"Tuan, Dia sangat mirip dengan Billy, Apakah kembarannya?" tanya Andrew."Billy tidak punya kembaran, dia adalah anak tunggal dalam keluarganya," jawab Bryan yang keluar dari mobilnya. Bryan melangkah menuju ke toko bunga itu.Jerry sedang fokus membantu merapikan susunan bunga yang dipajang di luar.Ketika Jerry menyadari kedatangan Bryan, matanya langsung berbinar. Dengan ramah dan senyum lebar, ia menyapa, "Tuan, apakah Anda ingin membeli bunga? Silakan masuk dan pilihlah bunga apa yang Anda mau!" Jerry melangkah masuk ke dalam toko dengan langkah gesit, menunjukkan berbagai macam bunga yang tersedia. Bryan menatap sekitar toko, memperhatikan Jerry yang tampak bersemangat. "Pilih salah satu untuk temanku," jawab Bryan sambil tersenyum tipis. "Baiklah, silakan menunggu sebentar!" ucap Jerry dengan semangat, buru-buru mengambil beberapa bunga sesuai permintaan Bryan. Ia memilih bunga merah dan kuning yang beraroma wangi. "Bunga merah dan kuning ini sangat wangi, sangat cocok untuk
Di pagi yang cerah, seorang pria asing berjaket hitam dan berkacamata gelap tampak mengikuti Jerry dari jauh. Ia mengawasi setiap gerak-gerik Jerry yang tampak sibuk mengantar bunga ke beberapa pelanggan. Setelah selesai mengantarkan bunga, Jerry mengunjungi beberapa panti asuhan di kota itu. "Jerry, terima kasih ya karena selalu mengantar makanan dan pakaian untuk anak-anak di sini. Padahal kamu juga butuh biaya, apalagi kamu baru saja bekerja di kota ini," ujar wanita pengurus panti asuhan dengan rasa terharu. "Bibi, aku juga seorang yatim piatu. Oleh sebab itu aku tahu apa yang mereka butuhkan," jawab Jerry dengan polos dan ceria. Senyum lebar terukir di wajahnya, menunjukkan kebahagiaannya dapat membantu anak-anak yatim piatu. Sementara itu, pria asing yang mengikuti Jerry sejak tadi semakin penasaran dengan apa yang dilakukan pemuda itu. Setelah mengikuti Jerry seharian, Pria itu yang adalah utusan Bryan kembali ke kediaman untuk melapor kepada atasannya. Sementara Andrew ju
Vivian langsung dilarikan ke ruangan darurat oleh dokter dan suster. Sementara Jerry sendiri kebinggungan dan tidak tahu siapa yang harus dia hubungi."Siapa keluarganya? Bagaimana caranya agar aku bisa menghubungi keluarganya?" gumam Jerry sambil mengaruk kepalanya yang tidak gatal.Beberapa saat kemudian suster keluar dari ruangan itu dan menyerahkan ponsel milik pasien kepada Jerry."Tuan, apakah Anda bisa tolong hubungi pihak keluarga pasien sekarang juga?"tanya suster itu dengan terburu-buru.Jerry ikut gemetar dan menerima ponsel itu," I-iya, aku akan mencobanya!" jawabnya." Suster, bagaimana dengan keadaan pasien?" tanyanya."Sangat kritis, Dokter sedang berusaha menyelamatkannya," jawab Suster yang kemudian kembali ke ruangan itu.Sementara Jerry membuka ponsel Vivian dan mencari nama kontak yang harus dia hubungi," Siapa yang harus aku hubungi?" gumamnya. Dia melihat layar ponsel dan menemukan tombol angka 1 dengan kontak yang tertulis sebagai "My Husband". Dengan ragu, dia
Beberapa hari kemudian.Micheal melangkah masuk ke area rumah sakit dengan langkah pasti, mencari kamar tempat Bryan berada. Setelah beberapa menit mencari, akhirnya ia menemukan Bryan yang berdiri di luar kamar pasien dengan wajah pucat dan mata sembab. Micheal bisa melihat bahwa sahabatnya itu benar-benar terpuruk. "Sudah tiga hari kamu tidak pulang, Apa kamu baik-baik saja?" tanya Micheal, mencoba mencairkan suasana yang kelam. "Mana mungkin aku baik saja," desah Bryan, kepalanya menunduk. "Sejak Vivian sadar dan mendapati kakinya sudah cacat, dia sama sekali tidak ingin makan dan jarang bicara. Bahkan Celine, ibunya, juga tidak bisa menasehatinya." Micheal menepuk-nepuk bahu Bryan, mencoba memberi semangat. "Celine adalah ibunya, Aku yakin Vivian akan bisa menerima nasihat dari Celine, dan pasti akan ada perubahan seiring waktu. Kita harus bersabar dan terus mendukungnya." Namun Bryan tampak masih larut dalam keputusasaan, matanya menatap kosong ke arah kamar Vivian. "Aku mera
"Tuan Lion, apakah kita akan membunuhnya?" tanya pria itu. Jerry yang memiliki julukan Tuan Lion. Ia tertawa terbahak-bahak, mengejek penderitaan Bryan dan Vivian yang terjebak dalam skema liciknya. "Mereka mulai merasakan penderitaan, membunuh mereka terlalu mudah. Aku ingin melihat mereka menderita dan kemudian hancur," jawab Jerry dengan nada sinis. Wajah anggotanya tersebut tampak penuh kekaguman pada pemimpinnya yang kejam dan cerdik. "Baik, Tuan Lion. Apa rencana kita selanjutnya?" tanyanya penasaran. Jerry tersenyum misterius, matanya bersinar penuh niat jahat. "Awasi saja, kita menunggu saja bagaimana caranya untuk menghancurkan hubungan mereka," jawab Jerry sambil mengusap dagunya yang licin."Bryan Anderson, Kau tetap tidak akan menyangka, bahwa supir itu adalah korbanku. Ha ha ha...," ucap Lion tertawa terbahak-bahak.Tidak ada yang tahu siapa pria berjulukan Lion itu, Wajahnya yang sangat mirip dengan Billy serta tidak memiliki hubungan darah. menyamar sebagai pekerja b
Vivian bertahan, akhirnya keluar dari kamar dengan wajah dingin dan tegas, Klek!" terdengar suara pintu yang terbuka.Dua pelayan yang tadinya menghina dirinya langsung terdiam saat menatap Vivian.Dengan menunduk sambil menyapa," Nyonya." Vivian menatap mereka dengan tatapan tajam dan juga dengan perasaan yang sakit bagaikan ditusuk jarum."Kenapa memberi hormat padaku, ketika kalian menghinaku di belakang? Tidak perlu lagi berpura-pura di hadapan manusia yang tidak berguna sepertiku. Tunjukan saja sikap kalian yang sebenarnya! Aku adalah wanita cacat dan tidak berguna. Bukankah itu yang kalian bicarakan tadi?" Vivian mengepal tangannya erat serasa ingin menampar mereka berdua. Akan tetapi ia berusaha menahan diri. Dua pelayan itu menunduk dan cemas dengan teguran majikannya itu." Maaf, Nyonya. Kami tidak bermaksud menghina Anda." Dua pelayan itu langsung berlutut dengan gemetar."Kalian adalah wanita, tentu berharap hidup dalam keadaan normal dan bahagia. Sedangkan aku sudah tida
Rysa merasa canggung saat Bryan menatapnya dari atas hingga ke ujung kaki.Vivian memperhatikan tatapan suaminya dan menelan kekecewaan yang mendalam. Baru sehari wanita itu memasuki kediaman mereka. Bryan langsung berfokus padanya. "Rysa, berapa usiamu?" tanya Vivian dengan senyum paksa."20, Nyonya!" jawabnya dengan senyum ramah. Setiap senyumannya terlihat bagaikan bunga mekar yang indah.Vivian tersenyum walau hatinya sedang cemburu," Kamu masih muda dan juga cantik, Aku yakin pasti banyak yang menyukaimu, kan? Tidak seperti aku, Aku sudah menjadi seperti ini. Tidak bisa melakukan apa pun. dan hanya bisa menyusahkan orang di sekitarku. Maaf, kalau kali ini harus menyusahkanmu, Rysa!" ucap Vivian yang kecewa pada kondisi sendiri.Bryan yang menyadari istrinya sedang bersedih, Ia pun menganggam tangan istrinya dan membujuknya." Siapa yang mengatakan kamu menyusahkan orang lain? Bagiku kamu adalah istri yang baik," ujar Bryan dengan senyum menatap istrinya.Vivian menatap diam mata
Keesokan harinya.Vivian hanya duduk sambil menatap Rysa yang merapikan kamarnya. Ia masih berbayang suaminya yang begitu peduli pada wanita itu."Nyonya, air sudah saya sediakan, Saya akan mengambil pakaian Anda sekarang," kata Rysa yang membuka pintu lemari dan mengambil pakaian Vivian.Tanpa beralih pandangan, Vivian memperhatikan Rysa dari atas hingga ujung kaki. Ia merasa iri dengan kecantikan yang dimiliki wanita itu. Dibandingkan dirinya yang sama sekali bukan tandingannya.Vivian hanya bisa kecewa pada dirinya, yang tidak mampu melakukan tanggung jawab sebagai seorang istri. Walau ia sangat cemburu dengan Rysa yang kini telah menjadi perhatian suaminya. Akan tetap ia tetap memilih diam."Aku akan mandi sendiri, Kamu pergilah lakukan pekerjaanmu yang lain!" perintah Vivian."Nyonya, Saya harus membantu Anda mandi. Kalau tidak akan bahaya kalau Anda sendiri berada di kamar mandi," kata Rysa.Vivian menatap wanita itu dengan senyum paksa," Aku ingin melakukannya sendiri, Supaya