Ciuman yang tiba-tiba itu sungguh mengagetkan, namun aku dengan gilanya berani membalasnya. Perasaan senang bercampur dengan kekencangan jantung yang semakin terasa.Hangat dan manis, bibir Kak Calvin membuatku merasa nyaman dan terpikat. Rasa sukaku padanya semakin dalam, membuatku yakin bahwa hatiku sudah sepenuhnya miliknya.Aku telah mencintai Kak Calvin.Ya, aku yakin ini adalah hal yang disebut sebagai cinta. Itulah sebabnya aku terus memikirkannya siang dan malam.Cinta yang kurasakan pada Kak Calvin begitu kuat, begitu dalam, sehingga sulit untuk diabaikan. Tapi, adakah ini sebuah keterlambatan, atau sebuah kesalahan?Kak Calvin kini telah bersama Nona Agnes, namun mereka baru bertunangan, belum menikah, bukan? Sebelum janur kuning melengkung, masih ada harapan bagiku untuk mendapatkannya kembali.Aku yakin, aku percaya bahwa ada jalan untukku dan Kak Calvin.Dalam hanyutan ciuman yang memikat, aku merasakan kedua tangan Kak Calvin meraih pinggangku dengan lembut, membuat cium
Agnes terus menatapku dengan ekspresi campuran kekecewaan dan kemarahan. Aku harus segera menjelaskan sebelum situasi semakin memburuk."I-ituuu-"Namun, Om Erick tiba-tiba muncul di hadapan kami lalu menyela, "Kalian berdua ini kenapa sih? Kok kelihatan tegang gitu?" Padahal aku hampir saja ingin memberikan penjelasan kepada Agnes."Ini, Dad, bibir Mas Calvin merah-merah seperti habis terkena lipstik, ditambah bajunya juga bau parfum perempuan," jawab Agnes cepat sambil menunjuk ke arahku.Om Erick mendekat lalu mengendus, tapi aku sedikit menjauh karena menurutku situasi ini tidak membuatku nyaman."Bener kan, Dad? Bau parfum perempuan? Mana itu parfumnya Viona lagi!" kesal Agnes menyeru.Dengan nada mengintimidasi, Om Erick bertanya, "Kamu ketemu Viona tadi, Cal?" Aku menelan ludah dan rasanya aku tidak mengelak. Segera aku mengangguk cepat. "Di mana?""Di toilet tadi, nggak sengaja kok, Om," jawabku berusaha menenangkan kegugupan. Sambil memperhatikan Agnes yang menatapku dengan t
"Mas bicara serius 'kan? Nggak lagi bercanda??" tanya Agnes dengan ekspresi terkejut yang begitu jelas terlihat di matanya yang membulat sempurna."Iya, aku serius," jawabku sambil mengangguk mantap.Kedua tangan Agnes terlihat mengepal di atas kedua pahanya, namun tiba-tiba dia langsung memeluk tubuhku dengan erat, seolah-olah takut aku akan pergi."Apa ini berarti Mas masih memiliki perasaan terhadap Viona? Masih mencintainya?" tanya Agnes dengan nada yang terdengar sedikit mengintimidasi."Tentu saja tidak, Sayang. Kamu tahu kan, bahwa aku sudah move on dari Viona. Hanya kamu ... perempuan yang aku cintai di dunia ini," jawabku mencoba meyakinkannya, meskipun rasa ragu kembali muncul.Ah, mengapa aku tidak bisa bersikap biasa saja terhadap Agnes? Dengan mencintainya secara bebas dan membiarkan diri ini nyaman di dekatnya?Sampai detik ini pun, aku masih merasa tidak nyaman berada dalam pelukannya. Aku sendiri merasa sangat heran dengan diri sendiri."Aku pegang kata-kata Mas dan ak
Prolog~ "Aaahhh ... Aahhh." Di ruangan yang ber-AC dengan pencahayaan yang minim, aku mendesaah kuat dengan hati yang berdesir saat tubuhku berhasil dimasuki oleh seseorang yang dulu pernah menjadi suamiku. Awalnya aku menolak, tetapi Kak Calvin terus memaksaku, dan akhirnya aku terhanyut dalam permainannya. Selama masa pernikahan kami, kami hanya sekali berhubungan badan, dan aku bahkan tidak ingat bagaimana rasanya. Akan tetapi, dengan keanehan yang ada, kali ini aku merasakan kenikmatan yang begitu luar biasa. Ya Allah... aku memohon ampun-Mu, semua ini adalah kesalahan dan dosaku. Seharusnya dari awal aku tidak menuruti permintaan yang konyol dari bosku. Namun, di sisi lain, aku juga takut kehilangan pekerjaan. Mungkin, besok aku akan benar-benar dipecat jika Nona Agnes mengetahui kalau aku dan Kak Calvin telah memadu kasih semalam penuh. *** POV Viona (Flashback On) "Halo ... iya, Pa?" tanyaku dari pada sambungan telepon. Papaku yang bernama Tatang menelepon. "Bundaaa
"Kak Calvin??" gumamku pelan merasa tak percaya, dengan siapa orang yang berada di hadapanku saat ini. Tidak! Kenapa aku harus bertemu dengan Kak Calvin yang merupakan mantan suamiku? Dan bukankah dia ini berada di Korea? Tapi kenapa malah ada di Indonesia? Selain itu, lima tahun sudah waktu yang telah berlalu. Tapi jika dilihat-lihat, wajahnya tampak semakin tampan dan berkharisma saja. Padahal dulu pas masih jadi suamiku—perasan biasa saja. Apa mungkin karena aku memang tidak ada rasa padanya? Ah bukankah sekarang pun sama saja? Hanya saja bedanya jantungku sekarang berdebar kencang saat berada di dekatnya. Tapi mungkin ini efek aku yang terlalu terkejut. "Kukira salah orang tadi. Ternyata benar." Kak Calvin menatap wajahku sebentar dan kulihat begitu sinis. Setelah itu dia berlalu pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun. Bahkan sebelum aku menanggapi ucapannya. Ada apa dengan Kak Calvin? Ah, seharusnya aku tahu. Sikapnya yang berubah mungkin disebabkan oleh luka ya
"Ada apa, Pak?" tanya salah satu security yang datang berjumlah dua orang, keduanya langsung berjongkok meraih tubuh Kak Calvin. "Rekanku tiba-tiba pingsan, dia tadi sempat mengeluh sakit kepala, Pak. Tolong sekarang angkat tubuh dia, bawa ke mobilku, aku akan membawanya ke rumah sakit." Pria itu menjelaskan. "Baik, Pak." Pak Security mengangguk, lalu bersama teman seprofesinya dia mencoba mengangkat tubuh Kak Calvin yang cukup besar, kemudian melangkah cepat membawanya keluar dari restoran dan disusul oleh pria tadi. "Eh, Pak! Tunggu, Pak!" Aku berteriak seraya berlari mengejar, karena tidak mungkin aku membiarkan mereka membawa Kak Calvin begitu saja, bisa-bisa rencanaku gagal. Dua pria berseragam yang hendak memasukkan Kak Calvin ke dalam mobil langsung terhenti, saat dimana aku mencoba menghalanginya. "Nona mau ngapain? Menyingkir dari sini!" Rekan Kak Calvin berusaha menarikku untuk menjauh dari mobilnya, tapi diri ini mencoba menahan diri. "Biar aku saja yang membawa Kak C
Setelah puas menciumiku tanpa ampun, bahkan hampir membuatku kehabisan oksigen, kini bibir Kak Calvin turun ke leher. "Aahhhh!!" Aku terkejut, apa yang dia lakukan? Lidah, dia menyesap leherku sambil memainkan lidahnya dan itu sangat menggelitik hingga membuat seluruh tubuhku meremang. Bahkan dapat kurasakan seluruh bulu romaku berdiri tegak. Tapi, aku ingat bahwa aku belum mandi tadi sore. Pasti leher dan tubuhku ini beraroma kecut dan terasa asem, bisa-bisa Kak Calvin mual. "Huuuekk!!" Nah benar 'kan, baru saja aku menebak dan sekarang Kak Calvin terlihat seperti ingin muntah. Aktivitas itu terhenti sejenak, tapi kulihat Kak Calvin tengah sibuk melepaskan jas dan kemejanya. Ini kesempatan emas untukku supaya terlepas darinya, karena kalau sampai aku ketahuan Nona Agnes, bisa-bisa aku habis olehnya. Setelah mengeluarkan tenaga dalam, akhirnya aku berhasil mendorong tubuhnya untuk menyingkir dari tubuhku. Kak Calvin terjungkal dari kasur dan langsung merintih kesakitan, karena
Bunyi hape seketika memecah keheningan, buru-buru kuambil kembali benda itu di atas kasur. Berharap Viona yang menghubungi, tapi ternyata Daddyku yang bernama—Erick. "Halo, Dad," ucapku yang baru saja mengangkat panggilan. "Halo, bagaimana? Kamu udah berhasil tidur dengan Calvin, kan?" "Belum, Dad." "Kok bisa belum? Bukannya semalam kamu bilang, kamu sudah reservasi hotel buat menjebak Calvin, ya?" "Iya. Tapi itu dia ... kan semalam aku meminta bantuan Viona, dia sendiri bilang rencana kita lancar dan sedang menuju hotel, tapi anehnya, sampai sekarang belum sampai juga, Dad," jawabku bingung. "Salah alamat nggak kamunya? Kan kamu tau sendiri bagaimana Viona, dia kadang agak begoo." "Bener kok, Dad," jawabku dengan yakin. "Sekarang udah dihubungi apa belum? Coba ditelepon Viona." "Udah dari tadi, tapi enggak diangkat-angkat. Nomor Mas Calvin juga nggak aktif, Dad." "Ya udah, sekarang kamu pergi aja ke rumah Calvin. Tunggu dia sampai pulang, nanti habis itu kamu tanya deh ...
"Mas bicara serius 'kan? Nggak lagi bercanda??" tanya Agnes dengan ekspresi terkejut yang begitu jelas terlihat di matanya yang membulat sempurna."Iya, aku serius," jawabku sambil mengangguk mantap.Kedua tangan Agnes terlihat mengepal di atas kedua pahanya, namun tiba-tiba dia langsung memeluk tubuhku dengan erat, seolah-olah takut aku akan pergi."Apa ini berarti Mas masih memiliki perasaan terhadap Viona? Masih mencintainya?" tanya Agnes dengan nada yang terdengar sedikit mengintimidasi."Tentu saja tidak, Sayang. Kamu tahu kan, bahwa aku sudah move on dari Viona. Hanya kamu ... perempuan yang aku cintai di dunia ini," jawabku mencoba meyakinkannya, meskipun rasa ragu kembali muncul.Ah, mengapa aku tidak bisa bersikap biasa saja terhadap Agnes? Dengan mencintainya secara bebas dan membiarkan diri ini nyaman di dekatnya?Sampai detik ini pun, aku masih merasa tidak nyaman berada dalam pelukannya. Aku sendiri merasa sangat heran dengan diri sendiri."Aku pegang kata-kata Mas dan ak
Agnes terus menatapku dengan ekspresi campuran kekecewaan dan kemarahan. Aku harus segera menjelaskan sebelum situasi semakin memburuk."I-ituuu-"Namun, Om Erick tiba-tiba muncul di hadapan kami lalu menyela, "Kalian berdua ini kenapa sih? Kok kelihatan tegang gitu?" Padahal aku hampir saja ingin memberikan penjelasan kepada Agnes."Ini, Dad, bibir Mas Calvin merah-merah seperti habis terkena lipstik, ditambah bajunya juga bau parfum perempuan," jawab Agnes cepat sambil menunjuk ke arahku.Om Erick mendekat lalu mengendus, tapi aku sedikit menjauh karena menurutku situasi ini tidak membuatku nyaman."Bener kan, Dad? Bau parfum perempuan? Mana itu parfumnya Viona lagi!" kesal Agnes menyeru.Dengan nada mengintimidasi, Om Erick bertanya, "Kamu ketemu Viona tadi, Cal?" Aku menelan ludah dan rasanya aku tidak mengelak. Segera aku mengangguk cepat. "Di mana?""Di toilet tadi, nggak sengaja kok, Om," jawabku berusaha menenangkan kegugupan. Sambil memperhatikan Agnes yang menatapku dengan t
Ciuman yang tiba-tiba itu sungguh mengagetkan, namun aku dengan gilanya berani membalasnya. Perasaan senang bercampur dengan kekencangan jantung yang semakin terasa.Hangat dan manis, bibir Kak Calvin membuatku merasa nyaman dan terpikat. Rasa sukaku padanya semakin dalam, membuatku yakin bahwa hatiku sudah sepenuhnya miliknya.Aku telah mencintai Kak Calvin.Ya, aku yakin ini adalah hal yang disebut sebagai cinta. Itulah sebabnya aku terus memikirkannya siang dan malam.Cinta yang kurasakan pada Kak Calvin begitu kuat, begitu dalam, sehingga sulit untuk diabaikan. Tapi, adakah ini sebuah keterlambatan, atau sebuah kesalahan?Kak Calvin kini telah bersama Nona Agnes, namun mereka baru bertunangan, belum menikah, bukan? Sebelum janur kuning melengkung, masih ada harapan bagiku untuk mendapatkannya kembali.Aku yakin, aku percaya bahwa ada jalan untukku dan Kak Calvin.Dalam hanyutan ciuman yang memikat, aku merasakan kedua tangan Kak Calvin meraih pinggangku dengan lembut, membuat cium
"Aku ingin bicara denganmu, tapi takut ketahuan orang lain, terutama Agnes." "Apa ini rahasia?" "Ini hanya tentang Kenzie." "Kenapa dengan Kenzie, Kak?" Aku menatap Kak Calvin penuh tanya. "Kenzie tadi bilang, kalau nanti malam mau tidur di rumahku, bersamaku," jawab Kak Calvin. "Aku sendiri sudah minta izin sama Papa Tatang dan dia mengizinkan, Vio." "Terus kenapa, Kak? Dari kemarin-kemarin memang Kenzie kepengen tidur sama Kakak, dan Papa menyarankan kalau besok dia menginap. Aku juga mengizinkannya kok." Aku menyuarakan kebingungan. "Masalahnya, Kenzie ingin kamu juga ikut menginap, Vio. Dan itu membuatku bingung," ucap Kak Calvin dengan ekspresi ragu. "Kenapa harus bingung?" Aku bertanya, merasa sedikit lega dengan permintaan Kenzie. Anehnya, sebenarnya aku senang dengan kesempatan itu. Sampai-sampai pikiranku melayang, apakah ini terlalu berlebihan? Namun, bisa saja ini kesempatan untuk bersama Kak Calvin. Oh, pikiranku yang kacau! "Ya jelas aku bingung, Vio. Kit
Nona Agnes meminta penjelasan dari Kak Calvin dengan tajam, "Beritahu aku dulu, Mas, dia siapa? Sebelum acara ini dilanjutkan." Sorot mata tajamnya menuntut jawaban saat dia berdiri dan melangkah mendekat. "Dia anakku, Yang. Anak kandungku," jawab Kak Calvin sambil tersenyum, menatap Kenzie yang bergelayut di dadanya. "Anak?!" seru Nona Agnes, memperlihatkan kejutan yang sama dirasakan oleh yang lain, termasuk keluarga Kak Calvin. "Calvin ...," panggil Mama Selly sambil menyentuh lengan kanan Kak Calvin, ekspresi gelisah terpancar jelas dari wajahnya, namun Kak Calvin dengan cepat menarik tangannya. "Kok bisa, Mas punya anak? Anak dari siapa, Mas?" tanya Nona Agnes dengan keterkejutan yang mencuat dari matanya. "Anak dari mantan istriku, Yang," Kak Calvin menjelaskan dengan lembut, sambil merangkul bahu Nona Agnes. Dadaku seketika sesak melihatnya. Ah, mengapa aku menjadi semakin sensitif dengan kedekatan Kak Calvin dan Nona Agnes? Aku semakin tidak rela melihat dirinya
"Apa kamu berbohong??" Suara tajam Ayah Andre menusuk hatiku, matanya menatap dengan penuh keraguan, dan dadanya sedikit memajukan tubuhnya ke arahku."Demi Allah, untuk apa juga aku berbohong. Nggak ada gunanya," jawabku dengan mantap, mencoba menenangkan diri.Senyum miring terukir di wajah Ayah Andre sebelum ia kembali duduk dengan tegak. Napasnya terdengar berat sebelum ia memulai pertanyaan berikutnya, "Boleh aku tau, apa alasanmu tidak jadi menikah dengan Yogi?""Karena Kak Yogi nggak menerima kehamilanku, dia nggak mau bertanggung jawab atas bayi yang bukan darah dagingnya," jawabku dengan suara yang bergetar sedikit."Yakiiiinnn ... itu bukan darah dagingnya??" Ayah Andre menekankan kata-katanya, mencari kepastian."Jelas yakin, karena aku dan Kak Yogi nggak pernah melakukan hubungan yang dilarang agama," aku mencoba menjelaskan dengan hati-hati."Dilarang agama??" Ayah Andre mengangkat sebelah alisnya, ekspresinya penuh dengan keraguan. "Aku nggak paham maksud dari kata-katam
Lho ... tapi kenapa justru Ayah Andre yang datang? Tau darimana dia rumah Papa? Dan mau apa kira-kira?Jantungku tiba-tiba berdetak kencang saat pria berjas biru itu melangkah mendekati kami dan menatapku dengan tatapan sinis."Assalamualaikum.""Walaikum salam, Pak," jawab Papa cepat, sambil mengulurkan tangannya. Ayah Andre dengan cepat merespons sambutan tersebut. "Bagaimana kabarnya, Pak? Sudah lama kita tidak bertemu.""Aku baik," jawab Ayah Andre. Sorot matanya kemudian beralih kepada Kenzie yang sejak tadi memperhatikannya."Eh, Nak. Ayok salim dulu, Kakek ini Ayahnya Ayah. Kakekmu juga," kata Papa kepada Kenzie. Anak kecil itu dengan polosnya mengulurkan tangannya menyentuh tangan Ayah Andre, lalu mencium punggung tangan."Ayah ...." Aku pun mengikuti langkah yang sama, jika tidak sopan untuk tidak melakukannya.Namun, berbeda kepada Papa dan Kenzie, Ayah Andre justru menepis tanganku sebelum aku sempat menciumnya.Dalam hatiku, pertanyaan-pertanyaan muncul: mengapa reaksi Aya
"Kita harus menunggu sampai semuanya jelas.""Tapi Kenzie adalah anakku, Ma." Sedikit kesal, aku menarik tangan Mama."Masih perlu tes ulang untuk membuktikannya," tambah Ayah setuju.Ah, mereka sepertinya memiliki pandangan yang sama. Mengapa semuanya harus menjadi rumit seperti ini?***POV Viona.Setelah meletakkan udang goreng tepung di atas piring, hasil masakanku sendiri, aku kemudian menuangkan nasi.Kenzie sangat menyukai udang goreng tepung, dan aku sengaja membuatnya sendiri dengan harapan itu dapat meredakan kemarahannya.Aku berniat untuk merayu Kenzie agar mau makan malam, karena sejak tiba di kamar, anak itu tetap diam. Bahkan saat kubujuk untuk mandi, dia menolak, dan aku khawatir dia juga akan menolak untuk makan."Kenzie, sayang ... Lihat, Nak, Bunda membawa apa untukmu." Aku melangkah masuk ke dalam kamar, lalu berjongkok memperhatikan Kenzie yang berada di dalam kolong tempat tidur.Setiap kali marah, Kenzie selalu bersembunyi di dalam kolong tempat tidur, meskipun
"Aku cari ke dalam mobil dulu deh, sepertinya tertinggal di sana." Aku segera pamit, berlari keluar dari rumah.Dengan langkah tergesa-gesa, aku memutuskan untuk memeriksa mobil, yakin bahwa amplop yang hilang mungkin tertinggal di sana.Atau mungkin saja, amplop itu terjatuh di dalam mobil, berserak di antara kursi-kursi yang rapat."Pak! Boleh aku meminta bantuan Bapak sebentar?" pintaku kepada satpam rumah Ayah, dengan harapan beliau bersedia membantu dalam pencarian yang mendesak ini, supaya benda itu segera ketemu."Minta tolong apa ya, Pak?" Pria berseragam hitam itu langsung berlari mendekati mobil. Tanpa ragu, aku membuka pintu mobil, mempersilakan beliau masuk."Tolong bantu aku mencari amplop putih di dalam mobil. Sepertinya jatuh, Pak," jelasku dengan suara gemetar, penuh kekhawatiran."Oh, baiklah, Pak." Pak Satpam mengangguk, lalu dengan sigap, beliau memasuki mobil dan bersama-sama kami menyusuri setiap sudut mobil, mencari-cari amplop yang hilang.Namun, setelah beberap