"Dia tidak akan peduli dengan apa yang kamu lakukan, Jangan membuang waktu?" ujar Vivian.Marcus mendekati Vivian yang terikat di kursi," Kita lihat saja nanti, Apa reaksinya setelah mengetahui kamu di sini."Dua hari berlalu, dan Billy merasa semakin gelisah. Ia sudah berulang kali mencoba menghubungi Vivian, namun nomornya terus tidak aktif. Dengan langkah tergesa-gesa, Billy kemudian menekan nomor resepsionis hotel tempat Vivian bekerja. Tak lama kemudian, seorang wanita dengan suara lembut menjawab panggilan tersebut. "Hallo, dengan saya Yuniz dari hotel. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya. Dalam nada dingin, Billy langsung menanyakan keberadaan Vivian. "Apakah Vivian Alexander ada di sana?" tanyanya. Mendengar pertanyaan tersebut, Yuniz tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, "Vivian sudah dua hari tidak masuk kerja, Tuan. Nomornya juga tidak aktif. Saya tidak tahu pasti keberadaannya." Billy merasa aneh dan penasaran, Tanpa berpikir panjang, ia langsung memutuskan panggil
"Kali ini aku akan Jerman untuk memastikan sesuatu, setelah selesai aku akan kembali. Andaikan pria itu serius mencintai Vivian aku akan kembali. Jika pria itu berniat jahat padanya...aku akan merebut dia kembali," kata Bryan dengan tekad."Aku yakin Emily pasti sedih dan kecewa," kata Alexa yang merasa simpatiMicheal menatap tajam pada Alexa," Kenapa kamu peduli padanya? Sejak awal dia sudah berniat memisahkan Bryan dan Vivian. Saat itu mereka masih suami istri. Buka matamu besar-besar. Jangan karena dia seorang dokter yang cantik kau malah merasa simpati padanya!" kata Micheal dengan nada kesal."Aku tahu maksudmu, Aku hanya simpati saja bukan berniat lain," jawab Alexa."Jangan lupa, kamu sudah memiliki seorang istri, Jangan sampai tergoda oleh air mata buaya!" ucap Micheal dengan tegas."Aku bukan tipe pria yang tidak setia, tenang saja!" jawab Alexa dengan yakin.***Celine duduk di kursi ruang kerjanya, matanya terus melihat layar handphone yang tergeletak di atas meja. Sudah
Jhones yang menerima perintah langsung, Beranjak dari sana. Sementara Billy juga pergi dengan terburu-buru. ia ingin segera menemukan keberadaan Vivian.Di sisi lain, Celine yang menerima panggilan dari Marcus segera menyediakan uang sesuai permintaannya. Dengan bantuan Alex, supirnya. ia menarik sejumlah uang dari bank di hari itu juga. Sesampai di bandara ia langsung mengabulkan permintaan Marcus."Direktur, bagaimana kalau kita menghubungi polisi?" tanya Alex yang mengangkas tas uang ini dan dimasukan ke dalam bagasi mobil.Celine yang cemas dan duduk di belakang mobil, ia menjawab," Sudah terlambat, aku tidak ingin nyawa Vivian terancam.""Apakah Jenderal akan tiba pada waktunya?" tanya Alex yang sedang menyetir.Celine mengeleng kepalanya dan berkata," Tidak akan sempat lagi, semalam Bryan menghubungiku. Dia akan mengutuskan anggotanya untuk melindungi kita. Aku merasa aneh dan penasaran dengan sesuatu," jawab Celine."Tentang apa?" tanya Alex."Suara pria yang menculik Vivian s
Marcus tersenyum sinis dan mengejek," Sudah lama tidak bertemu, tidak kusangka kita bertemu di sini. kelihatannya kamu sudah kaya."Celine menatap kesal pada pria itu," Kau adalah orang yang menculik putriku?" tanya Celine dengan nada ketus.Marcus terdiam sejenak dan menatap hina pada Celine," Menculik putrimu? Maksudmu wanita itu adalah putrimu? Pria mana yang begitu sial menikahimu? Aku tidak menyangka kamu bisa melahirkan lagi," kata Marcus dengan menghina.Tatapan tajam Vivian menembus Marcus yang tersenyum sinis sambil mengejek. Ia seakan ingin membunuh lelaki itu hanya dengan pandangannya. Wajah Vivian merah padam, amarah yang mendalam terpancar dari setiap pori-porinya. "Jaga mulutmu!" ketus Vivian yang ditahan oleh dua anggota Marcus yang menggenggam erat lengannya. "Vivian," seru Celine dengan suara parau, mencemaskan putrinya yang sedang berada dalam bahaya. "Ma, aku tidak apa-apa, lapor polisi saja. Tidak usah berikan uangnya!"kata Vivian dengan suara lantang, mencoba me
Billy tertawa keras dan jelas. "Hahaha...karma ini adalah karmamu," ejeknya sambil menatap Marcus dengan tatapan sinis. Raut wajah Marcus berubah menjadi kebingungan, kesal, dan kemarahan. "Apa yang lucu?" tanya Marcus dengan suara bergetar, mencoba menyembunyikan kekhawatirannya. Billy tersenyum mengejek, "Kau mengancam putrimu sendiri, Bukankah ini adalah karmamu? Lepaskan Vivian atau kau yang akan kehilangan nyawamu." Dia melirik ke sekeliling, memberi kode kepada anggota gengnya yang sekarang mengarahkan senapan mereka ke arah Marcus. Wajah Marcus semakin pucat, keringat dingin bercucuran di keningnya, dan kakinya mulai lemas. Dia merasa terpojok dan tidak memiliki pilihan lain selain melepaskan Vivian. Vivian, yang baru sadar siapa pria itu, Dengan mata berkaca-kaca dan suara penuh kemarahan, dia berkata, "Kalau kau adalah papaku, Maka, kau adalah orang yang paling tidak layak dimaafkan. Aku membencimu." Marcus terpaku mendengar kata-kata Vivian, seolah sebuah pukulan keras
Dalam keadaan panik, Billy melarikan Vivian ke rumah sakit dengan terburu-buru. Keringat dingin mengucur deras di keningnya, sementara nafasnya tersengal-sengal akibat berlari. Begitu sampai di rumah sakit, ia langsung berteriak memanggil dokter yang ada di sana. Celine dan Alex yang mendengar teriakan Billy langsung menyusul dengan wajah yang penuh kekhawatiran. Para dokter dan suster segera bergerak cepat, mendorong ranjang beroda untuk membaringkan Vivian yang dalam kondisi pingsan. Dengan sigap, mereka membawa Vivian menuju ke ruang rawat, berusaha menyelamatkan nyawanya."Dokter, tolong selamatkan putriku?" pinta Celine dengan cemas, tak sanggup menyembunyikan kekhawatiran yang mendalam. Dokter mengangguk seraya berjanji akan berusaha semaksimal mungkin. Setelah Vivian dimasukkan ke ruang perawatan, Billy dan Celine menunggu dengan cemas di luar ruangan. Tiba-tiba, Billy mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang. Wajahnya terlihat marah, namun suaranya tetap terjaga aga
Billy berjalan dengan langkah pasti menuju kurungan tempat Marcus dan para tawanan lainnya terpenjara. Wajah Marcus memperlihatkan rasa sakit yang luar biasa; darah mengalir dari luka tembak di lengannya dan bekas siksaan yang dia terima dari anggota geng Billy. "Hebat sekali, menculik anak sendiri demi menantangku. Sepertinya kamu sudah salah besar," ujar Billy dengan senyum sinis, menatap Marcus yang terbaring lemah di lantai kurungan. "Di mana dia?" tanya Marcus dengan suara parau, menahan sakit yang menyiksa tubuhnya. "Telah dilarikan ke rumah sakit," jawab Billy santai, "Kau menyiksanya dan tidak memberi dia makan. Suami dan ayah sepertimu tidak pantas dihargai." Wajah Marcus memerah karena kemarahan dan rasa bersalah yang membanjiri hatinya. Matanya menatap tajam ke arah Billy, namun dia tidak bisa mengeluarkan suara lagi untuk membalas ocehan pria itu. "Kalau bukan karena Vivian, Aku sudah membunuhmu dari sejak tadi, Aku tidak ingin meninggalkan kesan buruk bagi putrimu. S
Celine langsung terdiam, dan menyadari betapa sakitnya perasaan putrinya yang sebelumnya tersakiti oleh mantan suaminya, Bryan."Vivian, andaikan...kalau saat ini Bryan kembali, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Celine.Vivian tersenyum dan berkata," Untuk apa lagi? Bukankah dia sudah bahagia sekarang. Andaikan mereka sudah berpisah aku juga tidak akan bersatu dengannya. Cukup sekali kita mencintai seorang pria jangan sampai kedua kali mencintai orang yang sama," jawab Vivian."Kalau Bryan ada alasan melakukan itu, Apakah kamu akan memaafkan dia?" tanya Celine lagi."Mengkhianati pasangan sendiri adalah sesuatu yang tidak bisa dimaafkan. Ma, sudah nasibku harus gagal dua kali pernikahanku. Aku benar-benar takut dan sudah trauma. Aku bahkan tidak ingin mengingat mereka lagi!" jawab Vivian.Celine menghela nafas, dan memegang tangan putrinya," Baiklah, Mama tidak akan mengungkitnya lagi. Untuk saat ini apakah Billy akan menjadi pilihanmu?" "Ma, aku butuh waktu untuk mempertimbangkan,
Justin yang melihat dirinya dikepung semakin yakin akan segera ditahan oleh mereka.Justin berdiri tegak di hadapan Bryan, wajahnya penuh amarah dan keputusasaan. Seluruh tubuhnya gemetar, namun ia tetap bersikeras untuk menuntut balas. "Kau membunuhnya sama saja membunuhku, Bryan Anderson," bisik Justin dengan suara parau. "Di saat itu juga, aku ingin mati bersamamu." Para prajurit mengarahkan senjata ke arah Justin, namun tiba-tiba Bryan mengangkat tangannya dan memberi perintah. "Kalian semua tahan! Jangan menembak tanpa perintah dariku!" Semua prajurit segera menurunkan senjata mereka, tak berani melawan perintah dari pemimpin mereka. Bryan menatap Justin dengan tatapan tajam, Bryan mengangkat senjatanya dan menodongkannya ke arah Justin. "Bukankah ini yang kau inginkan, Justin?" tantang Bryan, suaranya terdengar tenang namun tajam. "Kita akan saling menembak dan menguji kecepatan. Siapa yang kalah, dia yang mati!" Mereka saling menatap, matanya beradu, menunggu siapa yang akan
Salah satu anggota Justin, melangkah cepat menuju ruangan Justin dan memberi laporan dengan nafas terengah-engah, "Tuan, berita buruk. Bryan Anderson memimpin sekelompok prajuritnya mengepung kawasan kita. Bukan hanya dari dekat, mereka juga mengawasi dari jauh. Teman-teman kita tidak bisa berkutik." Justin tersentak kaget, wajahnya memerah oleh kegemasan yang mulai memuncak. Ia segera membuka jendela ruangannya dan melihat ke arah luar sana. Matanya melihat banyak prajurit yang mengelilingi kawasan tempat tinggalnya, mereka bersiap dengan senjata di tangan dan tatapan yang tajam. "Sialan, Bryan Anderson, aku belum bertindak. Mereka sudah menyerang dulu," desis Justin dengan marah, mengepal tangan hingga knuckle-nya memutih. "Lawan mati-matian! Walau tidak ada jalan keluar, kita harus tetap lawan hingga pertumpahan darah!" perintah Justin.Anggotanya mengangguk, kemudian berlari keluar ruangan untuk mengumpulkan anggota lainnya. Sementara itu, Justin berdiri tegak, menatap luar jen
Bryan mencium bibir istrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang, tangannya memeluk tubuh ramping Vivian dengan penuh perhatian. Di tengah kehangatan pelukan itu, Bryan menatap dalam-dalam mata istrinya dan berkata dengan suara lembut, "Aku ingin mengandeng tanganmu hingga akhir hayatku! Tidak peduli dalam kondisi apa pun. Aku akan tetap menjadi suami yang baik dan setia. biarkan aku yang menjadi kakimu di saat kamu ingin berjalan!" Mendengar ucapan tulus Bryan, hati Vivian terenyuh. Seulas senyum bahagia menghiasi bibirnya dan ia merasa semangat hidupnya kembali membara. "Terima kasih!" ucap Vivian sambil memeluk Bryan balik, merasakan kehangatan yang mengalir dari tubuh suaminya. Bryan kemudian melepaskan pelukan mereka dan menatap istrinya dengan tatapan penuh harapan. "Vivian, setelah urusan di sini selesai, kita akan ke China menjumpai tabib untuk menyembuhkan kakimu," kata Bryan dengan penuh keyakinan. Mendengar kata 'tabib', Vivian terkejut dan penasaran. "Tabib?" tanyanya
Rysa berdiri dengan gemetar, menatap Bryan dengan mata yang berkaca-kaca. Ia merasa terpojok, tak tahu harus berkata apa untuk membela diri. "Tuan, Aku tidak mengerti maksudmu, Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ujar Rysa yang ketakutan dan berusaha membela diri. Bryan menatapnya dengan tatapan tajam dan dingin. Ia melempar foto dan data ke wajah Rysa sehingga berterbangan dan jatuh berserakan di lantai. Rysa menunduk, merasa terhina, dan memungut foto-foto tersebut dengan tangan gemetar. "Kalau bukan karena kau pergi ke rumah mewah itu, Aku masih tidak tahu ternyata kamu adalah utusan Lion, yang sebelumnya menyamar sebagai pekerja di toko bunga. Apa kau masih tidak mengaku?" tanya Bryan dengan suara keras dan penuh kemarahan. "Tuan, aku...," ucap Rysa terdiam, ketakutan. Wajahnya tampak pucat, dan tangannya terus gemetar. Ia mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk meyakinkan Bryan bahwa ia tidak bersalah, namun terasa sulit. Bryan melangkah mendekat, membuat Rysa mu
Vivian menatap Bryan dengan mata berkaca-kaca, lalu mengeluarkan lembaran laporan medis milik Bryan dari amplop besar itu. Dia membacanya dengan seksama, dan hampir tidak percaya dengan laporan tersebut. Menurut laporan itu, Bryan telah melakukan vesektomi, prosedur pembedahan yang dilakukan untuk membuatnya mandul secara permanen.Bryan melihat kebingungan di wajah Vivian dan menghela napas sebelum berbicara, "Sebelum Hanz meninggal, aku meminta bantuannya. Aku tahu...melakukan ini tanpa sepengatahuanmu adalah salahku. Saat itu kamu baru keguguran. Aku tidak ingin kamu semakin tertekan." Mata Vivian membelalak, tak menyangka suaminya menyembunyikan rahasia sebesar ini darinya. "Kamu selalu berharap bisa memiliki seorang anak denganku. Tapi aku bukan tidak mau. Aku tidak ingin anak kita sama menderitanya denganku. Cukup aku saja yang menderita!" ungkap Bryan dengan suara bergetar."Lalu, untuk apa kamu memberitahu aku sekarang?" tanya Vivian yang memasukan kembali laporan tersebut.
Malam itu, langit diliputi awan tebal dan rembulan menyembunyikan diri. Bryan terbaring di atas kasurnya dengan pikiran yang kalut, merenung tentang permasalahan dalam rumah tangganya. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka pelan dan sosok Rysa muncul dari baliknya. Dalam diam, Rysa menghampiri Bryan yang tampak lelah dan terlelap. Setiap langkahnya begitu hati-hati, tak ingin membangunkan pria itu. Begitu dekat dengannya, Rysa mulai melepaskan pakaiannya satu per satu, menampakkan tubuh putih mulusnya yang begitu menggoda. Dua gundukan besar di dada Rysa terlihat menonjol, dan bagian bawah tubuhnya juga terbuka lebar, memancarkan aura yang memikat. Rysa menatap Bryan dengan tatapan penuh nafsu, lalu berbisik dalam hati, "Bryan Anderson, malam ini juga aku akan membuatmu melupakan istrimu itu." Perlahan, Rysa mencium wajah Bryan yang masih terlelap, namun tiba-tiba pria itu terbangun dan menatap Rysa dengan ekspresi terkejut. Dia segera menahan tangan wanita itu dan bertanya dengan nada ke
Lily kemudian memberitahu apa saja yang dia ketahui selama ini," Nyonya, mengetahui setiap larut malam Rysa mendatangi ruangan pribadi Anda. Nyonya hanya diam dan tidak ingin menganggu. Walau pun begitu sebenarnya nyonya selalu menangis di setiap malam. Saya juga selalu melihat nyonya menolak bantuan dari Rysan. Walau pun nyonya sudah tidak nyaman dengan keberadaan Rysa. Tapi nyonya tetap diam dan bungkam. Tidak tahu apa yang dipikirkan nyonya!" Bryan semakin merasa bersalah terhadap istrinya, Ia mengingat kembali permintaan Vivian yang tidak membutuhkan Rysa. Akan tetapi Bryan bersikeras menolak permintaannya."Ternyata karena kesalahpahaman sehingga Vivian meminta dia pergi, kenapa aku tidak bisa membaca pikiran istriku sendiri," sesal Bryan sambil mengusap wajahnya."Vivian, Aku akan membuktikan padamu, bahwa aku sama sekali tidak mengkhianatimu. Secantik apa pun atau sesempurna apa pun wanita lain. Mereka tidak sebandingmu di mataku," batin Bryan.Di sisi lain, Rysa melangkah den
Vivian kembali ke kamarnya, matanya terasa sembab setelah sepanjang hari menangis. Begitu memasuki kamar, ia segera mengambil semua botol obat yang ada di atas meja. Ia membuka tutup botol-botol itu satu per satu, dan menggenggam butiran obat yang beraneka warna dalam tangannya. Dengan mengunakan kursi roda, ia menuju ke kamar mandi dan membuang semua obat tersebut ke dalam toilet. Vivian menatap pil-pil yang hanyut di dalam air, kemudian menekan tombol siram. Butiran obat langsung tenggelam, seakan membawa perasaan putus asa yang melanda dirinya. Dada Vivian sesak saat ia merenungkan betapa suaminya, Bryan, ternyata telah menjalin hubungan dengan wanita lain. Baginya, kondisi tubuhnya yang cacat kini sudah tidak penting sama sekali. Ia merasa sudah kehilangan segalanya, dan tak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah kenyataan tersebut. Ia duduk di kursi roda dan masih berada di kamar mandi, menangis sambil menahan suaranya agar tidak terdengar oleh orang lain. Kemarahan dan kekes
Keesokan harinya.Vivian hanya duduk sambil menatap Rysa yang merapikan kamarnya. Ia masih berbayang suaminya yang begitu peduli pada wanita itu."Nyonya, air sudah saya sediakan, Saya akan mengambil pakaian Anda sekarang," kata Rysa yang membuka pintu lemari dan mengambil pakaian Vivian.Tanpa beralih pandangan, Vivian memperhatikan Rysa dari atas hingga ujung kaki. Ia merasa iri dengan kecantikan yang dimiliki wanita itu. Dibandingkan dirinya yang sama sekali bukan tandingannya.Vivian hanya bisa kecewa pada dirinya, yang tidak mampu melakukan tanggung jawab sebagai seorang istri. Walau ia sangat cemburu dengan Rysa yang kini telah menjadi perhatian suaminya. Akan tetap ia tetap memilih diam."Aku akan mandi sendiri, Kamu pergilah lakukan pekerjaanmu yang lain!" perintah Vivian."Nyonya, Saya harus membantu Anda mandi. Kalau tidak akan bahaya kalau Anda sendiri berada di kamar mandi," kata Rysa.Vivian menatap wanita itu dengan senyum paksa," Aku ingin melakukannya sendiri, Supaya