"Sekarang memang belum, tapi bukan berarti ke depannya nggak bakal ada hubungan istimewa, 'kan?""Benar, benar! Erick mengejarmu dengan sangat serius. Aku yakin sebentar lagi, kamu bakal jatuh cinta.""Erick tampan dan berbakat. Aku rasa kalian sangat serasi.""Aku lihat dia sangat perhatian, bahkan menunjukkannya secara terang-terangan. Lihat saja teh ini, masih panas.""Dia pasti suka Livy, makanya mengejarnya secara terang-terangan. Dia bukan playboy. Soalnya aku nggak pernah dengar rumornya dengan wanita lain.""Aku rasa pengorbanan Erick ini harus dihargai. Livy, kamu boleh mempertimbangkannya."Para rekan kerja sibuk mengobrol. Livy pun merasa pusing. Dia sama sekali tidak merasa senang, melainkan merasa terbebani."Sudah, jangan dibahas lagi. Aku rasa Erick belum tentu serius. Jangan kira kasih kopi kasih teh saja sudah bisa memenangkan hati Livy. Memangnya hati wanita begitu mudah didapatkan?" Ivana akhirnya maju untuk membela Livy. Kemudian, dia membujuk para staf untuk bubar.
Livy yakin dugaannya benar. Jika dia bermoral, dia seharusnya mengambil inisiatif untuk mundur. Hanya saja ....Stanley belum mendapat ganjaran yang setimpal. Keluarga Taslim masih hidup dengan tenang di luar sana. Jika meninggalkan Preston, dia tidak akan punya kesempatan untuk membalas dendam pada Keluarga Taslim.Livy telah mengambil risiko besar pada rencana sebelumnya. Siapa sangka, Chloe bisa memaafkan tindakan Stanley itu. Hal ini membuat perasaan Livy sungguh campur aduk.Setibanya di depan ruang kantor Preston, Livy ragu-ragu sejenak. Pada akhirnya, dia menarik napas dalam-dalam dan mengetuk pintu."Masuk." Terdengar suara Preston. Livy membuka pintu dan masuk. Ruangan ini tidak berbeda dari biasa, tetapi Livy agak gugup. Dia khawatir Preston mencarinya untuk membatalkan kontrak.Livy merasa dirinya sangat tidak tahu malu. Dia seharusnya berinisiatif mundur, merestui hubungan Preston dengan Sylvia. Namun, dia malah tidak ingin Preston mengakhiri kontrak mereka. Livy benar-bena
Makin dipikirkan, Livy merasa makin kesal."Gimana denganmu, Pak? Sebelumnya kamu dirumorkan gay. Terus, apa kamu benaran gay?" tanya Livy balik dengan keras kepala.Tiba-tiba, Preston tertawa. Tawa ringannya ini terdengar merdu dan seksi. Hal ini membuat Livy tak kuasa teringat pada suara napas Preston yang membuatnya merasa geli.Begitu menyadari dirinya teringat pada kejadian malam itu, Livy buru-buru mengenyahkan pikiran itu dan menahan kegelisahannya."Livy, menurutmu?" tanya Preston tiba-tiba.Livy tidak menjawab, merasa ada yang tidak beres."Jawab dong." Preston mengangkat dagu Livy, memaksanya untuk bertatapan dengannya. Sepasang mata bertemu pandang. Livy memalingkan wajahnya dengan panik."Menurutmu, aku gay atau bukan?" Preston maju supaya makin dekat dengan Livy. Suaranya sangat menggoda.Sebelum Livy sempat bereaksi, dia merasakan sakit dan sensasi basah di daun telinganya. Ternyata Preston menggigit telinganya.Sekujur tubuh Livy bergetar bak tersengat listrik. Perasaan
Jumat malam, Livy pulang kerja tepat waktu. Setelah merapikan barang-barangnya, dia mengirim pesan kepada Preston. Alhasil, Preston yang menyuruhnya jangan lembur malah sedang rapat.Setelah Livy menunggu selama sejam, keduanya baru berangkat ke rumah lama. Setibanya di sana, Tristan langsung menanyakan kabar Livy."Kamu sudah bawa Livy pergi periksa belum?" tanya Tristan setelah duduk di meja makan."Sudah, David bilang nggak ada masalah. Tapi, dia belum pulih sepenuhnya. Harus tunggu sampai dia sembuh dulu," jawab Preston.Livy awalnya kebingungan. Pada akhirnya, dia baru paham bahwa Tristan sedang mendesak mereka untuk segera melahirkan keturunan.Seketika, Livy merasa canggung. Dia juga teringat pada rumor yang didengarnya dari Ivana, yang mengatakan istri Preston sakit-sakitan.Pantas saja, Tristan terlihat terburu-buru dan langsung menanyakan kesehatannya. Jika Livy benar-benar sakit-sakitan, Tristan mungkin akan menentang hubungan ini.Livy tidak merasa sedih. Wajar jika keluarg
Kemudian, Livy duduk di seberang Tristan. Tristan mendongak memandang langit malam. Livy mengikuti arah pandangnya.Bulan dan bintang menyinari, membuat suasana terasa hening dan diliputi kerinduan. Livy menatap Tristan. Tatapan Tristan saat memandang langit dipenuhi kesedihan. Dia seharusnya merindukan seseorang yang telah tiada.Livy bisa merasakan hal yang sama. Lagi-lagi, dia teringat pada neneknya. Kerinduan seketika membanjiri benaknya."Mereka seharusnya melewati kehidupan bahagia di atas sana," gumam Livy."Semoga begitu ...." Tristan tak kuasa menghela napas, lalu mengelus janggutnya dan menggeleng. "Kehidupan nggak selalu sempurna, sama seperti bulan. Momen saat bersamanya adalah momen paling bahagia dalam hidup."Livy menoleh menatap Tristan. Dia kurang memahami siapa orang yang dimaksud Tristan. Apakah itu istri sahnya atau wanita yang melahirkan Preston?Samar-samar, Livy bisa merasakan bahwa orang yang dimaksud seharusnya adalah ibu Preston. Bagaimanapun, jika Tristan ben
Seketika, Livy bak disiram air dingin. Pikirannya menjadi lebih jernih.Benar, Preston hanya memanfaatkannya untuk menjadi istri gadungan. Preston tidak mungkin mau mempunyai anak dengannya. Itu sebabnya, Preston merasa ucapan Livy agak lancang. Sepertinya, Preston takut Sylvia salah paham padanya.Wajah Livy agak memucat, tetapi dia merasa jauh lebih lega. Jika dia menjadi Preston, dia pasti juga merasa kesal dengan sikapnya yang membuat keputusan sendiri seperti ini. Bagaimanapun, akan merepotkan jika Sylvia merajuk dan salah paham."Maaf, aku terlalu kepo. Aku cuma nggak ingin melihat ayahmu sedih. Lain kali aku nggak bakal begini lagi ...." Usai berbicara, suasana menjadi hening. Livy berbalik dan pergi ke kamar mandi. Dia ingin mandi dan istirahat.Bukan hanya batinnya yang lelah, tetapi fisiknya juga. Dia sangat sibuk seharian. Demi tidak lembur, dia sampai menahan pipis dan tidak istirahat supaya waktunya tidak terbuang. Meskipun begitu, belum semua pekerjaannya beres. Livy bern
Namun, selama dia masih berada di Grup Sandiaga, ke depannya pasti akan ada kesempatan untuk bekerja sama dengan Erick. Penolakan yang terlalu keras juga bisa menyinggung Erick, dan hal ini membuat Livy merasa bingung.Untungnya, minggu ini Erick sepertinya sedang melakukan perjalanan bisnis. Livy bisa menetap dengan baik di perusahaan dan dia juga terbebas dari gangguan berupa kopi yang dikirim olehnya. Kebetulan malam ini Charlene sedang punya waktu luang. Mereka berdua bertelepon dan Livy mengeluh tentang masalah ini kepadanya."Pasti ada yang aneh dengan Erick ini! Mana ada orang dekatin perempuan begini? Dia bahkan maksa kamu untuk traktir dia makan minggu ini? Ini seperti ancaman!" Charlene merasa ada yang tidak beres setelah mendengarnya, "Dia pasti nggak suka kamu!"Aku juga merasa begitu." Livy bukan orang bodoh, dia memiliki intuisi itu. Meskipun dia sangat yakin Erick sedang mendekatinya, sepertinya bukan karena suka padanya.Selain itu, mereka hampir tidak memiliki hubungan
Livy tiba-tiba terpaku. Kemudian, dia teringat alasan yang digunakannya terakhir kali untuk membohongi Preston. Pria itu tiba-tiba bertanya seperti ini, mungkinkah ....Livy menggigit bibirnya, seketika merasa canggung. Kenapa Preston harus seperti ini? Jelas-jelas dia sudah punya Sylvia. Apakah Sylvia tidak bisa memenuhi kebutuhannya? Atau ada alasan lain? Namun, dia ....Belum sempat Livy bereaksi, pria itu sudah melangkah cepat mendekatinya, menariknya ke dalam pelukan, dan menciumnya dengan paksa. Secara refleks, Livy berusaha meronta. Preston, yang tampak sedikit tidak sabar, akhirnya melepaskannya.Livy menggelengkan kepala dengan keras."Belum selesai?" Pria itu mengerutkan alis, jelas terlihat tidak senang. Livy terpaksa berpura-pura bodoh dan mengangguk.Wajah Preston terlihat muram, ekspresinya seperti kecewa, dan dengan nada datar dia berkata, "Malam ini nggak perlu tunggu aku, aku tidur di ruang kerja."Karena dia sudah pulang, Preston tidak berencana pergi lagi. Namun, tid
Astaga, situasi macam apa ini?Telinga Livy terasa panas membara. Tanpa bisa dikendalikan, pikirannya mulai dipenuhi gambaran-gambaran yang tidak senonoh.Akhirnya, dia memutuskan untuk tidak membalas pesan mesum dari Preston. Dia mengalihkan perhatiannya kembali ke pekerjaan dan mulai mencari informasi tentang Mathias.Informasi tentang pria itu cukup terbatas di internet. Katanya, dia adalah pria paruh baya yang merintis usahanya dari nol dan dikenal memiliki cara bicara yang baik.Namun, ada juga beberapa rumor negatif yang menyebutkan bahwa selama bertahun-tahun, dia diam-diam berselingkuh dari istrinya dan memiliki banyak wanita di luar.Livy tidak tahu mana yang benar dan mana yang tidak. Yang bisa dilakukan hanya mempersiapkan diri, mempelajari berbagai hal tentang musik, catur, kaligrafi, dan lukisan.Meskipun dia tahu usahanya mungkin tidak terlalu berpengaruh, setidaknya itu lebih baik daripada tidak mempersiapkan apa pun.Setelah sibuk sepanjang sore, Livy akhirnya tiba di r
"Livy, ke mana saja tadi? Kenapa lama sekali tanpa bilang apa-apa ke kami? Jangan-jangan kamu malas-malasan?"Pria paruh baya itu berdiri dengan perut buncitnya. Meskipun gemuk, dia tetap berusaha memakai jas seperti orang lain. Namun, penampilannya malah seperti agen asuransi yang sedang mengalami krisis paruh baya.Livy mengerutkan keningnya sedikit dan menjelaskan, "Pak Preston mencariku, ada beberapa hal yang harus disampaikan.""Oh, ternyata Pak Preston ...." Umay menyipitkan matanya, tampak sedikit mengejek. "Ya, wajar saja Pak Preston masih memperhatikanmu. Bagaimanapun, dulu kamu bekerja di bawahnya.""Tapi, aku harap wanita sepertimu nggak langsung berpikir macam-macam hanya karena seorang pria bersikap baik sedikit kepadamu. Ingat, Pak Preston sudah punya istri. Lebih baik kamu realistis saja dan pertimbangkan untuk ....""Kak Umay, sebenarnya ada urusan apa mencariku?" Melihat pria menyebalkan di depan berbicara semakin tidak sopan, Livy buru-buru memotong ucapannya."Nggak
Livy tertegun. Preston ... apa maksudnya?Preston kembali berkata, "Dia cuma keponakanku, sedangkan kamu adalah istriku."Oh, jadi begitu. Livy mengerti sekarang. Bagi Preston, statusnya sebagai istri memang sedikit lebih tinggi daripada status seorang keponakan. Namun, hanya sebatas itu. Hanya karena saat ini, dia masih menjadi istri Preston."Lebih baik nggak usah," ujar Livy setelah berpikir sejenak. "Aku juga jarang punya waktu untuk memakai tas seperti ini. Kalau cuma disimpan di rumah, rasanya akan terbuang sia-sia.""Biarkan saja terbuang sia-sia," kata Preston dengan tidak acuh. Baginya, uang seperti ini hanyalah jumlah kecil. Jika istrinya menyukai sesuatu, dia akan membelinya tanpa peduli apakah benda itu akan terpakai atau tidak."Tapi ...." Livy masih ingin berkata sesuatu, tetapi Preston sudah menariknya ke dalam pelukan."Aku memberikan hadiah untuk istriku, tapi kamu malah menolaknya berulang kali? Kamu pikir aku miskin sampai nggak sanggup membelikanmu sesuatu sekecil i
"Mana mungkin!" Livy buru-buru melambaikan tangannya. "Di departemen sekretaris masih ada banyak senior. Kamu juga termasuk salah satu senior buatku. Jangan bicara seperti itu.""Ya, ya, aku paham." Ivana buru-buru menutup mulutnya, lalu melanjutkan, "Aku serius kali ini. Pak Preston mencarimu, dia suruh kamu ke atas.""Kenapa kamu yang mencariku?" Livy sedikit terkejut. Biasanya kalau ada urusan seperti ini, Bendy yang datang menemuinya.Ivana menjawab, "Sepertinya Pak Bendy ada urusan mendadak. Dia cuma sempat mampir sebentar ke departemen sekretaris untuk menyampaikan pesan. Sudahlah, Livy, cepat naik ke atas. Siapa tahu Pak Preston berubah pikiran dan mau memindahkanmu kembali ke departemen sekretaris!"Tidak mungkin, 'kan? Semalam Preston sudah mengatakan bahwa dia tidak akan memindahkannya kembali sebelum misinya selesai.Dengan penuh rasa penasaran, Livy segera mengetuk pintu kantor Preston."Masuk."Saat mendorong pintu, Livy melihat Preston sedang tidak bekerja. Pria itu memeg
"Hah?" Livy sempat mengira dirinya salah dengar. Namun, saat melihat Preston menunggu dengan ekspresi seperti ingin dilayani, dia yakin bahwa dirinya tidak salah dengar.Membantu dia mandi? Dia menatap laki-laki di hadapannya dengan mata membelalak.Sebagian besar pakaiannya sudah terlepas, memperlihatkan tubuh ramping dengan garis otot yang tegas. Di bawah cahaya lampu, sosok itu terlihat begitu mencolok hingga membuat jantungnya berdebar.Ditambah lagi dengan wajah Preston yang dingin, tegas, dan sempurna, semuanya memberikan dampak visual yang sangat kuat.Sejak kejadian itu, sebenarnya sudah beberapa hari berlalu sejak terakhir kali mereka melakukannya. Seorang wanita ... juga memiliki kebutuhannya sendiri.Livy berdeham, mencoba menahan rasa malu yang merayap di hatinya. Dia terus mengingatkan diri sendiri bahwa dia masih membutuhkan bantuan pria ini.Sambil menggigit bibirnya, dia mulai membuka kancing kemeja Preston. Sesudah itu, dia bergerak turun ke celana. Ketika tiba giliran
Preston masih punya sedikit kendali atas dirinya sendiri. Lagi pula, setelah 2 hari berturut-turut, tubuh Livy pasti masih butuh waktu untuk beristirahat dengan baik."Kalau begitu ... 6 juta?" Dengan berat hati, Livy menambahkan 2 juta lagi. Wajahnya pun terlihat tegang. "Benaran nggak bisa lebih lagi? Bonusku sedikit banget."Terakhir kali, dia hanya mendapat 1 juta. Itu bahkan tidak cukup untuk membayar satu hidangan Preston."Beberapa hari lagi, bagian keuangan akan mentransfer sisa bonusmu yang sebelumnya. Jadi, kamu nggak bakal sampai kekurangan uang. Lagi pula, bukannya aku sudah kasih kamu kartu? Punya uang tapi nggak dipakai. Kamu bodoh ya?" Nada suara Preston terdengar agak pasrah.Bonus sebelumnya? Livy kaget dan baru teringat. Dia buru-buru bertanya, "Masalah dengan Sherly itu ulahmu ya?"Meskipun kemungkinan besar jawabannya adalah iya, dia tetap ingin memastikan. "Hmm, aku menyuruh Bendy menyelidikinya.""Bonusmu ternyata disalahgunakan oleh Sherly, jadi aku meminta bagia
Jantung Livy seakan-akan berhenti berdetak sejenak. Dia awalnya hanya ingin bertingkah manja untuk mencari jalan pintas, tetapi Preston malah menanggapinya dengan serius.Setelah tertegun sesaat, Livy tiba-tiba merasa dirinya seperti seorang badut. Benar juga, mereka ini pasangan suami istri macam apa?Mereka bukanlah pasangan dalam arti yang sesungguhnya. Jadi, Preston sama sekali tidak punya kewajiban untuk berbagi rahasia bisnis dengannya. Bisa jadi, dia justru sedang menjaga jarak dan tidak ingin berbagi dengannya."Kenapa diam?" Melihat Livy termenung, Preston semakin kesal dan kembali bertanya, "Apa kamu punya sedikit perasaan untukku?""Kenapa nggak? Tentu saja punya." Livy tidak mengerti kenapa pria ini tiba-tiba marah. Tadi, dia sempat mengira Preston tersinggung karena dirinya terlalu percaya diri, tetapi sekarang kenapa justru bertanya soal perasaan?Apakah dia ingin Livy membujuknya? Livy tidak yakin. Atau Preston sedang menguji perasaannya yang sebenarnya?Pada akhirnya, L
Tadi dia ... sudahlah.Preston berdeham pelan, lalu sedikit mengubah topik pembicaraan. "Soal barbeku itu, akhir pekan ini kamu bawa aku ke sana.""Hah?" Livy tampak terkejut dan buru-buru mengingatkan, "Tempat itu cukup terpencil dan semua mejanya di luar ruangan. Aku takut kamu bakal kurang nyaman makan di sana.""Kamu bisa makan, kenapa aku nggak bisa?" balas Preston dengan santai."Baiklah."Lagi pula, Preston yang minta sendiri. Jangan sampai nanti setelah diajak, dia malah menunjukkan ekspresi tidak senang. Itu pasti akan membuat Livy kesal.Sambil menuangkan segelas air lagi untuk dirinya sendiri, Livy menyadari tatapan yang dilayangkan Preston kepadanya. Dengan sigap, dia juga menuangkan segelas air untuk pria itu.Preston menerima air putih yang diberikan Livy, lalu tiba-tiba berkata, "Aku dengar kamu berhasil mengamankan kerja sama ini hanya dalam 5 hari.""Mm ... sebenarnya masih banyak yang belum aku pahami, jadi butuh waktu cukup lama. Tapi, ya sudahlah, setidaknya ini lan
Ryan berbicara dengan pelan, tetapi kata-katanya mengandung makna menyindir jika didengar dengan lebih saksama. Namun, kata-kata itu juga terdengar sedang mengeluh. Ryan sedang mengeluh padanya?Namun, begitu pemikiran itu muncul, Livy langsung menepis pemikiran itu dan berpikir itu pasti hanya sekadar mengeluh biasa saja. Ryan bisa mengajak seseorang dengan mudah, tetapi dia malah menolak undangannya tiga kali. Oleh karena itu, wajar saja jika Ryan mengeluh."Maaf, aku benar-benar agak sibuk," jelas Livy dengan suara pelan."Nggak masalah, aku sudah memaafkanmu," kata Ryan sambil tersenyum dan tatapannya terlihat santai, seolah-olah bisa menarik perhatian siapa pun yang melihatnya."Selesai!"Setelah mengambil beberapa foto lagi, Hesti segera mengembalikan ponselnya pada Ryan dan berkata dengan semangat, "Tuan Ryan, kamu dan Livy benar-benar terlihat sangat serasi, aku sampai nggak tahan untuk mengambil beberapa foto lagi.""Nggak masalah, terima kasih," kata Ryan sambil kembali menge