Hiraya meringis ketika merasakan Diora mengoleskan obat ke pipinya. Orang-orang yang berada di dapur dengan tergesa memintanya untuk pulang. Tak ada satupun yang tega ketika melihatnya kembali penuh coreng moreng dan luka.Bertepatan sekali bahu dia sejalan dengan gadis itu yang tengah berjalan-jalan dengan kakaknya. Menahan membantunya membeli obat, lalu temannya itu membersihkan wajahnya yang penuh abu. Julian memperhatikan dari tempat dia duduk.Ketiganya berada di rumah kecil Hiraya, dia gadis duduk di ranjang — satu menggenggam obat sementara yang lain terlihat menyedihkan."Apa yang terjadi?” tuntut laki-laki itu.Di0ra menoleh pada kakaknya. "Jules–”“Aku rasa ini adalah giliran temanmu untuk menjawab,” tegur sang Mistwatcher, menoleh padanya. “Nah,” dia memulai. "Kan bisa menjelaskan dirimu?”Sebelum gadis itu dapat membuka mulutnya, Hiraya memutuskan untuk bicara. “Aku tak tahu apa yang harus aku jelaskan padamu,” ujarnya."Aku adalah seorang pelayan dan aku dipukuli — semudah
Hiraya menyisir rambut Helena, sementara gadis itu menatap bayangan dirinya sendiri di kaca. Dia dapat melihat bagaimana gadis itu tersenyum, memperhatikan riasan yany baru saja dia berikan padanya.“Bagaimana menurutmu jika aku mengajakmu ke promenade hari ini, Hiraya?” dia mengusulkan, walaupun dia memiliki firasat bahwa sepupunya itu takkan menerima jawaban lain kecuali bahwa dia bersedia menemaninya.Namun walaupun begitu–“Aku rasa tak pantas jika bukan walimu yang menemanimu.”“Bukankah kau sepupuku tersayang?” balasnya, racun menetes dari setiap kata yang dia ucapkan. “Atau itu bukan yang kau katakan pada Yang Mulia Pangeran?”“Aku tak pernah memperkenalkan diriku seperti itu,” dia membela diri. “Itu adalah tebakannya sendiri.”Dia mendengar Helena mendengus, namun dengungnya membuatnya memahami bahwa dia telah kehilangan kata-kata untuk menyerangnya. Dan Hiraya sendiri harus mensyukuri itu — dia tak ingin terus mengingat apa yang terjadi di antara dia dan Alaric.“Kau masih har
Hiraya memperhatikan Alaric, wajahnya begitu menyedihkan di tengah terpaan hujan. Dia dapat melihatnya berusaha mengendalikan nafas, bibir terbuka sementara mata mengerjap dan memaksa untuk terus menatapnya.Gadis itu menutupi tubuhnya, yang baru saja dia sadari bahwa dia hanya mengenakan jubah malamnya, tubuh polos tersembunyi di dalam. Kemeja sang pangeran gagal menyembunyikan tubuhnya karena terpaan air.“Aku tak bisa melakukannya,” dia mengakui, membuatnya mendongak untuk menatap matanya. “Bahkan ketika dia mengatakan bahwa dia takkan menghukummu jika aku menurutinya, aku tak bisa.”Hiraya terdiam.”Siapa?”Pangeran itu menundukkan kepala. "Nona Clearwing,” dia membalas, menangkap pandangan terkejutnya, terburu untuk menjelaskan. "Dia mengatakan bahwa dia takkan menjatuhimu hukuman jika aku pergi untuk mendampinginya.”Gadis itu menatapnya, diam.Alaric telah mempertaruhkan rasa percaya Hiraya atas pertemanan mereka untuk melindunginya. Dia menurunkan harga dirinya sebagai seorang
Hiraya menatap Alaric, laki-laki itu menurunkannya di atas ranjang, mata masih menatapnya. Bahkan dari sudut seperti ini, Hiraya harus mengakui bahwa sang pangeran masih tampak begitu tampan, dan senyum terulas ketika gadis itu menyapukan tangan pada dahi, menyingkirkan rambut dari sana.Satu tangannya berada pada lengan atasnya, jemari meremas kulit disana ketika merasakan satu kaki di antara dua pahanya, membuatnya melebarkan mereka sementara dia berada di bawahnya.Gadis itu membiarkannya menciumnya, menyapukan bibir mereka menjadi satu sementara dia menutup mata, memeluknya erat ketika dia semakin menundukkan tubuh, membuat mereka semakin menyatu.Samar samar, Hiraya berusaha mengingat jika dia telah menghentikan kobaran api yang tengah merebus air untuk sang pangeran. Dia mencoba menghentikan ciuman mereka, menahan dadanya agar dapat menatapnya."Api,” dia memperingatkan, membuatnya menoleh ke belakang. Bahkan ketika Alaric menggelengkan kepala dan berbalik padanya kembali, gadis
Alaric mengusap kening Hiraya, tersenyum kecil ketika melihatnya menghela nafas dalam tidurnya. Gadis itu menggerakkan tubuhnya, merubah posisi hingga dia mendekapnya. Dan sang pangeran menerimanya dengan senang hati, melingkarkan lengan padanya. Laki-laki itu tersenyum kembali ketika mengingat apa yang baru saja mereka lakukan. Tentu saja itu bukanlah kali pertama baginya, namun dia memahami bagaimana itu adalah kali pertama bagi Hiraya — dia menyadari betapa kesakitan dan gugupnya dia, walaupun gadis itu sama lapar dengannya.Alaric telah mencoba untuk mendekapnya, meyajinkan bahwa dia akan baik-baik saja bersamanya. Dan bahkan ketika dia mencengkram lengannya, Hiraya sama sekali tak menangis, dia hanya merintih, mata terkatup rapat dengan bibir tergigit hingga Alaric harus menciumnya agar membuka tancapan gigi pada bibir bawahnya. “Tak apa,” dia menenangkan saat itu. “Ini hanya aku. Hanya aku, Hiraya.”Saat itu, Hiraya hanya menganggukkan kepalanya, memeluknya erat dan mengataka
Hiraya menerima roti dari penjual di pasar, Diora berada di stan tak jauh darinya. Gadis itu tengah melihat-lihat pita yang terkadang dia sampirkan ke rambutnya, menatap ke arah kaca yang disediakan. Dia berjalan ke arahnya, tersenyum.“Bagaimana menurutmu?” dia bertanya, pita merah jambu tersemat. “Haruskah aku membelinya?”Dia memperhatikan temannya, matanya berbinar penuh harap. Merah jambu akan selalu menjadi warnanya, kontras dengan emas yang menjadi arti dari namanya. Jadi Hiraya mengangggukkan kepala. “Kau harus membelinya jika kau meyukainya.”“Benar ‘kan?” tawanya. “Aku memiliki gaun yang cocok untuk ini.”Hiraya memperhatikannya, mengangguk. Tentu saja, musim ini belum selesai, dan Diora tengah berusaha untuk msmikat hati putra sang duke yang mendekatinya. Namun dengan gerak-gerik Dimitri Fernthier, seharusnya mereka semua sadar bahwa laki-laki itu telah jatuh telak padanya.“Menurutmu,” mulainya lagi. “Apa kakakku akan luluh dan membiarkan Tuan Fernthier meminangku?”Gadis
Alaric berdiri dari kursinya, matanya terbuka lebar. Dia menatap Dimitri yang duduk di depannya. Keduanya tengah berada di serambi ruangannya, meja penuh berisi kudapan dan teh di depan mereka. Cahaya pagi menyinari dari gorden yang dibuka.“Selir?” dia mengulangi. "Aku meminta pada Ibu untuk memberi izin agar dia menjadi putri mahkota.”Sepupunya itu menghela nafas, menganggukkan kepala. Dan jika Alaric tidak mengenalnya, dia takkan pernah menangkap rasa sabar yang dia paksakan untuk ada di dalam dirinya.Namun sang pangeran masih menatapnya, bersikeras. “Aku sudah menjelaskannya padamu,” ucapnya. “Dia adalah–”“Putri seorang viscount,” potong Dimitri, meraih cangkir tehnya. Dia kembali menganggukkan kepala, seolah dia sudah lebih bijak dibandingkan sang pangeran yang berusaha untuk tetap tenang. “Tapi tak ada yang bisa menjamin itu.”Dia memicingkan mata. “Apa maksudmu?”“Tak ada yang bisa membuktikannya,” dia menjelaskan. “Jika yang dia katakan tentang keluarga pamannya adalah bena
Hiraya membereskan pakaiannya. Dia tak yakin jika dia akan diizinkan untuk membawa gaun-gaun seperti ini. Gadis itu mengangkat salah satu, sebuah gaun putih yang selalu dia kenakan hingga ada beberapa bagian yang membercak kuning.Tidak. Mereka takkan membiarkannya mengenakan ini lagi.Jadi dia menghela nafas, melipatnya kembali dan meletakkannya di bagian lain atas ranjangnya. Gadis itu menoleh pada tumpukan tak jauh dari mejanya — seonggok pakaian yang sama sekali baru, dikirimkan dari istana, beserta dengan barang-barang lainnya.Sudah beberapa hari semenjak mereka menerima berita itu, dan dengan berita yang datang, persembahan dari istana mengiringi. Pada satu hari, Hiraya akan menerima separuh peti gan-gaun, lalu pada hari berikutnya, dia akan menerima perhiasan.Lalu terkadang, akan tersembunyi sebuah kantong uang dengan sulaman api, warna oranye dan merah bertabur di atasnya. Dan semakin Hiraya menghitung, koin-koin di dalamnya akan semakin banyak.Gunakan sebanyak yang kau ing
Enam tahun kemudianBloomingflame adalah sebuah pedesaan yang sangat sunyi. Begitu sunyi hingga bahkan teriakan Hiraya dapat terdengar malam itu.Sang putri mahkota telah memutuskan untuk menghabiskan masa kehamilannya yang kedua di rumah ibunya, mengulang apa yang Viscountess Clearwing alami selama dia memilikinya.Sang putra mahkota berada di luar, menggendong putra mereka yang dalam diam mengkhawatirkan ibunya.“Dia akan baik-baik saja,” Alaric meyakinkan. “Ibumu adalah orang yang kuat. Dia akan melahirkan adikmu dan segera kembali pada kita.”Vien menganggukkan kepala, namun terus mengeratkan pelukannya pada sang ayah, meneteskan air mata ketika mendengar ibunya berteriak kembali.
Pesta dansa terakhir berada di Flarevana, tepat di kediaman putra sang duke dan istrinya — Dimitri dan Diora Fernthier.Itu berarti bahwa mereka yang diundang akan pergi dan diberikan penginapan selama mereka tinggal untuk pesta dansa tersebut. Termasuk pada putra dan putri mahkota kerajaan mereka.Hiraya mengintip dari jendela kereta mereka, sementara Alaric berada di depannya. Gadis itu tersenyum kecil, sementara suaminya menyentuh tangannya, menggenggamnya erat.“Ini adalah kali pertamamu datang kemari, benar ‘kan?”Dia menganggukkan kepala, tersenyum. “Kau sudah sering kemari?”“Tentu saja,” ucapnya. “Keluarga Fernthier adalah sepupu kita — aku telah menghabiskan
Hiraya dapat merasakan seluruh pasang mata menghadap ke arahnya. Ruang singgasana begitu luas, dan mereka memberikan jalan padanya melalui jalur karpet merah menuju Alaric, bersama dengan sang raja dan ratu yang menunggu di depannya.Tidak.Dia berusaha untuk tidak menyentuh tangannya yang bergetar, sementara sepatu yang membawanya ke arah mereka teredam, menutup gema yang seharusnya ada ketika dia menapaki lantai marmernya.Akan sangat aneh jika dia mundur dan melarikan diri. Namun Hiraya dapat merasakan sesak di dadanya, dia terlalu gugup untuk ini.Berjalan menuju mereka terasa begitu mudah, namun sulit di saat yang sama. Takkan ada kesempatan untuk berbalik ketika dia sudah sampai di ujung sana.Dia akan benar-benar menja
Sepanjang hidupnya, Hiraya tak pernah mengira bahwa dia akan menjadi salah satu dari daftar yang langsung diterima sang ratu ketika dia mengundangnya untuk datang dan minum teh di serambinya.Sang ratu duduk di depannya, menyeruput teh yang disediakan, bersamaan dengan kue yang telah dengan hati-hati Eloise susun di atas meja.“Aku yakin kau memiliki alasan untuk memanggilku kemari, Lady Clearwing,” ucapnya. “Kau takkan mengundangku kemari tanpa alasan.”Hiraya meletakkan cangkirnya, menghela nafas.Dia dan Alaric telah meninggalkan pesta pernikahan Fernthier lebih cepat, tepat setelah mereka menerima dokumen-dokumen dari Sir Phillips. Dan Hiraya telah menghabiskan malam dengan memilah dokumen yang akan diinginkan sang ratu, bersama dengan menyusu
Kediaman keluarga Mistwatcher dipenuhi hiruk pikuk orang-orang, makanan disediakan di meja-meja bertaplak putih, sementara minuman berada di ujungnya.Diora berkeliling dengan gaun pengantinnya, putih bersih dengan pita mengelilingi rambutnya. Gadis itu tersenyum, menerima ucapan selamat dan memberikan terima kasihnya pada tamu-tamu yang datang.Hiraya mengawasinya dari salah satu meja, tersenyum kecil hingga temannya itu mendatanginya, minuman masih berada di tangan.“Lady Fernthier,” sapanya, membuat Diora tertawa, memeluk lengannya erat. “Kau benar-benar sangat bahagia ya?”“Tentu saja,” ucapnya. “Menurutmu dia akan segera melakukannya?”Hiraya merasakan jantungnya berdetak.
Hiraya memperhatikan dirinya di depan cermin, rambutnya telah tersisir dan terlepas dari ikat dan jepit — Eloise telah mundur dari ruangannya dan kembali sementara malam semakin larut.Dia menundukkan kepala, memainkan kalung yang ada di lehernya dan melepasnya, meletakkannya di atas meja riasnya. Bahkan saat itu, dia dapat melihat wajah Alaric yang tersenyum memperhatikannya dari cermin.“Apa apa?” sahutnya, mengetahui bahwa pangeran itu tengah duduk di ranjangnya. “Berhenti memperhatikanku.”Alaric tertawa, berbaring disana walaupun mengalihkan sisi tubuhnya hingga dia masih dapat terus memperhatikannya. “Kau sadar akan pandanganku?”“Setelah terlalu lama, aku akhirnya bisa menyadarinya bahkan ketika aku tak dapat melihat kehadiranmu.”
Diora terdiam sepanjang Hiraya menjelaskan padanya.Keduanya tengah duduk di sebuah bangku, sementara temannya mengusir dua laki-laki yang mengikuti mereka untuk tidak terlalu dekat sebelum duduk bersamanya.Mungkin ini karena mereka dekat. Diora merasa bahwa Hiraya tidak memiliki kekakuan ketika menjelaskan padanya.Penjelasannya hati-hati — namun tidak seperti ibunya yang terlalu berputar dan membuatnya kebingungan. Tapi tetap saja, Diora merasakan panas menjalar di pipinya ketika dia terus melanjutkan penjelasannya.Dan gadis itu pasti menyadari kegundahannya, menghela nafas. “Kita seharusnya tidak membicarakan ini disini,” ucapnya. “Aku seharusnya mengatakan ini di lain tempat.”Ketika dia he
Hiraya telah menduga bahwa Julian telah merubah pikirannya, namun dia tak pernah menduga bahwa Dimitri Fernthier cukup berdedikasi untuk segera meminang gadis itu.Dia dan Alaric tengah memutuskan untuk pergi bersama. Dengan musim yang akan berakhir, begitulah dengan acara-acara sosial mereka. Ini akan menjadi promenade terakhir sebelum semuanya mengucapkan selamat tinggal pada musim ini.Hiraya tengah terduduk di tenda mereka, mengibaskan kipas di hari yang panas ketika dia melihat putra sang duke berjalan ke arah tenda para Mistwatcher. sang marquess dan Julian berdiri untuk menyambutnya.Alaric menundukkan kepala untuk membisikkan sesuatu padanya. “Menurutmu apa yang akan terjadi?”
"Kau benar-benar akan menikah dengan Tuan Fernthier?”Dia memperhatikan Diora yang menundukkan kepala, mengangguk. Dia memahami bahwa gadis itu telah bersama Dimitri Fernthier sepanjang musim ini, dan dengan sedikitnya bangsawan yang mendekatinya, putra sang duke dapat dengan mudah mendapatkan perhatiannya.“Aku menyukainya,” dia mengakui. “Dan aku tahu bahwa dia memiliki perasaan yang sama denganku.”Tentu saja. Semua orang yang mengenal mereka bisa melihat itu. Dan dia merasa bahwa Diora tak perlu tahu tentang apa yang dikatakan oleh Julian — bahkan dia memiliki keraguan seperti itu pada Alaric di hari-hari pertama dia mengenalnya.“Menurutmu,” mulainya lagi. “Kakakku sudah merubah pikirannya?”