"Walau sudah dicampakan oleh ayah dari anakku, setidaknya kita masih bisa berteman. Aku merasa kasihan padamu," ucap Emily dengan mengejek.Vivian tersenyum mendengar ejekan wanita itu," Kamu seorang dokter dan merasa bangga bisa mendapatkan suami orang. Menjadi istri kedua dari seorang Jenderal membuatmu sangat bangga. Selamat untukmu!" ucap Vivian."Aku tahu kamu menaruh dendam padaku, Harus bagaimana lagi, karena yang dipilih Bryan tetap aku orangnya," jawab Emily dengan sengaja."Bagaimana kalau aku merayakan kebahagiaan kalian? Bukankah kamu sudah hamil dan pasti Bryan sangat bahagia, bukan? Aku sebagai orang berhati besar akan merayakan untuk kalian. Apa kamu menerima permintaanku?" tanya Vivian.Emily terdiam seketika melihat ekspresi wanita itu yang hanya biasa-biasa saja."Kenapa dia tidak terlihat sedih dan malah begitu senang?" batin Emily."Kenapa melihatku terus? Apakah ada yang aneh? Atau...kamu takut suamimu itu akan menaruh perasaan padaku?" tanya Vivian.Emily terseny
Anggota Billy telah mengepung wilayah markas Elang Hitam dengan hati-hati. Mereka menodongkan senjata ke arah sasaran mereka dari jarak yang jauh, siap untuk melumpuhkan musuh jika diperlukan. Udara terasa tegang, namun mereka tetap fokus pada misi mereka. Tak lama kemudian, Billy dan anggota lainnya tiba di lokasi dengan mobil hitam yang gagah. Mereka segera turun dari kendaraan dan bergabung dengan rekan-rekan mereka yang sudah mengepung markas tersebut. "Tuan," sapa mereka dengan serentak, memberi hormat pada Billy sebagai pemimpin mereka. "Bagaimana situasi di dalam sana?" tanya Billy dengan nada tegas, menatap tajam ke arah markas Elang Hitam. "Mereka dijaga sekitar lima puluh anggota, Tuan. Namun, sisa anggota mereka tidak ada di tempat. Apakah mereka memasang jebakan?" tanya anggota yang melaporkan situasi kepada Billy, wajahnya tampak waspada. Billy menghela napas sejenak, merenungkan kemungkinan yang ada."Tim A, langsung serang dari belakang. Sisanya menunggu di sini, si
Para pembunuh bersembunyi di balik pepohonan, mereka saling berkomunikasi dengan isyarat tangan, bergerak lincah mengubah posisi mereka untuk mencari keberadaan Bryan yang tiba-tiba menghilang dari jangkauan pandang mereka. "Apakah dia menyadari keberadaan kita?" tanya salah satu penembak itu dengan wajah khawatir. "Aku tidak percaya kita tidak bisa membunuhnya," jawab yang lain. Mereka menggunakan teropong senapan untuk mencari jejak sasarannya, namun Bryan seakan menghilang ditelan bumi. Sementara itu, Bryan yang ternyata berhasil menyelinap ke ruangan lain sambil memegang senapannya dengan erat. Dengan napas yang teratur, dia berusaha mengendalikan gerak-geriknya agar tidak terlihat oleh para pembunuh. "Kita lihat saja, siapa yang mati nanti," gumam Bryan sambil mengarahkan senapannya ke arah salah satu pembunuh yang sedang bersembunyi di balik semak-semak. Dia menunggu waktu yang tepat untuk menembak. Setelah yakin bahwa bidikannya tepat mengarah ke kepala lawannya, Bryan me
Vivian membuka matanya lebar-lebar ketika melihat nama yang tertera di daftar tamu VIP hotel tempat dia bekerja. Nama itu, Bryan Anderson, mantan suaminya yang telah lama hilang dari kehidupannya. Dalam hati, Vivian merasa gugup dan cemas. Namun, ia berusaha menenangkan dirinya dan menarik nafas dalam-dalam. Ia tak ingin terlihat gegabah saat berhadapan dengan mantan suaminya nanti. "Kenapa dia bisa ada di sini? Semalam aku bertemu dengan Emily. Apakah mereka datang bersama?" gumam Vivian, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang menghantui pikirannya. Dengan perasaan campur aduk, Vivian menatap layar laptopnya, di mana nama Bryan terpampang jelas di daftar tamu VIP. "Pasangan yang luar biasa, Vivian Zanetta, kini kamu harus berhadapan dengan mantanmu sebagai pekerja hotel," ucap Vivian pada dirinya sendiri. Vivian menghela nafas dan frustasi, ia mengusap wajahnya dan memijat keningnya.Sementara Bryan berada di kamarnya, Ia berdiri di jendela sambil menatap pemandangan yang
Billy mengangkat alisnya, melirik tangan Emily sebelum melihat kembali ke wajahnya, "Apakah kau pikir aku akan menerima tawaran seperti itu?" tanya Billy dengan senyum sinis."Kamu adalah pria yang hebat, Vivian beruntung bisa mengenalmu. Bryan Anderson adalah seorang Jenderal. Tujuan dia datang ke Jerman adalah demi mendapatkan Vivian kembali. Kalau kita tidak bekerja sama...Kita akan kehilangan orang yang kita inginkan," ujar Emily."Bekerja sama denganmu? Jaminan apa yang kau berikan?" tanya Billy."Jaminan apa yang kamu minta? Kita hanya perlu bekerja sama, Asalkan aku berhasil membuat Vivian melupakan mantan suaminya, Itu berarti kesempatanmu bersamanya cukup besar. Sementara aku, butuh bantuanmu juga," jawab Emily.Billy tertawa mendengar ucapan wanita itu, Emily semakin kesal mendengar suara tawaan pria itu."Apa yang lucu? Apakah kamu menolak? Kenapa, kamu juga menyukainya, kan? Apakah kamu tidak takut bahwa Bryan Anderson telah pergi tinggal di hotel Palace?" tanya Emily." Se
Tuan, Apakah tidak ada hal lain? Kalau tidak ada saya harus keluar karena masih ada kesibukan lainnya," tanya Vivian dengan nada tegas. Berusaha tegar di hadapan pria itu."Vivian, Ada yang ingin aku tanyakan padamu!" ucap Bryan."Katakan saja, ada apa?" tanya Vivian yang mulai hilang kesabarannya."Aku tahu sedikit aneh aku mengatakannya, Tapi, ini masalah penting. Tolong jauhi Billy Maxwel! Dia pria yang bahaya dan akan menyakiti siapa pun ketika dia tidak suka!" pinta Bryan.Vivian tersenyum dan berkata," Apakah Anda ingin ikut campur dalam hubungan kami? Kalau menurutmu Billy adalah orang berbahaya. Maka, jumpai dia dan selesaikan dengan cara kalian! Jangan melibatkan aku!" jawab Vivian yang berpaling dan meninggalkan kamar itu."Dia adalah putra pemberontak, Jacob Maxwel yang tewas di tanganku. Billy Maxwel sudah pernah mengirim anggotanya menyerang markas kami. Selain itu, dia sudah dua kali mengirim pembunuh mengincarku. Dia juga sudah tahu hubungan kita sejak awal. Aku hanya t
"Aku lapar, Ingin makan sesuatu!" ujar Vivian yang melepaskan pelukannya."Baiklah, Aku akan memberimu makan yang kenyang, Agar kamu menjadi gemuk," ujar Billy dengan senyum.Vivian dan Billy kemudian meninggalkan hotel, Tak lama kemudian Bryan melangkah keluar melihat kepergian mereka. Sejak awal ia mengikuti Vivian dan mendengar pembicaraan mereka."Apakah dia...adalah pria yang kamu cintai sekarang? Kalau memang benar, Apa yang harus aku lakukan untukmu, Vivian?" gumam Bryan.Di sebuah restoran mewah, Billy dan Vivian duduk berhadapan di meja makan yang telah dipesan. Suasana romantis terasa begitu kental, ditambah dengan alunan musik lembut yang mengiringi malam mereka. Billy, dengan lembut dan penuh perhatian, memotong steak yang ada di piring di hadapannya. Setelah itu dia menawarkannya kepada Vivian. "Sebenarnya aku bisa melakukan sendiri," ujar Vivian. "Kalau kamu sudi, aku akan selalu melakukannya untukmu," jawab Billy dengan senyum lebar dan penuh kebahagiaan. Dalam hati,
"Kondisinya aku tidak begitu tahu pasti, info yang aku dapatkan hanyalah penyakit CIPA yang dia derita kambuh. Sisanya kamu bisa bertanya padanya," jawab Billy, menatap lurus ke arah mata Vivian, mencoba menenangkannya dengan tatapan yang penuh pengertian. Vivian menelan ludah, merasakan kerongkongan yang kering akibat kecemasan yang mendalam. " Kenapa kamu memberitahu aku tentang hal ini?Apakah kamu dan dia bermusuhan?" tanya Vivian penasaran."Benar! Aku dan dia bukan teman, dan mungkin akan menjadi musuh. Tapi, aku tidak bisa mengunakan cara licik untuk memilikimu. Aku bukan Emily yang suka mengunakan segala cara. Aku seorang pebisnis yang tidak mau kalah. Oleh sebab itu aku ingin bersaing dengan adil. Kalau aku menyembunyikan sesuatu yang aku ketahui. Itu sama saja aku membohongimu. Dalam urusan hubungan tidak ada rahasia. Bukankah begitu?" tanya Billy.Vivian terdiam menatap pria yang akan menjadi suaminya itu, Perasaannya semakin binggung dengan pilihan yang akan dia putuskan.