Di samping tempat tidur, Livy melihat ponselnya yang hampir rusak total. Layarnya retak dan tulisannya nyaris tidak terlihat jelas. Namun, dengan susah payah, dia berhasil menekan tombol panggil tanpa memastikan nama kontak yang dipilihnya.Dia merasa terlalu putus asa. Mengingat bahwa terakhir kali dia berbicara dengan Charlene, Livy menghubungi nomor itu tanpa berpikir panjang.Setelah telepon tersambung, dari ujung sana terdengar suara angin menderu.Mungkin karena akhirnya menemukan seseorang yang bisa menjadi tempat bersandar, air mata yang telah lama dia tahan kembali mengalir deras. Dengan suara yang serak dan penuh emosi, dia berkata, "Charlene, aku merasa aku telah salah memilih jalan ....""Aku merasa sangat lelah setiap hari. Aku nggak tahu harus bagaimana lagi. Bisa nggak kamu temani aku besok? Aku cuma butuh waktu sore."Namun, tidak ada suara yang langsung menjawab. Keheningan yang panjang di ujung telepon membuat Livy berpikir bahwa ponselnya sudah terlalu rusak untuk me
Margo terdiam sesaat, lalu menggelengkan kepala dengan panik. "Pak Preston, nggak ada yang suruh aku! Aku cuma ... aku cuma lihat Bu Livy sangat cantik, jadi punya niat jahat .... Aku salah, aku benar-benar salah! Aku janji nggak akan berani lagi. Tolong, beri aku kesempatan kali ini!""Masih belum mau bicara jujur?" Bendy yang sudah kehilangan kesabarannya, menendang keras ke arah Margo. "Kalau nggak ada yang bekerja sama denganmu, mana mungkin kamu bisa membawa mobil Keluarga Sandiaga begitu saja?"Margo tersentak. Dia tergagap sambil berusaha menjawab, "Aku ... aku ...."Bugh!Tendangan keras dari Preston menghantam perut Margo dan membuat pria itu mengerang kesakitan. Sebelum dia sempat meminta ampun lagi, Preston berdiri dengan tenang dan melangkah ke arahnya. Dengan sepatu kulit mahalnya, dia menginjak tangan Margo dan memutar-mutar kakinya hingga menghasilkan suara mengerikan seperti tulang retak.Margo menjerit keras, tetapi suara dingin Preston menghentikan semua kata-katanya.
"Kalau begitu ... aku istirahat satu hari saja, boleh?" tanya Livy dengan ragu.Meskipun nada bicara Preston terdengar dingin, Livy dapat merasakan kepedulian dalam ucapannya. Hatinya terasa hangat dan dia pun berbicara dengan nada yang lebih lembut, "Sayang, aku benar-benar nggak apa-apa. Aku sangat memedulikan proyek ini dan aku ingin menyelesaikannya.""Kalau begitu, nanti malam aku akan pulang untuk mengganti obatmu. Kalau memang nggak ada masalah besar, baru kamu boleh kembali bekerja," jawab Preston dengan nada datar.Livy menghela napas lega. Saat melihat Preston bersiap untuk pergi, dia buru-buru bertanya, "Lalu ... soal Zoey?""Akan aku urus," jawab Preston sambil melirik jam tangannya, lalu pergi ke kantor tanpa bicara lebih lanjut.Setelah sarapan, Tina masuk ke kamar Livy sambil membawa obat salep. Dia membuka perban yang melilit tubuh Livy. Begitu melihat luka-luka yang terlihat jelas, matanya langsung memerah dan air mata mulai menetes."Dasar bajingan nggak punya hati! B
Livy ragu sejenak. Dia tahu Nicky selalu menganggapnya sebagai teman baik, dan kemungkinan besar telepon semalam telah membuatnya khawatir.Setelah memastikan melalui cermin bahwa luka-lukanya sudah tertutup dengan baik dan tidak terlihat, dia berganti pakaian dan turun ke bawah.Mobil Nicky terparkir di dekat air mancur yang tidak jauh dari rumahnya."Maaf ya, Nicky, semalam aku cuma terlalu tertekan. Maaf kalau aku mengganggumu," kata Livy dengan nada menyesal.Temannya tidak banyak, terutama setelah dia putus dengan Stanley. Livy awalnya berpikir bahwa hubungan mereka juga akan berakhir, tetapi nyatanya, Nicky tetap menjadi temannya."Nggak apa-apa. Orang yang bisa masuk ke Grup Sandiaga pasti orang-orang hebat, jadi wajar kalau merasa tertekan. Tapi, Livy, kamu sudah sangat luar biasa," jawab Nicky sambil memperhatikan Livy dengan saksama.Dia tahu ada sesuatu yang disembunyikan Livy darinya. Namun, mengingat posisinya sebagai teman biasa, dia merasa tidak punya hak untuk bertanya
Sebagai seorang sekretaris, bagaimana caranya menggoda atasan yang merupakan seorang presdir? Langsung tidur dengannya. Itulah yang dilakukan oleh Livy Pratama.Saat ini, keningnya dibasahi keringat, rambut hitam panjangnya terurai di bahu, dan telapak tangannya menempel di dinding .... Tubuhnya bergetar dan kedua kakinya terasa sangat lemas hingga tak bisa berdiri tegak.Dia hampir terjatuh, tetapi Preston Sandiaga buru-buru menangkapnya dan melemparkannya ke atas ranjang. Livy merasakan ranjang itu tenggelam dan tak lama kemudian, dia harus menghadapi babak baru yang penuh gairah.Livy tidak menyangka semuanya akan berjalan begitu lancar malam ini.Mereka sedang dalam perjalanan bisnis saat ini dan keduanya menginap di hotel yang sama. Livy merasa agak mabuk setelah jamuan makan malam tadi, sehingga dia memutuskan untuk mengetuk pintu kamar Preston.Preston membuka pintu kamar dan melihatnya. Livy bahkan belum sempat memulai pertunjukan yang telah dipersiapkannya. Namun, dia telah di
Mendengar perkataan itu, tangan Livy langsung gemetaran. Ponselnya tergelincir dari tangannya dan terjatuh ke lantai. Livy bahkan sempat curiga pendengarannya bermasalah.Sambil memegang dadanya, Livy buru-buru memungut kembali ponselnya dan bertanya dengan terbata-bata, "Pak Preston, apa ... ada masalah?""Kamu tahu sendiri." Setelah melontarkan ucapan tersebut, Preston langsung menutup teleponnya. Wajah Livy memucat seketika.Ini benar-benar gawat! Preston pasti mau buat perhitungan dengannya!Setelah Livy meletakkan koper Preston di dalam apartemennya, dia segera pulang ke rumah dan mulai mengirimkan lamaran pekerjaan. Karena terlalu lelah, Livy tertidur di atas meja begitu selesai mengirimkan beberapa lamaran. Tiba-tiba, dering telepon membangunkannya.Melihat nama Preston di layar, Livy langsung terkejut dan rasa kantuknya hilang seketika. Dia segera mengangkat telepon itu. "Pak ... Pak Preston.""Di mana kamu?" Pertanyaan yang sederhana itu membuat bulu kuduknya berdiri.Livy mel
Stanley bahkan mengira Livy sedang bercanda dengannya. Hingga saat dia melihat bekas berwarna merah di leher Livy, emosi Stanley langsung memuncak. "Pria mana itu? Livy, kamu mengkhianatiku!""Maling teriak maling nih? Stanley, kamu boleh menikahi wanita lain, tapi aku nggak boleh nikah duluan?" ucap Livy sambil mendengus dingin. Saat ini, Livy masih tidak ingin memberi tahu Stanley tentang Preston.Setelah Stanley menikahi Chloe nanti, Livy akan jadi bibinya. Livy sangat penasaran, bagaimana reaksi Stanley nantinya setelah mengetahui hal ini?"Nggak mungkin! Kamu nikah sama siapa? Siapa yang mau nikahin kamu? Kenapa aku nggak tahu sama sekali?" teriak Stanley dengan marah.Livy benar-benar heran mengapa dulu dia begitu mencintai Stanley. Apa pun yang Stanley katakan, dia percayai sepenuhnya. Namun pada akhirnya, dia hanya dipermainkan.Tiga bulan lalu saat mendengar berita pernikahan Stanley, Livy kehilangan berat badan hingga 10 kilogram dalam waktu 10 hari. Tubuhnya sangat lemah, se
Wajah Livy memerah seketika. Dia berusaha untuk meronta sambil melirik ke arah pintu dengan panik karena takut ada yang tiba-tiba masuk."Kenapa cari aku?"Preston berusaha menenangkan diri dan bersikap lebih sopan. Namun, dia sendiri juga tidak mengerti mengapa bisa tergoda ketika melihat Livy. Seolah-olah kehilangan akal sehat, Preston yang seperti ini benar-benar berbeda dengan dirinya yang biasa.Livy berdiri tegak dan merapikan pakaiannya. "Aku ... akan dipecat. Seharusnya, itu bukan perintah darimu, 'kan?" tanya Livy dengan hati-hati.Bagaimanapun, mereka baru saja menikah pagi ini. Alasan mereka mendaftarkan pernikahan ini adalah karena Livy adalah karyawan perusahaan ini. Dengan demikian, Preston bisa lebih mudah mencari Livy dan memintanya untuk berakting kapan saja jika diperlukan.Itulah alasannya, Livy yakin bahwa pemecatannya ini tidak ada kaitannya dengan Preston. Lagi pula, Preston tidak pernah menyebutkan bahwa dia harus tinggal di rumah sebagai ibu rumah tangga."Apa y
Livy ragu sejenak. Dia tahu Nicky selalu menganggapnya sebagai teman baik, dan kemungkinan besar telepon semalam telah membuatnya khawatir.Setelah memastikan melalui cermin bahwa luka-lukanya sudah tertutup dengan baik dan tidak terlihat, dia berganti pakaian dan turun ke bawah.Mobil Nicky terparkir di dekat air mancur yang tidak jauh dari rumahnya."Maaf ya, Nicky, semalam aku cuma terlalu tertekan. Maaf kalau aku mengganggumu," kata Livy dengan nada menyesal.Temannya tidak banyak, terutama setelah dia putus dengan Stanley. Livy awalnya berpikir bahwa hubungan mereka juga akan berakhir, tetapi nyatanya, Nicky tetap menjadi temannya."Nggak apa-apa. Orang yang bisa masuk ke Grup Sandiaga pasti orang-orang hebat, jadi wajar kalau merasa tertekan. Tapi, Livy, kamu sudah sangat luar biasa," jawab Nicky sambil memperhatikan Livy dengan saksama.Dia tahu ada sesuatu yang disembunyikan Livy darinya. Namun, mengingat posisinya sebagai teman biasa, dia merasa tidak punya hak untuk bertanya
"Kalau begitu ... aku istirahat satu hari saja, boleh?" tanya Livy dengan ragu.Meskipun nada bicara Preston terdengar dingin, Livy dapat merasakan kepedulian dalam ucapannya. Hatinya terasa hangat dan dia pun berbicara dengan nada yang lebih lembut, "Sayang, aku benar-benar nggak apa-apa. Aku sangat memedulikan proyek ini dan aku ingin menyelesaikannya.""Kalau begitu, nanti malam aku akan pulang untuk mengganti obatmu. Kalau memang nggak ada masalah besar, baru kamu boleh kembali bekerja," jawab Preston dengan nada datar.Livy menghela napas lega. Saat melihat Preston bersiap untuk pergi, dia buru-buru bertanya, "Lalu ... soal Zoey?""Akan aku urus," jawab Preston sambil melirik jam tangannya, lalu pergi ke kantor tanpa bicara lebih lanjut.Setelah sarapan, Tina masuk ke kamar Livy sambil membawa obat salep. Dia membuka perban yang melilit tubuh Livy. Begitu melihat luka-luka yang terlihat jelas, matanya langsung memerah dan air mata mulai menetes."Dasar bajingan nggak punya hati! B
Margo terdiam sesaat, lalu menggelengkan kepala dengan panik. "Pak Preston, nggak ada yang suruh aku! Aku cuma ... aku cuma lihat Bu Livy sangat cantik, jadi punya niat jahat .... Aku salah, aku benar-benar salah! Aku janji nggak akan berani lagi. Tolong, beri aku kesempatan kali ini!""Masih belum mau bicara jujur?" Bendy yang sudah kehilangan kesabarannya, menendang keras ke arah Margo. "Kalau nggak ada yang bekerja sama denganmu, mana mungkin kamu bisa membawa mobil Keluarga Sandiaga begitu saja?"Margo tersentak. Dia tergagap sambil berusaha menjawab, "Aku ... aku ...."Bugh!Tendangan keras dari Preston menghantam perut Margo dan membuat pria itu mengerang kesakitan. Sebelum dia sempat meminta ampun lagi, Preston berdiri dengan tenang dan melangkah ke arahnya. Dengan sepatu kulit mahalnya, dia menginjak tangan Margo dan memutar-mutar kakinya hingga menghasilkan suara mengerikan seperti tulang retak.Margo menjerit keras, tetapi suara dingin Preston menghentikan semua kata-katanya.
Di samping tempat tidur, Livy melihat ponselnya yang hampir rusak total. Layarnya retak dan tulisannya nyaris tidak terlihat jelas. Namun, dengan susah payah, dia berhasil menekan tombol panggil tanpa memastikan nama kontak yang dipilihnya.Dia merasa terlalu putus asa. Mengingat bahwa terakhir kali dia berbicara dengan Charlene, Livy menghubungi nomor itu tanpa berpikir panjang.Setelah telepon tersambung, dari ujung sana terdengar suara angin menderu.Mungkin karena akhirnya menemukan seseorang yang bisa menjadi tempat bersandar, air mata yang telah lama dia tahan kembali mengalir deras. Dengan suara yang serak dan penuh emosi, dia berkata, "Charlene, aku merasa aku telah salah memilih jalan ....""Aku merasa sangat lelah setiap hari. Aku nggak tahu harus bagaimana lagi. Bisa nggak kamu temani aku besok? Aku cuma butuh waktu sore."Namun, tidak ada suara yang langsung menjawab. Keheningan yang panjang di ujung telepon membuat Livy berpikir bahwa ponselnya sudah terlalu rusak untuk me
Mimpi buruk yang menakutkan perlahan memudar.Di depannya, hanya ada Preston. Tangannya digenggam erat oleh tangan besar Preston, memberikan rasa tenang yang perlahan mengusir rasa takutnya. Suaranya yang dalam dan tegas terdengar di telinganya."Margo sudah aku tangani. Nggak perlu khawatir lagi.""Baik ...." Livy akhirnya merasa sedikit lega. Namun, genggamannya semakin erat, seolah-olah tidak ingin melepas tangan Preston. Dengan suara lemah, dia bertanya, "Siapa yang kusinggung sebenarnya? Kenapa aku harus mengalami ini?"Preston menuangkan segelas air hangat dan menyerahkannya pada Livy. Dengan nada dingin dan berat, dia menjawab, "Bahran. Kamu bertemu dengannya sore tadi, bukan?"Nada bicaranya begitu dingin seperti air dari laut terdalam yang penuh kegelapan, membuat siapa pun yang mendengarnya merasa gentar."Bahran ...." Livy terdiam sesaat. Setelah beberapa detik, dia mengangguk pelan. "Ya, aku bertemu dengannya. Dia menyuruhku mengganti pemasok bahan. Aku menolak. Aku pikir i
"Apa yang mau dimainkan?" Nada bicara Preston tetap sedingin es. Tanpa memberi kesempatan pada Bahran untuk menjawab, dia menambahkan dengan dingin, "Main-main dengan nyawamu, Kak?"Suara penuh amarah itu membuat Bahran tercekat. Dia terdiam sesaat sebelum mencoba menutupi rasa takutnya dengan kemarahan palsu. "Hei, apa maksudmu?"Namun, Preston tidak berniat melanjutkan percakapan. Dia langsung memutuskan telepon tanpa sepatah kata pun.....Setelah menutup telepon, Preston kembali ke kamar. David baru saja selesai memeriksa kondisi Livy dan langsung memberi laporan begitu dia masuk."Semua cuma luka luar, nggak ada yang kena tulang. Setelah diobati dan beristirahat beberapa hari, kondisinya akan membaik," kata David."Baik." Preston menjawab singkat sambil mengarahkan pandangannya pada Livy yang terbaring di tempat tidur. Matanya dipenuhi rasa sakit yang mendalam.Melihat itu, David mendekatinya dan bertanya dengan suara pelan, "Kak Preston, kalau tadi memang sampai terjadi sesuatu y
Suara yang tidak asing itu masuk ke telinga Livy, membuat matanya yang sudah memerah menjadi lebih berkaca-kaca. Emosi yang lama dia tahan akhirnya menyeruak.Pria yang sedang melakukan kekerasan padanya, Margo, mendadak terdiam. Wajahnya berubah drastis menjadi penuh ketakutan. Dengan suara gemetar, dia berkata, "Pak Preston ...?"Bugh!Sebuah pukulan keras mendarat di wajah Margo, diikuti dengan tendangan brutal yang mengenai bagian bawah tubuhnya. Preston tidak menunjukkan belas kasihan. Tendangan itu membuat Margo terjatuh ke lantai dan merintih kesakitan sambil memegangi tubuhnya."Preston ...." Livy menatap kosong ke arah pria yang semakin dekat dengannya. Suaranya serak dan sulit didengar setelah semua penderitaan yang dia alami. "A ... akhirnya kamu datang ...."Preston segera melepas jasnya dan menyelimutkannya ke tubuh Livy yang gemetar. Saat Livy bersandar di dadanya yang hangat, semua ketahanannya hancur. Air matanya mengalir deras."Aku ... aku pikir kamu nggak akan datang
Sebagai karyawan di departemen sekretaris, Livy tahu bahwa ponselnya tidak boleh dimatikan dalam keadaan apa pun. Lagi pula, dia juga bukan tipe orang yang mematikan ponsel, bahkan saat tidur.Preston berdiri dengan cepat, ekspresinya menjadi semakin dingin. Dia memastikan, "Dia nggak ada di kantor? Apa dia bilang dia lembur di kantor?""Ng-nggak," jawab Tina gugup. "Nyonya cuma bilang akan pulang lebih lambat."Nada Tina semakin penuh kecemasan. "Tuan, biasanya Nyonya nggak pernah seperti ini, tiba-tiba nggak bisa dihubungi. Jangan-jangan dia ...."Kata-kata Tina terputus. Dia buru-buru meludah beberapa kali, mencoba menepis pikiran buruk. "Nggak mungkin, nggak mungkin ada sesuatu yang terjadi pada Nyonya."Namun, Preston tidak lagi mendengarkan. Dengan penuh ketegangan, dia menutup telepon dengan cepat dan segera menghubungi anak buahnya. "Cari tahu di mana Livy! Kalau dalam satu jam kalian nggak menemukannya, kalian nggak perlu kembali lagi!"....Sementara itu, di dalam ruangan sem
Setelah hampir sepanjang hari berkeliling pasar, Livy berhasil mendapatkan gambaran harga dari bahan-bahan yang dibutuhkannya. Setelah data terkumpul, dia berencana untuk pulang, menyusun dokumen, dan mulai merancang kerja sama sesuai kebutuhan.Namun, ada yang aneh. Remis yang dimintanya untuk menjemput pada pukul enam, masih belum muncul meskipun waktu sudah lewat lebih dari setengah jam. Saat hendak menelepon untuk menanyakan keberadaannya, sebuah mobil yang dikenalnya berhenti di depannya.Seorang pria yang mengenakan masker berada di balik kemudi. Matanya tampak sedikit gugup saat menatap Livy, lalu berkata, "Apakah ini Bu Livy? Aku adik Remis. Barusan dia mendadak kena radang usus buntu dan harus dibawa ke rumah sakit. Aku datang untuk mengantar Bu Livy pulang.""Baiklah," jawab Livy tanpa berpikir panjang.Remis yang merupakan sopir Keluarga Sandiaga, selalu siap siaga kapan saja. Livy berpikir, mungkin selama ini dia tidak menjaga pola makan dengan baik, sehingga jatuh sakit.S