Tak lama kemudian, Billy melepaskan ciumannya dan menatap dalam-dalam ke mata Vivian. Kedua tangannya mengelus lembut pipi wanita itu, mencoba meyakinkan perasaannya. "Vivian, apakah kamu bersedia hidup bersamaku?" tanya Billy dengan suara lembut, penuh harap. Vivian menatap Billy dengan air mata yang tak terbendung di pelupuk matanya. "Billy, aku pernah dikhianati dua kali dalam hidupku. Aku bahkan tidak tahu siapa yang bisa aku percaya lagi," ucap Vivian dengan suara bergetar, mencoba mengungkapkan ketakutannya. Billy tersenyum, mencoba memberikan ketenangan pada wanita di hadapannya. "Kalau begitu, biarkan aku menjadi orang yang bisa kamu percayai, Vivian. Aku akan berubah menjadi pribadi yang lebih baik, dan perasaanku padamu tidak akan pernah berubah. Percayalah padaku," ujar Billy dengan penuh keyakinan, lalu melanjutkan ciumannya yang lembut dan penuh cinta pada Vivian.Tanpa mereka sadari, ada sosok yang tak terduga sedang mengamati mereka dari luar. Murfy, seorang pria berb
Beberapa hari kemudian, Jhones datang menghampiri Billy yang sedang duduk di ruang tamu sambil membaca koran. Dengan ekspresi serius, Jhones memberikan sebuah amplop coklat yang tampak sudah lusuh kepada Billy. Dengan rasa penasaran, Billy segera membuka amplop tersebut dan mengeluarkan beberapa lembar berkas yang terlipat rapi di dalamnya. Billy memperhatikan setiap detail yang tertulis di berkas itu, lalu menatap Jhones dengan pandangan tajam. "Apakah ini adalah alamat pengirim?" tanya Billy sambil menunjuk alamat yang tertera di salah satu lembar berkas. "Iya, Tuan. Tapi, orangnya sudah pindah. Dia adalah seorang pria yang hanya sewa kamar itu sehari. Aku yakin dia hanya mengelabui posisi tempat dia berada," jawab Jhones dengan nada yakin. "Sudah periksa rekamannya?" Tanya Billy, masih dengan nada tajam dan penasaran. Sambil menatap beberapa foto seorang pria yang berpakaian serba hitam. "Sudah, Tuan. Dia sangat tertutup sehingga tidak ada yang bisa melihat wajahnya," jawab Jh
Bryan dan Billy saling menatap tajam dengan senyuman tipis di wajah mereka. Keduanya menyimpan dendam dan kebencian yang mendalam. Bagi Bryan pria yang berdiri di hadapannya adalah seorang musuh yang bakal menjadi lawan terberatnya. Sementara di mata Billy, sang Jenderal adalah pembunuh yang telah merenggut nyawa orang tuanya.Bryan dan Billy duduk berhadapan di meja makan restoran yang mewah, suasana di ruangan tersebut terasa formal dan tegang. Sementara itu, Jhones dan Andrew berdiri di luar pintu restoran, seperti dua penjaga yang siap mengawal jika diperlukan. "Tuan Maxwel, sungguh menyenangkan kita bisa bertemu hari ini," ujar Bryan dengan senyum paksa."Kebanggaanku bisa duduk bersama dengan seorang prajurit hebat," puji Billy dengan senyum palsu yang terlihat jelas di wajahnya. "Tidak tahu kesibukan apa sehingga membuat Anda datang ke Jerman?" tanya Billy, mencoba mengali informasi. Bryan menatap Billy dengan tajam, seolah menembus jantung lawan bicaranya. "Kedatanganku ada
"Walau sudah dicampakan oleh ayah dari anakku, setidaknya kita masih bisa berteman. Aku merasa kasihan padamu," ucap Emily dengan mengejek.Vivian tersenyum mendengar ejekan wanita itu," Kamu seorang dokter dan merasa bangga bisa mendapatkan suami orang. Menjadi istri kedua dari seorang Jenderal membuatmu sangat bangga. Selamat untukmu!" ucap Vivian."Aku tahu kamu menaruh dendam padaku, Harus bagaimana lagi, karena yang dipilih Bryan tetap aku orangnya," jawab Emily dengan sengaja."Bagaimana kalau aku merayakan kebahagiaan kalian? Bukankah kamu sudah hamil dan pasti Bryan sangat bahagia, bukan? Aku sebagai orang berhati besar akan merayakan untuk kalian. Apa kamu menerima permintaanku?" tanya Vivian.Emily terdiam seketika melihat ekspresi wanita itu yang hanya biasa-biasa saja."Kenapa dia tidak terlihat sedih dan malah begitu senang?" batin Emily."Kenapa melihatku terus? Apakah ada yang aneh? Atau...kamu takut suamimu itu akan menaruh perasaan padaku?" tanya Vivian.Emily terseny
Anggota Billy telah mengepung wilayah markas Elang Hitam dengan hati-hati. Mereka menodongkan senjata ke arah sasaran mereka dari jarak yang jauh, siap untuk melumpuhkan musuh jika diperlukan. Udara terasa tegang, namun mereka tetap fokus pada misi mereka. Tak lama kemudian, Billy dan anggota lainnya tiba di lokasi dengan mobil hitam yang gagah. Mereka segera turun dari kendaraan dan bergabung dengan rekan-rekan mereka yang sudah mengepung markas tersebut. "Tuan," sapa mereka dengan serentak, memberi hormat pada Billy sebagai pemimpin mereka. "Bagaimana situasi di dalam sana?" tanya Billy dengan nada tegas, menatap tajam ke arah markas Elang Hitam. "Mereka dijaga sekitar lima puluh anggota, Tuan. Namun, sisa anggota mereka tidak ada di tempat. Apakah mereka memasang jebakan?" tanya anggota yang melaporkan situasi kepada Billy, wajahnya tampak waspada. Billy menghela napas sejenak, merenungkan kemungkinan yang ada."Tim A, langsung serang dari belakang. Sisanya menunggu di sini, si
Para pembunuh bersembunyi di balik pepohonan, mereka saling berkomunikasi dengan isyarat tangan, bergerak lincah mengubah posisi mereka untuk mencari keberadaan Bryan yang tiba-tiba menghilang dari jangkauan pandang mereka. "Apakah dia menyadari keberadaan kita?" tanya salah satu penembak itu dengan wajah khawatir. "Aku tidak percaya kita tidak bisa membunuhnya," jawab yang lain. Mereka menggunakan teropong senapan untuk mencari jejak sasarannya, namun Bryan seakan menghilang ditelan bumi. Sementara itu, Bryan yang ternyata berhasil menyelinap ke ruangan lain sambil memegang senapannya dengan erat. Dengan napas yang teratur, dia berusaha mengendalikan gerak-geriknya agar tidak terlihat oleh para pembunuh. "Kita lihat saja, siapa yang mati nanti," gumam Bryan sambil mengarahkan senapannya ke arah salah satu pembunuh yang sedang bersembunyi di balik semak-semak. Dia menunggu waktu yang tepat untuk menembak. Setelah yakin bahwa bidikannya tepat mengarah ke kepala lawannya, Bryan me
Vivian membuka matanya lebar-lebar ketika melihat nama yang tertera di daftar tamu VIP hotel tempat dia bekerja. Nama itu, Bryan Anderson, mantan suaminya yang telah lama hilang dari kehidupannya. Dalam hati, Vivian merasa gugup dan cemas. Namun, ia berusaha menenangkan dirinya dan menarik nafas dalam-dalam. Ia tak ingin terlihat gegabah saat berhadapan dengan mantan suaminya nanti. "Kenapa dia bisa ada di sini? Semalam aku bertemu dengan Emily. Apakah mereka datang bersama?" gumam Vivian, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang menghantui pikirannya. Dengan perasaan campur aduk, Vivian menatap layar laptopnya, di mana nama Bryan terpampang jelas di daftar tamu VIP. "Pasangan yang luar biasa, Vivian Zanetta, kini kamu harus berhadapan dengan mantanmu sebagai pekerja hotel," ucap Vivian pada dirinya sendiri. Vivian menghela nafas dan frustasi, ia mengusap wajahnya dan memijat keningnya.Sementara Bryan berada di kamarnya, Ia berdiri di jendela sambil menatap pemandangan yang
Billy mengangkat alisnya, melirik tangan Emily sebelum melihat kembali ke wajahnya, "Apakah kau pikir aku akan menerima tawaran seperti itu?" tanya Billy dengan senyum sinis."Kamu adalah pria yang hebat, Vivian beruntung bisa mengenalmu. Bryan Anderson adalah seorang Jenderal. Tujuan dia datang ke Jerman adalah demi mendapatkan Vivian kembali. Kalau kita tidak bekerja sama...Kita akan kehilangan orang yang kita inginkan," ujar Emily."Bekerja sama denganmu? Jaminan apa yang kau berikan?" tanya Billy."Jaminan apa yang kamu minta? Kita hanya perlu bekerja sama, Asalkan aku berhasil membuat Vivian melupakan mantan suaminya, Itu berarti kesempatanmu bersamanya cukup besar. Sementara aku, butuh bantuanmu juga," jawab Emily.Billy tertawa mendengar ucapan wanita itu, Emily semakin kesal mendengar suara tawaan pria itu."Apa yang lucu? Apakah kamu menolak? Kenapa, kamu juga menyukainya, kan? Apakah kamu tidak takut bahwa Bryan Anderson telah pergi tinggal di hotel Palace?" tanya Emily." Se