"Apa yang Bapak lakukan? Bapak mau apa?" Mata Zea melebar sempurna saat Kenzie mulai membuka kancing kemejanya. Dan sebelum Zea sempat bereaksi, bibir Kenzie mendarat di bibirnya. Itu adalah ciuman pertama Zea, dan Kenzie telah mengambilnya begitu saja, tanpa permisi. Zea terpaku, tubuhnya menegang karena terkejut dan takut. *** (Flashback on) Di area parkir supermarket yang sunyi senyap, Zea melangkah dengan hati-hati, setiap langkahnya diiringi detak jantung yang berdebar kencang. Tatapannya tajam, mengamati setiap sudut. Niatnya terselubung: ingin mencuri. Sasarannya sebuah Lamborghini hitam mengkilap, pintunya sedikit terbuka, mengundang godaan. Namun, bukan mobil mewah itu yang menjadi incarannya, melainkan barang-barang yang mungkin tertinggal di dalamnya. Dengan gerakan lincah, Zea menyusup ke dalam mobil, matanya menyapu setiap sudut. Napasnya tercekat saat menemukan sebuah laptop tergeletak di kursi pengemudi. "Kalau dijual, pasti harganya mahal," gumamnya, membayangkan
Tak lama, aroma busuk menguar memenuhi kabin mobil, membuat Kenzie dan satpam yang menemaninya mual. Kenzie segera menepikan mobil. Perutnya berdenyut-denyut tak tertahankan. Dia bergegas keluar dan memuntahkan isi perutnya."Huueekk!! Huueekk!!"Satpam ikut turun, bukan untuk muntah, melainkan untuk menutup hidungnya rapat-rapat dengan lengan baju."Bawa gadis itu ke toilet, Pak! Suruh dia membersihkan diri!" perintah Kenzie, wajahnya memerah menahan amarah. Dia semula mengira Zea hanya berpura-pura, tetapi ternyata tidak. Ironisnya, gadis itu malah buang air besar di celana."Lho… Nona mau ke mana?" Satpam itu tersentak, melihat Zea berlari begitu turun dari mobil. Gadis itu berusaha kabur, meskipun dalam kondisi mengenaskan. Namun…"Nona, awas!!"Sebuah motor tiba-tiba datang membelah jalan dengan kecepatan tinggi. Zea tak sempat menghindar, kakinya terserempet."Aaawww!!"Tubuhnya terhempas ke aspal. Kedu
Kenzie memasuki ruang perawatan, tempat Zea telah dipindahkan. Gadis itu telah berganti pakaian, terbaring lemah sambil terisak, tatapannya kosong saat Kenzie mendekat. "Pak... aku minta maaf," lirih Zea, suaranya bergetar. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya yang pucat. Dia merasa hari ini adalah hari terburuk dalam hidupnya. Kegagalan mencuri, malu karena buang air besar di celana hingga keserempet motor dan ancaman penjara—bayangan itu menghantuinya. Zea merasa tak berdaya, hanya bisa pasrah. Kenzie menghela napas. "Aku akan memaafkanmu. Tapi ada syarat yang harus kamu penuhi." Mata Zea yang sembab itu membulat, penuh harap. "Syarat? Apa itu, Pak? Apakah ini berarti aku nggak jadi dipenjara?" Kenzie mengeluarkan map cokelat yang sedari tadi dipegangnya, lalu mengambil pulpen dari saku celananya. "Iya. Asalkan kamu tanda tangani ini." Dengan tangan gemetar, Zea mengambil map itu, me
Zea mengerutkan dahi, bingung dengan pertanyaan Akmal. "Merasakan apa, Pak?" "Seperti takut atau melihat sesuatu?" Akmal menatap penasaran. "Takut kenapa, Pak?" Zea semakin bingung. Tak mengerti kemana arah pembicaraan pria itu. "Aku nggak lihat apa-apa. Tapi di mana Pak Kenzie?" "Beliau sedang berada di luar, Nona." "Tapi, kenapa rumah ini sepi sekali, Pak? Dimana yang lainnya? Istri Pak Kenzie?" "Pak Kenzie belum punya istri, Nona, tapi sebentar lagi akan punya. Baiklah... mari saya tunjukkan kamar Nona. Saya juga akan menjelaskan tata cara kerja di sini supaya Nona langsung paham," kata Akmal, mengajak Zea berkeliling rumah. Zea mengangguk dan mengikutinya. Hampir dua jam Akmal menghabiskan waktu untuk menjelaskan tugas-tugas Zea. Sebelum pamit pulang, dia mengingatkan. "Jangan lupa masak untuk makan malam, ya, Non
(Flashback Off) "Hiks ...." Kenzie perlahan membuka mata, suara isak tangis samar terdengar di sampingnya. Kantuk masih menyelimuti, namun dia memaksakan diri untuk bangun. "Zea, kenapa kamu ada di kamarku?" tanyanya, heran. Pandangannya langsung terjatuh pada tubuh Zea yang hanya terbalut selimut tipis, begitu pula dengan dirinya. Napasnya tercekat. "Astaga... apa yang terjadi? Apa yang kamu lakukan padaku?!" Suaranya meninggi, bercampur antara keterkejutan dan ketakutan. "Seharusnya akulah yang bertanya seperti itu awalnya, Pak!!" Zea menjawab, suaranya terbata-bata, air mata membasahi pipinya. "Bapak... Bapak telah memperko*sa aku! Bapak harus bertanggung jawab!" Tubuh Kenzie menegang. "Perko*sa...?" Dahi Kenzie berkerut, kepalanya menggeleng tak percaya. "Nggak mungkin! Jangan bercanda, Zea!" Dia tak bisa menerima kenyataan itu. Dia tak percaya. Apalagi, jujur saja, Zea bukanlah tipe gadis yang menarik perhatiannya. Sehingga tidak mungkin dia sampai melakukan tindakan
Zea menghabiskan jus nanas pemberian Kenzie hingga setetes pun tak tersisa. Pada akhirnya, uanglah yang menjadi pilihan Zea Untuk sesaat, Kenzie mengamati Zea. Gadis itu mengenakan kaos bekasnya yang sudah kekecilan, karena memang tidak ada pakaian lain yang tersedia. Kaos itu terlalu kecil untuk Kenzie, namun justru kebesaran di tubuh Zea, yang memang bertubuh mungil. Namun, ada sesuatu yang membuat Kenzie terheran-heran. “Badannya kecil, tapi da*danya gede. Aneh banget. Apa jangan-jangan ... dia suntik silikon, ya?” Kenzie menggumam dalam hati, merasa sedikit canggung. “Bapak lihat apa?” Zea menyadari tatapan Kenzie dan langsung menutupi da*danya dengan kedua tangan. Wajahnya memerah karena malu, apalagi dia tidak mengenakan b*ra. “Jangan bilang, Bapak mau memperko*saku lagi??” Kenzie menggeleng cepat. “Tentu saja nggak.” “Terus, kenapa Bapak menatapku seperti itu? Nggak sopan, Pak!” teriaknya kesal. “Maaf, maaf. Ya sudah ... ayo kita berangkat, nanti keburu siang,” a
Bugh!! Sebelum Darman bereaksi, Kenzie dengan cepat menarik tangan Zea masuk bersamanya kembali ke mobil. Tanpa menunggu lebih lama, Kenzie langsung menyalakan mesin mobil dan memacu kendaraannya menjauh dari rumah kontrakan itu, meninggalkan dua pria yang ternganga di balik awan debu yang mengepul di udara. "Lho, Pak... kok kita pergi?" tanya Zea bingung, suaranya sedikit gemetar. Tangannya menyentuh pipinya yang terasa panas dan perih, jari-jarinya menemukan lebam biru yang mulai terbentuk. Dia meringis menahan sakit. "Bagaimana bisa aku membiarkan seorang perempuan diperlakukan seperti itu, apalagi oleh dua orang pria dewasa sekaligus? Itu nggak pantas, Zea! Lebih baik kita pulang." Napas Kenzie tersenggal-senggal, da*danya bergemuruh menahan amarah yang masih bergejolak. Dia mengusap keringat dingin yang membasahi dahinya, tekanan darahnya terasa meningkat. "Tapi, bagaimana dengan kesepakatan kit
"Benar sekali, Yah." "Terus, alasan kamu dan dia ada di sini karena apa?" "Aku mau belikan Zea beberapa baju, Yah. Kan nggak mungkin dia pakai baju bekasku terus." "Sampai mengantar segala, begitu?" Wajah Calvin terlihat curiga. Menurutnya, mengantar pembantu untuk membeli pakaian adalah hal yang terlalu berlebihan. "Iya, sekalian aja sih, Yah. Aku juga kebetulan mau beli kaos," jawab Kenzie beralasan. "Ya sudah, Ayah ikut kalau begitu." Calvin langsung merangkul bahu anaknya. "Boleh ... Ayok." Kenzie mengangguk, mereka pun akhirnya berjalan bersama-sama memasuki salah satu toko langganan Kenzie. "Berapa pakaian yang boleh aku ambil, Pak?" tanya Zea, matanya menatap takjub keindahan isi toko pakaian itu. Semua pakaiannya bagus-bagus dan terlihat mahal. "Terserah kamu saja, tapi usahakan supaya kamu mampu membawanya nanti, karena aku nggak mau membawa barang belanja
"Zea belum makan apa pun sejak siang tadi, Pak," lapor Akmal lirih, mendekat ke arah Kenzie. Sejak kedatangan Kenzie, dia duduk di depan kamar rawat. Kenzie tersentak lalu menoleh, tubuhnya tampak menegang. "Kok belum makan? Kenapa? Apa suster tidak mengantar makanan?" Suaranya bergetar, kecemasan terpancar jelas dari sorot matanya yang sayu. "Sudah, Pak. Tapi Zea menolaknya." "Harusnya kamu tawarkan makanan lain, Mal," desahnya, nada suaranya terdengar menyalahkan Akmal. Dia telah menitipkan Zea, dan seharusnya Akmal bisa bertanggung jawab sepenuhnya. "Makanan rumah sakit memang tidak seenak makanan rumahan, wajar kalau Zea tidak berselera." "Saya sudah menawarkan makanan dari restoran depan, Pak. Berbagai macam sudah saya belikan, dari makanan berat hingga yang manis. Tapi Zea tetap menolaknya. Lihat saja .…" Akmal menunjuk ke arah jendela. Beberapa bungkus makanan tergeletak tak tersentuh di atas meja. "Itu semua belum d
"Awalnya aku berencana seperti itu, Yah. Aku hanya ingin bertanggung jawab sampai bayi itu lahir, setelah itu aku akan meninggalkannya." Kenzie membeberkan rencana awalnya, baginya itu tak perlu ditutupi. Apalagi Ayah Calvin sudah memberikannya wejangan. "Tapi... sepertinya rencana itu harus aku urungkan." "Kenapa begitu? Apa karena kamu mau mendengarkan kata-kata Ayah?" Ayah Calvin bertanya, sebuah harapan tersirat dalam suaranya. "Banyak faktornya, salah satunya dari kata-kata Ayah juga. Aku akan menuruti." Kenzie mengangguk patuh, menunjukkan kepatuhannya pada ayahnya. "Tapi yang utama, karena Kakek, Yah." "Kakek?" Ayah Calvin mengerutkan dahi, bingung dengan penjelasan Kenzie. "Iya. Kakek Tatang. Dia menyukai Zea, dia kepengen Zea menjadi istriku." Penjelasan Kenzie semakin membuat Ayah Calvin penasaran. "Lho... bukannya kamu nggak bisa melihat hantu Kakekmu, ya?" Ayah Calvin menatap Kenzie dengan heran, bulu kuduknya merinding mengingat penampakan hantu mertuanya yang
"Kamu jangan percaya pada Heru, Yang. Dia berdusta. Anak ini anakmu, bukan anaknya!" Air mata Helen membanjiri wajahnya, tangisnya semakin pecah, suara pilu menggema di ruangan yang tiba-tiba terasa sempit dan pengap. Dia mencoba menjelaskan, membela diri, menyelamatkan pernikahannya yang sudah berada di ujung tanduk.Namun, Kenzie tetap diam, tatapannya kosong, tak bergeming.Ayah Calvin, dengan wajah yang menggambarkan beban berat yang dipikulnya, akhirnya angkat bicara. Suaranya berat, menahan beban emosi yang tak kalah besarnya. "Pak Janur... Bu Hanum... sepertinya, ikatan keluarga kita harus berakhir sampai di sini. Kita harus menerima keputusan Kenzie." Kata-kata itu, yang keluar pelan namun menusuk, seperti palu yang menghantam dada Papi Janur dan Mami Hanum.Mami Hanum, dengan suara bergetar menahan tangis, menatap besannya dengan tatapan penuh harap. "Kok Bapak malah mendukung perceraian?" suaranya meninggi, mengungka
"Biar aku, Yah," kata Kenzie, suaranya terdengar berat. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum mulai bercerita. "Sebelum menikah, aku berpacaran dengan Helen selama lima tahun. Tiga tahun di antaranya kami bertunangan, bahkan sebelum kami menjalani hubungan jarak jauh. Aku sengaja ingin bertunangan dulu, sebagai bukti keseriusan hubungan kami meskipun jarak memisahkan."Kenzie berhenti sejenak, mencoba mengendalikan emosinya. "Selama lima tahun pacaran… aku selalu menjaga kehormatan Helen, kami belum pernah berhubungan badan. Tapi ... di malam pengantin kami, aku merasa terkejut saat mengetahui Helem sudah tidak suci lagi.""Tidak suci?!" seruan Ayah Calvin, Bunda Viona, Opa Andre, dan Oma Dinda menggema di ruangan, suara mereka bercampur antara keterkejutan dan kemarahan. Mata mereka melebar tak percaya.Ekspresi terkejut dan tak percaya juga terpancar dari wajah Papi Janur dan Mami Hanum. Suasana tegang mencapai puncakn
"Izinkan aku hidup mandiri. Aku tidak mau tinggal satu atap dengan Bapak. Tapi Bapak tidak perlu khawatir… setelah aku melahirkan, aku akan menyerahkan bayi ini kepada Bapak." Kata-kata itu keluar pelan, mengandung beban berat yang hanya dia sendiri yang mengerti. "Dan sebelum aku melahirkan… Bapak dilarang menemuiku. Biarkan aku hidup dengan bebas, sesuka hatiku." Dia meminta kebebasan, sebuah ruang untuk bernapas dan menenangkan jiwanya yang terluka."Tidak!" Kenzie menggeleng cepat, penolakannya keras dan tegas. Bagi dia, permintaan Zea itu sama saja dengan ditinggalkan. "Kita kan suami istri, Zea. Hal seperti itu tidak boleh dilakukan. Kita harus satu atap, kamu tidak boleh pergi meninggalkanku." Egoisnya terpancar jelas, dia hanya memikirkan keinginannya sendiri."Kalau kita satu atap terus… bisa-bisa semua orang tau kalau kita ada hubungan, Pak," Zea mencoba menjelaskan dengan tenang. "Bapak jangan menyepelekan hal seserius ini, ini sangat beri
Mata Zea perlahan terbuka, berat dan terasa berpasir. Cahaya redup menyilaukan sejenak, sebelum akhirnya dia mampu membiasakan penglihatannya. Ruangan putih bersih mengelilinginya, bau disinfektan khas rumah sakit menusuk hidungnya.Dia memutar kepala perlahan, melihat dinding-dinding yang polos, perlengkapan medis yang terpasang rapi di samping tempat tidur, dan jendela yang tertutup tirai putih tipis. Kejutan menusuk kesadarannya."Eh, ini seperti ruangan rumah sakit, kan??" gumamnya lirih, suaranya serak dan lemah. Dia mencoba duduk, merasakan nyeri menusuk di perut bagian bawah.Ingatannya kembali pada kejadian sebelumnya; sakit perut yang luar biasa, desakan-desakan kambing yang mengerikan di dalam kandang, kehilangan kesadaran... "Ooohh... pasti ini gara-gara aku sakit perut dan kena desak-desakan kambing. Tapi, siapa kira-kira yang bawa aku ke rumah sakit? Jangan bilang kalau ...." Pikirannya melayang, mencoba menebak siap
Air mata Kenzie membanjiri pipinya, deras dan tak terbendung tanpa permisi. Meskipun awalnya dia tak begitu mendambakan kehadiran anaknya, namun kabar tentang kemungkinan kehilangannya telah menusuk kalbu jauh lebih dalam daripada yang pernah dia bayangkan. Sekelebat Kenzie membayangkan wajah mungil anaknya. bayangan kehidupan kecil yang mungkin tak akan pernah ada, menghantamnya dengan kekuatan yang luar biasa. "Tidak, Pak. Anak Anda baik-baik saja." Suara dokter itu seperti bisikan samar dari dunia lain, tak mampu menembus kabut kesedihan yang menyelimuti Kenzie. Matanya membulat, tak percaya, dipenuhi kebingungan yang membingungkan. "Se-serius itu, Dokter? Anak saya… baik-baik saja?" "Ya, Pak." Dokter itu mengangguk pelan, mencoba menyampaikan kabar baik dengan hati-hati, memahami guncangan emosi yang tengah dialami Kenzie. Kata-kata dokter itu perlahan mengurai simpul kesedihan yang mencekik dada Kenzie, seakan melepaskan ikatan yang menghimpit napasnya. Dia segera mengusap
Papi Janur terdiam, matanya menerawang, mencoba mengingat-ingat apakah dia mengenal seseorang bernama Heru. Nama itu terasa asing, namun sebuah rasa gelisah mulai menggelitik."Berhubung Bapak dan Ibu sudah ada tamu... izinkan kami pamit. Urusan saya dan istri juga sudah selesai, tinggal kita rundingan Kenzie dan Helen saja," ujar Ayah Calvin, tangannya sudah meraih gagang kursi. Namun, Papi Janur menahannya dengan tatapan hangat."Silakan minum kopi dan tehnya dulu, Pak, Bu. Baru pulang," pinta Papi Janur, suaranya lembut namun tegas.Ayah Calvin dan Bunda Viona mengangguk, segera menyesap minuman yang telah terasa dingin namun masih nikmat di tenggorokan."Kalau ada informasi tentang Kenzie... mohon segera hubungi saya atau Helen," pinta Papi Janur, seraya menjabat tangan Ayah Calvin. "Saya juga akan ikut mencarinya besok.""Tentu, Pak. Semoga segera ada kabar baik. Assalamualaikum.""Waalaikum salam."Mereka mengant
"Lho... kenapa itu, Pak?" tanya Kenzie, menunjuk kandang kambing dengan jari telunjuknya. Kawanan kambing itu makin menggila, berlarian tak karuan, menggerakkan tubuh mereka dengan panik, menimbulkan suara gaduh yang semakin menambah kekacauan. Fokus Kenzie buyar, teralihkan oleh kekacauan di hadapannya. Pria paruh baya itu, yang sebenarnya adalah ketua RT setempat, langsung berlari menuju kandang, langkah kakinya tergesa-gesa. Dia memeriksa setiap sudut kandang, mencari sumber kegaduhan. Bau kambing yang menyengat menusuk hidungnya, bercampur dengan aroma tanah dan sesuatu yang... aneh. Pandangan matanya terhenti pada sesosok tubuh yang tergeletak di pojok kandang, tersembunyi di balik tumpukan jerami yang berserakan. "Pak! Pak! Ada orang pingsan di dalam!" teriaknya, suara panik tersiar di antara suara kambing yang masih berisik. Dengan tangan gemetar, dia buru-buru membuka pintu kandang yang terbuat dari kayu lapuk. "Ora