Yara Jang menatap jendela taksi yang berembun, perutnya terasa seperti diikat kencang. Lampu-lampu kota memantul di kaca, mengiringi perjalanannya menuju hotel mewah yang menjulang megah di kejauhan.
"Yara, kamu bisa!" suara di kursi belakang menyemangatinya.
Yara menoleh ke Giselle, kenalan barunya dari aplikasi, yang memberinya tugas absurd malam ini—menghadiri pesta sebagai dirinya.
"Ingat, kamu cuma absen doang. Masuk, kasih undangan, terus bebas deh. Jangan lupa makan enak ya!" Giselle terkikik.
"Kalau makanannya enak, aku akan mengingatmu seumur hidup," sahut Yara, setengah bercanda, setengah gugup.
Taksi berhenti. Udara malam yang sejuk tak cukup untuk menenangkan detak jantungnya yang tak beraturan. Dengan napas panjang, Yara menyesuaikan gaun hitam selutut yang disewanya dengan harga yang bikin sakit kepala.
"Ini cuma pesta. Bukan medan perang. Senyum, makan, pulang. Gampang, kan?" bisiknya menyemangati diri sendiri sebelum melangkah masuk.
Aroma makanan langsung menyambutnya, menusuk hidung dan perut kosongnya dengan godaan yang tak bisa ditolak.
Makanan! Makanan! Makanan!
Tanpa ragu, Yara mengambil piring dan mulai menumpuknya dengan segala kelezatan yang bisa dijangkau tangannya—daging panggang, kue-kue kecil, salad yang tampak mahal. Matanya berbinar, bibirnya membentuk senyum puas.
"Kapan lagi aku bisa makan makanan seenak ini," kikiknya dalam hati.
Namun, kenikmatan itu terhenti seketika saat suara tawa familiar menyusup ke telinganya.
"Yara Jang?"
Suara itu merambat ke tulang belakangnya seperti es dingin. Perlahan, Yara menoleh.
Tiga wanita berdiri di belakangnya, mengenakan gaun mahal dengan ekspresi yang membuat perutnya terasa mual. Gadis-gadis dari masa lalu, teman semasa Yara sekolah.
"Seriusan? Ini kamu? Apa yang kamu lakukan di sini?" Salah satu dari mereka, dengan gaun hijau mint dan nada merendahkan, menatapnya dari ujung kepala sampai kaki.
"Hah? Aku kira dia udah nggak di kota ini," bisik yang lain, cukup keras untuk didengar.
"Oh, dia ada di sini. Dan lihat, dia sedang ..., ah, menikmati 'makanan gratis'." Tatapan mereka jatuh ke piring Yara yang penuh.
Tawa meledak. Mereka semua sepertinya sangat menikmati pemandangan itu.
Yara menggenggam piringnya lebih erat, jari-jarinya memutih. Ia bisa merasakan panas menjalar ke pipinya.
Mereka tidak berhenti. Seperti sudah menunggu sangat lama untuk mengejek Yara.
"Untuk sekelas kamu, bisa masuk ke pesta mewah gini pasti karena bawa majikan, ya kan?"
"Iya, atau mungkin jadi ..., pelayan katering?"
Gelak tawa mereka seperti cambukan di wajah Yara. Sekitar mereka, tamu lain mulai melirik. Ada yang berbisik, ada yang menatapnya dengan tatapan kasihan—atau mungkin jijik.
Yara ingin bicara, ingin mengatakan sesuatu—apa pun! Tapi lidahnya terasa kaku.
"Oke, serius deh. Kamu datang ke sini sebagai apa? Orang sepertimu mana mungkin bisa masuk ke pesta ini." Nada mereka berubah lebih tajam, lebih menusuk.
Panik, Yara menarik napas cepat. Jangan sampai mereka tahu aku cuma pengganti!
"A-aku datang ke sini ..., sama pacarku," jawabnya spontan.
Hening. Lalu, tawa mereka pecah lagi—lebih keras, lebih menghina.
"Pacar?"
"Yara, serius? Kamu? Punya pacar? Apalagi pacar yang cukup kaya buat ngajak kamu ke pesta kayak gini?"
Malu. Panas. Rasanya ingin menghilang saat itu juga.
Lalu, dari sudut matanya, Yara melihat seorang pria berdiri tak jauh dari mereka. Elegan, tampan, dengan segelas champagne di tangannya.
Tanpa pikir panjang, dia melangkah cepat dan—
Plak!
Tangan Yara mendarat di bahu pria itu. Semua mata tertuju padanya.
"Eh, kamu! Iya, kamu!" Suara Yara lebih keras dari yang diinginkan. "Kenalin, ini pacar aku!"
Suasana hening. Pria itu menoleh, menatapnya dengan alis terangkat dan wajah dingin.
Yara menelan ludah. "Ya Tuhan, apa yang baru saja aku lakukan?!"
Yara merasa seolah seluruh dunia berhenti berputar saat semua mata di pesta itu beralih ke arahnya. Dia bisa merasakan panas di wajahnya, seakan pipinya terbakar."Apa yang baru saja aku lakukan? Kenapa aku harus menunjuk pria asing itu?!" pikirnya dengan frustasi.Wajahnya memerah, tangannya gemetar. Keringat dingin membasahi punggungnya. Yara ingin mengubur dirinya di tempat yang sangat jauh.Tapi, detik-detik yang terasa seperti seabad itu terhenti saat pria yang dia tunjuk tadi akhirnya bergerak. Pria itu menatapnya dengan ekspresi datar, tetapi matanya tampak seperti sedang memikirkan sesuatu dengan sangat serius.Tatapan tajam itu menusuk, membuat seluruh tubuh Yara diserang rasa cemas. "Oh tidak, dia pasti marah. Aku bisa mati sekarang juga," pikirnya dalam hati.Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi. Tanpa memberi petunjuk lebih lanjut, pria itu tersenyum samar, seolah tersadar dari lamunannya, dan seketika dia melangkah mendekati Yara.Dengan gerakan yang sangat terkontrol
Pagi itu, Yara terbangun dengan kepala yang terasa berat. Semalam, pikirannya terus dipenuhi oleh ucapan pria itu, membuatnya nyaris tidak bisa tidur."Aku ingatkan lagi, mau kamu terima atau tolak tawaran ini, semuanya tidak akan ada bedanya untukmu. Mulai besok, kamu akan tetap dikejar-kejar wartawan."Dia mengerutkan kening di atas kasurnya yang terasa semakin keras setiap hari."Apa sih maksudnya? Wartawan? Pria itu pasti cuma menakut-nakutiku. Sepenting apa aku sampai media peduli soal ini?"Namun, satu hal yang lebih mendesak langsung kembali memenuhi benaknya.Uang.Satu miliar."Gila, satu miliar! Itu banyak banget, Yara. Dengan uang sebanyak itu, aku bisa melunasi hutang dan membiayai pengobatan Ibu!"Dilema melanda. Tawaran itu terlalu bagus untuk ditolak, tapi juga terlalu mencurigakan untuk diterima begitu saja. Setelah perdebatan panjang dalam hati, akhirnya Yara mengambil keputusan.Dia akan menemui pria itu.---Restoran mewah yang telah ditentukan terasa begitu asing b
Setelah meninggalkan restoran mewah, Yara berjalan dengan langkah ringan, wajahnya berseri-seri. Pikirannya dipenuhi bayangan uang 1 miliar yang akan segera masuk ke tangannya.Udara London yang dingin menyambutnya begitu ia keluar dari pintu restoran. Jalanan yang padat tak menghalangi semangatnya. Ini dia, kesempatan yang kutunggu-tunggu. Setiap langkah menuju rumahnya terasa lebih ringan, seolah-olah semua masalahnya perlahan terangkat dari pundaknya.Namun, langkahnya terhenti ketika seorang pria tiba-tiba muncul di hadapannya. Ia mengenakan jas rapi, terlihat profesional, tetapi wajahnya tampak familiar. Yara merasa pernah melihatnya, meskipun ia tidak bisa mengingat di mana."Maaf, bolehkah saya berbicara dengan Anda sebentar?" Pria itu memegang alat perekam di tangannya.Yara menyipitkan mata, sedikit waspada. Tapi senyumnya tetap terukir. "Ada apa? Kenapa menatap saya seperti itu?"Pria itu tersenyum tipis. "Anda Yara Jang, bukan?"Jantung Yara berdebar. Siapa dia? "Ya, saya Y
Tiga hari berlalu, dan Yara sudah tiba di tempat yang dijanjikan Nathan. Jalanan sepi, hanya ada beberapa lampu jalan yang menyala samar di ujung sana.Berdiri di pinggir trotoar, Yara mengenakan pakaian serba tertutup. Kacamata hitam besar, hoodie yang menutupi kepalanya, serta masker tebal yang hampir menyembunyikan seluruh wajahnya.Jantungnya berdegup kencang. Takut kalau tiba-tiba ada wartawan yang mengenalinya. Setelah kejadian beberapa hari lalu, dia jadi lebih waspada. Nathan benar—wartawan bisa muncul kapan saja, entah dari mana.Sebuah Tesla hitam meluncur perlahan dan berhenti tepat di depannya. Kaca mobil terbuka, memperlihatkan Nathan yang duduk di balik kemudi. Ekspresinya tetap dingin, seperti biasa."Masuk," katanya singkat, hanya menggerakkan tangannya sedikit, menunjuk ke pintu.Yara mengangguk, tapi tetap terpaku di tempatnya. Baru kali ini dia berdiri sedekat ini dengan mobil semewah itu, dan entah kenapa, dia merasa canggung.Dia mencoba membuka pintu—tapi gagal.
Setelah kepergian Nathan, Yara masih berdiri di tengah kamar, menatap sekeliling dengan mata berbinar. Sebesar apa pun kekesalannya tadi, dia tidak bisa memungkiri bahwa kamar ini adalah surga kecil. Tempat tidur besar dengan seprai lembut, lemari berisi pakaian mewah, dan fasilitas lengkap yang bahkan belum pernah ia impikan sebelumnya."Gila ..., ini beneran kamar aku?" Yara bergumam sendiri, lalu tersenyum puas.Tanpa ragu, dia menjatuhkan diri ke kasur empuk itu. Begitu tubuhnya menyentuh permukaan kasur, ia langsung terbenam dalam kenyamanan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya."Astaga, ini kasur atau awan?" ucapnya sambil menggelinding ke kanan dan kiri, menikmati setiap detiknya.Setelah puas dengan kasur empuk itu, Yara pun segera berdiri. Dia membuka lemari dan mendapati berbagai koleksi pakaian mahal tergantung rapi.Tangannya menyentuh satu per satu bahan baju itu dengan kagum. "Wow ..., kalau aku jual satu aja, bisa buat hidup sebulan." Dia tertawa kecil, merasa berunt
Yara terbangun dengan wajah segar. Untuk pertama kalinya sejak lama, dia merasakan tidur yang benar-benar nyenyak. Kasur empuk, ruangan yang nyaman, dan tidak ada suara berisik seperti di apartemen lamanya.Dia menggeliat malas, lalu berguling beberapa kali di atas kasur. "Astaga, ini surga," gumamnya sambil tersenyum puas.Setelah beberapa menit menikmati kenyamanan itu, Yara akhirnya turun dari ranjang, berjalan menuju jendela, dan membukanya. Udara pagi yang masih sejuk menyapa wajahnya, sementara langit mulai terang meskipun matahari belum sepenuhnya muncul. Dia menarik napas dalam-dalam, menikmati ketenangan pagi ini."Tiga bulan kayak gini, aku bisa betah sih," katanya sambil meregangkan tubuhnya.Dengan rambut masih acak-acakan dan baju tidur yang sedikit berantakan, Yara berjalan keluar kamar dengan langkah malas. Tangannya menggaruk kepala sambil menuju dapur. Yang dia butuhkan saat ini hanyalah segelas air dingin.Saat dia sedang membuka kulkas dan meneguk air dari botol, ti
Koridor kantor Liu Corporation membentang panjang dan mewah, dengan lantai marmer putih mengkilap dan lampu gantung kristal yang memantul sempurna di langit-langit tinggi.Nathan melangkah keluar dari ruang rapat dengan langkah cepat dan tegas, jas hitamnya jatuh pas di tubuh atletisnya. Di sampingnya, seorang pria bertubuh tegap dengan wajah serius mengikuti sambil menatap tablet di tangannya—Adrian Alexander, sekretaris pribadinya yang juga dikenal dengan kepiawaiannya menangani jadwal dan emosi Nathan yang tak pernah stabil."Proyek ekspansi di Tokyo akan dimulai bulan depan. Tim dari Jepang meminta revisi pada bagian kontrak logistik," jelas Adrian tanpa berhenti berjalan, mata fokus menatap data yang tersaji.Nathan mengangguk tipis. Di belakang mereka, beberapa staf penting bergegas mencatat instruksi dan arahan dari pria muda itu. Tak ada yang berani bicara jika tidak ditanya, karena mereka tahu betul betapa dingin dan tegasnya CEO muda tersebut.Namun langkah Nathan terhenti s
Apartemen Nathan malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu-lampu utama sudah dipadamkan, hanya tersisa sorot hangat dari lampu dinding di sudut-sudut ruangan yang memberi nuansa redup dan tenang.Di dalamnya, Yara tengah memeluk guling di atas tempat tidur besar nan empuk, rambut panjangnya tergerai berantakan, wajahnya damai untuk pertama kalinya setelah sekian lama.Sejak usia belia, hidup Yara tak pernah benar-benar mengenal kata "libur". Hidupnya penuh dengan perjuangan—mengurus tagihan yang tak ada habisnya, bekerja dari satu tempat ke tempat lain, dan bolak-balik ke rumah sakit demi ibunya yang tak kunjung sembuh.Tapi hari ini, semuanya berbeda. Hari ini adalah tentang dirinya. Makan makanan mahal dari kulkas Nathan, nonton film kesukaannya di layar besar, bahkan mencoba semua aroma sabun mandi yang ada di kamar mandinya seperti spa pribadi.Bagi Yara, ini bukan sekadar hari libur. Ini adalah penghargaan atas luka-luka yang selama ini tak pernah dia punya waktu untuk ob
Setelah sarapan pagi yang... canggung, dengan sisa rasa ciuman Nathan yang masih membekas di ujung bibir dan pipi Yara yang tak kunjung mendingin, suasana pagi berubah cepat.Nathan menerima telepon dari seseorang—suara laki-laki di seberang terdengar tegang, meski Yara tidak tahu persis siapa. Tak sampai lima menit, Nathan sudah berdiri sambil mengenakan jas dan memasukkan ponsel ke sakunya."Aku harus pergi," katanya cepat.Yara yang masih setengah sadar karena detak jantung yang belum stabil sejak ciuman tadi hanya mengangguk pelan. "O-oh... iya."Nathan sempat meliriknya dari ujung pintu. "Dan Yara… jangan keluar apartemen. Apa pun yang terjadi, tetap di sini."Gadis itu menatap bingung. "Eh? Kenapa?""Tolong, turuti saja. Aku akan jelaskan nanti."Belum sempat Yara membalas, pintu sudah tertutup. Nathan hilang dalam suara langkah cepat dan bunyi lift.Dan... rumah pun sepi.Sangat sepi.Yara berjalan ke wastafel, mencuci bekas makannya. Lalu dia kembali ke ruang tengah apartemen
Pagi menyapa dengan cahaya hangat yang menelusup malu-malu dari balik tirai tipis kamar Yara. Udara masih sedikit dingin, menyisakan embun di jendela. Nathan mengerjapkan mata perlahan, membiasakan diri dari rasa kantuk yang masih melekat.Namun, ada sesuatu yang aneh. Tangannya terasa berat. Ia menoleh, dan pandangannya langsung bertemu dengan rambut berantakan Yara yang terurai bebas di atas lengannya—ya, di atas lengannya.Gadis itu, dengan wajah tenang dan napas teratur, tidur berbantalkan lengan Nathan… dan memeluk perutnya erat seperti guling.Nathan menahan napas. Rasanya... absurd. Aneh. Tapi juga... menyenangkan?Dia refleks ingin menarik tangannya agar tidak kesemutan, tapi gerakannya terhenti. Pandangannya tertahan pada wajah Yara. Gadis itu tidur nyenyak sekali, alisnya sedikit berkerut seolah sedang mimpi yang intens, dan bibir mungilnya sedikit terbuka, membuat Nathan menelan ludah tanpa sadar.“Cantik,” bisiknya pelan, hampir seperti gumaman tanpa suara.Dia tak tahu se
Malam di London terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis menggantung di udara, memantulkan cahaya temaram dari lampu taman yang tertata rapi di sekitar kolam pribadi kediaman keluarga Liu, tepatnya rumah Clara dan suaminya.Clara duduk di kursi santai dengan sandaran empuk berbalut beludru. Baju tidurnya, satin lembut berwarna peach, membungkus tubuh semampainya dengan anggun. Angin malam yang menggoda tak menyurutkan niatnya menikmati seteguk anggur merah yang kini berputar perlahan dalam gelas kristal di tangannya.Langkah hak sepatu terdengar menghampiri, ragu namun tetap mantap. Sang sekretaris, seorang wanita muda berambut hitam dikuncir rapi, datang membawa tablet di tangan dan setumpuk berkas yang sudah disusun rapi. Wajahnya tenang seperti biasa, namun sorot matanya penuh kehati-hatian. Ia tahu betul siapa yang sedang ia hadapi malam ini."Nyonya Clara," ucapnya, membungkuk sedikit dengan sopan. “Laporan yang Anda minta, sudah saya susun sesuai urutan waktu.”Clara hanya
Suasana ruang makan malam itu terasa... berbeda.Yara duduk di salah satu kursi, tubuhnya lemas tapi tetap berusaha tegak. Di depannya, Nathan tampak sibuk menyajikan makanan di atas meja. Tidak ada ekspresi kesal di wajah pria itu, malah justru terlihat serius, seperti sedang melakukan pekerjaan penting."Aku bantu deh sedikit," ujar Yara pelan, mencoba berdiri."Tetap duduk.""Tapi—""Duduk, Yara."Nada Nathan datar, tapi tegas. Tidak bisa ditawar. Membuat Yara langsung duduk kembali seperti anak sekolah yang tertangkap mau menyontek.Dia hanya bisa mengerucutkan bibir. Ish, galak amat.Tapi kali ini, dia memilih tidak banyak protes. Perutnya memang belum bersahabat. Rasa kram itu muncul lagi dan membuat tubuhnya terasa berat.Biasanya, dia akan berisik. Mengomentari menu makanan, meributkan kenapa Nathan tidak bisa masak yang lebih berwarna, atau sekadar menyelipkan candaan receh soal bentuk nasi. Tapi hari ini… dia hanya diam.Nathan sempat melirik sekilas. Diamnya Yara malam ini
Langit sore mulai menggelap saat Nathan memarkir mobilnya di basement apartemen. Langkahnya cepat dan terburu-buru. Jas yang tadi rapi sudah disampirkan di lengan, dasi tergantung lepas di lehernya, dan kerutan di dahinya semakin jelas.Adrian tadi mengabari Nathan tentang insiden di supermarket. Nathan yang semula sedang rapat langsung memutuskan untuk pulang. Bukan karena dia peduli—setidaknya begitu yang selalu dia katakan pada dirinya sendiri—tapi karena Yara adalah tanggung jawabnya.Tangannya menekan tombol lift dengan gelisah, dan detik-detik terasa lambat sekali. Begitu sampai di lantai unit apartemen, Nathan langsung melangkah cepat ke kamar Yara. Pintu itu terkunci.Tok. Tok."Yara."Sunyi.Dia mengetuk lagi, lebih keras."Yara, buka pintunya."Tidak ada jawaban.Nathan mendecak. Ponselnya keluar dari saku, cepat-cepat ia kirim pesan.[Nathan: Buka pintunya, atau aku dobrak.]Masih tidak ada balasan. Jantungnya berdetak tak karuan, campuran antara cemas dan kesal. Dia berbal
Yara mendengus pelan sambil menyimpan ponselnya ke dalam saku hoodie yang kebesaran. Chat dari Nathan tadi masih terngiang di kepalanya."Sudah kubilang jangan keluar sendirian. Jangan terlalu mencolok.""Memangnya aku apa? Anak kecil?" gumamnya, kesal.Langkahnya semakin cepat menuju rak bagian toiletries di supermarket. Sesekali ia menunduk, menarik bagian bawah hoodie-nya untuk menutupi bagian belakang celana legging hitamnya. Ia benar-benar merasa tidak nyaman. Rasanya seperti… bocor."Aduh, semoga enggak ada noda deh..." ocehnya sambil terus menunduk.Setelah menemukan pembalut yang ia cari, ia ambil beberapa bungkus sekaligus, memilih yang panjang dan extra night. "Kalau begini aja aku panik, gimana nanti kalau udah jadi ibu dua anak, ya?" gumamnya sendiri, mencoba bercanda untuk menenangkan dirinya.Namun saat melangkah menuju kasir, ia mulai menyadari sesuatu.Beberapa orang mulai memperhatikannya. Tatapan mereka... bukan tatapan biasa. Ada yang menatap dengan jijik. Ada pula
Setelah malam yang... cukup mendebarkan—dan memalukan—Yara terbangun keesokan paginya dengan kepala yang masih berat, dan dada yang sesak oleh banyak hal. Bukan cuma karena efek anggur sialan itu, tapi juga karena Nathan. Kenapa laki-laki itu tidur di sebelahnya? Kenapa dia memeluk? Kenapa harus membuat jantungnya kerja lembur?Namun pagi itu berlalu begitu saja. Setelah sarapan sekadarnya dan sedikit obrolan canggung, mereka pulang ke apartemen. Nathan menyetir dengan ekspresi datar seperti biasa. Tapi Yara masih merasakan sedikit bekas kehangatan di antara jeda-jeda keheningan mereka.Begitu sampai di apartemen, Nathan langsung melepas jasnya dan menyingsingkan lengan kemejanya."Aku ada rapat setelah ini," katanya sambil berjalan cepat menuju kamar.Yara hanya mengedikkan bahu. Dia berjalan ke arah dapur, mengambil air minum dan makan buah apel.Setengah jam kemudian. Nathan keluar dari kamarnya. Pria itu terlihat rapi dengan setelannya dan rambut di tata rapi."Jangan keluar rumah
Yara membuka matanya perlahan. Pandangannya buram, samar-samar. Rasa pening di kepalanya seperti ombak pasang yang menghantam pelan namun berkali-kali. Sekelilingnya gelap, hanya cahaya redup dari sela jendela yang sedikit memberi bentuk pada benda-benda di kamar."Aduh…" gumamnya sambil menutup mata kembali, satu tangan menekan pelipis.Kepalanya berat, perutnya mual, dan tubuhnya serasa tak punya tenaga. Ini semua gara-gara anggur bodoh itu, batinnya.Tak lama, suara pintu berderit terdengar, dan aroma jahe hangat menyusup ke dalam indra penciumannya. Ia membuka mata sedikit, melihat sosok tinggi dengan hoodie abu-abu masuk ke dalam kamar."Nathan?" suaranya serak, nyaris seperti bisikan.Nathan berjalan pelan menuju ranjang, membawakan secangkir teh beruap. "Minum ini. Teh jahe. Biar gak terlalu pusing," katanya, lalu duduk di tepi ranjang.Yara memicingkan mata, mengerang pelan. "Kenapa lampunya gak dinyalain, sih? Gelap banget."Nathan menyandarkan punggungnya ke ranjang, menatap
Matahari siang mulai menyengat lembut di halaman villa, tapi hawa hangatnya tak mampu mencairkan kegugupan yang menggantung di dada Yara sejak kejadian tadi pagi.Bahkan saat Keno dengan semangat seperti anak kecil berteriak, "Ayo kita main truth or dare! Gak jadi berenang. Siang-siang begini lebih seru main game!"Nathan, yang sedang bersandar santai di sofa dekat jendela kaca, hanya mendengus malas. Kayak anak TK aja main ginian siang-siang…""Ayolah, Nat! Jangan kaku!" Keno langsung menyeret tangan Nathan, sementara Linda tak mau kalah, menarik tangan Yara yang baru keluar dari dapur membawa sebotol air dingin."A-aku? Aku nggak mau ikut…," Yara berusaha menolak, namun kalah tenaga. Tubuhnya kecil, tak ada apa-apanya dibanding semangat penuh api Linda yang hampir seperti anak kecil minta permen."Jangan banyak protes, sayang. Ini seru!" Linda terkekeh, menggiring Yara ke arah meja bundar di ruang tengah. Di sana sudah ada sebotol wine di tengah, siap diputar.Sepertinya Keno dan Li