Tiga tahun kemudian…Aini berdiri di dapur, mengaduk panci besar berisi bubur yang ia siapkan untuk makan siang anak-anak panti. Asap mengepul, memenuhi ruangan kecil itu dengan aroma sederhana. Meski lelah, ia tetap memastikan makanan itu matang sempurna. Namun, hatinya terasa berat. Ia tahu bubur itu tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi anak-anak.Tiga tahun yang lalu, ia masih disibukkan dengan agenda kursus anak-anak panti dan juga berhubungan dengan donatur, meskipun ia bukan orang sekolahan. Namun, kini ia hanya bisa berdiri di depan kompor dan mesin cuci. “Aini, jangan terlalu banyak pakai susu,” suara Diana terdengar dari ambang pintu. Perempuan itu berdiri dengan tangan terlipat, matanya mengawasi setiap gerakan Aini.Aini menoleh, mencoba menahan perasaan kesal yang muncul. “Kalau susu tidak cukup, anak-anak akan semakin kekurangan gizi. Anak-anak terlihat kurus, Kak. Sudah ada donatur yang berkomentar."“Jangan berlagak tahu segalanya,” Diana memotong tajam. “Aku
Pagi itu, suasana di panti yatim piatu milik Nara sedikit lebih riuh dari biasanya. Anak-anak berlarian ke halaman, saling bersahutan dengan suara ceria. Mereka jarang terlihat seantusias ini. Sebuah mobil hitam baru saja berhenti di depan gerbang panti, dan seorang pria bertubuh tinggi, berkulit cerah, serta berpenampilan rapi keluar dari kendaraan itu.Pria itu adalah kakak sulung Erwin yang telah menetap di luar negeri selama beberapa tahun terakhir. Meskipun jarang pulang, Rio selalu mengirimkan kabar dan sumbangan untuk membantu panti. Namun kali ini, ia datang karena ingin melihat kondisi ibunya. “Om Rio!” teriak salah satu anak kecil sambil berlari ke arahnya.Rio tersenyum hangat, menunduk untuk mengangkat bocah itu ke pelukannya. “Hei, Nia, kamu makin besar ya!” ucapnya dengan tawa ringan."Udah, dong, Om Rio juga udah besar." Rio tertawa. "Bukan sudah besar, Nia, tapi sudah tua." Rio pum tertawa. Anak-anak yang lain mengikuti gerakan Nia yang mencium punggung tangan Rio.
Keesokan paginya, Rio memutuskan untuk mulai menyelidiki laporan keuangan panti yang baru dikirim oleh Diana. Ia tahu bahwa masalah terbesar yang disampaikan ibunya adalah mengenai kebutuhan anak-anak panti yang tidak terpenuhi. Hal ini hanya bisa dijelaskan jika ia menemukan sesuatu yang tidak beres dalam pengelolaan dana panti yang semuanya diatur oleh Diana. Rio langsung menuju ruang kantor yang biasa digunakan oleh Diana. Ia menemukan meja yang penuh dengan tumpukan kertas, dokumen, dan beberapa map yang terlihat acak-acakan. Saat membuka laci, ia menemukan sebuah buku besar yang tampaknya menjadi catatan keuangan utama panti.Ia membawa buku itu ke ruang tamu dan mulai memeriksa halaman demi halaman. Di situ, tercatat pemasukan dari donatur tetap, sumbangan insidental, serta beberapa pengeluaran utama seperti makanan, pakaian, dan biaya operasional. Namun, semakin lama ia membaca, semakin banyak hal yang mencurigakan.Rio memusatkan perhatiannya pada kolom pengeluaran. Di sana
Ganteng, tinggi, putih, baik, murah senyum, siapa yang gak suka melihat pemandangan pria seperti itu? Diana berdiri di balkon lantai dua, memandang ke halaman panti tempat Rio sedang bermain bola dengan anak-anak. Ia tidak bisa memungkiri, ada sesuatu pada pria itu yang menarik perhatiannya. Wajah tampannya, sikap tegasnya, dan bagaimana ia memperhatikan anak-anak membuat Diana semakin sulit mengalihkan pikirannya.Berbeda sekali dengan suaminya yang memang cukup ramah pada anak-anak panti, tapi gesturnya tidak seluwes Rio. “Aku tidak mengerti kenapa dia selalu mempermasalahkanku,” gumam Diana sambil memandangi Rio yang tertawa bersama anak-anak.Meskipun Rio sering menegurnya karena ketidakpeduliannya terhadap panti, Diana tidak pernah benar-benar merasa terganggu. Sebaliknya, ia justru menikmati setiap interaksi mereka, bahkan yang penuh ketegangan sekalipun.Kenapa sampai sekarang, pria itu belum menikah? Sepertinya wanita manapun yang ia tunjuk jadi istri, pasti akan langsung se
Hari-hari berlalu, dan ketegangan di panti asuhan semakin terasa. Diana semakin sering menunjukkan sikap tidak peduli terhadap anak-anak panti. Ia juga semakin terang-terangan memperhatikan Rio, meskipun pria itu selalu menjaga jarak. Diana terlihat cari perhatian saat di depan Rio. Ia akan bersikap manis pada anak-anak jika Rio ada di sana, tapi ketika Rio tidak ada, Diana kembali acuh. Aini menyaksikan semua itu dengan perasaan campur aduk. Di tengah kehidupannya yang sudah penuh tekanan, ia tetap berusaha menjalani hari-harinya di dapur dan merawat anak-anak dengan sepenuh hati. Meski kehadiran Rio membawa sedikit ketenangan, ia tahu bahwa situasinya tidak akan bertahan lama tanpa adanya perubahan besar."Besok saya sudah mulai bekerja, Ai," kata Rio saat menghampiri Aini yang tengah menyiram tanaman. "Oh, ya, Mas, Alhamdulillah. Kerjaan Mas yang lama bagaimana? Apa maksudnya Mas kembali kerja di luar negeri gitu?" Rio menggeleng. "Di sini, mungkin naik motor sekitar empat pulu
Pagi itu, suasana meja makan terasa lebih hangat dari biasanya. Rio sedang sibuk membantu Aini menyiapkan makanan, sementara Erwin duduk sambil membaca koran. Diana, yang biasanya terlambat bangun, pagi ini datang lebih awal dan langsung duduk di sebelah suaminya. Aini yang sibuk di dapur membawa hidangan terakhir, memastikan semua sudah tersedia untuk mereka."Mas Erwin, mau tambah kopi?" tanya Diana dengan suara manis.Erwin menggeleng sambil tersenyum. "Tidak, terima kasih. Perutku terlalu penuh nanti. Mas Rio mungkin mau?" Erwin menatap Rio. "Aku tidak bisa minum kopi terlalu pagi," jawab Rio. Rio melirik Diana, yang tampak lebih ceria dari biasanya. Ia hanya menggeleng pelan, tak ingin terlibat lebih jauh dalam urusan rumah tangga adiknya. Aini, yang berdiri tak jauh dari meja makan, memperhatikan kehangatan itu dengan hati yang berat.Beberapa tahun lalu, ia pernah berhayal bahwa suatu hari ia akan mendapatkan keluarga utuh layaknya orang lain. Bercerita, tertawa, berdiskusi
Pagi itu, suasana di meja makan terasa tegang. Diana duduk dengan wajah murung, sesekali mengelus perutnya yang masih rata. Erwin tampak tidak sabar, terus menatap Aini yang sedang menyiapkan sarapan di dapur. Rio duduk di sisi lain meja, mengamati situasi tanpa bicara."Aini!" suara Erwin terdengar tajam, memecah keheningan.Aini menghentikan gerakannya, menoleh dengan wajah cemas. "Ya, Mas Erwin?""Masih lama? Istriku ini udah lapar." Erwin sedikit berteriak pada Aini. "Masih.""Kenapa?""Saya masak untuk semua orang yang ada di panti dan anggota rumah. Bibik yang biasa bantu-bantu dipecat Kak Diana, jadi saya repot. Kalau mau cepat, Mas Erwin bantuin saya!" Suara Aini pun terdengar bernada kesal. “Kamu ini bagaimana? Diana bilang kamu bersikap kasar padanya kemarin. Dia hamil muda, Aini. Kamu seharusnya lebih hati-hati,” kata Erwin dengan nada penuh teguran.Aini tertegun, berusaha mengingat apa yang mungkin ia lakukan salah. “Saya tidak bermaksud kasar, Mas. Saya hanya mengingat
Suasana rumah terasa berbeda pagi itu. Erwin yang biasanya penuh energi terlihat lemas terbaring di kamar. Sejak semalam, tubuhnya demam tinggi. Diana, yang sedang hamil muda, hanya bisa duduk di sofa ruang tamu dengan wajah lelah, sementara Rio sibuk berkeliling memastikan anak-anak panti mendapatkan perhatian yang cukup sebelum ia berangkat ke kantor. Aini berada di dapur, mengaduk bubur di panci dengan gerakan lamban. Rasa kesalnya tidak bisa ia sembunyikan. Siapa lagi kalau bukan tentang Diana dan Erwin. “Kenapa harus aku lagi?” gumam Aini dengan nada gerutu. Ia memindahkan bubur ke dalam mangkuk sambil menghela napas panjang. “Dia suami Diana, bukan aku. Tapi kenapa aku yang harus turun tangan? Giliran sakit, baru ngandelin aku!"Meski hatinya kesal, Aini tetap melangkahkan kaki menuju kamar Erwin. Ia tahu Rio yang memintanya dan bagaimanapun, ia tidak bisa menolak permintaan Rio, terutama karena Rio sudah banyak membantunya selama ini.Saat Aini masuk ke kamar, Erwin terbaring
Hari itu, matahari bersinar lembut, seolah ikut merayakan kebahagiaan yang memenuhi hati Aini dan Dhuha. Kabar kehamilan Aini menjadi hadiah yang tidak pernah mereka sangka akan datang secepat ini. Setelah bertahun-tahun penantian dan berbagai ujian, akhirnya doa mereka terjawab.Setelah meninggalkan klinik, Dhuha tidak henti-hentinya menggenggam tangan Aini. Tatapan matanya penuh dengan cinta dan rasa syukur.“Aku masih tidak percaya, Sayang,” gumamnya sambil mencuri pandang ke arah istrinya yang duduk di sebelahnya di dalam mobil.Aini tersenyum, meski air matanya belum benar-benar kering. “Aku juga, Mas. Sepertinya Allah benar-benar ingin menguji kesabaran kita sebelum akhirnya memberikan anugerah ini.”Dhuha mengangguk. “Dan kamu lulus ujian itu dengan begitu sabar dan tulus.”Aini menatap suaminya. “Bukan cuma aku. Kita berdua.”Sesampainya di rumah, Dhuha langsung menghubungi keluarganya. Maria awalnya tidak percaya, tapi saat Dhuha menunjukkan foto USG Aini, maka wanita paruh b
Ria berdiri tidak jauh dari meja mereka, mengenakan blouse berwarna pastel dan rok panjang yang anggun. Wajahnya tampak terkejut, tetapi segera berubah menjadi senyum hangat saat ia mendekat."Aku tidak menyangka akan bertemu kalian di sini," katanya sambil menarik kursi kosong di samping Aini.Dhuha hanya mengangguk kecil. Ia masih merasa canggung setiap kali bertemu Ria, mengingat alasan keberadaan wanita itu dalam hidup mereka. Sementara itu, Aini mencoba tersenyum, meski di dalam hatinya ada perasaan tak nyaman yang berputar."Kak Aini, bagaimana kabarmu?" tanya Ria, nada suaranya lembut dan penuh perhatian."Baik, meskipun sedikit tidak enak badan hari ini," jawab Aini sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.Dhuha menatap istrinya dengan cemas. "Kalau masih merasa pusing, kita pulang saja, Sayang. Istirahat lebih penting."Aini menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Mas. Aku justru senang bertemu Ria di sini."Mata Ria menatap Dhuha dan Aini bergantian. Ia bisa merasakan ketegangan yan
Sore itu, langit menguning keemasan, memberi nuansa hangat yang kontras dengan perasaan Dhuha yang penuh beban. Ia melangkah menuju rumah besar yang sudah sejak kecil ia tinggali, rumah tempat ibunya, Maria, menunggunya dengan segudang pertanyaan yang selalu ia hindari."Duduklah, Nak," Maria mempersilakan putranya duduk di kursi teras yang nyaman. Di hadapannya, teh melati mengepul, menebar aroma menenangkan. Namun, Dhuha tahu, pembicaraan kali ini tidak akan senyaman teh itu."Apa kabar, Ma?" tanya Dhuha, mencoba mencairkan suasana. Pria itu membuka sepatunya, sekaligus melepas dua kancing kemeja abu-abunya paling atas. "Mama sehat, kamu minum dulu!" Dhuha mengangguk. Mengambil teh melati yang aromanya sangat sedap itu. "Mama bikin pisang goreng?" "Bukan, bibik yang masak. Kamu cuci tangan dulu sana, kalau mau makan pisang goreng." Dhuha mengangguk dan langsung masuk ke dalam rumah. Ia mencuci tangan di wastafel ruang tengah. "Keliatannya Mama sehat, ada apa Mama panggil aku ke
Aini meraih tangan Alex dan menjabatnya pelan. Kesepakatan ini mungkin bukan yang terbaik baginya, tapi setidaknya ini adalah langkah awal untuk bisa kembali dekat dengan anak-anaknya."Terima kasih, Mas," ucapnya dengan suara nyaris berbisik.Alex mengangguk tanpa ekspresi, sementara Zita masih menampilkan senyum ramahnya. Dhuha yang duduk di samping Aini tetap tenang, meskipun tatapannya sesekali bergeser pada Zita, menilai bagaimana wanita itu bersikap."Kapan aku bisa mulai bertemu mereka?" tanya Aini hati-hati.Alex menatap Zita sejenak, seolah meminta pendapatnya."Bagaimana kalau akhir pekan ini? Hari Sabtu setelah makan siang? Kita bisa bertemu di taman dekat rumah," usul Zita."Anak-anak pasti senang sekali," tambahnya masih dengan senyum yang sama. Aini tersenyum lega. "Baik, aku akan datang."Percakapan pun berlanjut dengan membahas hal-hal ringan mengenai kegiatan anak-anak. Zita dengan santai bercerita bagaimana Intan kini semakin menyukai menggambar dan Izzam mulai tert
Mobil sedan hitam itu berhenti di halaman rumah besar dengan taman yang tertata rapi. Anton menatap bangunan megah itu dengan napas berat. Sudah lebih dari sebulan Amel tinggal di sini, di rumah orang tuanya, meninggalkan rumah mereka yang seharusnya menjadi tempat membangun kebahagiaan bersama.Anton turun dari mobil, mengetuk pintu dengan sedikit ragu. Tak lama, seorang asisten rumah tangga membukakan pintu.“Masuklah, Mas. Mbak Amel ada di ruang tamu,” katanya dengan sopan.Anton melangkah masuk, mendapati Amel duduk di sofa, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Sejujurnya, ia sudah mengira istrinya akan bereaksi seperti ini.“Assalamualaykum, Amel…” Anton membuka suara, suaranya bergetar. Kakinya melangkah pelan, sesekali melirik ruang tengah yang besar itu teramat sepi. Amel duduk di depan televisi dengan tatapan kosong. "Amel," panggil Anton lagi. Amel menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar ponselnya tanpa minat. “Ada perlu apa datang ke sini?” tanya wanita itu sinis. Anton m
Pagi harinya, Aini bangun dengan tubuh lebih segar, meski pikirannya masih penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Setelah menunaikan salat subuh berjamaah dengan Dhuha, ia menyiapkan sarapan sederhana berupa roti panggang dan omelet.Dhuha duduk di meja makan sambil menggulir layar ponselnya. Sesekali ia menatap Aini sambil tersenyum. "Aku selalu senang kalau lihat rambut kamu basah." Aini yang sedang mengangkat roti dari panggangan, langsung menoleh ke belakang. "Dih, dingin tahu!" balasnya sambil tersipu malu. Malu bila ingat kejadian semalam, ia yang terlalu bersemangat sampai mereka berdua jatuh dari ranjang. Suara tawa Dhuha menggema. "Tapi aku suka sama yang semalam. Boleh diulang dia hari lagi ha ha ha.... ""Emmoh!" Aini menaruh piring yang sudah ada roti panggang coklat di depan suaminya. "Diulang gerakannya, bukan jatohnya, ha ha ha... huk! huk!""Makanya jangan iseng, jadinya tersedak!" Aini memberikan air putih pada suaminya. "Maaf, Sayang, kenapa sih, aku selal
Aini menghapus air matanya dengan ujung jari, berusaha menenangkan diri. Dhuha masih menggenggam tangannya erat, memberikan kehangatan di tengah gemuruh emosinya. Dari kejauhan, ia memperhatikan Intan dan Izzam berjalan masuk ke dalam gerbang sekolah, sesekali menoleh ke belakang untuk melambaikan tangan pada wanita yang mengantar mereka.Siapa dia? Wanita itu tersenyum hangat, begitu akrab dengan Intan dan Izzam. Aini menelan ludah. Ada perasaan aneh yang menjalar di hatinya—perasaan kehilangan yang semakin nyata. Wanita yang sama persis dengan yang ada di media sosial Alex tempo hari. Apa wanita itu sudah menjadi istri Alex? "Mas, aku ingin tahu siapa dia," gumamnya pelan, hampir seperti bisikan.Dhuha menoleh ke arahnya, menatap dengan mata penuh pengertian. "Kalau kamu penasaran, kita bisa cari tahu. Tapi kamu harus siap dengan jawabannya."Aini menarik napas panjang. Apakah ia benar-benar siap? Ia tidak tahu. Namun, melihat bagaimana anak-anaknya terlihat nyaman dengan wanita it
Maria menatap Miranti lekat-lekat, memastikan bahwa gadis itu benar-benar yakin dengan keputusannya. Sejak awal, ia tidak pernah membayangkan akan ada seseorang yang begitu rela mengorbankan dirinya seperti ini.“Tante akan bicara dengan Dhuha dan Aini,” ulang Maria, memastikan Miranti tidak berubah pikiran.Miranti mengangguk. “Terima kasih, Tante. Saya siap menghadapi mereka kapan pun. Kami hanya perlu bicara dari hati ke hati. Apapun nanti jawaban Aini dan Dhuha, saya juga gak keberatan."Maria menyandarkan punggungnya ke kursi. Pikirannya mulai mencari cara terbaik untuk menyampaikan hal ini kepada putranya dan menantunya. Aini mungkin masih belum sepenuhnya terbuka terhadap gagasan ini, meskipun ia sendiri yang mengusulkannya. Dhuha? Maria yakin putranya masih berada dalam fase menolak.Namun, waktu terus berjalan.Setelah makan siang mereka selesai, Maria dan Miranti berpisah. Namun, bagi Maria, ini bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan yang lebih rumit. Apa Dhuha akan set
Aini terdiam mendengar syarat yang diajukan Dhuha. Matanya menatap suaminya, mencari keyakinan di balik permintaannya."Satu tahun, Mas?" ulangnya pelan.Dhuha mengangguk. "Iya, Ai. Kita sudah menunggu sejauh ini. Aku ingin kita memberi waktu untuk pernikahan kita lebih matang sebelum kita mengambil keputusan sebesar ini. Lagipula, dokter bilang kamu masih punya peluang hamil secara alami. Kenapa kita tidak mencoba lebih lama? Kamu bukan tidak bisa hamil, tapi memang belum waktunya. Sayang, aku ingin kita benar-benar yakin akan langkah yang ke depannya kita tempuh ini. Termasuk segala hal berkaitan dengan dampaknya, terutama mama."Aini menggigit bibirnya. Ia tahu suaminya tidak sepenuhnya setuju dengan usulannya, tapi setidaknya Dhuha tidak langsung menolaknya mentah-mentah. Ini sudah lebih baik daripada tidak ada kompromi sama sekali.Ria, yang sejak tadi memperhatikan mereka, akhirnya ikut angkat bicara. "Menurut saya, keputusan Mas Dhuha masuk akal, Kak Aini. Ini bukan hal kecil.