Jeff, pengacara handal, menemui Micheal yang sedang ditahan di ruangan interogasi. Wajah Micheal tampak pucat, lemas, dan terkulai karena tekanan yang dialaminya. Jeff menatap Micheal dengan tatapan penuh simpati dan ketidakpercayaan. "Micheal, bagaimana ini bisa terjadi padamu? Aku yakin kamu pasti dijebak seseorang," tanya Jeff dengan nada khawatir. Micheal menatap Jeff dengan mata lelah. "Selidiki Joss Hunters! Mungkin saja agak sulit. Karena ini bukan nama aslinya. Beri aku pulpen dan aku akan menulis nomor ponselnya. Aku yakin nomornya pasti sudah tidak aktif. Tapi, dicoba saja!" kata Micheal sambil menulis nomor yang dia ingat di atas selembar kertas yang diberikan Jeff. Jeff mengambil kertas itu sambil mengepal tangannya, "Dia yang dalang utamanya? Awalnya mendekatimu. Kemudian menjebakmu. Siapa yang mengenalkan dia padamu?" Micheal menghela napas panjang, "Atasanku yang memintaku menemuinya. Awalnya dia memintaku menyelidiki beberapa pejabat yang terlibat korupsi. Katanya
Ribuan pertanyaan muncul di benak pikiran Anton yang merasa heran dengan atasannya."Pak, bukankah sangat mencurigakan bagi publik, kalau Micheal Loas ditahan dan dijatuhi hukuman secara langsung?" tanya Anton.Jakson dengan tegas mengatakan," Seorang Jaksa selama ini pintar berpura-pura di depan semua orang. Tidak pantas dibiarkan hidup terlalu lama. Lakukan saja sesuai perintah!" perintahnya.Anton mengangguk dan patuh pada perintahnya.Sementara Angel yang duduk di kursi kerjanya sambil merenung kembali perkataan Micheal."Joss Hunster nama pria yang bersamanya di pelabuhan. Kenapa namanya adalah Jhonathan Wesley? Apakah benar dia mengunakan nama palsu untuk menjebak Jaksa Micheal?" Angel mengutak-atik komputer dan mencari informasi tentang kehidupan Jaksa itu agar bisa lebih memahami lebih jauh.Tak lama kemudian Anton kembali ke meja kerjanya dengan raut wajah murung."Kapten, apakah terjadi sesuatu?" tanya Angel yang memperhatikan seniornya itu.Anton duduk di kursi dan menarik
Di sebuah gedung tinggi, Jeff melangkah pasti menuju kantor Jhonathan, pria berjenggot yang duduk di balik meja yang dikelilingi oleh anak buahnya, termasuk Andy. Ruangan kantor tersebut luas, dengan dinding kaca yang menghadap ke kota, memberikan pemandangan yang menakjubkan. Namun, Jeff tidak tertarik dengan pemandangan itu, dia hanya ingin menuntaskan urusan yang melibatkan Micheal. "Tuan Wesley," ujar Jeff dengan nada tegas, "Apa sebabnya Anda menghubungi Micheal untuk bertemu di pelabuhan? Kenapa polisi bisa tiba di sana? Apakah Anda yang membuat panggilan?" Jhonathan tersenyum sinis, lalu menjawab, "Pengacara Jeff, apakah Anda memiliki bukti bahwa saya yang menghubunginya? Saya dan jaksa tidak kenal akrab. Mana mungkin saya menghubunginya." "Saya memiliki rekaman percakapan antara Anda dan Micheal, yang membuktikan bahwa Anda memang menghubungi Micheal untuk bertemu di pelabuhan!" Wajah Jhonathan berubah, menjadi pucat dan tampak panik, sementara Andy semakin gelisah. Jeff
Jeff melaju kencang di jalan raya, mobilnya berselisih dengan beberapa kendaraan lain yang terkejut dengan kecepatan dan manuver yang dilakukannya. Sementara itu, Andy yang mengendalikan mobil hitam bermaksud membunuh pegacara itu dan mengakhiri perlawanannya terhadap bos mereka. "Ingin melawan bos kami, lihat saja bagaimana nasibmu," gumam Andy dengan tatapan tajam dan penuh amarah. Tangannya erat memegang setir, memastikan jaraknya dengan mobil Jeff tidak terlalu jauh. Sementara itu, pasukan polisi berangkat setelah mendapatkan kabar dari Jeff tentang ancaman yang sedang dihadapinya. Khennet mengemudi mobil polisi dengan sigap, timnya menyalakan sirine dan lampu rotator, meninggalkan kantor polisi dengan tergesa-gesa untuk menyelamatkan Jeff. Di sisi lain, Andy yang semakin tak sabar mengejar Jeff, menabrak bagian belakang mobil Jeff berulang kali dengan keras, suara "Brak! Brak!" terdengar, membuat Jeff semakin cemas.Jeff memacu mobilnya secepat mungkin, melaju melewati jalana
Micheal mengikuti langkah mereka dengan putus asa dan wajahnya yang lesu. Merasa tidak adik dengan tuntutan yang dia terima.Ia kemudian menghentikan langkahnya dan berkata," Kenapa kalian tidak menyelidiki kecelakaan yang menimpa pengacara Jeff yang mungkin ada hubungannya dengan orang yang dia temui sebelum kejadian? Apakah tidak ada kecurigaan sama sekali? Kalian sebagai detektif sudah mempelajari tentang kriminal dan hukum. Kalian tidak bodoh. Hanya saja kekuasaan yang menutupi kepintaran kalian."Anton menatap tajam pada jaksa itu," Jaksa Micheal, siapa pun dirimu, saat ini tidak ada lagi yang menghargaimu. Mereka sudah lupa siapa kamu. Keputusan pihak atasan sama sekali tidak bisa diganggu gugat!""Mengunakan cara ini untuk membunuhku secara diam-diam, Sepertinya dalang utama sangat terpengaruh dan memiliki kekuasaan. Setidaknya biarkan aku tahu siapa yang ingin membunuhku sebelum aku menutup mataku!" ujar Micheal.Anton tertawa sinis," Tidak ada yang ingin membunuhmu, hanya saj
Detektif Anton dan timnya keluar dari mobil berusaha mengusir kerumunan reporter yang ingin mendapatkan informasi. Mereka mencoba untuk menghadang jalan keluar para detektif dengan kamera dan mikrofon yang siap merekam. "Tolong beri jalan untuk kami!" pinta Anton dengan suara lantang, sambil mencoba mendorong beberapa reporter yang menghalangi jalan mereka. Beberapa anggota tim detektif lainnya ikut mendorong reporter yang mencoba mendekat, membuat suasana menjadi semakin tegang. Aksi saling dorong antara detektif dan reporter terjadi di depan di tengah jalan menuju ke arah penjara besar.Sementara itu, di sebuah stasiun televisi, pembawa berita dengan nada serius menyampaikan informasi yang mengemparkan ibu kota. "Jaksa Micheal Loas yang menjadi tersangka penjualan narkotika akan segera dihukum mati dengan cara menggunakan kursi listrik. Tanpa persidangan, pihak kepolisian langsung menentukan hukumannya," ucapnya dengan tegas. Berita tersebut sontak membuat heboh seluruh masyaraka
Micheal merasakan amarah yang memuncak ketika dua petugas mencoba menahannya. Dengan penuh emosi, ia melayangkan pukulan keras ke wajah mereka, membuat suara Bruk!Bruk! yang mengejutkan. Dua petugas itu seketika terkapar, mengerang kesakitan sambil memegangi wajah mereka. Sementara itu, Anton yang menyaksikan kejadian itu segera mengambil tindakan. Ia menodongkan pistolnya ke arah Micheal sambil berseru, "Jangan bergerak!" Namun, Micheal tak menunjukkan rasa takut sama sekali. Dengan tatapan tajam dan penuh kebencian, ia menantang Anton, "Tembak saja aku sampai mati, Kalian adalah polisi busuk yang tidak adil. Berapa uang masuk ke rekening kalian untuk membunuhku dan Jeff?" Micheal teringat akan Jeff, sahabatnya yang mengalami kecelakaan. Ia melanjutkan dengan suara yang penuh emosi, "Jeff mengalami kecelakaan, tapi kalian bukannya pergi menemui Jhonathan. Berapa yang dibayar untuk kalian?" Wajah Anton berubah menjadi pucat, namun ia tetap menodongkan pistolnya ke arah Micheal. Di
Suara keras Bryan terdengar hingga ke luar, Para detektif lainnya hanya bisa diam sambil mendengar kemarahan sang jenderal.Jackson dan atasannya langsung terdiam dan cemas dengan ancaman dari Bryan. Ruangan menjadi tegang dan mencekam.Bryan melangkah dengan mantap keluar dari ruang rapat, diikuti oleh suara langkah sepatunya yang bergema di lorong. Wajahnya tampak serius dan tegas, matanya fokus menuju pintu utama. Sesampainya di depan pintu, ia menghentikan langkahnya sejenak dan menoleh ke arah Tim Anton yang terdiri dari Detektif Angel dan Zion. Dengan sorot mata tajam dan sinis, Bryan menyampaikan kekecewaannya, "Setelah Micheal Loas terbukti tidak bersalah, saya tidak ingin melihat Tim lemah seperti kalian di sini lagi. Tidak memiliki kemampuan sama sekali." Ucapan Bryan terdengar keras dan jelas, membuat detektif Angel dan Zion menundukkan kepala mereka, merasa malu dan tertekan dengan teguran yang dilontarkan oleh sang jenderal. Mereka berdua tidak bisa berkata apa-apa, ha
Justin yang melihat dirinya dikepung semakin yakin akan segera ditahan oleh mereka.Justin berdiri tegak di hadapan Bryan, wajahnya penuh amarah dan keputusasaan. Seluruh tubuhnya gemetar, namun ia tetap bersikeras untuk menuntut balas. "Kau membunuhnya sama saja membunuhku, Bryan Anderson," bisik Justin dengan suara parau. "Di saat itu juga, aku ingin mati bersamamu." Para prajurit mengarahkan senjata ke arah Justin, namun tiba-tiba Bryan mengangkat tangannya dan memberi perintah. "Kalian semua tahan! Jangan menembak tanpa perintah dariku!" Semua prajurit segera menurunkan senjata mereka, tak berani melawan perintah dari pemimpin mereka. Bryan menatap Justin dengan tatapan tajam, Bryan mengangkat senjatanya dan menodongkannya ke arah Justin. "Bukankah ini yang kau inginkan, Justin?" tantang Bryan, suaranya terdengar tenang namun tajam. "Kita akan saling menembak dan menguji kecepatan. Siapa yang kalah, dia yang mati!" Mereka saling menatap, matanya beradu, menunggu siapa yang akan
Salah satu anggota Justin, melangkah cepat menuju ruangan Justin dan memberi laporan dengan nafas terengah-engah, "Tuan, berita buruk. Bryan Anderson memimpin sekelompok prajuritnya mengepung kawasan kita. Bukan hanya dari dekat, mereka juga mengawasi dari jauh. Teman-teman kita tidak bisa berkutik." Justin tersentak kaget, wajahnya memerah oleh kegemasan yang mulai memuncak. Ia segera membuka jendela ruangannya dan melihat ke arah luar sana. Matanya melihat banyak prajurit yang mengelilingi kawasan tempat tinggalnya, mereka bersiap dengan senjata di tangan dan tatapan yang tajam. "Sialan, Bryan Anderson, aku belum bertindak. Mereka sudah menyerang dulu," desis Justin dengan marah, mengepal tangan hingga knuckle-nya memutih. "Lawan mati-matian! Walau tidak ada jalan keluar, kita harus tetap lawan hingga pertumpahan darah!" perintah Justin.Anggotanya mengangguk, kemudian berlari keluar ruangan untuk mengumpulkan anggota lainnya. Sementara itu, Justin berdiri tegak, menatap luar jen
Bryan mencium bibir istrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang, tangannya memeluk tubuh ramping Vivian dengan penuh perhatian. Di tengah kehangatan pelukan itu, Bryan menatap dalam-dalam mata istrinya dan berkata dengan suara lembut, "Aku ingin mengandeng tanganmu hingga akhir hayatku! Tidak peduli dalam kondisi apa pun. Aku akan tetap menjadi suami yang baik dan setia. biarkan aku yang menjadi kakimu di saat kamu ingin berjalan!" Mendengar ucapan tulus Bryan, hati Vivian terenyuh. Seulas senyum bahagia menghiasi bibirnya dan ia merasa semangat hidupnya kembali membara. "Terima kasih!" ucap Vivian sambil memeluk Bryan balik, merasakan kehangatan yang mengalir dari tubuh suaminya. Bryan kemudian melepaskan pelukan mereka dan menatap istrinya dengan tatapan penuh harapan. "Vivian, setelah urusan di sini selesai, kita akan ke China menjumpai tabib untuk menyembuhkan kakimu," kata Bryan dengan penuh keyakinan. Mendengar kata 'tabib', Vivian terkejut dan penasaran. "Tabib?" tanyanya
Rysa berdiri dengan gemetar, menatap Bryan dengan mata yang berkaca-kaca. Ia merasa terpojok, tak tahu harus berkata apa untuk membela diri. "Tuan, Aku tidak mengerti maksudmu, Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ujar Rysa yang ketakutan dan berusaha membela diri. Bryan menatapnya dengan tatapan tajam dan dingin. Ia melempar foto dan data ke wajah Rysa sehingga berterbangan dan jatuh berserakan di lantai. Rysa menunduk, merasa terhina, dan memungut foto-foto tersebut dengan tangan gemetar. "Kalau bukan karena kau pergi ke rumah mewah itu, Aku masih tidak tahu ternyata kamu adalah utusan Lion, yang sebelumnya menyamar sebagai pekerja di toko bunga. Apa kau masih tidak mengaku?" tanya Bryan dengan suara keras dan penuh kemarahan. "Tuan, aku...," ucap Rysa terdiam, ketakutan. Wajahnya tampak pucat, dan tangannya terus gemetar. Ia mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk meyakinkan Bryan bahwa ia tidak bersalah, namun terasa sulit. Bryan melangkah mendekat, membuat Rysa mu
Vivian menatap Bryan dengan mata berkaca-kaca, lalu mengeluarkan lembaran laporan medis milik Bryan dari amplop besar itu. Dia membacanya dengan seksama, dan hampir tidak percaya dengan laporan tersebut. Menurut laporan itu, Bryan telah melakukan vesektomi, prosedur pembedahan yang dilakukan untuk membuatnya mandul secara permanen.Bryan melihat kebingungan di wajah Vivian dan menghela napas sebelum berbicara, "Sebelum Hanz meninggal, aku meminta bantuannya. Aku tahu...melakukan ini tanpa sepengatahuanmu adalah salahku. Saat itu kamu baru keguguran. Aku tidak ingin kamu semakin tertekan." Mata Vivian membelalak, tak menyangka suaminya menyembunyikan rahasia sebesar ini darinya. "Kamu selalu berharap bisa memiliki seorang anak denganku. Tapi aku bukan tidak mau. Aku tidak ingin anak kita sama menderitanya denganku. Cukup aku saja yang menderita!" ungkap Bryan dengan suara bergetar."Lalu, untuk apa kamu memberitahu aku sekarang?" tanya Vivian yang memasukan kembali laporan tersebut.
Malam itu, langit diliputi awan tebal dan rembulan menyembunyikan diri. Bryan terbaring di atas kasurnya dengan pikiran yang kalut, merenung tentang permasalahan dalam rumah tangganya. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka pelan dan sosok Rysa muncul dari baliknya. Dalam diam, Rysa menghampiri Bryan yang tampak lelah dan terlelap. Setiap langkahnya begitu hati-hati, tak ingin membangunkan pria itu. Begitu dekat dengannya, Rysa mulai melepaskan pakaiannya satu per satu, menampakkan tubuh putih mulusnya yang begitu menggoda. Dua gundukan besar di dada Rysa terlihat menonjol, dan bagian bawah tubuhnya juga terbuka lebar, memancarkan aura yang memikat. Rysa menatap Bryan dengan tatapan penuh nafsu, lalu berbisik dalam hati, "Bryan Anderson, malam ini juga aku akan membuatmu melupakan istrimu itu." Perlahan, Rysa mencium wajah Bryan yang masih terlelap, namun tiba-tiba pria itu terbangun dan menatap Rysa dengan ekspresi terkejut. Dia segera menahan tangan wanita itu dan bertanya dengan nada ke
Lily kemudian memberitahu apa saja yang dia ketahui selama ini," Nyonya, mengetahui setiap larut malam Rysa mendatangi ruangan pribadi Anda. Nyonya hanya diam dan tidak ingin menganggu. Walau pun begitu sebenarnya nyonya selalu menangis di setiap malam. Saya juga selalu melihat nyonya menolak bantuan dari Rysan. Walau pun nyonya sudah tidak nyaman dengan keberadaan Rysa. Tapi nyonya tetap diam dan bungkam. Tidak tahu apa yang dipikirkan nyonya!" Bryan semakin merasa bersalah terhadap istrinya, Ia mengingat kembali permintaan Vivian yang tidak membutuhkan Rysa. Akan tetapi Bryan bersikeras menolak permintaannya."Ternyata karena kesalahpahaman sehingga Vivian meminta dia pergi, kenapa aku tidak bisa membaca pikiran istriku sendiri," sesal Bryan sambil mengusap wajahnya."Vivian, Aku akan membuktikan padamu, bahwa aku sama sekali tidak mengkhianatimu. Secantik apa pun atau sesempurna apa pun wanita lain. Mereka tidak sebandingmu di mataku," batin Bryan.Di sisi lain, Rysa melangkah den
Vivian kembali ke kamarnya, matanya terasa sembab setelah sepanjang hari menangis. Begitu memasuki kamar, ia segera mengambil semua botol obat yang ada di atas meja. Ia membuka tutup botol-botol itu satu per satu, dan menggenggam butiran obat yang beraneka warna dalam tangannya. Dengan mengunakan kursi roda, ia menuju ke kamar mandi dan membuang semua obat tersebut ke dalam toilet. Vivian menatap pil-pil yang hanyut di dalam air, kemudian menekan tombol siram. Butiran obat langsung tenggelam, seakan membawa perasaan putus asa yang melanda dirinya. Dada Vivian sesak saat ia merenungkan betapa suaminya, Bryan, ternyata telah menjalin hubungan dengan wanita lain. Baginya, kondisi tubuhnya yang cacat kini sudah tidak penting sama sekali. Ia merasa sudah kehilangan segalanya, dan tak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah kenyataan tersebut. Ia duduk di kursi roda dan masih berada di kamar mandi, menangis sambil menahan suaranya agar tidak terdengar oleh orang lain. Kemarahan dan kekes
Keesokan harinya.Vivian hanya duduk sambil menatap Rysa yang merapikan kamarnya. Ia masih berbayang suaminya yang begitu peduli pada wanita itu."Nyonya, air sudah saya sediakan, Saya akan mengambil pakaian Anda sekarang," kata Rysa yang membuka pintu lemari dan mengambil pakaian Vivian.Tanpa beralih pandangan, Vivian memperhatikan Rysa dari atas hingga ujung kaki. Ia merasa iri dengan kecantikan yang dimiliki wanita itu. Dibandingkan dirinya yang sama sekali bukan tandingannya.Vivian hanya bisa kecewa pada dirinya, yang tidak mampu melakukan tanggung jawab sebagai seorang istri. Walau ia sangat cemburu dengan Rysa yang kini telah menjadi perhatian suaminya. Akan tetap ia tetap memilih diam."Aku akan mandi sendiri, Kamu pergilah lakukan pekerjaanmu yang lain!" perintah Vivian."Nyonya, Saya harus membantu Anda mandi. Kalau tidak akan bahaya kalau Anda sendiri berada di kamar mandi," kata Rysa.Vivian menatap wanita itu dengan senyum paksa," Aku ingin melakukannya sendiri, Supaya