“Bayar aku sesuai kesepakatan menjadi pengasuh Bumi.”
Seketika sebuah seringai muncul di wajah Adam. "Jadi ini, begini tujuanmu? Ini yang kamu mau?""Ya. Aku butuh modal untuk nikah dan membuat usaha dengan calon suamiku," jawab Jiya dengan menunjukkan ekspresi datar di wajahnya.Tatapan Adam yang awalnya diselimuti amarah kini berubah penuh kebencian dan rasa jijik."Oke, kalau itu mau kamu, aku berikan semuanya."Tanpa mengucapkan apa pun lagi, kemudian Adam kembali ke dalam mobilnya dan meninggalkan tempat itu begitu saja. Sedangkan Jiya yang sedari tadi berpura-pura tenang kini langsung duduk kembali di kursinya."Ah, selesai," gumam Jiya sembari meneteskan air mata yang sedari tadi ia tahan."Minum dulu Ji, tenangkan diri kamu," ucap sahabat Jiya sembari menyodorkan segelas air teh miliknya.Jiya pun menerima minuman tersebut, tetapi tiba-tiba rasa mual memenuhi perutnya."Kamu kenapa Ji?" tanya sahabat Jiya yang tentu saja berubah panik.Jiya pun segera berlari ke halaman dan memuntahkan semua sarapannya pagi ini."Masuk angin? Di kamar kamu ada minyak angin kan?""Iya, tolong ambilkan," pinta Jiya sembari berjalan kembali ke teras.Setelah itu Jiya yang lemas karena perutnya terkuras pun duduk kembali di kursi.Dia mendongakkan kepalanya menatap langit-langit teras tersebut. Jiya terus memikirkan semua kemungkinan yang bisa terjadi setelah kepergian Adam, hingga tiba-tiba saja dia menyadari jika ada sesuatu yang salah."Tunggu, kapan terakhir kali aku haid," ucapnya yang kemudian melangkahkan kakinya secepat mungkin masuk ke dalam rumah.Dan setelah sekian kali melakukan tes kehamilan dan bahkan memeriksakan diri ke dokter, Jiya sudah tidak bisa menyangkalnya lagi. Sungguh miris saat mengingat ia tengah mengandung anak dari orang yang akan menceraikannya.“Tidak apa-apa, Nak,” gumam Jiya sembari mengelus perutnya yang masih rata. “Kamu sama Ibu ya. Meski Ayah tidak ada….”**Empat bulan kemudian. Pagi ini dengan santai Jiya membuka pintu sebuah ruko kecil tempatnya tinggal dan membuka usaha sejak tiga bulan yang lalu, tepatnya setelah Jiya mendapatkan uang yang dimintanya dari Adam. Ya, kini Jiya memilih tinggal di salah satu kota di Kalimantan untuk menghindari berita tentang kehamilannya menyebar."Sudah, biar aku saja. Kamu sedang hamil besar, nyetak kue di belakang saja," ujar sahabat sejati Jiya yang juga ikut ke kota itu untuk menemani Jiya dan mendukung Jiya yang ternyata telah hamil saat memutuskan untuk bercerai dengan Adam saat itu."Aku nggak apa-apa kok. Kata bidannya aku harus banyak gerak biar persalinannya bisa lancar," sahut Jiya yang kini berpindah mengambil lap meja."Hais … nanti aku yang dimarihin ayah dan ibumu kalau kamu kenapa-kenapa," protes sahabat Jiya sembari merebut lap tersebut dari tangan si empunya."Pokoknya kamu diam, semuanya akan aman," seloroh Jiya yang kemudian terkekeh sambil mencolek pinggang sahabatnya tersebut."Kalau nggak hamil sudah aku smackdown kamu.""Dih, main smackdown, emangnya aku guling," kelakar Jiya sambil melangkah ke arah ruang belakang.Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba Jiya merasa ada sesuatu yang salah dengan perutnya."Dil, Dil, perutku–" teriak Jiya.Langsung saja sahabat Jiya tersebut menoleh ke arah Jiya. "Loh, kok darah. Kamu mau ngelahirin, Ji?"Mata Jiya membulat mendengar pertanyaan sahabatnya tersebut. "Ini baru tujuh bulan saat USG kemarin."Sesaat kemudian tiba-tiba saja Jiya merasakan sakit yang tak tertahan di perutnya. Sekuat tenaga, wanita itu menggenggam tepian etalase di dekatnya."Tidak…”** Satu tahun berlalu, saat ini Jiya masih bertahan di Kalimantan. Dan masih dengan bantuan sahabat sejatinya, kini toko tersebut sudah memiliki banyak pelanggan tetap, bahkan sudah cukup terkenal di kawasan tersebut.“Tante Jiya!” Seorang gadis kecil tiba-tiba menyapa sembari menarik celemek Jiya, membuat wanita itu menoleh.“Iya, Sayang. Ada apa?” tanya Jiya dengan hangat sembari berjongkok di hadapan gadis kecil yang sedari tadi menungguinya membuat kue-kue pesanan pelanggan hari ini.“Om belum datang menjemputku,” adu gadis kecil itu dengan manja.“Belum menjemput kamu? Tumben,” sahut Jiya sembari mengernyitkan keningnya dan kemudian mengambil ponsel yang ia letakkan di dalam saku celemeknya.Ya, gadis kecil tersebut adalah salah satu penggemar berat kue buatannya, sekaligus keponakan dari kekasihnya saat ini.Kekasih … pria itu adalah sosok yang selalu mendampingi Jiya di masa-masa terburuknya selama satu tahun belakangan ini. Pria yang membuat Jiya mampu melanjutkan hidupnya meskipun setiap kali masih saja dihantui bayangan Adam, mantan suaminya.Ya, sepertinya memang Jiya harus benar-benar melupakan mantan suaminya tersebut dan melangkah lebih jauh bersama kekasihnya saat ini. Dan dunia pun seakan merestui keputusannya tersebut.Cukup lama Jiya berkutat dengan ponselnya, tetapi ia tidak mendapat balasan dari sang kekasih.“Ke mana sih dia?” gerutunya sembari menatap ke arah jalan raya di depan toko.Karena tidak ada tanda-tanda kemunculan kekasihnya, Jiya berdiri dan menawarkan, “Kamu Tante antar pulang saja kalau begitu, ya?”“Asyik …!” seru gadis tersebut sambil berlari kecil ke arah teras tempat tersebut.“Dira, jangan lari nanti jatuh!” teriak Jiya lalu menggeleng pelan.“Dira ... Dira,” gumamnya lagi sembari tersenyum ketika melihat gadis kecil berkuncir dua itu sedang menggeleng-gelengkan kepalanya, seolah sedang menari.Namun, senyum Jiya seketika pudar saat melihat gadis kecil tersebut tiba-tiba maju ke arah jalanan di depan toko. Matanya seketika membulat, dan dengan cepat ia berlari menyusul gadis kecil yang sudah berada di tengah jalan raya.“Dir!” teriak Jiya ketika melihat sebuah truk melaju dari arah timur.Si gadis kecil yang terkejut mendengar teriakan dari Jiya itu bukannya berlari, tetapi justru berhenti dan menatap ke arah truk yang sedang berusaha mengerem agar tak menabrak dirinya.Lalu tanpa pikir panjang, Jiya pun langsung berlari ke arah Dira. Dia menyambar gadis kecil tersebut dengan satu tangannya, menggendong Dira dengan sembarangan menuju ke seberang jalan raya tersebut.Akan tetapi, ketika hampir sampai di seberang, tiba-tiba saja Jiya kehilangan keseimbangannya hingga membuat mereka berdua terjungkal dan berguling di trotoar.“Akhh!” pekik Jiya yang tubuhnya berhenti berguling setelah menabrak tiang listrik yang kebetulan juga ada di sana. Matanya pun terpejam selama beberapa saat ketika merasakan sakit yang terasa menusuk punggungnya.Sedangkan di saat yang sama, Dira yang saat ini masih berada di dalam pelukan Jiya pun langsung bangun dari tempatnya.“Tante!” teriak gadis kecil tersebut sembari menangis histeris melihat wanita favoritnya kesakitan.Sementara itu, dari arah lain terlihat dua orang laki-laki yang tengah berlari ke arah Dira dan Jiya yang masih berada di trotoar.“Kamu tidak apa-apa?” ucap salah seorang dari laki-laki tersebut sembari menggendong Dira yang sedang menangis tersedu-sedu.Sedangkan lelaki lainnya sedang berlutut di trotoar dan kemudian mengangkat kepala Jiya. “Sayang,” panggilnya sembari menepuk-nepuk pipi Jiya yang saat ini masih memejamkan matanya.“Kenapa nggak sekalian ditabok sih,” seloroh Jiya sembari membuka sebelah matanya.Mendengar suara tersebut, Dira dan laki-laki yang menggendongnya pun langsung menoleh ke arah Jiya.“Tante sudah bangun,” ucap Dira sembari turun dari gendongan laki-laki bertubuh tinggi tegap yang menggendongnya.“Iya Sayang,” sahut Jiya sembari tersenyum tipis ke arah gadis kecil yang kini berjongkok di sampingnya itu.Namun, tiba-tiba rasa tak nyaman muncul di hati Jiya. “Kenapa ini?” batinnya sembari mencoba mengalihkan pandangannya kembali pada kekasihnya.Akan tetapi, ketika proses mengalihkan pandangannya, sekilas Jiya melihat wajah laki-laki yang tadi sempat menggendong Dira.“Tunggu,” batinnya sembari kembali mengalihkan pandangannya pada wajah laki-laki yang saat ini tengah menatapnya tanpa berkedip.“Mas Adam,” ucapnya tanpa suara.“Sayang, apa kamu kenal dengan Adam?“ tanya laki-laki yang kini berstatus sebagai kekasih Jiya tersebut.“Dia sepupu yang kamu bilang itu?” tanya Jiya sambil menunjuk ke arah Adam.“Iya, dia sepupuku dari Jakarta yang pernah aku ceritakan. Dia baru saja pulang dari Macau, tapi ….” Penjelasan kekasih Jiya tersebut diakhiri dengan sebuah helaan napas panjang.Jiya pun kembali menatap ke arah laki-laki yang dikatakan sebagai sepupu dari kekasihnya itu. ‘Gila, kenapa harus Mas Adam lagi sih? Padahal aku sudah mati-matian agar bisa move on dari dia, kenapa sekarang harus ketemu lagi?’ gerutunya di dalam hati.“Tidak bisa, aku tidak boleh mengingat itu semua. Sekarang aku sudah punya Mas Raka dan Kleyton, aku tidak boleh mengingat masa lalu lagi,” tekad Jiya dalam hati.Namun, tanpa diduga tiba-tiba saja Adam mengulurkan tangannya. “Bagaimana kabarmu?“ tanyanya sembari meraih tangan Jiya.Jiya yang terpaksa bangun karena tarikan dari Adam pun langsung menundukkan pandangannya. “Sial, dia pa
"Kenapa, ragu?" Kembali Adam bertanya.Langsung saja Jiya mengalihkan pandangannya kembali pada Raka. “Tentu saja aku mau. Bagaimanapun juga … ah, nanti kita bicara lagi, toko sedang banyak pesanan Mas," ucapnya sambil menarik lengannya dari genggaman Raka.Sesaat kemudian Jiya pun meninggalkan ketiga orang tersebut. Dia berjalan secepat yang dia bisa bersama dengan Dila menyeberangi jalanan untuk kembali ke toko kuenya. Di sisi lain, saat ini Raka terus menatap ke arah Jiya yang baru saja masuk ke dalam toko kue, begitu pula dengan Adam yang tak berhenti menatap ke arah wanita yang sudah ia cari-cari selama satu setengah tahun ini."Ternyata selama ini kamu sembunyi di sini," batin Adam sambil tersenyum kecil melihat Jiya yang sempat menoleh ke arah mereka berdua."Dengar, aku tidak perduli siapa dia bagimu, tapi dia adalah calon istriku sekarang. Jadi aku harap kamu mengerti posisimu saat ini," ucap Raka sambil mengepalkan tangannya kuat.Tanpa menoleh Adam pun menyahut, "Dia
Setelah berhasil memeluk Jiya, kemudian Bumi pun berbalik dan menjawab pertanyaan Nyonya Desi. "Tante Jiya ini mamaku, yang waktu itu menikah dengan Papa." "Benarkan, Ma?" Bumi beralih melempar pertanyaan pada Jiya sembari menyuguhkan senyum termanisnya.Langsung saja Jiya tersenyum canggung. "Iya, kamu memang benar," jawab Jiya sambil mengusap kepala Bumi dengan pelan.Langsung saja tatapan penuh tanya dari Nyonya Desi berubah menjadi tatapan tajam. "Tante, aku—" Kalimat Jiya terhenti ketika tiba-tiba saja Nyonya Desi berbalik badan."Kamu temui aku setelah selesai menyusui Clayton!" titah Nyonya Desi sembari melangkah meninggalkan tempat tersebut. Jiya terdiam. Calon ibu mertuanya yang memang sejak awal sudah tidak menyukainya karena statusnya sebagai seorang janda dan juga hanya orang biasa kini mempunyai lebih banyak alasan untuk memisahkannya dari Raka."Sepertinya memang sulit dipertahankan," batin Jiya sambil tersenyum getir menatap punggung Nyonya Desi yang semakin lama sem
Setengah jam berlalu, kini Jiya sudah sampai di depan salah satu ruangan yang dikatakan oleh Bi Tumi."Ada apa Bi, Clayton sakit?" tanya Jiya pada Bi Tumi yang sedang menunggu di luar ruangan. Sesaat kemudian Jiya mengalihkan pandangannya ke arah pintu ruangan yang tertutup rapat. "Apa sakitnya parah? Semalam sepertinya baik-baik saja.""Nggak tahu juga, Bu. Tadi tiba-tiba saja Nyonya teriak-teriak nyuruh Pak Dadang mengeluarkan mobil, terus ke sini," beber Bi Tumi yang kini ikut menatap ke arah pintu ruangan di dekat mereka."Astaga, semoga nggak ada yang serius," gumam Jiya yang semakin penasaran, tetapi hanya bisa menunggu seperti yang Bi Tumi lakukan.Sesaat kemudian Bi Tumi menepuk pelan lengan Jiya, dan membuat Jiya menoleh ke arah wanita paruh baya tersebut."Ayo duduk Bu," ajak Bi Tumi sambil melangkah ke arah kursi tunggu yang berada di dekat mereka.Namun belum sempat Jiya menyahut, tiba-tiba saja terdengar langkah seseorang yang sedang berlari ke arah mereka. "Ada
Jiya terdiam. Dia benar-benar tidak menyangka kalau Raka akan mengatakan hal itu. Ya, dulu Jiya memang mengarang cerita seperti yang dikatakan oleh Raka untuk mengelabui semua orang yang mengenalnya di kota itu.Saat itu Jiya berpikir untuk tidak menceritakan yang sebenarnya dan bertingkah sebagai wanita yang diceraikan dan menyedihkan, agar lebih mudah diterima para tetangganya karena saat itu dia sedang hamil dan datang ke kota itu tanpa suami. Sedangkan saat bertemu dengan Raka, dia juga mengatakan kebohongan itu karena dia tidak pernah berpikir akan sedekat ini dengan Raka."Katakan Ji, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Raka sambil menarik tangannya dari satpam rumah sakit yang memeganginya.Desakan dari Raka membuat Jiya menelan ludahnya. Sesaat kemudian Jiya pun berganti melirik ke arah Adam yang juga sedang menatapnya dengan tajam. 'Bagaimana ini?' batin Jiya yang kebingungan.Sesaat kemudian Raka sudah beralih mendekati jiya. "Katakan yang sebenarnya!" tekan Raka sambil m
Setelah itu Jiya dan Dila pun membawa paket tersebut masuk ke dapur."Aku tidak menyangka kalau kamu akan menerima paket itu," ujar Dila yang saat ini berdiri tepat di sebelah Jiya. Dia dan Jiya sama-sama memandangi paket yang baru saja diletakkan oleh Jiya di atas meja khusus untuk memotong roti."Bukankah tadi kamu yang bersemangat mendapat paket ini," sahut Jiya sambil melirik ke arah sahabatnya itu.Dila pun menoleh dan menyahut, "Kamu kan tahu sendiri kalau aku itu cuma bercanda. Lagi pula biasanya kamu juga tidak akan mau menerima barang-barang yang tidak jelas seperti ini."Jiya pun mengambil gunting yang ada di dekat paket tersebut. "Sebenarnya kalau paket ini belum dibayar aku juga tidak akan menerimanya. Tapi karena paket ini sudah dibayar, jadi tidak ada ruginya kalau aku menerimanya. Lagi pula beberapa hari ini hidupku penuh dengan hal-hal aneh, tidak akan jadi lebih aneh lagi jika ada paket seperti ini.""Hati-hati Ji bukannya, guntingnya dikit-dikit aja, jangan-janga
"Selamat malam Tante," ucap anak laki-laki yang baru saja turun dari mobil tersebut sambil tersenyum hangat ke arah Dila."Ah, iya-iya selamat malam," sahut Dila lalu tersenyum canggung ke arah anak laki-laki yang saat ini berjalan ke arahnya sambil membawa sebuah buket bunga mawar."Ini untuk Tante," ucap anak laki-laki tersebut sambil menyodorkan buket bunga yang ada di tangannya.Senyum pun mengembang di bibir Dila. "Wah, terima kasih ya, Bumi. Kamu memang anak yang manis," ucapnya sambil mengusap wajah anak laki-laki tersebut.Sedangkan Jiya yang melihat hal itu langsung menutupi bibirnya dengan telapak tangan kirinya. 'Dasar anak kampret,' batinnya yang kini menahan tawa melihat tingkah Bumi yang sangat jelas ingin membuatnya kesal.Sesaat kemudian Bumi menoleh dan mengambil kantong kresek yang saat ini disodorkan oleh anak buah ayahnya. "Ini untuk kamu," ucap Bumi dengan ketus sambil menyodorkan kantong kresek yang berisikan marta
Setengah jam berlalu. Setelah menyelesaikan makan malamnya, kemudian Bumi dan Adam meninggalkan toko kecil Jiya. "Kenapa, Pa?" tanya Bumi yang memperhatikan Papanya karena sejak meninggalkan toko kue Jiya, papanya terus saja diam sambil menatap ke luar jendela mobil."Ada apa?" tanya Adam sambil menoleh ke arah Bumi yang saat ini langsung melengos."Papa masih memikirkan wanita menyebalkan itu?" tanya Bumi yang kini berganti menatap ke luar kaca mobil di sampingnya."Wanita itu?" tanya Adam sambil memijat keningnya."Mama. Papa masih memikirkan mama?" tanya Bumi.Adam berhenti memijat keningnya dan kembali menoleh ke arah Bumi. "Apa kamu sudah tidak menginginkan dia menjadi mama kamu?" "Memangnya dari awal siapa yang ingin dia menjadi mamaku?" sahut Bumi dengan ketus.Adam menghela napas panjang mendengar jawaban anak laki-laki di dekatnya itu. "Jadi kamu ingin membiarkan dia menjadi istri om-mu?" tanyanya."Enak saja," sahut Bumi sambil menoleh ke arah Adam dengan cepat. "
“Sudah turunin aku, aku bisa jalan ke kamar sendiri,” ucap Jiya yang juga mendengar panggilan dari lantai satu.“Tidak perlu, biarkan saja orang itu menunggu,” sahut Adam yang mempercepat langkahnya naik ke lantai dua.Jiya pun tersenyum menatap Adam yang sedang membawanya naik tangga. “Lucu,” gumamnya.“Apa?“ tanya Adam yang kini terus menatap ke arah depan.“Nggak ada Mas,” sahut Jiya lalu kembali menunduk.Setelah mengantar Jiya masuk ke dalam kamar mandi, kemudian Adam mengganti pakaiannya dan turun ke lantai satu untuk melihat orang yang bertamu ke rumahnya pagi itu. Dia berjalan ke arah ruang tamu, tetapi dia tidak menemukan siapa pun di sana.“Apakah orangnya sudah pulang?“ gumam Adam karena dia mendengar kalau orang yang bertamu itu memanggil namanya, jadi seharusnya orang itu sudah sangat mengenal dirinya.Sesaat kemudian terdengar langkah kaki yang berasal dari ruangan yang lebih dalam. Adam pun menoleh, menunggu pemilik suara langkah kaki tersebut.“Tuan muda,” ucap pemban
Mata Jiya terbelalak ketika tiba-tiba Adam mencium pipinya. “Apa sih kamu, Mas,” ketusnya.Adam terkekeh karena merasa geli melihat Jiya yang salah tingkah. Merasa kesal dengan tawa Adam, Jiya dengan cepat mengambil sebuah potongan apel dan memasukkannya ke dalam mulut Adam. Dan seketika Adam pun berhenti tertawa.“Bagaimana kalau aku tersedak,” ucap Adam sambil mengunyah apel itu.“Ya habisnya kamu ngeselin sih, Mas,” sahut Jiya sambil cemberut.Adam kemudian tersenyum kembali lalu menggelitiki pinggang Jiya, hingga membuat Jiya tertawa terbahak-bahak. “Aduh, ampun Mas,” ucap Jiya sambil mencoba untuk menjauh dari Adam, tetapi Adam terus menahan dan menggelitiki pinggang Jiya. Hingga akhirnya dia merosot ke lantai karena lemas terlalu banyak tertawa.Namun, tiba-tiba salah satu asisten rumah tangga kiriman Nyonya Titi masuk ke dalam ruangan itu dan membuat Adam berhenti menggelitiki Jiya.“Kenapa kamu ke sini?“ tanya Adam dengan tatapan tajamnya.“Itu … saya, saya ….“ Asisten rumah
Jiya mendesis cukup keras ketika dia akan bangun dari ranjangnya. 'Pinggangku rasane koyo copot,' batin Jiya lalu berpegangan pada pinggiran ranjang itu dan kemudian berdiri.“Apa yang yang kamu lakukan?“ tanya Adam sambil memiringkan tubuhnya menghadap ke arah Jiya.“Aku ngadek Mas, berdiri.“ Jiya mengucap kata Berdiri dengan pernekanan agar Adam tahu arti istilah jawa yang dia ucapkan. “Masa kamu nggak lihat,” ketusnya.Adam tersenyum kecil. “Lalu kenapa kamu seperti nenek-nenek? Ingin berdiri harus berpegangan kepada sesuatu,” selorohnya.“Pinggangku habis diseruduk truk tronton, puas?“ Jiya masih menyahut dengan ketus. Kini Jiya berjalan ke arah kamar mandi sambil memegangi pinggangnya.“Apa perlu aku bantu?“ Tanya Adam.“Nggak usah Mas, yang ada kamu malah nyusahin bukannya ngebantu,” jawab Jiya sambil masuk ke dalam kamar mandi.Adam pun merebahkan tubuhnya. Matanya menatap langit-langit kamar itu, tak lupa sebuah senyum masih terukir di wajahnya.“Jiya,” gumam Adam.*Keesokan
“Pak Adam,” gumam semua orang sambil berdiri dari kursi mereka, termasuk Nathan yang langsung meletakkan berkas di tangannya.“Berani sekali kalian!“ teriak Adam dengan tatapan tajam yang seolah ingin membakar semua laki-laki yang ada di dalam ruangan itu.Para laki-laki itu saling melirik karena tidak mengerti asal mula kemarahan Adam.Kemudian Adam menoleh ke arah Jiya. “Ke sini!“ Namun Jiya langsung melengos. “Pulanglah, aku bisa pulang sendiri,” sahutnya dengan ketus.Mendengar hal itu Adam mengepalkan tangannya dan kemudian melangkah ke arah Jiya. “Apa yang ingin kamu lakukan di sini?“ tanyanya sambil menggenggam tangan Jiya.“Tunggu Pak,” ucap Nathan yang ingin membela Jiya karena merasa kalau Adam akan memarahi Jiya, walaupun dia juga tidak tahu apa penyebab kemarahan Adam saat ini. “Dia datang ke sini untuk menjemput Leni, dia—”“Siapa kamu berani berbicara mewakili istriku!“ sentak Adam.Mata Nathan pun membulat mendengar kalimat Adam, begitu juga dengan semua orang yang ada
Feni lebih terkejut lagi saat melihat dua orang yang sedang belutut di halaman rumah itu. “Siapa mereka?“ tanya Feni karena saat ini dua orang itu menundukkan kepala mereka.“Angkat kepala kalian!“ teriak Dimas memberikan perintah.Kemudian dua orang tersebut mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Feni.“Dia …,” ucap Feni lalu kembali menatap ke arah Dimas.“Benar, orang yang ada di foto itu adalah dia bukan aku. Ada orang yang sengaja ingin merusak hubungan kita,” sahut Dimas.“Ini benar?“ tanya Feni sambil kembali menatap ke arah laki-laki yang mirip dengan suaminya itu.“Tentu saja. Aku tidak mungkin menghianati kamu dan dua anak kita,” sahut Dimas sambil mengusap perut Feni dengan lembut.Feni pun terdiam dan menundukkan pandangannya. “Maaf,” ucapnya lirih.Dimas kemudian menggenggam tangan Feni. “Kamu tidak perlu minta maaf, ini tidak sepenuhnya kesalahan kamu,” sahutnya sambil mengecup punggung tangan Feni itu.Feni kembali mengangkat pandangannya. “Apakah kamu tahu siapa
Mereka pun cukup lama bersantai di pinggir kolam tersebut sambil terus membicarakan masalah mereka masing masing, dan juga membahas masalah rencana Dimas dan memaltangkan rencana tersebut.Hingga malam menjadi semakin larut, dan mereka pun masuk ke dalam rumah. Mereka memutuskan untuk beristirahat malam itu. Dimas pun memilih menempati salah satu kamar tamu di rumah itu. Dimas juga sempat memperhatikan pelayan yang dibicarakan Adam tadi, dan benar saja pelayan itu ternyata cukup mencurigakan.****3 hari kemudian..Setiap hari Adam menjemput dan mengantar Jiya pulang ke rumah Dimas, tapi dalam beberapa hari itu semua yang mereka bahas hanya seputar masalah Dimas dan Feni tidak ada yang lain.Hingga malam pun tiba...Adam dan Dimas sedang berada di luar sebuah club malam. Anak buah Adam menemukan bahwa wanita itu bekerja di club malam ini sebagai penari striptis. “Gimana, semua udah siap?” tanya Dimas lewat telpon yang ada di genggamannya“Siap Tuan!” suara di dalam telpon
“Ahhkk!” ucap Jiya sambil bangun dari lantai tempatnya terjatuh. Setelah itu Jiya bangun, dan melihat ke arah orang yang sedang memegang daun pintu tersebut.“Astaga Mbak, kamu kenapa?” ucap Jiya terkejut melihat Feni yang kusut, berantakan. Kemudian Jiya segera menggandeng Feni untuk duduk di sofa ruang tamu tersebut. Feni lalu menangis keras “Hiks.. hiks.. huwa…!” “Bagaimana nasibku dan anakku. Kenapa mas Dimas tega seperti ini padaku,” ucap Feni sambil terus menangis memeluk Jiya.Kemudian Jiya pun memeluk sambil mengelus pundak Feni “Sabar mbak, Sabar. Ingat Mbak sedang mengandung, kasihan anak Mbak kalau Mbak menangis seperti ini,” ucap Jiya mencoba menenangkan Feni“Tapi Ji, bagaimana aku bisa tenang saat tahu kalau mas Dimas selingkuh seperti itu,” ucap Feni“Iya Mbak, aku sudah tahu itu dari Mas Dimas,” ucap Jiya“Jadi kamu kesini disuruh Dimas?” ucap Feni langsung melepaskan pelukannya dari dia‘Eh, aku salah bicara,’ batin Jiya kaget“Tentu saja tidak. Aku memang mendenga
Pyarrrr! Brughhh!… Terdengar suara piring pecah dan di ikuti benda jatuh dari dapur.Kemudian Jiya, Lena dan Leni saling menatap sejenak. Lalu, mereka bertiga pun langsung berlari ke arah dapur. Dan saat sampai di pintu dapur, mereka pun kaget melihat Ibu kantin sedang terbaring di lantai dan sebuah piring pecah di sampingnya.Lena yang sampai di dapur duluan, langsung mencoba membangunkan ibu kantin, tapi tidak ada respon“Kita tidak mungkin kuat menggotong dia,” ucap Lena sambil melihat tubuh Ibu kantin yang memang bisa di sebut mengalami obesitas.Lalu Lena meletakkan kepala ibu kantin di pangkuannya, dan terlihatlah ada darah di lantai tepat di bagian bekas tempat kepala ibu kantin terjatuh.“Astaga, darah!” teriak Leni.Lena pun terdiam seketika, wajahnya berubah memucat.. “Len, sabar… Len,” ucap Leni menggoyang-goyangkan tubuh saudara kembarnya tersebut“Astaga!”teriak Jiya “Leni, kamu jaga Lena dan Ibu kantin. Aku cari bantuan,” ucap JiyaKemudian Jiya pun langsung berla
Setelah mengendarai mobil selama 15 menit, kemudian mereka sampai di sebuah kafe langganan Adam dan Dimas.Adam pun segera masuk ke dalam cafe tersebut, dikuti oleh Jiya yang ada di belakangnya.Setelah mereka masuk ke dalam Cafe tersebut. Kemudian Adam dan Jiya melihat ke sekitar, lalu menemukan Dimas yang sedang duduk di salah satu meja yang agak jauh dari mereka. Dimas terlihat tak bergerak sedikitpun, ia teeus menatap ke arah luar jendela kaca di sebelahnya.Kemudian mereka pun mendekat ke arah Dimas. Tapi, Dimas tidak bergeming sedikitpun. Dia tidak sadar dengan kedatangan Jiya dan Adam yang sudah duduk di depannya.“Ehem!” Adam berdehem. Kemudian Dimas pun tersadar dari lamunannya, dan langsung menoleh dan melihat ada Adam dan Jiya yang sudah duduk depannyaLalu Dimas pun kini mengusap-ngusap wajahnya.“Ada apa?” tanya Adam penasaran pada sahabatnya tersebut karena terlihat sangat kacau“Aku sedang pusing, istriku minta cerai,” ucap Dimas“Apa!” ucap Adam dan Jiya bersamaan, kag