(POV Viona)
"Issshh, Kak Calvin nyebelin!"Degup jantungku berdesir kesal melihat Kak Calvin pamit ke kamar mandi dengan mengatakan mules. Mataku mengikuti punggungnya yang tegap menghilang di balik pintu, rasa jengkel menggerogoti hatiku.Aku yakin, itu hanya alasan belaka untuk menghindar.Kenapa sih dia selalu bersikap canggung di dekatku? Padahal, tadi kita sedang berciuman, bahkan aku sempat mengira kita akan bercinta.Apakah semua ini karena dia masih memikirkan Nona Agnes? Jika iya, rasanya sakit sekali.Tapi aku tak akan menyerah begitu saja. Aku akan terus berjuang untuk merebut hatinya.Aku sudah menyiapkan segalanya, bahkan sampai membeli dan memakai pakaian yang sedikit berani seperti ini, semua demi menggoda Kak Calvin, agar dia mau menyentuhku. Aku ingin dia merasakan betapa aku merindukannya, betapa aku menginginkannya.Kita sudah menikah, bukankah hal yang wajar jika kita bercinta? Jadi tidak ma"Kamu jangan begitu dong, Nak. Bunda sama Ayah 'kan perlu menghabiskan waktu berdua, kamu memangnya nggak sayang, ya, sama Dedek bayi?" Aku masih berusaha memberikan pengertian, dan kini terpaksa dengan membawa-bawa calon adiknya Kenzie. Kulihat Kak Calvin juga ingin menjawab, tapi raut wajahnya terlihat tidak tega terhadap Kenzie. Aku menjadi semakin khawatir. "Memang apa hubungannya dengan Dedek bayi, Bunda?" tanya Kenzie menatapku bingung dengan wajah sedihnya. Sejujurnya aku pun merasa kasihan kepada Kenzie, tapi Bunda juga butuh belaian dari Ayahmu, Nak. Maafkan Bundamu yang jadi mesuum seperti ini, ya? "Tentu saja ada. Dia 'kan ada di perut Bunda, dan Bunda membutuhkan asupan vitamin dari Ayah secara langsung," jawabku sambil mengusap perut dan melirik Kak Calvin. Kulihat wajah pria itu menjadi memerah. Ada apa dengannya? "Asupan vitamin??" Dahi Kenzie semakin terlipat. "Maksudnya, Dedek bayi halus minu
"Mau apa dia ke sini?" gumamku, kekesalan menggerogoti hati. Ah, menyebalkan, kenapa dia harus muncul di saat ini? Mengganggu waktuku dengan Kak Calvin. "Agnes...." Kak Calvin mulai berujar, suaranya berat, seperti terbebani sesuatu. "Kakak mau ngapain?" Aku langsung menarik lengannya, menahannya untuk tak turun dari mobil. Matanya tertuju ke depan, menatap Nona Agnes dengan sorot yang sulit diartikan. Aku yakin, dia ingin menemui perempuan itu, tapi aku tak akan membiarkannya. "Itu si Agnes, aku mau-" "Nggak boleh!" Potongku cepat, seolah bisa menebak apa yang ingin dia sampaikan. "Kakak nggak boleh menemuinya lagi. Kemarin saja saat di rumah sakit, Kakak ingat ... kalau Nona Agnes tidak mengizinkan Kakak pergi." "Tapi bagaimana kita bisa pergi kalau Agnes ada di luar. Dia mencariku, Vio dan-" "Biarkan
(POV Viona) Mataku perlahan terbuka, saat merasakan sentuhan kuat dibibirku. Aku langsung terkejut, melihat apa yang terjadi. Kak Calvin, pria itu sedang menciumku dengan panas sambil memejamkan mata. Tapi, kenapa? Kok tumben, apakah aku sedang bermimpi? Bibir Kak Calvin turun ke leherku, dapat kurasakan lidahnya menyapu kulitku, membuat sensasi merinding geli namun juga nikmat. Sensasi itu membuatku terkesiap, tubuhku menegang. Kedua tangan besarnya langsung meremmas dadaku, dengan sigap melepaskan beberapa kancing dress dan menurunkannya. Kaca mata penutup berbahan brokat segera dia turunkan, lalu dengan gerakan cepat dia melahap salah satu puncak dadaku dan merem*s yang satunya. "Aaaahh!" Aku mendesaah dan menyeru secara bersamaan, karena terkejut dengan apa yang terjadi. Kak Calvin, apa yang dia lakukan? Dia menghisap dadaku dengan semangat seperti bayi yang kehausan.
"Eeeugghhh ...." Kak Calvin mengerang sambil menggeliat, matanya perlahan terbuka dan menatapku dengan lekat. "Kamu sudah bangun, Vio? Maaf kalau tadi aku-""Ssttttt ...." Aku mendesis, langsung menempelkan jari telunjukku ke bibir Kak Calvin. Jantungku berdebar kencang, takut suara Kak Calvin akan membuat kami ketahuan.Segera, aku menunjuk jendela, memperlihatkan Pak Polisi yang masih berada di sana. Wajahnya kini menempel kaca, begitu dekat sekali, seakan penasaran ingin melihat orang yang berada di dalam mobil."Siapa itu? Eh, polisi? Kok ada polisi?" bisik Kak Calvin dengan mata membulat. Dia tampak terkejut dan heran, buru-buru mengambil pakaian kami yang berserakan di bawah kursi lalu membantuku memakai kembali pakaian.Selanjutnya, dia juga memakai pakaian miliknya. Gerakannya begitu terburu-buru. Aku tahu dia pasti panik.Dengan napas tersengal, Kak Calvin segera menurunkan jendela mobil untuk menemui Pak Polisi. Aku sedikit hera
(POV Calvin) "Kakak harus melupakan Nona Agnes mulai sekarang, dan belajarlah untuk kembali mencintaiku seperti dulu." "Mencintaimu...?" Kata-kata itu bergema di telingaku, sebuah nada yang janggal dalam pikiranku. Rasanya aneh saja, mengapa Viona memintaku untuk kembali mencintainya? Apakah itu penting, untuk hubungan kita? "Kak, kok diem? Kenapa bengong?" Viona mengibaskan tangannya di depan wajahku, suaranya sedikit tercampur kekecewaan. "Apa Kakak nggak mau?" Aku langsung tersentak, karena sempat melamun. "Kalau tentang melupakan Agnes, aku tidak akan berjanji, tapi akan membuktikannya. Tapi kalau tentang mencintaimu lagi..." Suaraku terhenti, kata-kata itu tiba-tiba terjebak di tenggorokanku. Tapi aku juga ingin melihat bagaimana reaksi Viona. Ingatan tentang janjiku kepada Ayah begitu tajam dan jelas dalam benakku. Dia percaya ini jalan yang benar untukku. Tapi mengapa sek
Apa-apaan dia ini? Jelas Viona sedang menggodaku, bukan? Apalagi sudah secara terang-terangan tanpa malu membuka bajunya di hadapanku.Viona, dengan tatapan yang menggoda, kini berjalan mendekatiku. Dia mendorong sedikit bahuku, membuatku terjatuh ke belakang. Bibirnya mendekat, dan aku merasakan sentuhannya yang lembut."Viona!" Aku terkesiap. Apakah benar, dia memang mencintaiku? Sampai ingin kembali bercinta denganku?Atau... ini hanya sebuah rasa n@fsu belaka?Aku tak berani berharap terlalu tinggi, takut kecewa. Namun, godaannya tak tertahankan. Rasa panas menjalar di tubuhku, ketika tangannya yang halus membelai dadaku."Aahhh..." desahku, merasakan tubuhnya yang hangat dan lembut. Dia begitu dekat, dan aku merasakan hasrat yang membara di dalam diriku. "Viona, aku..." Kalimatku terhenti, tertelan oleh ciumannya yang dalam.Kobaran api dalam dada semakin membara, memaksaku untuk mengambil kendali atas situasi ini.
"Bahaya? Bahaya kenapa?" tanyaku bingung, mencoba untuk memahami apa yang terjadi. Segera, kuraih ponsel Viona lalu menatap layar. Tertera sebuah chat dari nomor baru, yang isinya adalah: [Kenzie sedang dalam bahaya, hati-hati.] "Siapa yang mengirim chat, Vio?" tanyaku bingung, menatap Viona. Perempuan itu langsung menggeleng cepat. "Aku juga nggak tau, Kak. Nomornya enggak aku kenal." Aku langsung memencet ikon memanggil, sekaligus mengakhiri panggilan dari Om Erick. Tanganku gemetar, rasanya seperti ada jutaan jarum yang menusuk-nusuk kulitku. Sayangnya, nomor baru itu justru tidak aktif. "Nomornya nggak aktif, tapi kamu jangan panik dulu," ucapku mencoba menenangkan Viona, sebab kulihat dia begitu gelisah. Bahkan sudah bangkit dari tempat tidur. "Bagaimana aku nggak panik, Kak, sementara Kenzie dalam bahaya. Masa Kakak khawatir, sih?" Viona menatapku dengan mata yang berkaca-kaca, mencerminkan kepanikan yang mendalam. Tentu saja aku pun khawatir, tapi aku merasa tidak perc
"Walaikum salam. Bagaimana kabarmu dan Viona di sana?" Suara Papa terdengar ramah di seberang sana, seolah menjawab semua rasa gelisahku mengenai Kenzie. "Baik, Pa. Maaf sebelumnya, aku ingin meminta nomor kepala sekolah Kenzie sama Papa, kata Viona Papa punya." "Kepala sekolah?? Mau apa memangnya, Cal?" "Si Viona, tadi ada yang ngirim chat, ngasih tau kalau Kenzie dalam bahaya. Aku sama Viona jadi khawatir Kenzie kenapa-kenapa, Pa." "Siapa yang mengirim chat? Kenzie baik-baik saja kok, dia lagi sekolah." "Nomor nggak dike-" Ucapanku terpotong saat Viona tiba-tiba bicara. "Apa Papa bisa memastikan kalau Kenzie benar-benar ada di sekolah?" "Bisa," jawab Papa. "Tadi pagi Papa sempat mampir ke sekolah dan ketemu Kenzie di sana." "Serius, Pa? Sampai Kenzie masuk kelas, kan?" tanya V
"Zea belum makan apa pun sejak siang tadi, Pak," lapor Akmal lirih, mendekat ke arah Kenzie. Sejak kedatangan Kenzie, dia duduk di depan kamar rawat. Kenzie tersentak lalu menoleh, tubuhnya tampak menegang. "Kok belum makan? Kenapa? Apa suster tidak mengantar makanan?" Suaranya bergetar, kecemasan terpancar jelas dari sorot matanya yang sayu. "Sudah, Pak. Tapi Zea menolaknya." "Harusnya kamu tawarkan makanan lain, Mal," desahnya, nada suaranya terdengar menyalahkan Akmal. Dia telah menitipkan Zea, dan seharusnya Akmal bisa bertanggung jawab sepenuhnya. "Makanan rumah sakit memang tidak seenak makanan rumahan, wajar kalau Zea tidak berselera." "Saya sudah menawarkan makanan dari restoran depan, Pak. Berbagai macam sudah saya belikan, dari makanan berat hingga yang manis. Tapi Zea tetap menolaknya. Lihat saja .…" Akmal menunjuk ke arah jendela. Beberapa bungkus makanan tergeletak tak tersentuh di atas meja. "Itu semua belum d
"Awalnya aku berencana seperti itu, Yah. Aku hanya ingin bertanggung jawab sampai bayi itu lahir, setelah itu aku akan meninggalkannya." Kenzie membeberkan rencana awalnya, baginya itu tak perlu ditutupi. Apalagi Ayah Calvin sudah memberikannya wejangan. "Tapi... sepertinya rencana itu harus aku urungkan." "Kenapa begitu? Apa karena kamu mau mendengarkan kata-kata Ayah?" Ayah Calvin bertanya, sebuah harapan tersirat dalam suaranya. "Banyak faktornya, salah satunya dari kata-kata Ayah juga. Aku akan menuruti." Kenzie mengangguk patuh, menunjukkan kepatuhannya pada ayahnya. "Tapi yang utama, karena Kakek, Yah." "Kakek?" Ayah Calvin mengerutkan dahi, bingung dengan penjelasan Kenzie. "Iya. Kakek Tatang. Dia menyukai Zea, dia kepengen Zea menjadi istriku." Penjelasan Kenzie semakin membuat Ayah Calvin penasaran. "Lho... bukannya kamu nggak bisa melihat hantu Kakekmu, ya?" Ayah Calvin menatap Kenzie dengan heran, bulu kuduknya merinding mengingat penampakan hantu mertuanya yang
"Kamu jangan percaya pada Heru, Yang. Dia berdusta. Anak ini anakmu, bukan anaknya!" Air mata Helen membanjiri wajahnya, tangisnya semakin pecah, suara pilu menggema di ruangan yang tiba-tiba terasa sempit dan pengap. Dia mencoba menjelaskan, membela diri, menyelamatkan pernikahannya yang sudah berada di ujung tanduk.Namun, Kenzie tetap diam, tatapannya kosong, tak bergeming.Ayah Calvin, dengan wajah yang menggambarkan beban berat yang dipikulnya, akhirnya angkat bicara. Suaranya berat, menahan beban emosi yang tak kalah besarnya. "Pak Janur... Bu Hanum... sepertinya, ikatan keluarga kita harus berakhir sampai di sini. Kita harus menerima keputusan Kenzie." Kata-kata itu, yang keluar pelan namun menusuk, seperti palu yang menghantam dada Papi Janur dan Mami Hanum.Mami Hanum, dengan suara bergetar menahan tangis, menatap besannya dengan tatapan penuh harap. "Kok Bapak malah mendukung perceraian?" suaranya meninggi, mengungka
"Biar aku, Yah," kata Kenzie, suaranya terdengar berat. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum mulai bercerita. "Sebelum menikah, aku berpacaran dengan Helen selama lima tahun. Tiga tahun di antaranya kami bertunangan, bahkan sebelum kami menjalani hubungan jarak jauh. Aku sengaja ingin bertunangan dulu, sebagai bukti keseriusan hubungan kami meskipun jarak memisahkan."Kenzie berhenti sejenak, mencoba mengendalikan emosinya. "Selama lima tahun pacaran… aku selalu menjaga kehormatan Helen, kami belum pernah berhubungan badan. Tapi ... di malam pengantin kami, aku merasa terkejut saat mengetahui Helem sudah tidak suci lagi.""Tidak suci?!" seruan Ayah Calvin, Bunda Viona, Opa Andre, dan Oma Dinda menggema di ruangan, suara mereka bercampur antara keterkejutan dan kemarahan. Mata mereka melebar tak percaya.Ekspresi terkejut dan tak percaya juga terpancar dari wajah Papi Janur dan Mami Hanum. Suasana tegang mencapai puncakn
"Izinkan aku hidup mandiri. Aku tidak mau tinggal satu atap dengan Bapak. Tapi Bapak tidak perlu khawatir… setelah aku melahirkan, aku akan menyerahkan bayi ini kepada Bapak." Kata-kata itu keluar pelan, mengandung beban berat yang hanya dia sendiri yang mengerti. "Dan sebelum aku melahirkan… Bapak dilarang menemuiku. Biarkan aku hidup dengan bebas, sesuka hatiku." Dia meminta kebebasan, sebuah ruang untuk bernapas dan menenangkan jiwanya yang terluka."Tidak!" Kenzie menggeleng cepat, penolakannya keras dan tegas. Bagi dia, permintaan Zea itu sama saja dengan ditinggalkan. "Kita kan suami istri, Zea. Hal seperti itu tidak boleh dilakukan. Kita harus satu atap, kamu tidak boleh pergi meninggalkanku." Egoisnya terpancar jelas, dia hanya memikirkan keinginannya sendiri."Kalau kita satu atap terus… bisa-bisa semua orang tau kalau kita ada hubungan, Pak," Zea mencoba menjelaskan dengan tenang. "Bapak jangan menyepelekan hal seserius ini, ini sangat beri
Mata Zea perlahan terbuka, berat dan terasa berpasir. Cahaya redup menyilaukan sejenak, sebelum akhirnya dia mampu membiasakan penglihatannya. Ruangan putih bersih mengelilinginya, bau disinfektan khas rumah sakit menusuk hidungnya.Dia memutar kepala perlahan, melihat dinding-dinding yang polos, perlengkapan medis yang terpasang rapi di samping tempat tidur, dan jendela yang tertutup tirai putih tipis. Kejutan menusuk kesadarannya."Eh, ini seperti ruangan rumah sakit, kan??" gumamnya lirih, suaranya serak dan lemah. Dia mencoba duduk, merasakan nyeri menusuk di perut bagian bawah.Ingatannya kembali pada kejadian sebelumnya; sakit perut yang luar biasa, desakan-desakan kambing yang mengerikan di dalam kandang, kehilangan kesadaran... "Ooohh... pasti ini gara-gara aku sakit perut dan kena desak-desakan kambing. Tapi, siapa kira-kira yang bawa aku ke rumah sakit? Jangan bilang kalau ...." Pikirannya melayang, mencoba menebak siap
Air mata Kenzie membanjiri pipinya, deras dan tak terbendung tanpa permisi. Meskipun awalnya dia tak begitu mendambakan kehadiran anaknya, namun kabar tentang kemungkinan kehilangannya telah menusuk kalbu jauh lebih dalam daripada yang pernah dia bayangkan. Sekelebat Kenzie membayangkan wajah mungil anaknya. bayangan kehidupan kecil yang mungkin tak akan pernah ada, menghantamnya dengan kekuatan yang luar biasa. "Tidak, Pak. Anak Anda baik-baik saja." Suara dokter itu seperti bisikan samar dari dunia lain, tak mampu menembus kabut kesedihan yang menyelimuti Kenzie. Matanya membulat, tak percaya, dipenuhi kebingungan yang membingungkan. "Se-serius itu, Dokter? Anak saya… baik-baik saja?" "Ya, Pak." Dokter itu mengangguk pelan, mencoba menyampaikan kabar baik dengan hati-hati, memahami guncangan emosi yang tengah dialami Kenzie. Kata-kata dokter itu perlahan mengurai simpul kesedihan yang mencekik dada Kenzie, seakan melepaskan ikatan yang menghimpit napasnya. Dia segera mengusap
Papi Janur terdiam, matanya menerawang, mencoba mengingat-ingat apakah dia mengenal seseorang bernama Heru. Nama itu terasa asing, namun sebuah rasa gelisah mulai menggelitik."Berhubung Bapak dan Ibu sudah ada tamu... izinkan kami pamit. Urusan saya dan istri juga sudah selesai, tinggal kita rundingan Kenzie dan Helen saja," ujar Ayah Calvin, tangannya sudah meraih gagang kursi. Namun, Papi Janur menahannya dengan tatapan hangat."Silakan minum kopi dan tehnya dulu, Pak, Bu. Baru pulang," pinta Papi Janur, suaranya lembut namun tegas.Ayah Calvin dan Bunda Viona mengangguk, segera menyesap minuman yang telah terasa dingin namun masih nikmat di tenggorokan."Kalau ada informasi tentang Kenzie... mohon segera hubungi saya atau Helen," pinta Papi Janur, seraya menjabat tangan Ayah Calvin. "Saya juga akan ikut mencarinya besok.""Tentu, Pak. Semoga segera ada kabar baik. Assalamualaikum.""Waalaikum salam."Mereka mengant
"Lho... kenapa itu, Pak?" tanya Kenzie, menunjuk kandang kambing dengan jari telunjuknya. Kawanan kambing itu makin menggila, berlarian tak karuan, menggerakkan tubuh mereka dengan panik, menimbulkan suara gaduh yang semakin menambah kekacauan. Fokus Kenzie buyar, teralihkan oleh kekacauan di hadapannya. Pria paruh baya itu, yang sebenarnya adalah ketua RT setempat, langsung berlari menuju kandang, langkah kakinya tergesa-gesa. Dia memeriksa setiap sudut kandang, mencari sumber kegaduhan. Bau kambing yang menyengat menusuk hidungnya, bercampur dengan aroma tanah dan sesuatu yang... aneh. Pandangan matanya terhenti pada sesosok tubuh yang tergeletak di pojok kandang, tersembunyi di balik tumpukan jerami yang berserakan. "Pak! Pak! Ada orang pingsan di dalam!" teriaknya, suara panik tersiar di antara suara kambing yang masih berisik. Dengan tangan gemetar, dia buru-buru membuka pintu kandang yang terbuat dari kayu lapuk. "Ora