Hiraya memperhatikan Alaric, wajahnya begitu menyedihkan di tengah terpaan hujan. Dia dapat melihatnya berusaha mengendalikan nafas, bibir terbuka sementara mata mengerjap dan memaksa untuk terus menatapnya.Gadis itu menutupi tubuhnya, yang baru saja dia sadari bahwa dia hanya mengenakan jubah malamnya, tubuh polos tersembunyi di dalam. Kemeja sang pangeran gagal menyembunyikan tubuhnya karena terpaan air.“Aku tak bisa melakukannya,” dia mengakui, membuatnya mendongak untuk menatap matanya. “Bahkan ketika dia mengatakan bahwa dia takkan menghukummu jika aku menurutinya, aku tak bisa.”Hiraya terdiam.”Siapa?”Pangeran itu menundukkan kepala. "Nona Clearwing,” dia membalas, menangkap pandangan terkejutnya, terburu untuk menjelaskan. "Dia mengatakan bahwa dia takkan menjatuhimu hukuman jika aku pergi untuk mendampinginya.”Gadis itu menatapnya, diam.Alaric telah mempertaruhkan rasa percaya Hiraya atas pertemanan mereka untuk melindunginya. Dia menurunkan harga dirinya sebagai seorang
Hiraya menatap Alaric, laki-laki itu menurunkannya di atas ranjang, mata masih menatapnya. Bahkan dari sudut seperti ini, Hiraya harus mengakui bahwa sang pangeran masih tampak begitu tampan, dan senyum terulas ketika gadis itu menyapukan tangan pada dahi, menyingkirkan rambut dari sana.Satu tangannya berada pada lengan atasnya, jemari meremas kulit disana ketika merasakan satu kaki di antara dua pahanya, membuatnya melebarkan mereka sementara dia berada di bawahnya.Gadis itu membiarkannya menciumnya, menyapukan bibir mereka menjadi satu sementara dia menutup mata, memeluknya erat ketika dia semakin menundukkan tubuh, membuat mereka semakin menyatu.Samar samar, Hiraya berusaha mengingat jika dia telah menghentikan kobaran api yang tengah merebus air untuk sang pangeran. Dia mencoba menghentikan ciuman mereka, menahan dadanya agar dapat menatapnya."Api,” dia memperingatkan, membuatnya menoleh ke belakang. Bahkan ketika Alaric menggelengkan kepala dan berbalik padanya kembali, gadis
Alaric mengusap kening Hiraya, tersenyum kecil ketika melihatnya menghela nafas dalam tidurnya. Gadis itu menggerakkan tubuhnya, merubah posisi hingga dia mendekapnya. Dan sang pangeran menerimanya dengan senang hati, melingkarkan lengan padanya. Laki-laki itu tersenyum kembali ketika mengingat apa yang baru saja mereka lakukan. Tentu saja itu bukanlah kali pertama baginya, namun dia memahami bagaimana itu adalah kali pertama bagi Hiraya — dia menyadari betapa kesakitan dan gugupnya dia, walaupun gadis itu sama lapar dengannya.Alaric telah mencoba untuk mendekapnya, meyajinkan bahwa dia akan baik-baik saja bersamanya. Dan bahkan ketika dia mencengkram lengannya, Hiraya sama sekali tak menangis, dia hanya merintih, mata terkatup rapat dengan bibir tergigit hingga Alaric harus menciumnya agar membuka tancapan gigi pada bibir bawahnya. “Tak apa,” dia menenangkan saat itu. “Ini hanya aku. Hanya aku, Hiraya.”Saat itu, Hiraya hanya menganggukkan kepalanya, memeluknya erat dan mengataka
Hiraya menerima roti dari penjual di pasar, Diora berada di stan tak jauh darinya. Gadis itu tengah melihat-lihat pita yang terkadang dia sampirkan ke rambutnya, menatap ke arah kaca yang disediakan. Dia berjalan ke arahnya, tersenyum.“Bagaimana menurutmu?” dia bertanya, pita merah jambu tersemat. “Haruskah aku membelinya?”Dia memperhatikan temannya, matanya berbinar penuh harap. Merah jambu akan selalu menjadi warnanya, kontras dengan emas yang menjadi arti dari namanya. Jadi Hiraya mengangggukkan kepala. “Kau harus membelinya jika kau meyukainya.”“Benar ‘kan?” tawanya. “Aku memiliki gaun yang cocok untuk ini.”Hiraya memperhatikannya, mengangguk. Tentu saja, musim ini belum selesai, dan Diora tengah berusaha untuk msmikat hati putra sang duke yang mendekatinya. Namun dengan gerak-gerik Dimitri Fernthier, seharusnya mereka semua sadar bahwa laki-laki itu telah jatuh telak padanya.“Menurutmu,” mulainya lagi. “Apa kakakku akan luluh dan membiarkan Tuan Fernthier meminangku?”Gadis
Alaric berdiri dari kursinya, matanya terbuka lebar. Dia menatap Dimitri yang duduk di depannya. Keduanya tengah berada di serambi ruangannya, meja penuh berisi kudapan dan teh di depan mereka. Cahaya pagi menyinari dari gorden yang dibuka.“Selir?” dia mengulangi. "Aku meminta pada Ibu untuk memberi izin agar dia menjadi putri mahkota.”Sepupunya itu menghela nafas, menganggukkan kepala. Dan jika Alaric tidak mengenalnya, dia takkan pernah menangkap rasa sabar yang dia paksakan untuk ada di dalam dirinya.Namun sang pangeran masih menatapnya, bersikeras. “Aku sudah menjelaskannya padamu,” ucapnya. “Dia adalah–”“Putri seorang viscount,” potong Dimitri, meraih cangkir tehnya. Dia kembali menganggukkan kepala, seolah dia sudah lebih bijak dibandingkan sang pangeran yang berusaha untuk tetap tenang. “Tapi tak ada yang bisa menjamin itu.”Dia memicingkan mata. “Apa maksudmu?”“Tak ada yang bisa membuktikannya,” dia menjelaskan. “Jika yang dia katakan tentang keluarga pamannya adalah bena
Hiraya membereskan pakaiannya. Dia tak yakin jika dia akan diizinkan untuk membawa gaun-gaun seperti ini. Gadis itu mengangkat salah satu, sebuah gaun putih yang selalu dia kenakan hingga ada beberapa bagian yang membercak kuning.Tidak. Mereka takkan membiarkannya mengenakan ini lagi.Jadi dia menghela nafas, melipatnya kembali dan meletakkannya di bagian lain atas ranjangnya. Gadis itu menoleh pada tumpukan tak jauh dari mejanya — seonggok pakaian yang sama sekali baru, dikirimkan dari istana, beserta dengan barang-barang lainnya.Sudah beberapa hari semenjak mereka menerima berita itu, dan dengan berita yang datang, persembahan dari istana mengiringi. Pada satu hari, Hiraya akan menerima separuh peti gan-gaun, lalu pada hari berikutnya, dia akan menerima perhiasan.Lalu terkadang, akan tersembunyi sebuah kantong uang dengan sulaman api, warna oranye dan merah bertabur di atasnya. Dan semakin Hiraya menghitung, koin-koin di dalamnya akan semakin banyak.Gunakan sebanyak yang kau ing
Hiraya tak pernah mengira bahwa dia akan mengenakan gaun yang dibuat oleh para penjahit istana. Bahkan dengan ayahnya yang dulunya seorang viscount, gadis itu tahu jelas betapa berbedanya penjahit di kota dan yang berada di dinding istana. Mereka akan lebih lihai, lebih mumpuni, lebih detal dalam mengerjakan jahitan mereka. Bahkan yang terkaya sekali pun akan terus bermimpi untuk memiliki gaun jahitan mereka. Dia menatap dirinya di depan cermin, gaun merah menatap balik padanya. Satin memeluk erat tubuhnya sementara manik putih menuruni seperti aliran di lengan dan pinggangnya. Renda yang nyaris tak kasat mata menutupi roknya dengan corak bebungaan hitam di atasnya. Gaun itu memeluknya erat dan korset memaksa dadanya terangkat. Renda yang menjadi sarung tangannya membuatnya merasa tak terlalu terekspos. Gadis itu menelusuri lengannya, rambutnya jatuh. Apa ini adalah selera sang pangeran? Gadis itu menarik rambutnya ke atas, menoleh pada sebuah pita hitam dengan bunga merah di atasn
“Kau mengatakan padaku,” mulai Dimitri, keduanya tengah berjalan-jalan di promenade. “Kau mendatanginya kemarin?”Sepupunya itu membawa sebuah bunga yang hendak dia berikan pada gadisnya, sementara Alaric sedang menanti waktu dimana gadisnya sendiri datang. Sang pangeran mengangguk. “Aku merindukannya.”Putra sang duke menghela nafas, menggelengkan kepala. “Kau tahu bahwa terlalu sering mengunjunginya juga akan membuatnya dalam masalah 'kan?”Alaric terdiam. Ada banyak kontra sebagai dia yang memiliki posisi sebagai selir sang pangeran — orang-orang akan menganggapnya sebagai gadis yang terlalu lugu dan bodoh untuk menjadi seorang putri mahkota. Beberapa orang akan menganggapnya hanya mengandalkan kedipan mata dan gerakan kipasnya — tak memiliki potensi apapun kecuali tubuhnya.Itu benar-benar akan menyakitinya.Namun dia telah menahan dirinya sendiri untuk mengunjunginya, dan memang seharusnya tidak. Hiraya seharusnya diberikan hari- hari terakhir penuh ketenangan sebelum pergi ke is