Pagi itu, udara dingin masih terasa menyelimuti kota Bandung. Sisa hujan semalam masih ada. Aroma air hujan yang bertemu tanah, aspal, menimbulkan aroma khasnya. Alex berdiri di depan gedung apartemen Dhuha, matanya menatap pintu masuk dengan keraguan. Dia tahu apa yang dilakukannya mungkin tak akan mudah, tapi ia sudah bulat untuk mencoba sekali lagi. Setelah menarik napas panjang, ia masuk ke dalam lobi dan menaiki lift menuju lantai tempat Aini tinggal.Ayo, Alex, kamu harus tahu Aini tidak bisa dipaksa. Semakin dipaksa, semakin jauh ia pergi. Langkahnya terasa berat ketika ia berdiri di depan pintu. Dia mengetuk perlahan, memastikan suara ketukannya tidak terlalu keras agar tidak menarik perhatian penghuni lain. Ia tahu Dhuha pasti sudah berangkat kerja, sesuai informasi yang ia dapatkan. Ketika pintu terbuka, wajah Aini muncul dari celah pintu. Wanita itu terlihat terkejut, matanya membelalak saat melihat siapa yang berdiri di depannya."Alex? Apa yang kamu lakukan di sini?" t
“Apa kabar, Anton?” suara Aini terdengar lembut dan ceria. Wanita itu memang sengaja menghubungi Anton karena diminta oleh Hakim. Anton menghela napas panjang sebelum menjawab, “Aku baik, Aini. Tapi ya, begitulah. Besok aku sidang kedua.”“Sidang kedua?” suara Aini berubah penuh perhatian. “Akhirnya ya... sudah sejauh itu. Bagaimana rasanya?”“Rasanya biasa saja. Sebagai formalitas karena aku dan Luna benar-benar selesai.” Anton menjawab jujur. “Di satu sisi aku lega, di sisi lain, ada bagian dari diriku yang masih bertanya-tanya... apa benar semua ini jalan yang terbaik, terutama untuk Aris," lanjutnya lagi. Aini terdiam sejenak. Suaranya terdengar lebih pelan saat ia berkata, “Aku paham, Ton. Besok aku juga sidang cerai kedua. Kita sama-sama bercerai dengan pasangan masing-masing."Anton tertegun. “Kamu serius? Aku nggak tahu ini sampai ke titik itu. Kukira kalian masih mencoba memperbaiki semuanya. Kamu dan Alex. Bukannya waktu itu kamu ikut pulang ke rumah Alex?"“Aku sudah ber
Hari-hari berlalu dengan lambat sejak percakapan pagi itu. Luna tetap di rumah Anton, menjalani rutinitasnya yang kini seperti ritme yang terprogram. Ia bangun lebih awal, menata meja makan, membersihkan rumah, dan memastikan semua keperluan Anton dan Aris berjalan lancar. Ia berlakon layaknya ibu dan istri yang baik. "Assalamu'alaikum, Bu Luna.""Wa'alaykumussalam." Luna menutup kotak bekal Aris dengan cepat, lalu melihat siapa tamunya. Amel pun baru saja membuka sedikit pintu kamarnya. "Eh, Bu Arman, ada apa, Bu?" "Ini, buat Bu Luna dan Aris. Saya bikin banyak bubur sumsum." Wajah Luna semringah. "Saya senang Mbak Luna dan Mas Anton baik-baik saja sekarang. Aris juga udah jarang terdengar rewel. Alhamdulillah, akhirnya kalian rujuk juga." Wajah Luna nampak bingung. "M-maksud Ibu?""Sudah, gak usah dipikirkan. Anggap saja masa lalu itu, sebuah pelajaran. Sekarang hidup baik-baik dengan Anton dan Aris ya. Kasih adik lagi buat Aris. Biar rame rumahnya. Bisa dua atau tiga anak lagi
“Aini, kamu sudah siap? Kita harus segera ke pengadilan,” tanya Dhuha sambil melirik arlojinya. Ia duduk di ruang tamu rumah kontrakan Aini, menunggu dengan sabar meski pikirannya penuh pertanyaan.Aini muncul dari kamar dengan kemeja biru muda yang serasi dengan rok hitam selututnya polosnya. Ia tampak ragu-ragu, tetapi wajahnya mencoba terlihat tenang. “Siap, Bos. Maaf membuatmu menunggu.”Dhuha berdiri dan tersenyum tipis. “Kamu nggak usah minta maaf. Hari ini pasti berat buatmu. Aku cuma ingin memastikan kamu nggak sendirian.”Aini mengangguk pelan, lalu menarik napas panjang. “Aku hanya ingin semuanya segera selesai.”“Dan itu akan selesai, Aini. Tinggal sedikit lagi. Ayo, kita pergi sekarang.”"Aku gak kayak sales kan?" Dhuha tertawa mendengar pertanyaan Aini. "Ya, bisa dibilang mirip, sih. Sales perumahan ha ha ha... Aduh, duh, sakit, Ai!" Dhuha mengusap kasar lengannya yang dicubit gemas Aini. Mereka meninggalkan unit apartemen dengan senyuman. Terutama Dhuha yang sudah tak
Matahari pagi menembus jendela kamar Aini, menandai awal hari baru. Ia bangun dengan perasaan campur aduk. Hari ini adalah hari pertama ia memulai rencana yang disarankan Dhuha: mencari kursus yang sesuai.Dhuha, seperti biasa, sudah menunggu di ruang tamu makan apartemen dengan secangkir kopi di tangannya. "Pagi, Aini," sapa Dhuha dengan senyuman manisnya. "Pagi, Dhuha. Tumben pagi-pagi udah ngopi." Aini menarik kursi persis di seberang Dhuha. "Aku tadi bangun jam empat subuh, bikin mi goreng. Makan roti, sekarang tiba-tiba pengen ngopi.""Bibik gak datang hari ini, jadi gak masak sarapan.""Gak papa, Dhuha, ada roti kan, aku bisa sarapan roti bakar. Sebentar." Aini bangun dari duduknya dan langsung berjalan menuju meja dapur yang masih satu ruangan dengan ruang makan. "Aku sudah cek beberapa tempat kursus. Ada yang dekat sini. Kita bisa survei hari ini kalau kamu mau."Aini tersenyum kecil sambil mengoleskan mentega pada roti tawarnya. "Terima kasih, Dhuha. Aku nggak tahu apakah
“Selamat siang, Pak Alex, maaf kalau saya mengganggu.” Suara lembut Bu Hilda terdengar di seberang telepon. Ia adalah wali kelas Intan di sekolah.Alex yang sedang menatap laptop di meja kerjanya segera menghentikan aktivitasnya. “Tidak apa-apa, Bu Hilda. Ada apa ya?”“Begini, Pak. Saya hanya ingin menyampaikan sesuatu. Untuk kegiatan besok, Intan diharuskan membawa tampah untuk prakarya di sekolah. Saya sudah WA Bapak dua hari lalu, tapi belum Bapak buka sepertinya.""Oh, iya, ya ampun, maaf, Bu, mungkin chat-nya ketimbun. Untung Ibu ingatkan. Baik, saya akan minta tolong orang rumah mencari tampah untuk Intan. Apa ada lagi yang harus saya bawa besok, Bu?""Oh, tidak ada, Pak. Hanya itu saja. Oh, iya, beberapa hari ini, Intan tampak sangat senang. Dia bilang ibunya, Bu Aini, datang ke sekolah. Mereka mengobrol sebentar di taman depan kelas, Pak, ” kata Bu Hilda pelan.Jantung Alex serasa berhenti sesaat. “Ibu bilang... siapa yang datang ke sekolah?”“Ibunya Intan, Pak. Maaf, saya kir
Sore hari, sepulang dari mengunjungi beberapa sekolah di pagi harinya, Alex langsung menuju kamar Intan. Ia menemukan gadis kecil itu sedang asyik menggambar di atas meja kecilnya. Intan tampak fokus, menggambar sesuatu dengan pensil warna.“Cantik Papa,” panggil Alex lembut, lalu duduk di kursi di samping putrinya.Intan menoleh, wajahnya cerah. “Iya, Pa? Lihat, ini gambar Intan sama Ibu,” katanya sambil menunjukkan hasil gambarnya. Di atas kertas putih itu, ada dua orang digambar dengan sederhana. Seorang wanita dengan rambut panjang sedang memegang tangan seorang anak kecil. Itu jelas Aini dan Intan.Alex terdiam sejenak, menatap gambar itu dengan perasaan campur aduk. “Gambarmu bagus sekali, Cantik,” ujarnya, berusaha tersenyum. “Tapi Papa mau ngomong sesuatu sama Intan.”Intan hanya menatap Alex dengan wajah bingung. Alex menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, “Papa mau pindahkan Intan dan Kak Izzam ke sekolah yang baru. Sekolahnya lebih bagus, lebih besar, dan Intan pasti suk
Hakim menyandarkan tubuhnya di kursi ruang keluarga dengan raut wajah lelah. Di hadapannya, Viona duduk sambil memainkan ujung kerudungnya, gelisah. Budi, ayahnya, diam di sudut ruangan, memandang ke luar jendela dengan ekspresi tegang. Suasana ruangan dipenuhi kecemasan yang belum terungkap sepenuhnya."Hakim," suara Viona akhirnya memecah keheningan, terdengar pelan namun penuh tekanan. "Kamu sudah dengar kan tentang Amel dan Anton?"Hakim mengangguk perlahan. "Iya, Ma. Amel sudah cerita. Tapi aku pikir ini cuma hubungan biasa, enggak sampai serius." Padahal ia tahu kalau adiknya serius. Viona mendesah panjang, menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Hakim, ini bukan sekadar hubungan biasa. Amel sudah tinggal di rumah Anton. Kamu tahu itu? Dia tinggal di rumah pria yang masih dalam proses cerai, Hakim!"Hakim tidak terlalu terkejut. Ia sudah tahu hal itu dan pernah menasihati Amel perihal ini, tapi adiknya tetap saja keras kepala. "Iya, Ma, Hakim sudah pernah bilang kalau itu gak b
Anton mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Ia tahu cepat atau lambat, Amel akan tahu tentang kehamilan Luna. Dan ketika itu terjadi, apa yang akan ia katakan? Bagaimana ia bisa meyakinkan Amel bahwa ia tidak pernah berniat menyembunyikan hal ini darinya?Di rumah, sepulang kerja dari kantornya, Amel sibuk mengatur dekorasi ruang tamu. Mereka baru menikah empat puluh hari, dan sebagai istri, Amel berusaha membuat rumah mereka senyaman mungkin. Saat Anton pulang, ia langsung menyadari ada sesuatu yang berbeda dari suaminya. Ekspresi wajahnya tegang, matanya kosong, dan bahunya sedikit membungkuk seakan membawa beban berat."Mas, kamu nggak apa-apa? Kelihatan capek banget," kata Amel sambil menghampiri Anton yang baru saja duduk di sofa."Seriusan kamu bertemu Luna di jalan?" Anton menatap istrinya, ada perasaan bersalah yang menghantam dadanya. Ia ingin jujur, tapi belum siap menghadapi konsekuensinya. "Iya, tadi, makanya Aris d
Anton menatap Luna dengan ekspresi sulit dijelaskan. Wajahnya menegang, sementara tangannya gemetar saat mengambil buku laporan kehamilan yang jatuh di kakinya. Perlahan, ia membaca nama yang tertera di sana: Luna Pramesthi. Jantungnya berdegup kencang."Luna... Kamu hamil?" suaranya serak, hampir seperti bisikan. Aris menatap ayah ibunya dengan tatapan tak paham. Luna terdiam, tidak tahu harus berbuat apa. Ini adalah skenario yang selama ini ia hindari—pertemuan langsung dengan Anton saat ia belum siap memberikan jawaban. Matanya berkaca-kaca, bukan karena takut, tetapi lebih kepada kenyataan yang menohok bahwa rahasia yang ia simpan selama ini terbongkar begitu saja.Aris menatap kedua orang tuanya bergantian dengan kebingungan di wajahnya. "Ibu? Kenapa diam? Apa Ibu sakit?" tanyanya polos.Luna menunduk dan mencoba mengendalikan emosinya. Ia tidak ingin Aris melihatnya dalam keadaan rapuh. Dengan suara pelan, ia menjawab, "Ibu baik-baik saja, Nak. Cuma periksa saja. Minta obat dem
Hakim menghela napas panjang. Keputusan sudah ada di depan mata, dan ia hanya perlu melangkah maju. Tania telah menunjukkan kesiapannya, sementara Salsabila memiliki prioritas lain. Itu sudah cukup bagi Hakim untuk menentukan pilihannya.Pagi itu, ia kembali ke kantor dengan pikiran yang lebih jernih. Di ruangannya, ia menatap daftar agenda yang menumpuk di layar laptop. Salah satu yang paling penting adalah mengatur pernikahannya dengan Tania.Sebelum memulai pekerjaan, ia menghubungi Amel."Halo, Mas Hakim. Gimana? Sudah ada keputusan?" suara Amel terdengar ceria seperti biasa.Hakim mengangguk walaupun tahu Amel tidak bisa melihatnya. "Aku memilih Tania."Hening sejenak sebelum Amel berseru, "Serius? Aku nggak nyangka kamu bakal langsung memutuskan secepat ini, Mas.""Mama minta waktunya tiga minggu, Mel. Dan ini sudah lewat satu minggu. Aku harus cepat." Amel tertawa mendengar suara panik kakaknya. "Pilihan Mas Hakim tepat karena Tania memang siap. Kalau cewek kenalan dari Mbak A
Hakim kembali memijat pelipisnya setelah pertemuannya dengan Salsabila. Dua miliar bukan jumlah yang kecil, tetapi ia tahu bahwa dengan posisi dan kekayaan keluarganya, itu bukan angka yang mustahil. Yang menjadi pertanyaannya sekarang, apakah Tania akan meminta hal yang sama?Ia meraih ponselnya dan menghubungi Amel."Halo, Mas Hakim," suara Amel terdengar ceria seperti biasa."Amel, aku baru saja bertemu dengan Salsabila dan dia setuju, tapi ada syaratnya," kata Hakim."Syarat seperti apa?" tanya Amel penasaran."Dua miliar sebagai kompensasi atas perannya. Dia ingin semuanya berjalan profesional tanpa perasaan terlibat," jawab Hakim jujur.Amel terdiam sesaat sebelum tertawa kecil. "Wah, nggak kaget sih. Salsabila memang tipe wanita yang tahu apa yang dia mau.""Nah, itu yang mau aku tanyakan ke kamu. Apakah menurutmu Tania juga akan meminta kompensasi seperti itu?" Hakim bertanya hati-hati.Amel menghela napas. "Sejujurnya, aku nggak tahu, Mas. Tania orangnya berbeda dari Salsabil
Hakim duduk di kursinya dengan perasaan campur aduk setelah mengirim pesan kepada Amel. Ia memijat pelipisnya, mencoba mencerna semua pilihan yang tiba-tiba datang dalam hidupnya. Tiga minggu bukan waktu yang lama untuk mencari pasangan hidup, meskipun hanya sekadar pernikahan pura-pura.Di satu sisi, ada Salsabila. Wanita yang direkomendasikan oleh Aini dan tampak sangat profesional. Sikapnya tegas dan penuh perhitungan. Hakim bisa melihat bahwa Salsabila bukan tipe orang yang mudah dibohongi atau dimanfaatkan. Jika ia setuju, Hakim yakin mereka bisa menyusun kesepakatan yang jelas dan tidak akan ada drama di kemudian hari. Namun, justru itulah yang sedikit membuatnya khawatir. Wanita seperti Salsabila pasti punya standar tinggi dan bisa jadi ia tidak akan mau menjalani sandiwara ini tanpa syarat yang ketat.Di sisi lain, ada Tania. Wanita yang diperkenalkan oleh Amel. Dari deskripsi Amel, Tania tampak seperti gadis sederhana yang pekerja keras dan penuh tanggung jawab. Yatim piatu,
Hakim menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Setelah menelepon Dhuha, ia merasa sedikit lebih tenang, tetapi tetap saja, waktu yang diberikan orang tuanya sangatlah singkat. Ia bukan tipe pria yang terbiasa terburu-buru dalam mengambil keputusan besar, apalagi soal pernikahan. Namun, kali ini ia tidak punya banyak pilihan.Di sisi lain, Dhuha masih mencerna ucapan Hakim barusan. Ini bukan permintaan yang biasa. Mencari calon istri dalam waktu tiga minggu saja sudah sulit, apalagi jika syaratnya adalah pernikahan pura-pura. Ia merebahkan diri di sofa sambil menatap langit-langit. Aini, yang baru saja selesai mandi, keluar dari kamar dan melihat ekspresi suaminya yang sedang berpikir keras."Kenapa bengong begitu?" tanya Aini sambil mengeringkan rambutnya.Dhuha menoleh dan tersenyum kecil. "Barusan Hakim nelepon. Dia butuh istri dalam tiga minggu."Aini mengernyit. "Istri? Maksud Mas, dia mau menikah? Emang Hakim punya ayang? ""Iya. Tapi bukan pernikahan yang sebenarnya. Dia
Hotel Mulia Sahabat sudah beroperasi sejak subuh. Para staf dengan cekatan mempersiapkan segala sesuatu untuk memastikan tamu mendapatkan pelayanan terbaik. Dari lobi yang dipenuhi dengan aroma kopi segar hingga restoran yang mulai menyajikan sarapan prasmanan, semuanya berjalan dengan rapi dan efisien. Hakim duduk di ruang rapat utama, menatap layar presentasi yang menunjukkan proyek ekspansi terbaru hotel mereka di Kota Malang."Baik, untuk grand opening di Malang, saya ingin semua berjalan sesuai jadwal. Pak Irwan, bagaimana progres renovasi gedungnya?" tanya Hakim dengan suara tegas namun tetap tenang."Alhamdulillah, Pak Hakim. Progresnya sudah mencapai 85 persen. Kami hanya tinggal menyelesaikan beberapa bagian interior dan pelatihan staf baru."Hakim mengangguk puas. "Bagus. Saya ingin kita pastikan bahwa pelayanannya tetap setara dengan standar hotel kita di kota lain. Bu Siska, bagaimana dengan marketingnya?""Sudah berjalan sesuai rencana, Pak. Kami sudah melakukan kampanye
Dhuha menatap ibunya dengan perasaan terluka. "Mama, jangan bicara seperti itu. Aku memilih Aini bukan karena sihir atau apapun yang Mama pikirkan. Aku memilihnya karena aku mencintainya. Mama, aku mohon, berhentilah mencurigainya tanpa bukti yang jelas. Aini tulus mencintaiku, Ma. Dulu kami berpisah karena aku yang tidak dewasa. Sekarang aku sudah dewasa dan paham. Aku gak mau sampai pernikahanku gagal lagi.""Kamu tidak pernah tahu kan, kenapa bisa cinta berat sama Aini? Kamu saja jarang solat. Orang yang jarang solat itu, mudah dimasukin jin." Dhuha menggelengkan kepala. Mamanya selalu saja keras kepala dan pasti tidak akan menerima pembelaan darinya. Maria menghela napas panjang. Ia ingin membantah, tetapi dalam hatinya, ia pun ragu. Foto-foto itu memang tampak mencurigakan, tetapi apakah itu cukup sebagai bukti bahwa Aini tidak layak untuk Dhuha? Apalagi setelah mendengar bahwa foto tersebut adalah foto lama."Mama akan mencari tahu lebih lanjut. Tapi untuk sekarang, Mama tidak
Setelah membaca pesan itu, Aini merasa hatinya mulai tidak tenang. Meskipun Dhuha sudah meyakinkannya bahwa ia akan selalu melindunginya, tetap saja perasaan gelisah itu tidak bisa hilang begitu saja. Ia mencoba mengabaikan rasa takutnya dan melanjutkan aktivitasnya, tetapi firasat buruk itu terus menghantuinya.Keesokan harinya, Aini dan Dhuha pergi ke Sentul seperti yang mereka rencanakan. Udara pagi yang sejuk dan pemandangan hijau pegunungan sedikit mengurangi kegelisahan yang masih tersisa dalam hati Aini. Mereka mengunjungi rumah yang akan segera menjadi milik mereka, sebuah hunian minimalis dengan halaman luas dan suasana yang tenang."Masya Allah, indah sekali," gumam Aini takjub.Dhuha tersenyum melihat ekspresi bahagia istrinya. "Aku ingin kamu bahagia di sini. Aku ingin kita membangun rumah tangga yang penuh ketenangan dan cinta."Aini menggenggam tangan suaminya erat. "Terima kasih, Mas. Aku tidak butuh rumah besar atau barang mewah, yang penting kita selalu bersama." Mesk