terlihat cari perhatian saat di depan Rio. Ia akan bersikap manis pada anak-anak jika Rio ada di sana, tapi ketika Rio tidak ada, Diana kembali acuh. Aini menyaksikan semua itu dengan perasaan campur aduk. Di tengah kehidupannya yang sudah penuh tekanan, ia tetap berusaha menjalani hari-harinya di dapur dan merawat anak-anak dengan sepenuh hati. Meski kehadiran Rio membawa sedikit ketenangan, ia tahu bahwa situasinya tidak akan bertahan lama tanpa adanya perubahan besar."Besok saya sudah mulai bekerja, Ai," kata Rio saat menghampiri Aini yang tengah menyiram tanaman. "Oh, ya, Mas, Alhamdulillah. Kerjaan Mas yang lama bagaimana? Apa maksudnya Mas kembali kerja di luar negeri gitu?" Rio menggeleng. "Di sini, mungkin naik motor sekitar empat pulu
Pagi itu seharusnya berjalan seperti biasa—sarapan bersama, mengantar Aris ke sekolah, dan Anton berangkat kerja. Namun, suasana rumah justru dipenuhi suara tangisan keras dari anak berusia lima tahun itu."Aku mau ke rumah Ibu!" Aris merengek sambil menarik ujung kausnya. Matanya yang sembab menunjukkan betapa kerasnya ia menangis sejak bangun tidur.Amel memijat keningnya, mencoba bersabar menghadapi rengekan anak sambungnya. Ia sudah berusaha menjadi ibu yang baik bagi Aris, tetapi setiap kali anak itu menyebut nama Luna, ada rasa kesal yang menggelitik perasaannya."Aris, Nak, kamu harus sekolah dulu. Setelah itu, kita lihat nanti," ujar Amel, berusaha menenangkan."Tidak! Aku mau ke rumah Ibu sekarang!" Aris berteriak.Amel menghembuskan napas panjang. "Aris, sudah cukup. Bunda tidak suka kalau kamu berteriak seperti itu. Sekarang bersiaplah untuk sekolah."Aris menggeleng keras. "Aku nggak mau sekolah! Aku mau ke rumah Ibu! Aku udah lama gak ketemu ibu, Bunda. Waktu itu ibu saki
"Aini! Mama!" Dhuha refleks menangkap tubuh ibunya yang hampir jatuh ke lantai. Wajah Maria pucat, napasnya tersengal.Aini yang juga panik langsung berjongkok di samping suaminya. "Mas, kita harus bawa Mama ke rumah sakit!"Dhuha mengangguk cepat. Tanpa membuang waktu, ia mengangkat tubuh ibunya ke dalam gendongan. Aini berlari lebih dulu untuk menekan tombol lift.Saat pintu lift terbuka, mereka masuk dengan tergesa. Dhuha terus memegangi tubuh Maria yang lemas dalam dekapannya, sementara Aini mencoba menenangkan dirinya sendiri. Meski ia kesal dengan Maria, tapi bagaimanapun wanita itu adalah ibu mertuanya.Begitu sampai di basement, Dhuha langsung membawa Maria ke kursi belakang mobil. Aini dengan cepat masuk ke kursi pengemudi dan menyalakan mesin."Aku yang nyetir, Mas. Kamu fokus ke Mama," ucap Aini cepat."Sayang, kamu gak papa?" Aini mengangguk cepat. Dhuha tak membantah. Ia terus mengecek denyut nadi dan suhu tubuh Maria. "Ma, bertahan, ya," bisiknya.Maria hanya mengerang
"Monic, kenapa suara kamu lemes gitu, Sayang? kamu sakit?""Iya, Tante, saya lagi sakit. Gak bisa bangun dari ranjang. Sayang bibik yang bisa nemenin di apartemen mendadak pulang kampung.""Ya, ampun, Sayang, kasihan sekali kamu. Berarti sekarang kamu sendirian?""Iya, Tante, uek! uek!""Ya ampun, b-begini, mungkin Tante akan ke sana minta dianter Dhuha.""Jangan, Tante, Tante masih sakit.""Tante udah enakan kok, kamu jangan sungkan."Suara lirih itu keluar dari ponsel Maria, membuat hatinya tergerak. Monic adalah gadis yang sangat ia harapkan menjadi menantu. Menikah dengan Dhuha, tetapi putranya malah memilih Aini, mantan istrinya. Maria keluar dari kamarnya. Dhuha baru saja selesai meeting melalui zoom karena hari ini ia WFA."Dhuha, kamu bisa antar Mama ke apartemen Monic? Dia sakit," pinta Maria kepada putra tunggalnya yang sedang duduk di ruang tamu, menikmati teh sore bersama Aini.Dhuha terdiam sejenak, menatap mamanya yang baru saja pulih dari sakitnya sendiri. "Ma, Mama ka
Anton terdiam, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tidak menyangka Amel akan berkata sejauh itu.“Amel, jangan seperti ini. Aku—”“Kamu pikir aku tidak serius?” potong Amel dengan suara dingin. “Aku sudah cukup bersabar, Mas. Aku sudah berusaha memahami. Tapi aku bukan wanita bodoh yang akan membiarkan suaminya terus terikat dengan masa lalunya.”Anton mengusap wajahnya, merasa buntu. Ia tahu Amel berhak marah, tapi bukan seperti ini caranya."Amel, aku mencintaimu. Aku nggak mau kehilanganmu," ucap Anton dengan nada putus asa.“Tapi kamu juga nggak bisa meninggalkan Luna, kan?” Amel mengejek. “Setiap dia butuh kamu, kamu selalu ada di sana. Kamu nggak pernah benar-benar melepaskan dia, Mas. Apa sebenarnya kamu masih punya perasaan dengannya?"Anton terdiam. Dalam hati, ia tahu ada kebenaran dalam ucapan Amel.Amel tidak menunggu lebih lama. Setelah menutup telepon, ia segera mengambil tas dan menyambar kunci mobilnya. Amarah membakar hatinya. Ia harus menyelesaikan ini,
Amel masih terpaku dalam diam. Pikirannya terus berkecamuk, seolah ada dua suara yang beradu di kepalanya. Satu suara ingin mempercayai Anton, ingin mencoba memahami situasinya. Tapi suara lainnya terus meneriakkan ketakutan terbesar yang selalu berusaha ia abaikan—bahwa dirinya hanyalah pelarian, bahwa Anton akan kembali pada Luna, bahwa semua janji dan harapan yang ia bangun dengan Anton akan runtuh begitu saja.Hakim, yang masih duduk di sampingnya, menatap adiknya dengan penuh pemahaman. Ia mengerti apa yang dirasakan Amel, tapi ia juga tahu bahwa membiarkan rasa cemburu dan sakit hati menguasai pikiran hanya akan memperburuk keadaan."Kamu nggak bisa terus seperti ini, Mel," ucap Hakim lembut. "Kalau memang kamu sayang sama Anton, kalau kamu percaya sama dia, kamu harus bicara langsung. Tatap matanya, dengarkan penjelasannya. Jangan biarkan ketakutanmu merusak pernikahan kalian."Amel menghela napas panjang. "Mas nggak ngerti... Ini bukan cuma soal percaya atau nggak. Ini soal pe
Anton menatap layar ponselnya yang kini gelap setelah Amel menutup telepon dengan kasar. Dadanya terasa sesak. Ia tahu Amel marah—bukan hanya marah, tapi juga kecewa dan merasa dikhianati. Namun, meninggalkan Luna dalam kondisi seperti ini? Itu bukan pilihan.Ia mendesah panjang, menatap Aris yang masih menunggu jawaban darinya. Mata polos anak itu dipenuhi kebingungan."Bapak,di perut Ibu beneran ada adiknya Aris, ya?"Anton menelan ludah. Ia berjongkok, menyamakan tinggi dengan putranya, lalu menggenggam tangan kecilnya dengan lembut."Iya, Nak," jawabnya pelan. "Ibu hamil, dan kamu akan punya adik." Ia terpaksa mengatakan hal ini pada Aris, karena putranya terlanjur mendengar ucapan dokter tadi. Aris terdiam, seakan mencoba memahami kata-kata ayahnya. Perlahan, ia menatap perut ibunya yang masih tertutup selimut."Adiknya Aris siapa?" tanyanya polos.Anton tersenyum tipis. "Kita belum tahu. Nanti kalau sudah lahir, baru bisa kita beri nama."Anak itu tampak berpikir sebentar sebel
“Ibu, kok perut Ibu buncit? ada adiknya ya?”Luna yang sedang duduk di sofa, mengelus perutnya refleks, menatap anak lelakinya, Aris, dengan senyum tipis. Bocah lima tahun itu baru saja tiba di apartemennya untuk menghabiskan akhir pekan bersama. Namun, ketajaman mata anak sekecil itu ternyata bisa menangkap perubahan pada tubuhnya.“Ibu cuma kekenyangan, Sayang,” Luna berusaha mengelak, mengacak rambut Aris pelan.“Tapi perut Ibu gendut banget. Apa Ibu gemuk?,” protes Aris, mendekatkan wajahnya ke perut Luna, seakan ingin mendengar sesuatu dari dalam sana. “Apa ada adik di dalamnya?”Luna menelan ludah, menahan debar yang tiba-tiba memenuhi dadanya. Ia belum siap menghadapi pertanyaan seperti ini, apalagi dari Aris yang masih polos.“Aris, Ibu cuma makan kebanyakan tadi. Makanya perut Ibu begini,” katanya, mencoba terdengar santai.Namun, ekspresi Aris masih penuh selidik. Ia memiringkan kepala kecilnya, lalu mengangkat bahu. “Ya udah. Tapi kalau nanti Ibu perutnya makin sakit, bil
Aku mengambil piring dim sum yang diulurkan Pak Alex, uap panasnya masih mengepul, dan aroma jahe yang khas tercium samar. Hatiku masih berdebar dengan apa yang baru saja terjadi. Aku sudah menerima lamarannya di hadapan keluarganya, tapi aku masih butuh waktu untuk benar-benar menyesuaikan diri dengan semua ini.“Terima kasih, Pak,” ucapku pelan.Pak Alex tersenyum, lalu duduk di sebelahku di sofa ruang keluarga. Lampu temaram memberikan suasana hangat di ruangan ini. Dari kamar anak-anak, terdengar suara Intan yang bergumam dalam tidurnya. Aku tersenyum kecil, membayangkan bagaimana nanti kehidupanku akan berubah sepenuhnya setelah pernikahan ini.Malam ini pak Alex memutuskan untuk menginap di rumah bu Asma karena ingin menemani mamanya. Lagian, saudara masih pada asik bercakap-cakap. Tentu pak Alex tidak mungkin pulang begitu saja. Aku tersenyum melihat ke arah pintu masuk rumah besar bu Asma. Sebentar lagi, aku bukan hanya pengasuh cucunya, tapi aku akan menjadi menanti beliau .
POV ZitaAku masih berdiri di ruang tamu, memandangi punggung Pak Alex yang baru saja masuk ke kamar setelah pembicaraan kami. Hatiku masih berdebar kencang, seakan tak percaya dengan keputusan yang baru saja aku ambil.Menikah lagi.Itu adalah sesuatu yang tidak pernah aku pikirkan sejak pernikahan pertamaku berakhir dengan begitu banyak luka. Aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak terjebak dalam hubungan yang bisa menyakitiku lagi. Aku ingin hidup tenang, cukup dengan pekerjaanku dan anak-anak Pak Alex yang sudah seperti keluarga bagiku.Tapi Pak Alex…Dia datang dengan tawaran yang berbeda. Bukan dengan janji-janji manis, bukan dengan rayuan. Hanya dengan kejujuran dan rasa tanggung jawab yang bisa aku lihat dari caranya memperlakukan anak-anaknya.Aku kembali duduk di sofa, menatap ke arah tanganku yang saling menggenggam.Apakah aku melakukan kesalahan?Aku menggeleng pelan, mencoba menepis keraguan yang mulai mengusik. Aku sudah memikirkannya selama berhari-hari. Aku s