"Nggak apa-apa, aku nggak mau merepotkanmu. Kamu fokus saja sama pekerjaanmu, aku bisa pulang sendiri." Livy memaksakan senyumnya dan menolak dengan lembut. Dia tidak ingin menyusahkan Linda lebih dari ini. Linda hanya membantu karena merasa berutang budi pada Charlene, dan Livy tidak ingin terus memanfaatkan kebaikannya.....Saat Livy turun ke lantai bawah untuk pulang, dia bertemu seseorang yang tidak asing lagi di lorong.Wanita itu tak lain adalah Sylvia.Livy terkejut. Kenapa Sylvia ada di sini? Di sisi lain, Sylvia juga memperhatikannya. Dengan senyum tipis, dia melambaikan tangan sambil menggerakkan kursi rodanya mendekat."Bu Livy," sapa Sylvia. Nada bicaranya lembut, tetapi tatapannya penuh sindiran. "Kamu datang untuk nyari Preston?" Dia menatap Livy dengan ekspresi menghakimi, lalu melanjutkan, "Aku tahu kalian bukan pasangan sungguhan. Jadi, apa yang kamu lakukan ini nggak terlalu berlebihan?"Ucapan Sylvia seperti pisau yang menusuk langsung ke hati Livy. Kata-kata itu me
"Aku ke sini mengantarkan obat untuk temanku," jawab Livy.Preston mengernyitkan dahi, "Dia lupa bawa obat lagi?"Livy mengangguk. "Kebetulan aku mau bertemu dengannya, jadi sekalian bawakan obat.""Preston, kamu tahu sendiri, wanita yang kerja di tempat begini pasti butuh obat-obatan dengan cepat. Mereka harus meminumnya sesegera mungkin, itulah kenapa Bu Livy terburu-buru mengantarkannya. Bukan begitu, Bu Livy?" Sylvia tiba-tiba menyela dengan nada sarkastik, sambil tersenyum tipis dan menatap Livy dengan penuh sindiran.Preston ikut memandang Livy, seolah-olah menunggu jawabannya.Livy tahu maksud Sylvia. Namun, dia tidak mau kalah dan menjawab dengan tenang, "Temanku cuma flu biasa. Obatnya juga nggak mendesak. Minum sebelum tidur juga nggak masalah, bukan penyakit serius."Preston masih menatapnya dengan curiga. "Flu? Bukannya sudah lama? Masih belum sembuh?" Nada bicaranya terdengar datar, tapi jelas dia meragukan penjelasan Livy.Hati Livy mencelos. Sepertinya Preston lebih perc
"Itu karena ayahku yang memohon padaku," ujar Livy pelan. "Aku butuh waktu lama untuk memutuskan membicarakan ini padamu. Bagaimanapun juga, Zoey pernah melakukan hal yang nggak pantas, jadi sulit bagiku untuk mengajukan permintaan ini ....""Tapi bagaimanapun juga, dia tetap adikku. Dan ini permintaan dari ayahku, jadi aku ingin mencoba memohon kesempatan terakhir untuknya." Wajah Livy terlihat begitu lemah dan menyedihkan, tetapi sebenarnya, semua itu hanyalah akting semata.Begitu Zoey kembali ke Grup Sandiaga, Livy tidak akan membiarkannya hidup dengan tenang. Dengan banyaknya karyawan di sana, Zoey pasti akan tenggelam dalam gunjingan dan hinaan mereka.Jika Rivano sangat mencintai kekuasaan dan kehormatan, maka dia harus memulainya dengan melihat kehancuran putrinya yang paling dia sayangi.Tak satu pun dari mereka akan mendapatkan kehidupan yang damai!"Kamu sudah pertimbangkan matang-matang? Kamu benar-benar mau ngasih dia kesempatan lagi? Kamu tahu, aku muak sekali padanya. Di
Livy kehabisan napas akibat ciuman yang begitu intens. Namun, akal sehatnya akhirnya kembali mendominasi dan dia mendorong pria di depannya dengan sekuat tenaga.Preston mengernyitkan dahi, menunjukkan kebingungan atas penolakannya yang tiba-tiba. Dia bahkan bertanya, "Apa aku membuatmu sakit?"Preston mengira masalahnya ada pada dirinya. Lagi pula, Livy pernah menunjukkan sikap yang cukup aktif sebelumnya, sehingga dia sama sekali tidak menduga kalau Livy menolak hal ini terjadi."Aku ... aku ...." Livy tidak tahu harus memberi alasan apa. Preston sudah memergokinya, jadi satu-satunya pilihan adalah berpura-pura lemah. Dengan wajah memelas, dia berkata, "Aku cuma capek ... tubuhku rasanya kurang sehat."Ekspresi Preston berubah serius. Dia tampak khawatir dan berkata, "Kalau begitu, aku suruh David untuk memeriksamu.""Nggak perlu." Melihat Preston sudah mengeluarkan ponselnya, Livy buru-buru menolak. "Aku baik-baik saja. Bukan sakit, hanya terlalu capek ... sangat mengantuk. Aku hany
Livy menoleh dan melihat Preston, merasa agak terkejut dengan kemunculannya yang tiba-tiba. Mata Livy tampak berkaca-kaca, membuatnya terlihat rapuh dan sedih. Tatapan itu membuat dada Preston terasa sesak."Kamu ini kenapa?! Kenapa nggak pakai baju tidur?" tanya Preston dengan suara serak penuh kemarahan.Dia berusaha keras menekan emosinya ... bukan karena marah pada Livy, melainkan pada dirinya sendiri karena kehilangan kendali.Namun, Livy yang tidak tahu hal itu justru semakin panik. Suara Preston yang keras membuatnya lebih gugup. Dengan wajah memerah karena malu, Livy buru-buru berlari ke arah lemari untuk mengambil baju tidur.Namun karena terlalu terburu-buru, handuk yang menutupi tubuhnya terlepas dan jatuh ke lantai, bahkan membuat kakinya tersandung.Brak!Tubuh Livy jatuh ke lantai dengan lutut terlebih dahulu. Rasa sakit menjalar seketika. Livy meringis dan memejamkan mata sambil menahan nyeri di lutut serta rasa malu. Ingin rasanya dia menghilang sekarang juga.Sebelum L
Livy merasa tegang, seolah-olah ada sebuah tangan besar yang mencengkeram hatinya. Seketika, dia merasa dilema.Livy tidak tahu harus menjawab apa. Masalahnya adalah dia tidak tahu apa yang ada di pikiran Preston. Preston tidak seperti ingin membatalkan kontrak dengannya. Kenapa Preston begitu peduli padanya? Apa karena merasa bersalah?"Nggak lagi ...," jawab Livy dengan lirih.Preston meletakkan salepnya, lalu mendongak menatap Livy. Di depannya adalah kulit yang putih dan mulus, tulang selangka yang indah. Meskipun Livy meringkuk, dia tetap terlihat menawan.Livy bisa merasakan tatapan panas itu. Kulitnya seolah-olah terbakar. Bukan hanya wajahnya, tetapi kulitnya juga memerah.Pemandangan indah ini membuat setiap saraf dalam tubuh Preston menegang. Preston merasa dirinya seperti kecanduan narkoba.Preston sontak bangkit, lalu langsung menuju ke kamar mandi. Setelah pintu ditutup, Livy mendengar suara air mengalir. Kotak obat masih diletakkan di sampingnya. Livy duduk dengan tubuh t
Livy tak kuasa menelan ludahnya. Dia bisa merasakan suasana aneh ini. Seketika, dia merasa gugup. Pikirannya hampa. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan sekarang."Hm." Livy mengiakan dengan lirih, mencoba untuk menggeser kakinya. Namun, tangan besar itu tidak ingin melepaskan kakinya.Seketika, wajah Livy memerah. Preston masih menatapnya lekat-lekat, tidak memberinya kesempatan untuk menenangkan diri.Saat berikutnya, sebelum Livy tersadar dari lamunannya, Preston tiba-tiba membalikkan tubuh Livy dan menindihnya. Ciuman yang liar sontak mendarat, membuat Livy tidak sempat berpikir ataupun melawan. Dia seperti es yang dilelehkan oleh api ........Livy terlambat ke kantor. Namun, dia tidak perlu cemas karena Preston sudah berjanji tidak akan memotong gajinya.Setelah Livy duduk di kursinya, Ivana tiba-tiba mendekat. "Livy, kamu nggak enak badan ya? Erick sudah balik. Aku kira kamu kira ketakutan sampai nggak berani datang kerja lagi.""Nggak kok, sudah mendingan. Aku cuma agak pusi
Wajah Livy memerah. Dia tidak berani lanjut membayangkan. Dia khawatir dirinya makin terjerat.Makanya, Livy memberi tahu Preston bahwa dia tidak akan makan siang di atas hari ini. Preston tidak setuju, mengira Livy akan melewatkan waktu makan di kantin. Livy pun menegaskan berulang kali bahwa dia akan makan tepat waktu. Setelah itu, Preston baru menyetujui permintaannya.Alhasil, hal ini justru membuat Ivana salah paham. Ivana mengira Livy bertengkar dengan Bendy. Livy terpaksa menjelaskan, "Pak Preston nggak menyuruhku melaporkan pekerjaan beberapa hari ini. Makanya, aku makan di kantin.""Kalau begitu, aku harus berterima kasih kepada Pak Preston karena membebaskanmu. Kalau nggak, kita nggak bakal bisa makan bersama lagi." Ivana tertawa. "Terus, gimana dengan Bendy? Dia pesan makanan sendirian dan makan di ruangannya?""Seharusnya begitu ...," jawab Livy dengan kaku. Ekspresinya terlihat sangat canggung. Dia hanya bisa mengucapkan maaf di dalam hatinya kepada Bendy."Gimana kalau ki
"Kenapa sih? Aku melakukan semua ini demi kebaikanmu!"Zoey merasa Livy benar-benar tidak tahu berterima kasih. Dengan nada kesal, dia mengumpat, "Kamu sendiri nggak bisa mempertahankan Pak Preston, aku membantumu, tapi kamu malah bersikap begini!""Kamu sadar nggak, bahkan gelar Nyonya Sandiaga saja nggak diakui? Kalau sampai kalian bercerai, kamu bakal keluar tanpa sepeser pun! Asal kamu mau memperbesar masalah ini, bagaimanapun juga, kamu tetap nggak akan dirugikan!"Sebenarnya, Zoey juga tidak benar-benar ingin membantu Livy. Namun, setelah berdiskusi dengan ibunya, mereka menyadari bahwa hanya dengan membantu Livy, mereka bisa mendapatkan keuntungan.Lagi pula, dia sudah memegang kelemahan Livy. Kalau Livy tidak bekerja sama dengannya, dia akan benar-benar habis!"Aku sudah bilang, urusanku bukan urusanmu!"Livy berteriak hingga suaranya hampir serak, "Aku juga nggak pernah ingin jadi Nyonya Sandiaga yang diumumkan ke publik, dan aku nggak butuh orang lain memperlakukanku dengan b
Grup itu adalah grup gosip perusahaan.Sebelumnya, Ivana pernah ingin memasukkan Livy ke dalamnya, tetapi Livy merasa grup itu terlalu ramai dan penuh dengan gosip yang tidak penting. Lagi pula, dia juga tidak tertarik membahas hal-hal seperti itu, jadi dia menolak untuk bergabung.Namun sekarang, setelah jam kerja usai, seseorang mengirimkan pesan yang memicu kehebohan di grup tersebut.Meskipun hanya ada satu orang yang memulai percakapan, Livy sudah cukup terkenal di perusahaan, jadi banyak orang yang ikut berkomentar.[ Pantas saja! Aku pernah beberapa kali melihat Livy naik mobilnya Pak Preston. Lagian, kalian nggak merasa aneh kalau dia bisa naik jabatan secepat itu? ][ Kalau nggak ada sesuatu di belakangnya, aku pasti nggak percaya! Tapi aku nggak nyangka, ternyata dia punya hubungan sama Pak Preston! ][ Aku nggak percaya! Pak Preston itu kaya, tampan, dan luar biasa! Mana mungkin dia tertarik sama wanita seperti Livy? ][ Pokoknya yang jelas, Livy sudah menikah dan suaminya p
Pria itu memiliki proporsi tubuh yang nyaris sempurna. Mantel panjang hitam yang dia kenakan membingkai tubuhnya yang tinggi dengan sangat pas dan menampilkan sosok yang luar biasa gagah."Sayang, kamu ...."Livy ingin memanggil Preston untuk makan bersama, tetapi pria itu justru berjalan mendekat dengan ekspresi dingin. Dia menatap Livy dari atas ke bawah dengan mata hitam pekat yang dipenuhi dengan kejengkelan. Dengan suara marah, dia bertanya, "Apa lagi yang kamu lakukan?""Hah?"Livy tidak mengerti maksudnya, tetapi sebelum dia bisa bertanya lebih lanjut, tangan besar pria itu sudah mencengkeram bahunya dengan kuat dan menyeretnya ke atas.Cengkeramannya begitu kasar, membuat Livy terpaksa terseret menaiki tangga dengan terburu-buru. Bahkan, karena langkahnya yang terlalu cepat, lututnya terbentur sudut tangga dengan keras.Namun, Preston tidak menunjukkan tanda-tanda ingin berhenti. Dia terus menyeret Livy hingga ke kamar, lalu mendorongnya ke sofa dengan kasar."Kamu begitu ingin
Siapa yang peduli? Preston mengernyit. Apakah dia peduli pada Livy?Tangan yang menggenggam gelas tiba-tiba berhenti, lalu dia menuangkan lagi segelas minuman untuk dirinya sendiri dan berkata dengan nada dingin, "Dia cuma istri kontrakku, nggak lebih.""Iya, nih. David, kamu terlalu berlebihan. Bu Livy memang perempuan yang baik, tapi bagaimanapun juga, dia dan Preston berasal dari dunia yang berbeda."Sylvia menyela pembicaraan, lalu mendekati Preston dengan berpura-pura baik dan mengingatkan dengan lembut, "Preston, aku tahu kamu ingin memperlakukan Bu Livy dengan baik. Tapi bagaimanapun juga, dia berasal dari latar belakang yang berbeda dari kita. Kalau kamu terus memberinya barang-barang mewah, itu malah bisa membuatnya merasa terbebani."Perkataan itu membuat Preston sedikit penasaran. "Kenapa?""Karena bagi Livy, barang-barang itu sangat mahal, bahkan satu saja bisa setara dengan gajinya selama bertahun-tahun. Orang seperti dia akan merasa bahwa kesenjangan di antara kalian terl
Kalau begitu, Livy juga jangan berharap hidupnya akan baik-baik saja!"Zoey, kalau mau gila, jangan cari aku!" Livy tidak ingin meladeni Zoey lagi dan segera pergi. Namun, setelah kembali ke kantornya, kelopak mata kanannya terus berkedut. Dia merasa seolah-olah sesuatu akan terjadi.Sebelum pulang, dia naik ke lantai atas untuk mencari Preston dan melaporkan perkembangan proyek. Namun, setelah mengetuk pintu beberapa kali, tidak ada jawaban dari dalam. Akhirnya, dia menghubungi Preston lewat telepon."Ada apa?"Di seberang sana, suara Preston terdengar seakan dia sedang berada di tempat hiburan. Ada suara musik samar-samar dan yang lebih menyakitkan, Livy mendengar suara Sylvia yang begitu akrab di telinganya."Preston, bukannya sudah bilang hari ini jangan bahas pekerjaan?" Suara manja Sylvia terdengar cukup jelas, seolah-olah dia menempel di sisi Preston."Aku cuma bicara sebentar," jawab Preston dengan suara rendah, sebelum akhirnya beralih ke Livy, "Bu Livy, kalau soal pekerjaan,
Karena kejadian semalam, Livy hampir terlambat masuk kerja pagi ini. Baru saja dia selesai absen, suara yang sudah lama tidak terdengar kembali menyapanya. "Livy!"Setelah sekian lama tidak bertemu, Zoey tampaknya menjalani hidup yang cukup baik.Pakaian bermerek yang dikenakannya semakin banyak dan di lehernya terlihat bekas merah yang sangat mencolok. Tanda bahwa hubungannya dengan Ansel semakin erat."Ada urusan apa?" Livy meliriknya dengan dingin, tidak ingin membuang waktu untuknya.Namun, Zoey sama sekali tidak merasa tersinggung dan justru berkata dengan percaya diri, "Aku butuh bantuanmu."Livy mengernyit, merasa Zoey benar-benar terlalu tidak tahu malu, lalu menolak mentah-mentah, "Aku nggak ada waktu.""Livy, kamu sok jual mahal apa sih? Apa kamu benar-benar mengira dirimu sudah jadi nyonya besar? Kaki Sylvia sebentar lagi sembuh, 'kan? Aku peringatkan kamu, begitu dia berhasil, kamu pasti akan dibuang sama Pak Preston!"Zoey menghalangi Livy di pintu masuk, kata-kata tajamny
Charlene masih terus bergosip, "Ngomong-ngomong, Preston sudah nggak muda lagi, ya? Terus katanya dulu juga nggak pernah dekat sama cewek, nggak ada gosip macam-macam. Jangan-jangan dia nggak ada tenaga di ranjang? Kalau kamu ngerasa kurang, aku tahu nih ada obat yang ....""Nggak perlu, Charlene!"Livy buru-buru memotong, mencengkeram ponsel erat-erat, lalu menurunkan suaranya, "Dia di bagian itu sangat kuat.""Apa?"Suaranya terlalu kecil, Charlene di seberang sana tidak mendengarnya dengan jelas. "Maksudmu kamu masih mau? Atau jangan-jangan dia nggak bisa?""Bukan!" Livy hampir melonjak, suaranya langsung meninggi, "Preston sangat kuat, dia nggak butuh obat sama sekali!""Ohh ...." Charlene menarik nadanya dengan panjang, jelas sekali dia sedang menggoda.Livy benar-benar malu. Dia buru-buru mengganti topik. Setelah mengobrol tentang beberapa gosip ringan, akhirnya dia menutup telepon.Setelah merasa cukup berendam, Livy mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Dia melirik pakaian tidur
Tatapan Preston sedikit melunak, alisnya pun tampak lebih rileks. Lalu, dengan nada tenang, dia berkata, "Livy, aku kaya, tampan, dan selain temperamenku, aku bisa memberimu semua yang kamu inginkan.""Dalam pernikahan, pasangan seharusnya saling memahami. Lagi pula, aku nggak merasa sering marah. Kebanyakan waktu, itu karena kamu yang melakukan kesalahan."Hah?Livy semakin bingung.Bukankah tadi Preston ingin menceraikannya? Menghubungkan sikapnya tadi malam dan hari ini, sebuah pemikiran yang sulit dipercaya muncul di benaknya.Livy menatap Preston dengan ragu, lalu bertanya dengan hati-hati, "Jadi ... kamu bersikap baik padaku hari ini karena aku bilang kamu mudah marah?"Tidak mungkin! Jadi, semua yang Preston lakukan adalah ... cara halus untuk menenangkannya?"Jadi, menurutmu aku benar-benar pemarah?" Preston menjepit sepotong daging panggang ke dalam mangkuknya, matanya menatapnya dengan tajam.Ini pertanyaan yang menentukan antara hidup atau mati.Livy buru-buru menggeleng. "S
Livy menggelengkan kepala, sedikit ragu-ragu saat menjawab, "Pak Preston sangat sibuk setiap hari, kurasa dia nggak punya waktu untuk mengurusi hal seperti ini.""Jadi ... kita cuma bisa diam saja menerima ini?"Ivana tampak tidak terima, matanya penuh dengan kekesalan saat berkata, "Kamu sudah bekerja keras selama ini dan cuma dihargai sejuta? Bu Sherly benar-benar keterlaluan! Awalnya aku pikir dia cukup baik, tapi ternyata dia pencemburu sekali!"Livy terdiam sejenak. Dia merasa ini bukan sekadar masalah iri hati.Perasaan aneh yang dia rasakan semakin kuat. Seolah-olah Sherly menargetkannya bukan hanya karena iri, tetapi juga karena alasan lain yang tidak bisa dia jelaskan. Jika dia benar-benar ingin menyingkirkan Sherly, hanya mengandalkan masalah bonus proyek ini tidak cukup.Bagaimanapun juga, meskipun tindakan Sherly tidak etis, dia tetap mengikuti prosedur formal. Jadi, Livy tidak punya alasan yang cukup kuat untuk menindaknya. Merasa frustrasi, Livy hanya bisa memfokuskan dir