Cena merangkak mendekati Andy dan memeluk kakinya sambil memohon," Jangan! Tolong jangan memberitahu dia. Aku akan melupakan kejadian ini. tidak ada yang akan mengenalmu!" Andy tertawa gembira dan kemudian berjongkok mencubit dagu wanita itu," Bukankah kamu dan suamimu sedang berpisah? Kalau begitu jadikan aku sebagai simpananmu. Mungkin dengan begitu kamu tidak akan kesepian," ujar Andy dengan senyum licik."Aku mohon lepaskan aku! Aku mohon padamu! Jangan menganggu kehidupanku dan anakku. Aku tidak mengenalmu!" pinta Cena.Di saat yang sama putra Cena, Christian. berusia 3 tahun terbangun dan melihat kejadian itu yang tepat di kamarnya. Anak itu ketakutan dan hanya berbaring sambil menutup wajahnya dengan bantal.Saat Andy melihat tangisan Cena, jelas ada sesuatu yang terbangkit dalam dirinya. Dalam sekejap, senyum licik terukir di wajahnya. "Tangisanmu membuatku tertarik lagi padamu, Wajah yang cantik dan tubuh yang indah sangat sayang sekali kalau tidak dinikmati sepuasnya," uja
"Bagaimana dengan Bryan Anderson?" tanya Andy."Mengenai Jenderal itu, kita akan membuatnya semakin sibuk dan tertekan. Bayangkan saja, kalau dalam waktu yang sama semua orang terdekatnya mengalami masalah. Apa yang akan dia lakukan," kata Joss yang memiliki rencana lain."Apakah di saat itu, Kita akan membunuhnya?" tanya Andy.Joss mengeleng-geleng kepalanya," Tuan Lion yang akan berhadapan dengannya," jawabnya.Micheal memarkir mobilnya di pelabuhan yang ramai itu. Dengan langkah pasti, ia turun dari mobil dan memandang sekeliling pelabuhan. Di sekitarnya terlihat kardus-kardus besar yang ditumpuk rapi, masing-masing tampak berisi sesuatu yang misterius. "Jaksa Micheal, Anda sudah datang," ujar Joss sambil tersenyum sinis, menunjukkan niat tersembunyi di balik tatapan matanya. "Tuan Joss, apa yang ingin Anda tunjukkan pada saya?" tanya Micheal dengan nada curiga, sambil menatap Joss yang berdiri di depannya dan melirik pada Andy, anak buah Joss yang berdiri di belakangnya dengan
"Jaksa Micheal, apakah kamu ingin mencari alasan untuk bela diri? Lebih baik utamakan dirimu dari pada ikut campur urusan orang lain," ujar Anton dengan ketus, alisnya mengerut kesal. "Detektif Anton, kamu adalah seorang detektif, kamu hanya mengenalku dan tidak mengenal siapa dia. Kenapa bisa percaya begitu saja padanya?" tanya Micheal dengan nada suara meninggi, wajahnya merah padam karena marah. "Jaksa Micheal, kami sudah tahu dia hanyalah seorang pebisnis biasa dan diminta olehmu untuk bergabung dengannya," sahut Anton dengan tenang, menunjukkan bukti-bukti yang berhasil ia kumpulkan."Aku tidak begitu bodoh melakukan bisnis ilegal, aku adalah seorang jaksa!" seru Micheal dengan emosi, tangannya terkepal erat menahan amarah. Anton menatapnya dengan tatapan tajam," Siapa saja akan tergoda ketika ada hubungannya dengan uang. Micheal Loas, dirimu adalah jaksa yang memalukan sekali," ketus Anton."Aku merasa kasihan dengan negara kita," sindir Micheal."Apa maksudmu?" tanya Anton.
Bryan melangkah gontai menuju kantor pengacara Jeff, rasa cemas dan bingung menyelimuti pikirannya. Setibanya di sana, dia langsung disambut oleh Jeff yang sudah menunggunya dengan wajah serius. "Berita ini mengemparkan seluruh kota Los Angeles, Micheal menerima hujatan dari semua penjuru. Hanya dalam beberapa menit mereka telah melupakan siapa Micheal. Bagi publik dia adalah penjual narkotika dan bukan jaksa yang hebat lagi," kata Jeff yang duduk bersama Bryan, sambil menunjukkan beberapa artikel berita di layar komputernya. Bryan menggigit bibirnya, merasakan betapa beratnya beban yang dihadapi sahabatnya. "Jeff, aku ingin kamu menjadi pengacaranya, keluarkan dia. Aku percaya padanya!" pinta Bryan dengan tegas. Jeff menghela napas, lalu mengangguk pelan. "Aku juga percaya padanya, tapi..." ucapnya sambil berpikir, "kita harus bekerja keras untuk membuktikan kebenarannya. Bukti-bukti yang ada saat ini sangat kuat dan mendukung tuduhan terhadap Micheal." Bryan mengepalkan tangann
"Tidak memiliki identitas?" tanya Jeff penasaran.Henry mengangguk dan menjawab," Benar! Jaksa Micheal pernah mengatakan kalau Joss Hunster tidak memiliki identitas." Henry menceritakan semua apa yang ia tahu dari rekannya itu.***Micheal duduk dengan tenang di ruangan interogasi, matanya terpejam seolah sedang merenung dalam-dalam. Tak ada raut ketakutan atau kecemasan di wajahnya meskipun ia telah menjadi tersangka. Tangan kirinya dipegang di atas meja, sementara tangan kanannya mengepal erat. Di ruangan sebelah, detektif Anton dan rekannya, Zion, memperhatikan setiap gerak-gerik Micheal melalui kaca jendela yang satu arah. Mereka sama-sama bingung mengapa Micheal masih terlihat tenang meskipun sudah berada dalam situasi yang sulit. "Sudah menjadi tersangka, masih tenang saja. Apakah dia yakin akan keluar?" ujar Anton dengan nada sinis, mencoba meraba apa yang sedang dipikirkan oleh Micheal. "Kapten, apakah dia dituduh? Aku merasa aneh tentang kasus ini," tanya Zion dengan rasa
Jeff, pengacara handal, menemui Micheal yang sedang ditahan di ruangan interogasi. Wajah Micheal tampak pucat, lemas, dan terkulai karena tekanan yang dialaminya. Jeff menatap Micheal dengan tatapan penuh simpati dan ketidakpercayaan. "Micheal, bagaimana ini bisa terjadi padamu? Aku yakin kamu pasti dijebak seseorang," tanya Jeff dengan nada khawatir. Micheal menatap Jeff dengan mata lelah. "Selidiki Joss Hunters! Mungkin saja agak sulit. Karena ini bukan nama aslinya. Beri aku pulpen dan aku akan menulis nomor ponselnya. Aku yakin nomornya pasti sudah tidak aktif. Tapi, dicoba saja!" kata Micheal sambil menulis nomor yang dia ingat di atas selembar kertas yang diberikan Jeff. Jeff mengambil kertas itu sambil mengepal tangannya, "Dia yang dalang utamanya? Awalnya mendekatimu. Kemudian menjebakmu. Siapa yang mengenalkan dia padamu?" Micheal menghela napas panjang, "Atasanku yang memintaku menemuinya. Awalnya dia memintaku menyelidiki beberapa pejabat yang terlibat korupsi. Katanya
Ribuan pertanyaan muncul di benak pikiran Anton yang merasa heran dengan atasannya."Pak, bukankah sangat mencurigakan bagi publik, kalau Micheal Loas ditahan dan dijatuhi hukuman secara langsung?" tanya Anton.Jakson dengan tegas mengatakan," Seorang Jaksa selama ini pintar berpura-pura di depan semua orang. Tidak pantas dibiarkan hidup terlalu lama. Lakukan saja sesuai perintah!" perintahnya.Anton mengangguk dan patuh pada perintahnya.Sementara Angel yang duduk di kursi kerjanya sambil merenung kembali perkataan Micheal."Joss Hunster nama pria yang bersamanya di pelabuhan. Kenapa namanya adalah Jhonathan Wesley? Apakah benar dia mengunakan nama palsu untuk menjebak Jaksa Micheal?" Angel mengutak-atik komputer dan mencari informasi tentang kehidupan Jaksa itu agar bisa lebih memahami lebih jauh.Tak lama kemudian Anton kembali ke meja kerjanya dengan raut wajah murung."Kapten, apakah terjadi sesuatu?" tanya Angel yang memperhatikan seniornya itu.Anton duduk di kursi dan menarik
Di sebuah gedung tinggi, Jeff melangkah pasti menuju kantor Jhonathan, pria berjenggot yang duduk di balik meja yang dikelilingi oleh anak buahnya, termasuk Andy. Ruangan kantor tersebut luas, dengan dinding kaca yang menghadap ke kota, memberikan pemandangan yang menakjubkan. Namun, Jeff tidak tertarik dengan pemandangan itu, dia hanya ingin menuntaskan urusan yang melibatkan Micheal. "Tuan Wesley," ujar Jeff dengan nada tegas, "Apa sebabnya Anda menghubungi Micheal untuk bertemu di pelabuhan? Kenapa polisi bisa tiba di sana? Apakah Anda yang membuat panggilan?" Jhonathan tersenyum sinis, lalu menjawab, "Pengacara Jeff, apakah Anda memiliki bukti bahwa saya yang menghubunginya? Saya dan jaksa tidak kenal akrab. Mana mungkin saya menghubunginya." "Saya memiliki rekaman percakapan antara Anda dan Micheal, yang membuktikan bahwa Anda memang menghubungi Micheal untuk bertemu di pelabuhan!" Wajah Jhonathan berubah, menjadi pucat dan tampak panik, sementara Andy semakin gelisah. Jeff
Justin yang melihat dirinya dikepung semakin yakin akan segera ditahan oleh mereka.Justin berdiri tegak di hadapan Bryan, wajahnya penuh amarah dan keputusasaan. Seluruh tubuhnya gemetar, namun ia tetap bersikeras untuk menuntut balas. "Kau membunuhnya sama saja membunuhku, Bryan Anderson," bisik Justin dengan suara parau. "Di saat itu juga, aku ingin mati bersamamu." Para prajurit mengarahkan senjata ke arah Justin, namun tiba-tiba Bryan mengangkat tangannya dan memberi perintah. "Kalian semua tahan! Jangan menembak tanpa perintah dariku!" Semua prajurit segera menurunkan senjata mereka, tak berani melawan perintah dari pemimpin mereka. Bryan menatap Justin dengan tatapan tajam, Bryan mengangkat senjatanya dan menodongkannya ke arah Justin. "Bukankah ini yang kau inginkan, Justin?" tantang Bryan, suaranya terdengar tenang namun tajam. "Kita akan saling menembak dan menguji kecepatan. Siapa yang kalah, dia yang mati!" Mereka saling menatap, matanya beradu, menunggu siapa yang akan
Salah satu anggota Justin, melangkah cepat menuju ruangan Justin dan memberi laporan dengan nafas terengah-engah, "Tuan, berita buruk. Bryan Anderson memimpin sekelompok prajuritnya mengepung kawasan kita. Bukan hanya dari dekat, mereka juga mengawasi dari jauh. Teman-teman kita tidak bisa berkutik." Justin tersentak kaget, wajahnya memerah oleh kegemasan yang mulai memuncak. Ia segera membuka jendela ruangannya dan melihat ke arah luar sana. Matanya melihat banyak prajurit yang mengelilingi kawasan tempat tinggalnya, mereka bersiap dengan senjata di tangan dan tatapan yang tajam. "Sialan, Bryan Anderson, aku belum bertindak. Mereka sudah menyerang dulu," desis Justin dengan marah, mengepal tangan hingga knuckle-nya memutih. "Lawan mati-matian! Walau tidak ada jalan keluar, kita harus tetap lawan hingga pertumpahan darah!" perintah Justin.Anggotanya mengangguk, kemudian berlari keluar ruangan untuk mengumpulkan anggota lainnya. Sementara itu, Justin berdiri tegak, menatap luar jen
Bryan mencium bibir istrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang, tangannya memeluk tubuh ramping Vivian dengan penuh perhatian. Di tengah kehangatan pelukan itu, Bryan menatap dalam-dalam mata istrinya dan berkata dengan suara lembut, "Aku ingin mengandeng tanganmu hingga akhir hayatku! Tidak peduli dalam kondisi apa pun. Aku akan tetap menjadi suami yang baik dan setia. biarkan aku yang menjadi kakimu di saat kamu ingin berjalan!" Mendengar ucapan tulus Bryan, hati Vivian terenyuh. Seulas senyum bahagia menghiasi bibirnya dan ia merasa semangat hidupnya kembali membara. "Terima kasih!" ucap Vivian sambil memeluk Bryan balik, merasakan kehangatan yang mengalir dari tubuh suaminya. Bryan kemudian melepaskan pelukan mereka dan menatap istrinya dengan tatapan penuh harapan. "Vivian, setelah urusan di sini selesai, kita akan ke China menjumpai tabib untuk menyembuhkan kakimu," kata Bryan dengan penuh keyakinan. Mendengar kata 'tabib', Vivian terkejut dan penasaran. "Tabib?" tanyanya
Rysa berdiri dengan gemetar, menatap Bryan dengan mata yang berkaca-kaca. Ia merasa terpojok, tak tahu harus berkata apa untuk membela diri. "Tuan, Aku tidak mengerti maksudmu, Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ujar Rysa yang ketakutan dan berusaha membela diri. Bryan menatapnya dengan tatapan tajam dan dingin. Ia melempar foto dan data ke wajah Rysa sehingga berterbangan dan jatuh berserakan di lantai. Rysa menunduk, merasa terhina, dan memungut foto-foto tersebut dengan tangan gemetar. "Kalau bukan karena kau pergi ke rumah mewah itu, Aku masih tidak tahu ternyata kamu adalah utusan Lion, yang sebelumnya menyamar sebagai pekerja di toko bunga. Apa kau masih tidak mengaku?" tanya Bryan dengan suara keras dan penuh kemarahan. "Tuan, aku...," ucap Rysa terdiam, ketakutan. Wajahnya tampak pucat, dan tangannya terus gemetar. Ia mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk meyakinkan Bryan bahwa ia tidak bersalah, namun terasa sulit. Bryan melangkah mendekat, membuat Rysa mu
Vivian menatap Bryan dengan mata berkaca-kaca, lalu mengeluarkan lembaran laporan medis milik Bryan dari amplop besar itu. Dia membacanya dengan seksama, dan hampir tidak percaya dengan laporan tersebut. Menurut laporan itu, Bryan telah melakukan vesektomi, prosedur pembedahan yang dilakukan untuk membuatnya mandul secara permanen.Bryan melihat kebingungan di wajah Vivian dan menghela napas sebelum berbicara, "Sebelum Hanz meninggal, aku meminta bantuannya. Aku tahu...melakukan ini tanpa sepengatahuanmu adalah salahku. Saat itu kamu baru keguguran. Aku tidak ingin kamu semakin tertekan." Mata Vivian membelalak, tak menyangka suaminya menyembunyikan rahasia sebesar ini darinya. "Kamu selalu berharap bisa memiliki seorang anak denganku. Tapi aku bukan tidak mau. Aku tidak ingin anak kita sama menderitanya denganku. Cukup aku saja yang menderita!" ungkap Bryan dengan suara bergetar."Lalu, untuk apa kamu memberitahu aku sekarang?" tanya Vivian yang memasukan kembali laporan tersebut.
Malam itu, langit diliputi awan tebal dan rembulan menyembunyikan diri. Bryan terbaring di atas kasurnya dengan pikiran yang kalut, merenung tentang permasalahan dalam rumah tangganya. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka pelan dan sosok Rysa muncul dari baliknya. Dalam diam, Rysa menghampiri Bryan yang tampak lelah dan terlelap. Setiap langkahnya begitu hati-hati, tak ingin membangunkan pria itu. Begitu dekat dengannya, Rysa mulai melepaskan pakaiannya satu per satu, menampakkan tubuh putih mulusnya yang begitu menggoda. Dua gundukan besar di dada Rysa terlihat menonjol, dan bagian bawah tubuhnya juga terbuka lebar, memancarkan aura yang memikat. Rysa menatap Bryan dengan tatapan penuh nafsu, lalu berbisik dalam hati, "Bryan Anderson, malam ini juga aku akan membuatmu melupakan istrimu itu." Perlahan, Rysa mencium wajah Bryan yang masih terlelap, namun tiba-tiba pria itu terbangun dan menatap Rysa dengan ekspresi terkejut. Dia segera menahan tangan wanita itu dan bertanya dengan nada ke
Lily kemudian memberitahu apa saja yang dia ketahui selama ini," Nyonya, mengetahui setiap larut malam Rysa mendatangi ruangan pribadi Anda. Nyonya hanya diam dan tidak ingin menganggu. Walau pun begitu sebenarnya nyonya selalu menangis di setiap malam. Saya juga selalu melihat nyonya menolak bantuan dari Rysan. Walau pun nyonya sudah tidak nyaman dengan keberadaan Rysa. Tapi nyonya tetap diam dan bungkam. Tidak tahu apa yang dipikirkan nyonya!" Bryan semakin merasa bersalah terhadap istrinya, Ia mengingat kembali permintaan Vivian yang tidak membutuhkan Rysa. Akan tetapi Bryan bersikeras menolak permintaannya."Ternyata karena kesalahpahaman sehingga Vivian meminta dia pergi, kenapa aku tidak bisa membaca pikiran istriku sendiri," sesal Bryan sambil mengusap wajahnya."Vivian, Aku akan membuktikan padamu, bahwa aku sama sekali tidak mengkhianatimu. Secantik apa pun atau sesempurna apa pun wanita lain. Mereka tidak sebandingmu di mataku," batin Bryan.Di sisi lain, Rysa melangkah den
Vivian kembali ke kamarnya, matanya terasa sembab setelah sepanjang hari menangis. Begitu memasuki kamar, ia segera mengambil semua botol obat yang ada di atas meja. Ia membuka tutup botol-botol itu satu per satu, dan menggenggam butiran obat yang beraneka warna dalam tangannya. Dengan mengunakan kursi roda, ia menuju ke kamar mandi dan membuang semua obat tersebut ke dalam toilet. Vivian menatap pil-pil yang hanyut di dalam air, kemudian menekan tombol siram. Butiran obat langsung tenggelam, seakan membawa perasaan putus asa yang melanda dirinya. Dada Vivian sesak saat ia merenungkan betapa suaminya, Bryan, ternyata telah menjalin hubungan dengan wanita lain. Baginya, kondisi tubuhnya yang cacat kini sudah tidak penting sama sekali. Ia merasa sudah kehilangan segalanya, dan tak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah kenyataan tersebut. Ia duduk di kursi roda dan masih berada di kamar mandi, menangis sambil menahan suaranya agar tidak terdengar oleh orang lain. Kemarahan dan kekes
Keesokan harinya.Vivian hanya duduk sambil menatap Rysa yang merapikan kamarnya. Ia masih berbayang suaminya yang begitu peduli pada wanita itu."Nyonya, air sudah saya sediakan, Saya akan mengambil pakaian Anda sekarang," kata Rysa yang membuka pintu lemari dan mengambil pakaian Vivian.Tanpa beralih pandangan, Vivian memperhatikan Rysa dari atas hingga ujung kaki. Ia merasa iri dengan kecantikan yang dimiliki wanita itu. Dibandingkan dirinya yang sama sekali bukan tandingannya.Vivian hanya bisa kecewa pada dirinya, yang tidak mampu melakukan tanggung jawab sebagai seorang istri. Walau ia sangat cemburu dengan Rysa yang kini telah menjadi perhatian suaminya. Akan tetap ia tetap memilih diam."Aku akan mandi sendiri, Kamu pergilah lakukan pekerjaanmu yang lain!" perintah Vivian."Nyonya, Saya harus membantu Anda mandi. Kalau tidak akan bahaya kalau Anda sendiri berada di kamar mandi," kata Rysa.Vivian menatap wanita itu dengan senyum paksa," Aku ingin melakukannya sendiri, Supaya