Bryan yang telah mengetahui kondisi temannya, Jeff. Ia berdiri di luar kamar pasien menatap Jeff dengan tatapan sedih.Bryan berdiri diam selama satu jam dengan raut wajah yang serius. Tidak tahu apa yang dia pikirkan saat itu."Menjebak Micheal, Sedangkan Micheal tidak mengenal siapa Jhonathan. Bukan hanya menjebak. Tapi, juga ingin membunuh. Jackson dicurigai bekerja sama dengan Jhonathan. Kemudian Jeff juga menjadi incarannya. Apakah mungkin hanya kebetulan saja? Jhonathan bukan berasal dari Los Angeles. Dia adalah asli warga negara Prancis," batin Bryan.Bryan mengeluarkan handphone dari sakunya, jari-jarinya lincah memencet tombol layar yang menyala. Dalam hitungan detik, sambungan panggilan berhasil tersambung ke seseorang di seberang sana. "Hallo, Jenderal!" sahut pria di seberang sana dengan suara yang penuh semangat. "Komandan Chers, saya akan mengirim foto seseorang. Tolong selidiki identitasnya. Saya ingin segera tahu hasilnya!" perintah Bryan dengan nada tegas dan lugas.
"Kau?" tanya Andy dengan nada terhenti, tak menyangka Bryan akan menemui dia di sini. "Karena jasamu, kondisi Jeff menjadi lumpuh. Mungkin saja peluangnya tidak banyak. Mana mungkin dia bisa bicara," ucap Bryan dengan tatapan tajam. "Kau bekerja sama dengan Jaksa itu," balas Andy dengan nada mencemooh. "Bukankah kau adalah dalang utamanya? Kenapa kau harus takut? Siapa kalian sebenarnya dan siapa yang kalian incar?" tanya Bryan semakin menekan. Andy tertawa sinis, sadar bahwa dirinya telah masuk ke dalam perangkap rencana Bryan dan Micheal. Ia berusaha menyembunyikan rasa takut yang mulai merayapi hatinya. "Sasaran kami sebenarnya adalah kamu," jawab Andy dengan senyum licik, berusaha menyembunyikan kekalahan yang sudah di depan mata.Bryan menatap penasaran pada pria itu," Kalau sasaranmu adalah aku, kenapa bukan aku yang kalian incar? Kenapa harus Micheal dan Jeff?" tanyannya.Andy tersenyum sinis," Jenderal Bryan, Membunuhmu tidak mudah dan lebih menyenangkan ketika orang di
Micheal semakin hampir tidak percaya dengan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh detektif Khennet, Atasannya, Manuel terlibat dalam kasus jebakan yang di alami Micheal sebelumnya.Micheal melempar foto itu pada Andy, anak buah Jhonathan yang duduk di depannya. Foto itu melayang dan jatuh tepat di hadapan Andy. Mata Andy menatap tajam foto tersebut, kemudian wajahnya berubah dan ia mulai tertawa terbahak-bahak. "Ha ha ha!" tawa Andy menggema di seluruh ruangan, membuat suasana yang semula tegang menjadi semakin tidak nyaman. Micheal, yang semakin kesal, menghentakkan meja di depannya dengan keras hingga berbunyi "Brak!" Meja itu bergoyang hebat, namun tak cukup untuk menghentikan tawa Andy. "Apakah lucu setelah hampir merenggut nyawa orang yang tidak bersalah?" tanya Micheal dengan nada penuh amarah. Andy berhenti tertawa, menatap Micheal dengan wajah datar, lalu menjawab dengan nada santai, "Iya, aku adalah pelakunya. Hukum saja aku!" Sontak saja ia kembali tertawa gembira, seol
Jhonathan berdiri tegak di depan Jenderal Bryan, wajahnya tampak tenang meskipun situasinya sangat genting. "Jenderal, Kau tidak bisa membunuhku begitu saja, Karena negara itu memiliki undang-undang," ujar Jhonathan dengan senyum sinis yang menyiratkan keangkuhannya. Mendengar perkataan itu, Jenderal Bryan tersenyum dingin. Wajahnya yang tegas dan garang semakin terlihat menakutkan. "Sayang sekali, hidup atau mati mu, aku yang menentukannya. Hari ini kesalahan yang kau lakukan tidak akan kubiarkan. Kau hanya akan mati di tanganku. Demi dua sahabatku aku akan membalas dendam demi mereka," kata Bryan dengan nada tegas dan penuh amarah. Tanpa ragu, Bryan mengangkat senjata yang ada di tangannya dan menodongkannya ke arah Jhonathan. Suara tembakan menggema keras, memecah keheningan yang menyelimuti lapangan markas. "Dor!" Satu tembakan menewaskan Jhonathan. Tubuh Jhonathan terjatuh ke tanah dengan keras, matanya terpejam seketika. Penjahat yang telah mengejek hukum dan menghancurkan h
Vivian yang kembali ke kediamannya sedang fokus pada pekerjaannya. Koki kediaman itu menghampiri Vivian dengan sopan ia berkata," Nyonya, biarkan saya yang menyediakan makanannya. Anda harus istirahat karena sudah mencari bahan-bahan dapur yang seharusnya tanggung jawab kami."Vivian duduk di ujung kasur, tangannya terlipat di atas pangkuannya. Matanya melirik ke arah jendela, tapi pikirannya melayang jauh, mengenang sosok pria yang baru saja ditemuinya. Ia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya tadi, apakah itu nyata atau hanya khayalan semata? "Wajahnya begitu jelas, Hanya saja penampilannya dan gayanya yang berbeda jauh. Billy selalu tampil rapi, sementara pria tadi itu penampilannya kasual dan gaya rambut juga berbeda. Siapa dia sebenarnya atau Billy memiliki kembaran?" gumam Vivian dalam hati, penuh tanya. Ekspresi wajahnya yang bingung dan khawatir menjadi semakin jelas ketika ia mencoba mengingat kembali detail wajah pria tersebut. Ia merasa ada sesuatu yang sangat fam
Seorang wanita paruh baya keluar dan memanggil anggotanya," Jerry, tolong sekalian antar bunga ini ke restoran. Pelanggan kita sedang menunggu di sana!"Jerry menyahut dengan senyuman ramah dan mendekati wanita itu yang adalah bosnya," Bibi, aku akan pergi sekarang juga?" jawabnya"Hati-hati di jalan!" ucap wanita itu."Iya," jawab Jerry yang meletakan bunga tersebut di samping tempat duduknya. Sementara Vivian masih menatap pria itu yang pergi begitu saja dengan mobilnya.Pemilik toko bunga itu menatap Vivian yang masih berdiri di luar toko dengan tatapan kosong. Hampir sepuluh menit berlalu, dan gadis itu tidak juga melangkah masuk. Pemilik toko itu pun menghampiri Vivian dengan senyum ramah di wajahnya. "Nona, apakah butuh sesuatu?" tanya pemilik itu dengan suara lembut. Vivian menoleh, tersadar dari lamunannya. "Oh, maaf, Bibi. Saya hanya ingin bertanya, apakah Jerry adalah anak Anda?" tanya Vivian. Pemilik toko itu tampak berpikir sejenak, kemudian menjawab, "Bukan, Nona. Jer
"Tuan, Dia sangat mirip dengan Billy, Apakah kembarannya?" tanya Andrew."Billy tidak punya kembaran, dia adalah anak tunggal dalam keluarganya," jawab Bryan yang keluar dari mobilnya. Bryan melangkah menuju ke toko bunga itu.Jerry sedang fokus membantu merapikan susunan bunga yang dipajang di luar.Ketika Jerry menyadari kedatangan Bryan, matanya langsung berbinar. Dengan ramah dan senyum lebar, ia menyapa, "Tuan, apakah Anda ingin membeli bunga? Silakan masuk dan pilihlah bunga apa yang Anda mau!" Jerry melangkah masuk ke dalam toko dengan langkah gesit, menunjukkan berbagai macam bunga yang tersedia. Bryan menatap sekitar toko, memperhatikan Jerry yang tampak bersemangat. "Pilih salah satu untuk temanku," jawab Bryan sambil tersenyum tipis. "Baiklah, silakan menunggu sebentar!" ucap Jerry dengan semangat, buru-buru mengambil beberapa bunga sesuai permintaan Bryan. Ia memilih bunga merah dan kuning yang beraroma wangi. "Bunga merah dan kuning ini sangat wangi, sangat cocok untuk
Di pagi yang cerah, seorang pria asing berjaket hitam dan berkacamata gelap tampak mengikuti Jerry dari jauh. Ia mengawasi setiap gerak-gerik Jerry yang tampak sibuk mengantar bunga ke beberapa pelanggan. Setelah selesai mengantarkan bunga, Jerry mengunjungi beberapa panti asuhan di kota itu. "Jerry, terima kasih ya karena selalu mengantar makanan dan pakaian untuk anak-anak di sini. Padahal kamu juga butuh biaya, apalagi kamu baru saja bekerja di kota ini," ujar wanita pengurus panti asuhan dengan rasa terharu. "Bibi, aku juga seorang yatim piatu. Oleh sebab itu aku tahu apa yang mereka butuhkan," jawab Jerry dengan polos dan ceria. Senyum lebar terukir di wajahnya, menunjukkan kebahagiaannya dapat membantu anak-anak yatim piatu. Sementara itu, pria asing yang mengikuti Jerry sejak tadi semakin penasaran dengan apa yang dilakukan pemuda itu. Setelah mengikuti Jerry seharian, Pria itu yang adalah utusan Bryan kembali ke kediaman untuk melapor kepada atasannya. Sementara Andrew ju