Para pembunuh bersembunyi di balik pepohonan, mereka saling berkomunikasi dengan isyarat tangan, bergerak lincah mengubah posisi mereka untuk mencari keberadaan Bryan yang tiba-tiba menghilang dari jangkauan pandang mereka. "Apakah dia menyadari keberadaan kita?" tanya salah satu penembak itu dengan wajah khawatir. "Aku tidak percaya kita tidak bisa membunuhnya," jawab yang lain. Mereka menggunakan teropong senapan untuk mencari jejak sasarannya, namun Bryan seakan menghilang ditelan bumi. Sementara itu, Bryan yang ternyata berhasil menyelinap ke ruangan lain sambil memegang senapannya dengan erat. Dengan napas yang teratur, dia berusaha mengendalikan gerak-geriknya agar tidak terlihat oleh para pembunuh. "Kita lihat saja, siapa yang mati nanti," gumam Bryan sambil mengarahkan senapannya ke arah salah satu pembunuh yang sedang bersembunyi di balik semak-semak. Dia menunggu waktu yang tepat untuk menembak. Setelah yakin bahwa bidikannya tepat mengarah ke kepala lawannya, Bryan me
Vivian membuka matanya lebar-lebar ketika melihat nama yang tertera di daftar tamu VIP hotel tempat dia bekerja. Nama itu, Bryan Anderson, mantan suaminya yang telah lama hilang dari kehidupannya. Dalam hati, Vivian merasa gugup dan cemas. Namun, ia berusaha menenangkan dirinya dan menarik nafas dalam-dalam. Ia tak ingin terlihat gegabah saat berhadapan dengan mantan suaminya nanti. "Kenapa dia bisa ada di sini? Semalam aku bertemu dengan Emily. Apakah mereka datang bersama?" gumam Vivian, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang menghantui pikirannya. Dengan perasaan campur aduk, Vivian menatap layar laptopnya, di mana nama Bryan terpampang jelas di daftar tamu VIP. "Pasangan yang luar biasa, Vivian Zanetta, kini kamu harus berhadapan dengan mantanmu sebagai pekerja hotel," ucap Vivian pada dirinya sendiri. Vivian menghela nafas dan frustasi, ia mengusap wajahnya dan memijat keningnya.Sementara Bryan berada di kamarnya, Ia berdiri di jendela sambil menatap pemandangan yang
Billy mengangkat alisnya, melirik tangan Emily sebelum melihat kembali ke wajahnya, "Apakah kau pikir aku akan menerima tawaran seperti itu?" tanya Billy dengan senyum sinis."Kamu adalah pria yang hebat, Vivian beruntung bisa mengenalmu. Bryan Anderson adalah seorang Jenderal. Tujuan dia datang ke Jerman adalah demi mendapatkan Vivian kembali. Kalau kita tidak bekerja sama...Kita akan kehilangan orang yang kita inginkan," ujar Emily."Bekerja sama denganmu? Jaminan apa yang kau berikan?" tanya Billy."Jaminan apa yang kamu minta? Kita hanya perlu bekerja sama, Asalkan aku berhasil membuat Vivian melupakan mantan suaminya, Itu berarti kesempatanmu bersamanya cukup besar. Sementara aku, butuh bantuanmu juga," jawab Emily.Billy tertawa mendengar ucapan wanita itu, Emily semakin kesal mendengar suara tawaan pria itu."Apa yang lucu? Apakah kamu menolak? Kenapa, kamu juga menyukainya, kan? Apakah kamu tidak takut bahwa Bryan Anderson telah pergi tinggal di hotel Palace?" tanya Emily." Se
Tuan, Apakah tidak ada hal lain? Kalau tidak ada saya harus keluar karena masih ada kesibukan lainnya," tanya Vivian dengan nada tegas. Berusaha tegar di hadapan pria itu."Vivian, Ada yang ingin aku tanyakan padamu!" ucap Bryan."Katakan saja, ada apa?" tanya Vivian yang mulai hilang kesabarannya."Aku tahu sedikit aneh aku mengatakannya, Tapi, ini masalah penting. Tolong jauhi Billy Maxwel! Dia pria yang bahaya dan akan menyakiti siapa pun ketika dia tidak suka!" pinta Bryan.Vivian tersenyum dan berkata," Apakah Anda ingin ikut campur dalam hubungan kami? Kalau menurutmu Billy adalah orang berbahaya. Maka, jumpai dia dan selesaikan dengan cara kalian! Jangan melibatkan aku!" jawab Vivian yang berpaling dan meninggalkan kamar itu."Dia adalah putra pemberontak, Jacob Maxwel yang tewas di tanganku. Billy Maxwel sudah pernah mengirim anggotanya menyerang markas kami. Selain itu, dia sudah dua kali mengirim pembunuh mengincarku. Dia juga sudah tahu hubungan kita sejak awal. Aku hanya t
"Aku lapar, Ingin makan sesuatu!" ujar Vivian yang melepaskan pelukannya."Baiklah, Aku akan memberimu makan yang kenyang, Agar kamu menjadi gemuk," ujar Billy dengan senyum.Vivian dan Billy kemudian meninggalkan hotel, Tak lama kemudian Bryan melangkah keluar melihat kepergian mereka. Sejak awal ia mengikuti Vivian dan mendengar pembicaraan mereka."Apakah dia...adalah pria yang kamu cintai sekarang? Kalau memang benar, Apa yang harus aku lakukan untukmu, Vivian?" gumam Bryan.Di sebuah restoran mewah, Billy dan Vivian duduk berhadapan di meja makan yang telah dipesan. Suasana romantis terasa begitu kental, ditambah dengan alunan musik lembut yang mengiringi malam mereka. Billy, dengan lembut dan penuh perhatian, memotong steak yang ada di piring di hadapannya. Setelah itu dia menawarkannya kepada Vivian. "Sebenarnya aku bisa melakukan sendiri," ujar Vivian. "Kalau kamu sudi, aku akan selalu melakukannya untukmu," jawab Billy dengan senyum lebar dan penuh kebahagiaan. Dalam hati,
"Kondisinya aku tidak begitu tahu pasti, info yang aku dapatkan hanyalah penyakit CIPA yang dia derita kambuh. Sisanya kamu bisa bertanya padanya," jawab Billy, menatap lurus ke arah mata Vivian, mencoba menenangkannya dengan tatapan yang penuh pengertian. Vivian menelan ludah, merasakan kerongkongan yang kering akibat kecemasan yang mendalam. " Kenapa kamu memberitahu aku tentang hal ini?Apakah kamu dan dia bermusuhan?" tanya Vivian penasaran."Benar! Aku dan dia bukan teman, dan mungkin akan menjadi musuh. Tapi, aku tidak bisa mengunakan cara licik untuk memilikimu. Aku bukan Emily yang suka mengunakan segala cara. Aku seorang pebisnis yang tidak mau kalah. Oleh sebab itu aku ingin bersaing dengan adil. Kalau aku menyembunyikan sesuatu yang aku ketahui. Itu sama saja aku membohongimu. Dalam urusan hubungan tidak ada rahasia. Bukankah begitu?" tanya Billy.Vivian terdiam menatap pria yang akan menjadi suaminya itu, Perasaannya semakin binggung dengan pilihan yang akan dia putuskan.
Dokter Cale mengangguk pelan. "Saya rasa itu salah satu alasan, Dia merasa tidak layak lagi untuk menjadi suami Anda, dan dia tidak ingin Anda hidup dalam bayangan masa lalu yang menyakitkan." "Saya tidak peduli jika dia lumpuh, Dokter. Saya mencintainya, dan saya ingin berada di sampingnya," ujarnya di antara isakannya. "Saya tahu, Tetapi Bryan hanya ingin yang terbaik untuk Anda. Dia ingin Anda hidup bahagia tanpa harus terbebani oleh penderitaannya." "Dan sekarang saya lebih merasa bersalah, karena salah paham dengannya selama ini, Bahkan saat dia di hadapanku...saya juga mengabaikannya. Saya adalah seorang istri yang jahat. Suami yang sedang sakit dan terpuruk. sebagai seorang istri saya malah tidak melakukan apa pun untuknya," kata Vivian yang semakin kecewa pada dirinya.Vivian melangkah keluar dari rumah sakit dengan langkah yang berat dan gugup, merasa seperti dunianya baru saja runtuh. Setelah mengetahui kenyataan pahit tentang penyakit Bryan, air mata mengalir deras dari
"Bryan, jangan dengarkan dia," kata Emily dengan nada memohon, "Vivian selama ini cemburu denganku karena hubungan kita." Vivian tersenyum sinis, tak ingin memberikan Emily kesempatan untuk terus berbohong. "Apakah Bryan tidak tahu tentang laporan kehamilanmu dan foto USG?" tanya Vivian sengaja, ingin melihat reaksi Bryan. Mendengar pertanyaan tersebut, wajah Bryan langsung berubah, rasa kecewa dan marah bercampur menjadi satu. "Emily, katakan! Laporan dan foto apa!" kata Bryan dengan nada tinggi, tangan terkepal menahan emosi. "Tidak ada! Bryan, Vivian hanya mencari masalah denganku. Aku tidak tahu laporan dan foto apa," jawab Emily dengan alasan, matanya menatap Bryan dengan ekspresi takut dan panik. "Emily mengirim laporan medis tentang kehamilannya dan juga foto USG, ke alamatku. Dia mengatakan dia sedang mengandung anakmu. Oleh karena itu aku datang untuk memberi ucapan selamat pada kalian," jawab Vivian sengaja menyindir Emily.Wanita itu langsung cemas dan gemetar kedua tan