adudududud 🤣🤣🤣🤣
Alih-alih pergi, Kayden malah duduk di tepi ranjang rawat Liora, kedua tangannya yang berbalut dalam kemeja lengan panjang yang digulungnya hingga ke siku itu terlipat, bersedekap. “Kamu tidak akan ganti?” ‘Masa bodohlah!’ ucap Liora dalam hati, tak peduli. Mengusirnya dan beradu mulut tak penting hanya akan semakin menguras tenaganya, bukan? Sikapnya yang keras kepala seperti peranakan batu pasti tak akan mengabulkan permintaan Liora agar ia pergi. Liora melepas pakaian pasien itu. Tak ada kesulitan pada tangan sebelah kanannya. Tapi begitu berpindah ke tangan kiri, barulah Liora sadar ia tak bisa melakukan ini sendirian. Tangan kirinya yang masih tergantung dengan infus itu tak bisa bergerak secara leluasa. Ia membeku, untuk beberapa saat mencari cara agar ia bisa menyelesaikan ini tanpa perlu meminta bantuan Kayden. Haruskah ia panggil perawat saja? Tapi jika hal itu ia lakukan, Kayden jelas akan marah. Barangkali ia mengatakan, ‘Kau buta? Tidak bisa melihat aku di sini dan
‘Bukan soal aku suka atau tidak suka karena hamil anaknya,’ batin Liora. Yang ia pertanyakan adalah bagaimana mereka ke depannya. Sebab kehamilan ini adalah sesuatu yang terjadi di luar apa yang mereka sepakati di perjanjian. Ia menunduk, menghindari tetapan Kayden. Menata kata untuk memberi jawaban. Haruskah ia katakan ia tidak keberatan? ‘Apa jika aku katakan itu nanti Kayden akan mengatakan padanya juga apa rencana kita ke depannya?’ Ia menghela dalam napasnya. Ini seperti bergantung pada pengharapan yang tak ada kepastiannya. Maniknya yang semula tertunduk lalu kembali menatap Kayden. “Saya—“ Salah satu alis lebat Kayden terangkat. Tapi sebelum Liora sempat bicara lebih jauh, pintu ruang rawat terbuka. Saat Liora menoleh ke pintu berdaun dua itu, seorang perawat berseragam serba putih datang menghampiri keduanya. “Nona Liora mari ke ruang USG,” pintanya. “Tuan Kayden jika berkenan silakan ikut.” Tadinya Liora berpikir Kayden hanya akan bergeming dengan duduk di s
‘Mana mungkin? Mustahil!’ bantah Liora dalam hatinya habis-habisan! “B-bukankah semua manusia harus saling menyayangi?” tanggap Liora sekenanya. “Sebaiknya Papa tidak mengandaikan hal seperti itu!” sahut Kayden. Dengus napasnya terdengar berat sebelum ia satu jarak menjauh, kali ini membiarkan Liora berjalan melewatinya untuk bisa duduk di ranjang. “Selain meminta agar Liora menjaga kesehatan, Papa sendiri juga harus melakukan itu. Awas saja kalau tiba-tiba stroke!” Liora yang menyimak percakapan itu menggeleng mendengarnya, ‘Benar-benar hubungan yang buruk antara ayah dan anak,’ pikirnya. Tapi sepertinya Tuan Owen sudah terbiasa dengan sikap atau mulut kejam Kayden sehingga beliau hanya tersenyum. “Semoga nanti saat anakmu lahir tidak kejam seperti Kayden, Liora. Tapi lembut sepertimu,” ujar beliau, melemparkan seulas senyum, sekali lagi. “Tuan silakan duduk.” Liora mempersilakannya. “Tidak perlu, Papa hanya mampir untuk memastikan bahwa kamu baik-baik saja,” tolak Tuan Owen
Setelah memikirkan semua itu, dadanya terasa sangat sesak. Julia membeku untuk lebih dari enam puluh detik dengan tidak melakukan apapun. Langkahnya seperti terantuk batu, ia telah pupus harapan agar bisa bersama dengan Kayden kembali. ‘Bagaimana sekarang?’ batinnya dilanda keresahan yang tak berpenghujung. Seorang Juliana Dean benar-benar tak bisa memiliki Kayden? ‘Lalu sekarang aku bagaimana?’ Haruskah ia melepas Kayden dan mencari cara lainnya? ‘Atau mengambil hatinya bagaimanapun caranya?’ Langit-langit lobi Evermore dan lampu chandelier-nya seakan jatuh menimpa kepalanya. Berat dan remuk, hatinya luluh lantak. Percakapan dengan diri sendiri itu berakhir saat ia mengayunkan kakinya pergi dari sana sembari memikirkan cara untuk mencegah hubungan Kayden dan Liora bergulir lebih jauh. Satu-satunya hal yang ia pikirkan adalah Nyonya Rose. Julia tahu betul bahwa ibunya Kayden itu sama sekali tak suka dengan Liora. Ia bisa memanfaatkan wanita itu, setidaknya itu yang bisa ia p
“Kayden!” jerit Nyonya Rose lantang. Liora yang berdiri di dekat Kayden terkejut dibuatnya. Bahunya menjengit, jantungnya seakan lepas. Gema suara Nyonya Rose seperti akan menghabisi apapun yang ada di hadapannya. Entah itu anak lelakinya yang kaku ini, atau bahkan … Liora. Liora satu jarak mundur, menahan napas memandangi muka merah Nyonya Rose. “Kenapa kamu jadi kurang ajar?!” tanya Nyonya Rose, matanya yang ada di bawah alis lebat itu memelotot. Sedang Kayden yang mendengar semua itu seperti sudah terbiasa. Ia masih terus menunjukkan wajah tenangnya saat mendorong napasnya dan mengembalikan tanya itu. “Bukankah dari dulu aku kurang ajar seperti ini?” “Tidak! Liora yang mempengaruhimu untuk menjadi seperti ini!” bantahnya. “Lihat, dia telah memberikan efek yang buruk untukmu! Memang wanita pembawa sial!” “MAMA!” Ketenangan bak bunga teratai yang sedari tadi dimiliki oleh Kayden mendadak lenyap. Sepertinya ia sudah jenuh dengan berbagai kalimatnya yang tak jelas mengarah ke ma
‘Apa jawaban Kayden?’ Liora bertanya-tanya dalam hati karena ia tidak mendengar suara pria itu. Pandangannya temaram, telinganya berdengung saat kepalanya bertambah pening. Saat kesadaran seperti hampir hilang, Liora merasakan tubuhnya terangkat teriring suara Kayden yang mengatakan, “Berbaringlah ….” Kayden lah yang mengangkatnya. Tangan besar pria itu merengkuh pinggang Liora dan membuatnya berbaring di atas ranjang rawat. Liora melihat pria itu menekan tombol panggil perawat. Alis lebatnya sedikit berkerut, meski wajahnya tidak menunjukkan banyak perubahan, tapi entah kenapa Liora seperti menjumpai samar kekhawatiran dari sorot matanya. Di belakang Kayden, sosok Julia berdiri terpancang. Tangan gadis itu yang semula menggenggam tangan kiri Kayden pun tidak lagi demikian. Ia di sana, memandang Liora dengan matanya yang berair sebelum kembali memandang Kayden. “Kayden—“ “Aku tidak ada waktu, Julia!” potong Kayden tanpa menoleh ke arahnya. Tangan besar Kayden menarik selimut u
Jika kemarin Kayden seharian ada di rumah sakit, hari ini pria itu tidak tampak batang hidungnya sejak pagi. Saat Liora membuka mata, Kayden sudah tak terlihat. Tidak ada pesan yang ia tinggalkan selain sebuah paper bag berisikan toast dari brand terkenal yang ada di atas meja. Sewaktu perawat masuk dan memeriksanya, mereka mengatakan bahwa, ‘Seseorang yang diminta Tuan Kayden mengirimkan itu, Nona Liora. Kalau tidak salah namanya Pak Evan.’ Setelah mandi dan berganti pakaian—kali ini ia bisa melakukannya sendiri karena di tangannya tak lagi ada selang infus—Liora mengintip isi paper bag tersebut. Toast, sepertinya menu spesial. Yang saat ia melahapnya, rasanya sangat enak. Setelah beberapa hari tidak berselera makan, dengan toast yang dihabiskannya hingga tak bersisa pagi ini sepertinya ia telah menemukan gairahnya kembali. Ruangan menjadi tenang sejak tak ada Kayden di dalamnya—meski sebelumnya pun seperti itu karena mereka hanya berbincang sesekali. Mendekati sore hari,
Dari dalam ruang rawatnya, Liora melihat dua pria yang bertemu di luar itu seperti akan mengulangi baku hantam yang mereka lakukan seperti di ruang Presdir. Dan sebelum ada yang terluka—terutama Leo—Liora yang semula hanya berdiri tegang menatap dari jendela kemudian beringsut lari ke sana. Ia membuka pintunya, membuat Leo menoleh lebih dulu sementara Kayden hanya memandangnya melalui sudut mata. Liora memang tak mendengar apa yang sebelumnya mereka perdebatkan, tapi sepertinya itu sesuatu yang sama seperti yang terjadi di dalam ruang Presdir sebab saat Liora membuka pintunya tadi, beberapa kata bernada peringatan dari Kayden masih bisa ia tangkap. “Berhenti mencemaskan istri orang!”—Kurang lebih seperti itu. “Jangan bertengkar,” pinta Liora, menatap dua pria itu bergantian. Yang lebih berapi-api itu adalah Leo, seolah ada bara di matanya saat menatap Kayden dan menyudutkannya hingga nyaris membentur dinding. “Tolong jangan bertengkar,” ulang Liora sekali lagi. Leo mendengus sa
Sekarang Liora tahu mengapa set pemotretan itu terlihat aneh baginya.Karena saat Liora masuk tadi, sebuah ranjang besar dengan taburan bunga mawar merah disiapkan.Beberapa model pria dan wanita sudah bersiap di sana dan beberapa dari mereka juga menggunakan kain untuk menutupi tubuh mereka.Semua itu beralasan, ranjang itu adalah properti yang akan digunakan, seolah mereka adalah pasangan suami-istri.Selain lingerie, saat Liora mengedarkan pandangannya pada gantungan baju yang ada di sebelah kanannya, beberapa pakaian dalam dan bikini sudah disiapkan.‘Apa Freya juga tidak tahu soal ini?’ tanya Liora dalam hati, mendorong napasnya yang tiba-tiba terasa sesak.Tidak mungkin ‘kan temannya itu sengaja membawanya ke sini agar terjebak?Liora masih mencoba memikirkan hal yang baik pada Freya sebelum ia tak menemukan gadis itu di sudut manapun di dalam studio.Saat ia keluar dari ruang ganti, Freya lenyap, tak berjejak. Hanya ada fotografer dan orang-orang yang bekerja serta para model y
“Apa yang Anda lakukan di sini?” tanya Liora seiring langkah mundurnya, memastikan handuk yang dipakainya itu masih melekat erat di tubuhnya. ‘Sial!’ batin Liora saat ia menyadari bahwa handuk yang dikenakannya sore hari ini bukanlah handuk kimono, melainkan handuk lilit biasa yang melindunginya dari bawah leher hingga sebatas paha. Dan seolah tak terganggu dengan teriakan atau keterkejutan Liora, Kayden masih duduk dengan kaki ditumpuk menyilang di sana. Maniknya yang segelap kemejanya memindai Liora dari bawah hingga ke atas sebelum berhenti pada netranya yang bergoyang gugup. Entah apa arti pandangannya itu. Kayden seperti sedang menikmati apa yang dilihatnya dan malah sengaja membiarkan Liora berdiri kikuk. “Kenapa?” tanya Kayden dengan nada yang datar, tak mempedulikan piasnya wajah Liora menjumpai kemunculannya yang mendadak. “Melihat hantu?” “A-anda membuat saya terkejut,” jawab Liora, kembali mengambil langkah mundur saat Kayden berdiri. “Datang tidak mengetuk pintu, baga
Dari dalam ruang rawatnya, Liora melihat dua pria yang bertemu di luar itu seperti akan mengulangi baku hantam yang mereka lakukan seperti di ruang Presdir. Dan sebelum ada yang terluka—terutama Leo—Liora yang semula hanya berdiri tegang menatap dari jendela kemudian beringsut lari ke sana. Ia membuka pintunya, membuat Leo menoleh lebih dulu sementara Kayden hanya memandangnya melalui sudut mata. Liora memang tak mendengar apa yang sebelumnya mereka perdebatkan, tapi sepertinya itu sesuatu yang sama seperti yang terjadi di dalam ruang Presdir sebab saat Liora membuka pintunya tadi, beberapa kata bernada peringatan dari Kayden masih bisa ia tangkap. “Berhenti mencemaskan istri orang!”—Kurang lebih seperti itu. “Jangan bertengkar,” pinta Liora, menatap dua pria itu bergantian. Yang lebih berapi-api itu adalah Leo, seolah ada bara di matanya saat menatap Kayden dan menyudutkannya hingga nyaris membentur dinding. “Tolong jangan bertengkar,” ulang Liora sekali lagi. Leo mendengus sa
Jika kemarin Kayden seharian ada di rumah sakit, hari ini pria itu tidak tampak batang hidungnya sejak pagi. Saat Liora membuka mata, Kayden sudah tak terlihat. Tidak ada pesan yang ia tinggalkan selain sebuah paper bag berisikan toast dari brand terkenal yang ada di atas meja. Sewaktu perawat masuk dan memeriksanya, mereka mengatakan bahwa, ‘Seseorang yang diminta Tuan Kayden mengirimkan itu, Nona Liora. Kalau tidak salah namanya Pak Evan.’ Setelah mandi dan berganti pakaian—kali ini ia bisa melakukannya sendiri karena di tangannya tak lagi ada selang infus—Liora mengintip isi paper bag tersebut. Toast, sepertinya menu spesial. Yang saat ia melahapnya, rasanya sangat enak. Setelah beberapa hari tidak berselera makan, dengan toast yang dihabiskannya hingga tak bersisa pagi ini sepertinya ia telah menemukan gairahnya kembali. Ruangan menjadi tenang sejak tak ada Kayden di dalamnya—meski sebelumnya pun seperti itu karena mereka hanya berbincang sesekali. Mendekati sore hari,
‘Apa jawaban Kayden?’ Liora bertanya-tanya dalam hati karena ia tidak mendengar suara pria itu. Pandangannya temaram, telinganya berdengung saat kepalanya bertambah pening. Saat kesadaran seperti hampir hilang, Liora merasakan tubuhnya terangkat teriring suara Kayden yang mengatakan, “Berbaringlah ….” Kayden lah yang mengangkatnya. Tangan besar pria itu merengkuh pinggang Liora dan membuatnya berbaring di atas ranjang rawat. Liora melihat pria itu menekan tombol panggil perawat. Alis lebatnya sedikit berkerut, meski wajahnya tidak menunjukkan banyak perubahan, tapi entah kenapa Liora seperti menjumpai samar kekhawatiran dari sorot matanya. Di belakang Kayden, sosok Julia berdiri terpancang. Tangan gadis itu yang semula menggenggam tangan kiri Kayden pun tidak lagi demikian. Ia di sana, memandang Liora dengan matanya yang berair sebelum kembali memandang Kayden. “Kayden—“ “Aku tidak ada waktu, Julia!” potong Kayden tanpa menoleh ke arahnya. Tangan besar Kayden menarik selimut u
“Kayden!” jerit Nyonya Rose lantang. Liora yang berdiri di dekat Kayden terkejut dibuatnya. Bahunya menjengit, jantungnya seakan lepas. Gema suara Nyonya Rose seperti akan menghabisi apapun yang ada di hadapannya. Entah itu anak lelakinya yang kaku ini, atau bahkan … Liora. Liora satu jarak mundur, menahan napas memandangi muka merah Nyonya Rose. “Kenapa kamu jadi kurang ajar?!” tanya Nyonya Rose, matanya yang ada di bawah alis lebat itu memelotot. Sedang Kayden yang mendengar semua itu seperti sudah terbiasa. Ia masih terus menunjukkan wajah tenangnya saat mendorong napasnya dan mengembalikan tanya itu. “Bukankah dari dulu aku kurang ajar seperti ini?” “Tidak! Liora yang mempengaruhimu untuk menjadi seperti ini!” bantahnya. “Lihat, dia telah memberikan efek yang buruk untukmu! Memang wanita pembawa sial!” “MAMA!” Ketenangan bak bunga teratai yang sedari tadi dimiliki oleh Kayden mendadak lenyap. Sepertinya ia sudah jenuh dengan berbagai kalimatnya yang tak jelas mengarah ke ma
Setelah memikirkan semua itu, dadanya terasa sangat sesak. Julia membeku untuk lebih dari enam puluh detik dengan tidak melakukan apapun. Langkahnya seperti terantuk batu, ia telah pupus harapan agar bisa bersama dengan Kayden kembali. ‘Bagaimana sekarang?’ batinnya dilanda keresahan yang tak berpenghujung. Seorang Juliana Dean benar-benar tak bisa memiliki Kayden? ‘Lalu sekarang aku bagaimana?’ Haruskah ia melepas Kayden dan mencari cara lainnya? ‘Atau mengambil hatinya bagaimanapun caranya?’ Langit-langit lobi Evermore dan lampu chandelier-nya seakan jatuh menimpa kepalanya. Berat dan remuk, hatinya luluh lantak. Percakapan dengan diri sendiri itu berakhir saat ia mengayunkan kakinya pergi dari sana sembari memikirkan cara untuk mencegah hubungan Kayden dan Liora bergulir lebih jauh. Satu-satunya hal yang ia pikirkan adalah Nyonya Rose. Julia tahu betul bahwa ibunya Kayden itu sama sekali tak suka dengan Liora. Ia bisa memanfaatkan wanita itu, setidaknya itu yang bisa ia p
‘Mana mungkin? Mustahil!’ bantah Liora dalam hatinya habis-habisan! “B-bukankah semua manusia harus saling menyayangi?” tanggap Liora sekenanya. “Sebaiknya Papa tidak mengandaikan hal seperti itu!” sahut Kayden. Dengus napasnya terdengar berat sebelum ia satu jarak menjauh, kali ini membiarkan Liora berjalan melewatinya untuk bisa duduk di ranjang. “Selain meminta agar Liora menjaga kesehatan, Papa sendiri juga harus melakukan itu. Awas saja kalau tiba-tiba stroke!” Liora yang menyimak percakapan itu menggeleng mendengarnya, ‘Benar-benar hubungan yang buruk antara ayah dan anak,’ pikirnya. Tapi sepertinya Tuan Owen sudah terbiasa dengan sikap atau mulut kejam Kayden sehingga beliau hanya tersenyum. “Semoga nanti saat anakmu lahir tidak kejam seperti Kayden, Liora. Tapi lembut sepertimu,” ujar beliau, melemparkan seulas senyum, sekali lagi. “Tuan silakan duduk.” Liora mempersilakannya. “Tidak perlu, Papa hanya mampir untuk memastikan bahwa kamu baik-baik saja,” tolak Tuan Owen
‘Bukan soal aku suka atau tidak suka karena hamil anaknya,’ batin Liora. Yang ia pertanyakan adalah bagaimana mereka ke depannya. Sebab kehamilan ini adalah sesuatu yang terjadi di luar apa yang mereka sepakati di perjanjian. Ia menunduk, menghindari tetapan Kayden. Menata kata untuk memberi jawaban. Haruskah ia katakan ia tidak keberatan? ‘Apa jika aku katakan itu nanti Kayden akan mengatakan padanya juga apa rencana kita ke depannya?’ Ia menghela dalam napasnya. Ini seperti bergantung pada pengharapan yang tak ada kepastiannya. Maniknya yang semula tertunduk lalu kembali menatap Kayden. “Saya—“ Salah satu alis lebat Kayden terangkat. Tapi sebelum Liora sempat bicara lebih jauh, pintu ruang rawat terbuka. Saat Liora menoleh ke pintu berdaun dua itu, seorang perawat berseragam serba putih datang menghampiri keduanya. “Nona Liora mari ke ruang USG,” pintanya. “Tuan Kayden jika berkenan silakan ikut.” Tadinya Liora berpikir Kayden hanya akan bergeming dengan duduk di s