Zea menghabiskan jus nanas pemberian Kenzie hingga setetes pun tak tersisa. Pada akhirnya, uanglah yang menjadi pilihan Zea Untuk sesaat, Kenzie mengamati Zea. Gadis itu mengenakan kaos bekasnya yang sudah kekecilan, karena memang tidak ada pakaian lain yang tersedia. Kaos itu terlalu kecil untuk Kenzie, namun justru kebesaran di tubuh Zea, yang memang bertubuh mungil. Namun, ada sesuatu yang membuat Kenzie terheran-heran. “Badannya kecil, tapi da*danya gede. Aneh banget. Apa jangan-jangan ... dia suntik silikon, ya?” Kenzie menggumam dalam hati, merasa sedikit canggung. “Bapak lihat apa?” Zea menyadari tatapan Kenzie dan langsung menutupi da*danya dengan kedua tangan. Wajahnya memerah karena malu, apalagi dia tidak mengenakan b*ra. “Jangan bilang, Bapak mau memperko*saku lagi??” Kenzie menggeleng cepat. “Tentu saja nggak.” “Terus, kenapa Bapak menatapku seperti itu? Nggak sopan, Pak!” teriaknya kesal. “Maaf, maaf. Ya sudah ... ayo kita berangkat, nanti keburu siang,” a
Bugh!! Sebelum Darman bereaksi, Kenzie dengan cepat menarik tangan Zea masuk bersamanya kembali ke mobil. Tanpa menunggu lebih lama, Kenzie langsung menyalakan mesin mobil dan memacu kendaraannya menjauh dari rumah kontrakan itu, meninggalkan dua pria yang ternganga di balik awan debu yang mengepul di udara. "Lho, Pak... kok kita pergi?" tanya Zea bingung, suaranya sedikit gemetar. Tangannya menyentuh pipinya yang terasa panas dan perih, jari-jarinya menemukan lebam biru yang mulai terbentuk. Dia meringis menahan sakit. "Bagaimana bisa aku membiarkan seorang perempuan diperlakukan seperti itu, apalagi oleh dua orang pria dewasa sekaligus? Itu nggak pantas, Zea! Lebih baik kita pulang." Napas Kenzie tersenggal-senggal, da*danya bergemuruh menahan amarah yang masih bergejolak. Dia mengusap keringat dingin yang membasahi dahinya, tekanan darahnya terasa meningkat. "Tapi, bagaimana dengan kesepakatan kit
"Benar sekali, Yah." "Terus, alasan kamu dan dia ada di sini karena apa?" "Aku mau belikan Zea beberapa baju, Yah. Kan nggak mungkin dia pakai baju bekasku terus." "Sampai mengantar segala, begitu?" Wajah Calvin terlihat curiga. Menurutnya, mengantar pembantu untuk membeli pakaian adalah hal yang terlalu berlebihan. "Iya, sekalian aja sih, Yah. Aku juga kebetulan mau beli kaos," jawab Kenzie beralasan. "Ya sudah, Ayah ikut kalau begitu." Calvin langsung merangkul bahu anaknya. "Boleh ... Ayok." Kenzie mengangguk, mereka pun akhirnya berjalan bersama-sama memasuki salah satu toko langganan Kenzie. "Berapa pakaian yang boleh aku ambil, Pak?" tanya Zea, matanya menatap takjub keindahan isi toko pakaian itu. Semua pakaiannya bagus-bagus dan terlihat mahal. "Terserah kamu saja, tapi usahakan supaya kamu mampu membawanya nanti, karena aku nggak mau membawa barang belanja
Mata Zea seketika membulat. "Tapi—""Ekhem!!" Suara deheman itu menghentikan ucapan Zea, membuatnya menoleh. Satpam itu langsung tersentak, segera berdiri. Sosok Akmal sudah berdiri di samping mereka, wajahnya datar."Pak Akmal? Sejak kapan Bapak di sini?" Satpam itu terlihat gugup, suaranya bergetar.Dia takut Akmal mendengar obrolannya tadi, lalu menceritakannya kepada Kenzie. Dia khawatir sang bos marah karena Zea baru sehari bekerja, tapi dia sudah nekat mengajaknya pacaran."Dari tadi. Pintu gerbang kenapa nggak dikunci? Bagaimana kalau ada pencuri?" Suara Akmal tajam, tatapannya menusuk."Maaf, Pak. Sepertinya saya lupa!" Satpam itu panik, segera berlari menuju pintu gerbang untuk mengeceknya."Zea, abaikan saja ucapan Pak Jamal tadi." Akmal menatap Zea dengan sorot mata yang penuh pengertian."Pak Jamal itu Pak Satpam tadi, Pak?" tanya Zea. Akmal mengangguk."Iya. Kamu ini baru be
"I-ini nggak seperti apa yang kamu lihat. Ka-kamu salah paham, Sayang." Suara Kenzie bergetar, diiringi debaran jantung yang tak karuan. Kepanikan mencengkeramnya. Dia tak ingin rahasia ini terbongkar, namun Helen sudah mengetahuinya."Salah paham bagaimana? Ini sudah jelas, Yang!!" bentak Helen, amarah membuncah. Wajahnya memerah menahan air mata, kekecewaan begitu kentara terukir di sana. Da*danya sesak, menahan gelombang emosi yang hampir meruntuhkannya. "Kamu tega sekali… kita baru saja menikah kemarin, dan sekarang aku melihat bukti perselingkuhanmu dengan pembantu barumu!"Plaaakk!Sebuah tamparan maut mendarat di pipi kanan Kenzie. Dia tersentak, lalu tertunduk sujud di hadapan istrinya, memohon ampun."Enggak, Yang! Demi Allah aku nggak berselingkuh, apalagi dengan Zea. Semua ini terjadi karena kecelakaan." Tubuh Kenzie gemetar hebat. Ketakutan menghantamnya. Dia tak sanggup kehilangan Helen, satu-satunya perempuan yang dicintainya setelah
"Sayang... sampai kapan kamu di kamar mandi terus?" Helen berteriak, suaranya terdengar frustrasi. Dia menggedor pintu, kebosanan dan kekesalan terpancar dari suaranya.Satu jam lebih Kenzie berada di dalam, dan keinginan Helen untuk melanjutkan kei*ntiman mereka sirna seketika. Dia sudah mengenakan kembali pakaiannya.Ceklek~Pintu kamar mandi terbuka perlahan. Kenzie keluar, tubuhnya basah kuyup, kini terbalut handuk kimono."Kamu mandi?" tanya Helen, suaranya masih diwarnai kekecewaan."Iya," jawab Kenzie singkat, langkahnya lesu. Dia duduk di tepi ranjang, wajahnya dipenuhi ekspresi kecewa."Kok udah mandi sih, Yang? Kan kita belum selesai berci*nta. Bahkan tadi baru mulai," keluh Helen, duduk di samping Kenzie, wajahnya cemberut."Kita tunda dulu, ada yang lebih penting dari itu.""Apa?" Helen bertanya, rasa penasaran menggantikan kekesalannya.Kenzie menggeser tubuh Helen hingga l
(POV Kenzie) Dua minggu berlalu bagai kilat, meninggalkan jejak kenangan indah bulan madu kami di Korea. Hari ini, kami pulang ke Indonesia, jantungku berdebar-debar menantikan sambutan untuk Helen, anggota baru yang akan mengisi rumah tercintaku. Sebelum pesawat lepas landas, aku sudah berkoordinasi dengan Akmal untuk menyiapkan kejutan. Kemungkinan kami tiba besok pagi, mengingat penerbangan memakan waktu lebih dari tujuh jam. "Selamat datang Nona Helena!!" Setibanya di rumah, suasana hangat langsung menyelimuti kami. Akmal, Jamal, dan Zea menyambut Helen dengan riang gembira. Dekorasi yang memesona terpampang nyata; bunga-bunga dan balon berwarna pink memenuhi ruangan, warna kesukaan Helen. Semuanya begitu sempurna. Tidak sia-sia aku meminta Akmal untuk membayar orang secara mahal. Namun, pandangan mataku seketika terpaku pada Zea. Dua minggu tak bertemu, tubuh gadis itu kini menjadi lebih berisi, dia juga terlihat cantik dan ada apa dengan bibirnya? Kenapa warnanya merah?
"Aaaakkkkhhhh!!" Tiba-tiba, suara jerita merobek kesunyian, membuatku tersentak dari duduk. Siapa yang berteriak? Apa yang terjadi? Adrenalin langsung mengucur deras. Tanpa banyak berpikir, aku segera berlari masuk, jantungku berdebar-debar. Zea sudah berlari menuju tangga, artinya Helen yang tadi berteriak. Apakah dia terjatuh? Atau... firasat buruk tiba-tiba mencengkeramku. Di lantai atas, pintu kamarku seketika terbuka. Helen muncul dan berlari. Wajahnya pucat pasi seperti mayat hidup, matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar hebat. Dia langsung memelukku erat, tubuhnya gemetar tak terkendali. "Hantu, Kenzie! Ada hantu di kamar kita!" racaunya, suara tertahan oleh isakan yang pilu. "Hantu? Mana hantunya, Mbak?" Zea berlari masuk, cekatan memeriksa setiap sudut kamar. Gorden disibak dengan kasar, lemari dibanting terbuka, bahkan kolong tempat tidur pun tak
"Zea belum makan apa pun sejak siang tadi, Pak," lapor Akmal lirih, mendekat ke arah Kenzie. Sejak kedatangan Kenzie, dia duduk di depan kamar rawat. Kenzie tersentak lalu menoleh, tubuhnya tampak menegang. "Kok belum makan? Kenapa? Apa suster tidak mengantar makanan?" Suaranya bergetar, kecemasan terpancar jelas dari sorot matanya yang sayu. "Sudah, Pak. Tapi Zea menolaknya." "Harusnya kamu tawarkan makanan lain, Mal," desahnya, nada suaranya terdengar menyalahkan Akmal. Dia telah menitipkan Zea, dan seharusnya Akmal bisa bertanggung jawab sepenuhnya. "Makanan rumah sakit memang tidak seenak makanan rumahan, wajar kalau Zea tidak berselera." "Saya sudah menawarkan makanan dari restoran depan, Pak. Berbagai macam sudah saya belikan, dari makanan berat hingga yang manis. Tapi Zea tetap menolaknya. Lihat saja .…" Akmal menunjuk ke arah jendela. Beberapa bungkus makanan tergeletak tak tersentuh di atas meja. "Itu semua belum d
"Awalnya aku berencana seperti itu, Yah. Aku hanya ingin bertanggung jawab sampai bayi itu lahir, setelah itu aku akan meninggalkannya." Kenzie membeberkan rencana awalnya, baginya itu tak perlu ditutupi. Apalagi Ayah Calvin sudah memberikannya wejangan. "Tapi... sepertinya rencana itu harus aku urungkan." "Kenapa begitu? Apa karena kamu mau mendengarkan kata-kata Ayah?" Ayah Calvin bertanya, sebuah harapan tersirat dalam suaranya. "Banyak faktornya, salah satunya dari kata-kata Ayah juga. Aku akan menuruti." Kenzie mengangguk patuh, menunjukkan kepatuhannya pada ayahnya. "Tapi yang utama, karena Kakek, Yah." "Kakek?" Ayah Calvin mengerutkan dahi, bingung dengan penjelasan Kenzie. "Iya. Kakek Tatang. Dia menyukai Zea, dia kepengen Zea menjadi istriku." Penjelasan Kenzie semakin membuat Ayah Calvin penasaran. "Lho... bukannya kamu nggak bisa melihat hantu Kakekmu, ya?" Ayah Calvin menatap Kenzie dengan heran, bulu kuduknya merinding mengingat penampakan hantu mertuanya yang
"Kamu jangan percaya pada Heru, Yang. Dia berdusta. Anak ini anakmu, bukan anaknya!" Air mata Helen membanjiri wajahnya, tangisnya semakin pecah, suara pilu menggema di ruangan yang tiba-tiba terasa sempit dan pengap. Dia mencoba menjelaskan, membela diri, menyelamatkan pernikahannya yang sudah berada di ujung tanduk.Namun, Kenzie tetap diam, tatapannya kosong, tak bergeming.Ayah Calvin, dengan wajah yang menggambarkan beban berat yang dipikulnya, akhirnya angkat bicara. Suaranya berat, menahan beban emosi yang tak kalah besarnya. "Pak Janur... Bu Hanum... sepertinya, ikatan keluarga kita harus berakhir sampai di sini. Kita harus menerima keputusan Kenzie." Kata-kata itu, yang keluar pelan namun menusuk, seperti palu yang menghantam dada Papi Janur dan Mami Hanum.Mami Hanum, dengan suara bergetar menahan tangis, menatap besannya dengan tatapan penuh harap. "Kok Bapak malah mendukung perceraian?" suaranya meninggi, mengungka
"Biar aku, Yah," kata Kenzie, suaranya terdengar berat. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum mulai bercerita. "Sebelum menikah, aku berpacaran dengan Helen selama lima tahun. Tiga tahun di antaranya kami bertunangan, bahkan sebelum kami menjalani hubungan jarak jauh. Aku sengaja ingin bertunangan dulu, sebagai bukti keseriusan hubungan kami meskipun jarak memisahkan."Kenzie berhenti sejenak, mencoba mengendalikan emosinya. "Selama lima tahun pacaran… aku selalu menjaga kehormatan Helen, kami belum pernah berhubungan badan. Tapi ... di malam pengantin kami, aku merasa terkejut saat mengetahui Helem sudah tidak suci lagi.""Tidak suci?!" seruan Ayah Calvin, Bunda Viona, Opa Andre, dan Oma Dinda menggema di ruangan, suara mereka bercampur antara keterkejutan dan kemarahan. Mata mereka melebar tak percaya.Ekspresi terkejut dan tak percaya juga terpancar dari wajah Papi Janur dan Mami Hanum. Suasana tegang mencapai puncakn
"Izinkan aku hidup mandiri. Aku tidak mau tinggal satu atap dengan Bapak. Tapi Bapak tidak perlu khawatir… setelah aku melahirkan, aku akan menyerahkan bayi ini kepada Bapak." Kata-kata itu keluar pelan, mengandung beban berat yang hanya dia sendiri yang mengerti. "Dan sebelum aku melahirkan… Bapak dilarang menemuiku. Biarkan aku hidup dengan bebas, sesuka hatiku." Dia meminta kebebasan, sebuah ruang untuk bernapas dan menenangkan jiwanya yang terluka."Tidak!" Kenzie menggeleng cepat, penolakannya keras dan tegas. Bagi dia, permintaan Zea itu sama saja dengan ditinggalkan. "Kita kan suami istri, Zea. Hal seperti itu tidak boleh dilakukan. Kita harus satu atap, kamu tidak boleh pergi meninggalkanku." Egoisnya terpancar jelas, dia hanya memikirkan keinginannya sendiri."Kalau kita satu atap terus… bisa-bisa semua orang tau kalau kita ada hubungan, Pak," Zea mencoba menjelaskan dengan tenang. "Bapak jangan menyepelekan hal seserius ini, ini sangat beri
Mata Zea perlahan terbuka, berat dan terasa berpasir. Cahaya redup menyilaukan sejenak, sebelum akhirnya dia mampu membiasakan penglihatannya. Ruangan putih bersih mengelilinginya, bau disinfektan khas rumah sakit menusuk hidungnya.Dia memutar kepala perlahan, melihat dinding-dinding yang polos, perlengkapan medis yang terpasang rapi di samping tempat tidur, dan jendela yang tertutup tirai putih tipis. Kejutan menusuk kesadarannya."Eh, ini seperti ruangan rumah sakit, kan??" gumamnya lirih, suaranya serak dan lemah. Dia mencoba duduk, merasakan nyeri menusuk di perut bagian bawah.Ingatannya kembali pada kejadian sebelumnya; sakit perut yang luar biasa, desakan-desakan kambing yang mengerikan di dalam kandang, kehilangan kesadaran... "Ooohh... pasti ini gara-gara aku sakit perut dan kena desak-desakan kambing. Tapi, siapa kira-kira yang bawa aku ke rumah sakit? Jangan bilang kalau ...." Pikirannya melayang, mencoba menebak siap
Air mata Kenzie membanjiri pipinya, deras dan tak terbendung tanpa permisi. Meskipun awalnya dia tak begitu mendambakan kehadiran anaknya, namun kabar tentang kemungkinan kehilangannya telah menusuk kalbu jauh lebih dalam daripada yang pernah dia bayangkan. Sekelebat Kenzie membayangkan wajah mungil anaknya. bayangan kehidupan kecil yang mungkin tak akan pernah ada, menghantamnya dengan kekuatan yang luar biasa. "Tidak, Pak. Anak Anda baik-baik saja." Suara dokter itu seperti bisikan samar dari dunia lain, tak mampu menembus kabut kesedihan yang menyelimuti Kenzie. Matanya membulat, tak percaya, dipenuhi kebingungan yang membingungkan. "Se-serius itu, Dokter? Anak saya… baik-baik saja?" "Ya, Pak." Dokter itu mengangguk pelan, mencoba menyampaikan kabar baik dengan hati-hati, memahami guncangan emosi yang tengah dialami Kenzie. Kata-kata dokter itu perlahan mengurai simpul kesedihan yang mencekik dada Kenzie, seakan melepaskan ikatan yang menghimpit napasnya. Dia segera mengusap
Papi Janur terdiam, matanya menerawang, mencoba mengingat-ingat apakah dia mengenal seseorang bernama Heru. Nama itu terasa asing, namun sebuah rasa gelisah mulai menggelitik."Berhubung Bapak dan Ibu sudah ada tamu... izinkan kami pamit. Urusan saya dan istri juga sudah selesai, tinggal kita rundingan Kenzie dan Helen saja," ujar Ayah Calvin, tangannya sudah meraih gagang kursi. Namun, Papi Janur menahannya dengan tatapan hangat."Silakan minum kopi dan tehnya dulu, Pak, Bu. Baru pulang," pinta Papi Janur, suaranya lembut namun tegas.Ayah Calvin dan Bunda Viona mengangguk, segera menyesap minuman yang telah terasa dingin namun masih nikmat di tenggorokan."Kalau ada informasi tentang Kenzie... mohon segera hubungi saya atau Helen," pinta Papi Janur, seraya menjabat tangan Ayah Calvin. "Saya juga akan ikut mencarinya besok.""Tentu, Pak. Semoga segera ada kabar baik. Assalamualaikum.""Waalaikum salam."Mereka mengant
"Lho... kenapa itu, Pak?" tanya Kenzie, menunjuk kandang kambing dengan jari telunjuknya. Kawanan kambing itu makin menggila, berlarian tak karuan, menggerakkan tubuh mereka dengan panik, menimbulkan suara gaduh yang semakin menambah kekacauan. Fokus Kenzie buyar, teralihkan oleh kekacauan di hadapannya. Pria paruh baya itu, yang sebenarnya adalah ketua RT setempat, langsung berlari menuju kandang, langkah kakinya tergesa-gesa. Dia memeriksa setiap sudut kandang, mencari sumber kegaduhan. Bau kambing yang menyengat menusuk hidungnya, bercampur dengan aroma tanah dan sesuatu yang... aneh. Pandangan matanya terhenti pada sesosok tubuh yang tergeletak di pojok kandang, tersembunyi di balik tumpukan jerami yang berserakan. "Pak! Pak! Ada orang pingsan di dalam!" teriaknya, suara panik tersiar di antara suara kambing yang masih berisik. Dengan tangan gemetar, dia buru-buru membuka pintu kandang yang terbuat dari kayu lapuk. "Ora