Share

Bab 2

Author: Lee Sizunii
last update Huling Na-update: 2025-03-07 21:03:35

Yara merasa seolah seluruh dunia berhenti berputar saat semua mata di pesta itu beralih ke arahnya. Dia bisa merasakan panas di wajahnya, seakan pipinya terbakar.

"Apa yang baru saja aku lakukan? Kenapa aku harus menunjuk pria asing itu?!" pikirnya dengan frustasi.

Wajahnya memerah, tangannya gemetar. Keringat dingin membasahi punggungnya. Yara ingin mengubur dirinya di tempat yang sangat jauh.

Tapi, detik-detik yang terasa seperti seabad itu terhenti saat pria yang dia tunjuk tadi akhirnya bergerak. Pria itu menatapnya dengan ekspresi datar, tetapi matanya tampak seperti sedang memikirkan sesuatu dengan sangat serius.

Tatapan tajam itu menusuk, membuat seluruh tubuh Yara diserang rasa cemas. "Oh tidak, dia pasti marah. Aku bisa mati sekarang juga," pikirnya dalam hati.

Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi. Tanpa memberi petunjuk lebih lanjut, pria itu tersenyum samar, seolah tersadar dari lamunannya, dan seketika dia melangkah mendekati Yara.

Dengan gerakan yang sangat terkontrol dan elegan, dia meraih pinggang Yara, menarik tubuhnya lebih dekat ke arahnya. Yara terkejut dan langsung kaku, merasakan jantungnya berdebar hebat.

"Apa yang dia lakukan?!" batinnya panik.

Namun, pria itu tetap tenang, seolah tidak ada yang aneh sama sekali. Semua mata masih tertuju pada mereka, dan Yara bisa merasakan semuanya mengawasi setiap gerak-geriknya.

Dengan suara dalam dan lembut, pria itu berkata, "Sayang, aku pusing. Bisakah kita pulang saja?"

Ucapan itu begitu santai, seolah dia sudah lama mengenal Yara. Seolah mereka benar-benar pasangan yang terbiasa menunjukkan kemesraan di depan umum.

Yara hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Oh Tuhan, dia ..., dia ikut bermain sandiwara!" pikirnya, kaget sekaligus bingung. Tapi rasa malu masih menghantui, dan dia tahu dia harus ikut bermain.

Dengan suara sedikit tergetar, Yara menjawab, "Iya, sayang. Aku juga nggak enak di sini."

Pria itu tersenyum lebih lebar—senyum yang penuh ketenangan, seolah dia mengendalikan segalanya. Ia merangkul Yara lebih erat, memeluknya di pinggang dengan cara yang tampak alami.

Sambil tetap berpegangan erat, pria itu mulai berjalan menuju pintu keluar, membawa Yara bersamanya. Di belakang mereka, suasana pesta berubah hening. Para tamu yang tadinya ingin menertawakan Yara kini terdiam, tercengang.

"Apa aku tidak salah dengar? Sayang? Jadi Tuan Muda Liu punya pacar?" bisik salah satu orang.

"Gila! Dia benar-benar gila!"

Begitu mereka keluar dari hotel, Yara langsung melepaskan diri. Tubuhnya masih terasa kaku, dan seluruh perasaannya campur aduk.

Dia terkesan karena pria itu telah membantunya keluar dari masalah besar, tetapi juga merasa risih dengan kedekatan yang dipaksakan tadi.

"Terima kasih banyak," kata Yara dengan canggung, menundukkan kepala, berharap bisa mengakhiri interaksi ini dengan cepat.

Namun, tak disangka, pria itu justru menatapnya dengan ekspresi tajam. "Terima kasih?" ulangnya. Suaranya terdengar tegas, hampir seperti perintah.

Yara mendongak, terkejut dengan perubahan sikap pria tersebut. Wajahnya yang penuh wibawa kini tampak lebih serius, bahkan mengintimidasi.

"Kamu pikir aku hanya membantu tanpa alasan? Apa balasan kamu untuk itu?" tanyanya.

Yara terhuyung mendengar pertanyaan itu. Balasan? Maksudnya apa? pikirnya bingung.

"Aku nggak paham maksudmu," katanya, suaranya sedikit gemetar.

Pria itu melangkah lebih dekat, menatap Yara seolah ingin menembus pikirannya. "Ulahmu tadi mencoreng nama baikku. Apakah kamu tahu siapa aku?"

Yara terdiam. Nama baik? Apa yang dia bicarakan?

"Aku ..., aku nggak tahu siapa kamu," jawabnya jujur.

Pria itu mendengus pelan, seolah sudah menduga jawabannya. Sebuah senyum samar muncul di bibirnya, tetapi tak ada kehangatan di sana.

"Ada konsekuensi yang harus kamu tanggung."

Yara menelan ludah. "Konsekuensi? Aku cuma bercanda tadi! Kenapa jadi serius begini? Lagian dia juga ikut berakting!" batin Yara.

Melihat kebingungan Yara, pria itu berjalan lebih dekat, hingga jarak mereka hanya sejengkal. "Aku akan jelaskan," katanya dengan dingin. "Apa yang kamu lakukan tadi, meskipun tidak sengaja, telah mempengaruhi reputasiku. Dan itu bukan hal yang bisa dibiarkan begitu saja."

Yara merasa lidahnya kelu. "Apa yang harus aku lakukan untuk memperbaikinya?" tanyanya hati-hati.

Pria itu menjawab dengan santai, tetapi kata-katanya menghantam Yara seperti petir di siang bolong.

"Kamu harus benar-benar menjadi pacarku."

Mata Yara melebar. "Apa?"

"Ya. Seperti yang kamu katakan tadi di pesta."

"Tapi itu cuma lelucon!" seru Yara, hampir putus asa.

Pria itu mengangkat alis. "Aku tidak bercanda."

Yara mundur selangkah, terhuyung oleh kata-kata itu. "Tapi ...."

"Tiga bulan, hanya tiga bulan, dan kamu akan mendapatkan satu miliar."

Dunia Yara seakan berhenti berputar. "Satu miliar? Apa dia serius?" batin Yara kembali berteriak. Dia sangat butuh uang. Satu miliar sangat amat banyak baginya.

Pria itu tetap tampak tenang, seolah ini hal biasa baginya. "Tiga bulan, dan kamu bisa pergi dengan uang itu."

"Tapi-"

"Kamu pikir kamu bisa menghindarinya?" potong pria itu. "Mau kamu tolak atau tidak, wartawan akan tetap mengejarmu mulai besok."

Yara terdiam. Kepalanya berputar.

Ini gila. Sungguh gila.

Tapi ..., bisakah dia benar-benar menolaknya?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Kaugnay na kabanata

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 3

    Pagi itu, Yara terbangun dengan kepala yang terasa berat. Semalam, pikirannya terus dipenuhi oleh ucapan pria itu, membuatnya nyaris tidak bisa tidur."Aku ingatkan lagi, mau kamu terima atau tolak tawaran ini, semuanya tidak akan ada bedanya untukmu. Mulai besok, kamu akan tetap dikejar-kejar wartawan."Dia mengerutkan kening di atas kasurnya yang terasa semakin keras setiap hari."Apa sih maksudnya? Wartawan? Pria itu pasti cuma menakut-nakutiku. Sepenting apa aku sampai media peduli soal ini?"Namun, satu hal yang lebih mendesak langsung kembali memenuhi benaknya.Uang.Satu miliar."Gila, satu miliar! Itu banyak banget, Yara. Dengan uang sebanyak itu, aku bisa melunasi hutang dan membiayai pengobatan Ibu!"Dilema melanda. Tawaran itu terlalu bagus untuk ditolak, tapi juga terlalu mencurigakan untuk diterima begitu saja. Setelah perdebatan panjang dalam hati, akhirnya Yara mengambil keputusan.Dia akan menemui pria itu.---Restoran mewah yang telah ditentukan terasa begitu asing b

    Huling Na-update : 2025-03-08
  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 4

    Setelah meninggalkan restoran mewah, Yara berjalan dengan langkah ringan, wajahnya berseri-seri. Pikirannya dipenuhi bayangan uang 1 miliar yang akan segera masuk ke tangannya.Udara London yang dingin menyambutnya begitu ia keluar dari pintu restoran. Jalanan yang padat tak menghalangi semangatnya. Ini dia, kesempatan yang kutunggu-tunggu. Setiap langkah menuju rumahnya terasa lebih ringan, seolah-olah semua masalahnya perlahan terangkat dari pundaknya.Namun, langkahnya terhenti ketika seorang pria tiba-tiba muncul di hadapannya. Ia mengenakan jas rapi, terlihat profesional, tetapi wajahnya tampak familiar. Yara merasa pernah melihatnya, meskipun ia tidak bisa mengingat di mana."Maaf, bolehkah saya berbicara dengan Anda sebentar?" Pria itu memegang alat perekam di tangannya.Yara menyipitkan mata, sedikit waspada. Tapi senyumnya tetap terukir. "Ada apa? Kenapa menatap saya seperti itu?"Pria itu tersenyum tipis. "Anda Yara Jang, bukan?"Jantung Yara berdebar. Siapa dia? "Ya, saya Y

    Huling Na-update : 2025-03-08
  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 5

    Tiga hari berlalu, dan Yara sudah tiba di tempat yang dijanjikan Nathan. Jalanan sepi, hanya ada beberapa lampu jalan yang menyala samar di ujung sana.Berdiri di pinggir trotoar, Yara mengenakan pakaian serba tertutup. Kacamata hitam besar, hoodie yang menutupi kepalanya, serta masker tebal yang hampir menyembunyikan seluruh wajahnya.Jantungnya berdegup kencang. Takut kalau tiba-tiba ada wartawan yang mengenalinya. Setelah kejadian beberapa hari lalu, dia jadi lebih waspada. Nathan benar—wartawan bisa muncul kapan saja, entah dari mana.Sebuah Tesla hitam meluncur perlahan dan berhenti tepat di depannya. Kaca mobil terbuka, memperlihatkan Nathan yang duduk di balik kemudi. Ekspresinya tetap dingin, seperti biasa."Masuk," katanya singkat, hanya menggerakkan tangannya sedikit, menunjuk ke pintu.Yara mengangguk, tapi tetap terpaku di tempatnya. Baru kali ini dia berdiri sedekat ini dengan mobil semewah itu, dan entah kenapa, dia merasa canggung.Dia mencoba membuka pintu—tapi gagal.

    Huling Na-update : 2025-03-08
  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 6

    Setelah kepergian Nathan, Yara masih berdiri di tengah kamar, menatap sekeliling dengan mata berbinar. Sebesar apa pun kekesalannya tadi, dia tidak bisa memungkiri bahwa kamar ini adalah surga kecil. Tempat tidur besar dengan seprai lembut, lemari berisi pakaian mewah, dan fasilitas lengkap yang bahkan belum pernah ia impikan sebelumnya."Gila ..., ini beneran kamar aku?" Yara bergumam sendiri, lalu tersenyum puas.Tanpa ragu, dia menjatuhkan diri ke kasur empuk itu. Begitu tubuhnya menyentuh permukaan kasur, ia langsung terbenam dalam kenyamanan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya."Astaga, ini kasur atau awan?" ucapnya sambil menggelinding ke kanan dan kiri, menikmati setiap detiknya.Setelah puas dengan kasur empuk itu, Yara pun segera berdiri. Dia membuka lemari dan mendapati berbagai koleksi pakaian mahal tergantung rapi.Tangannya menyentuh satu per satu bahan baju itu dengan kagum. "Wow ..., kalau aku jual satu aja, bisa buat hidup sebulan." Dia tertawa kecil, merasa berunt

    Huling Na-update : 2025-03-28
  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 7

    Yara terbangun dengan wajah segar. Untuk pertama kalinya sejak lama, dia merasakan tidur yang benar-benar nyenyak. Kasur empuk, ruangan yang nyaman, dan tidak ada suara berisik seperti di apartemen lamanya.Dia menggeliat malas, lalu berguling beberapa kali di atas kasur. "Astaga, ini surga," gumamnya sambil tersenyum puas.Setelah beberapa menit menikmati kenyamanan itu, Yara akhirnya turun dari ranjang, berjalan menuju jendela, dan membukanya. Udara pagi yang masih sejuk menyapa wajahnya, sementara langit mulai terang meskipun matahari belum sepenuhnya muncul. Dia menarik napas dalam-dalam, menikmati ketenangan pagi ini."Tiga bulan kayak gini, aku bisa betah sih," katanya sambil meregangkan tubuhnya.Dengan rambut masih acak-acakan dan baju tidur yang sedikit berantakan, Yara berjalan keluar kamar dengan langkah malas. Tangannya menggaruk kepala sambil menuju dapur. Yang dia butuhkan saat ini hanyalah segelas air dingin.Saat dia sedang membuka kulkas dan meneguk air dari botol, ti

    Huling Na-update : 2025-03-29
  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 8

    Koridor kantor Liu Corporation membentang panjang dan mewah, dengan lantai marmer putih mengkilap dan lampu gantung kristal yang memantul sempurna di langit-langit tinggi.Nathan melangkah keluar dari ruang rapat dengan langkah cepat dan tegas, jas hitamnya jatuh pas di tubuh atletisnya. Di sampingnya, seorang pria bertubuh tegap dengan wajah serius mengikuti sambil menatap tablet di tangannya—Adrian Alexander, sekretaris pribadinya yang juga dikenal dengan kepiawaiannya menangani jadwal dan emosi Nathan yang tak pernah stabil."Proyek ekspansi di Tokyo akan dimulai bulan depan. Tim dari Jepang meminta revisi pada bagian kontrak logistik," jelas Adrian tanpa berhenti berjalan, mata fokus menatap data yang tersaji.Nathan mengangguk tipis. Di belakang mereka, beberapa staf penting bergegas mencatat instruksi dan arahan dari pria muda itu. Tak ada yang berani bicara jika tidak ditanya, karena mereka tahu betul betapa dingin dan tegasnya CEO muda tersebut.Namun langkah Nathan terhenti s

    Huling Na-update : 2025-04-16
  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 9

    Apartemen Nathan malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu-lampu utama sudah dipadamkan, hanya tersisa sorot hangat dari lampu dinding di sudut-sudut ruangan yang memberi nuansa redup dan tenang.Di dalamnya, Yara tengah memeluk guling di atas tempat tidur besar nan empuk, rambut panjangnya tergerai berantakan, wajahnya damai untuk pertama kalinya setelah sekian lama.Sejak usia belia, hidup Yara tak pernah benar-benar mengenal kata "libur". Hidupnya penuh dengan perjuangan—mengurus tagihan yang tak ada habisnya, bekerja dari satu tempat ke tempat lain, dan bolak-balik ke rumah sakit demi ibunya yang tak kunjung sembuh.Tapi hari ini, semuanya berbeda. Hari ini adalah tentang dirinya. Makan makanan mahal dari kulkas Nathan, nonton film kesukaannya di layar besar, bahkan mencoba semua aroma sabun mandi yang ada di kamar mandinya seperti spa pribadi.Bagi Yara, ini bukan sekadar hari libur. Ini adalah penghargaan atas luka-luka yang selama ini tak pernah dia punya waktu untuk ob

    Huling Na-update : 2025-04-16
  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 10

    Yara terbangun dengan pelipis yang masih terasa hangat, meski matahari belum menyengat penuh dari jendela apartemen. Ia duduk dengan tubuh terbungkus selimut, memegangi kepalanya seperti orang linglung."Astaga ...," desisnya, menekuk lutut dan menyembunyikan wajah di sana.Bayangan semalam menghantamnya seperti tsunami. Ciuman itu. Sentuhan bibir Nathan. Nafas anggurnya. Dan paling memalukan, dia memejamkan mata, menyerah seperti tokoh utama di drama romantis yang selama ini ia cela dalam hati. Bodoh sekali."Kenapa aku tutup mata, sih? Kenapa?! Argh!" Yara merutuki diri sendiri sambil mencakar-cakar bantal.Dia mencoba berdiri dan menggoyang-goyangkan kepala. "Mungkin dia mabuk ..., iya, pasti! Kalau mabuk pasti gak inget, kan?”Ia menepuk pipinya pelan, mencoba menenangkan detak jantung yang belum juga normal.Beberapa menit kemudianDengan hati-hati seperti maling yang menyelinap, Yara membuka pintu kamar dan menengok ke ruang tengah. Sepi."Gak ada orang, kan? Dia ..., mungkin su

    Huling Na-update : 2025-04-17

Pinakabagong kabanata

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 28

    Setelah sarapan pagi yang... canggung, dengan sisa rasa ciuman Nathan yang masih membekas di ujung bibir dan pipi Yara yang tak kunjung mendingin, suasana pagi berubah cepat.Nathan menerima telepon dari seseorang—suara laki-laki di seberang terdengar tegang, meski Yara tidak tahu persis siapa. Tak sampai lima menit, Nathan sudah berdiri sambil mengenakan jas dan memasukkan ponsel ke sakunya."Aku harus pergi," katanya cepat.Yara yang masih setengah sadar karena detak jantung yang belum stabil sejak ciuman tadi hanya mengangguk pelan. "O-oh... iya."Nathan sempat meliriknya dari ujung pintu. "Dan Yara… jangan keluar apartemen. Apa pun yang terjadi, tetap di sini."Gadis itu menatap bingung. "Eh? Kenapa?""Tolong, turuti saja. Aku akan jelaskan nanti."Belum sempat Yara membalas, pintu sudah tertutup. Nathan hilang dalam suara langkah cepat dan bunyi lift.Dan... rumah pun sepi.Sangat sepi.Yara berjalan ke wastafel, mencuci bekas makannya. Lalu dia kembali ke ruang tengah apartemen

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 27

    Pagi menyapa dengan cahaya hangat yang menelusup malu-malu dari balik tirai tipis kamar Yara. Udara masih sedikit dingin, menyisakan embun di jendela. Nathan mengerjapkan mata perlahan, membiasakan diri dari rasa kantuk yang masih melekat.Namun, ada sesuatu yang aneh. Tangannya terasa berat. Ia menoleh, dan pandangannya langsung bertemu dengan rambut berantakan Yara yang terurai bebas di atas lengannya—ya, di atas lengannya.Gadis itu, dengan wajah tenang dan napas teratur, tidur berbantalkan lengan Nathan… dan memeluk perutnya erat seperti guling.Nathan menahan napas. Rasanya... absurd. Aneh. Tapi juga... menyenangkan?Dia refleks ingin menarik tangannya agar tidak kesemutan, tapi gerakannya terhenti. Pandangannya tertahan pada wajah Yara. Gadis itu tidur nyenyak sekali, alisnya sedikit berkerut seolah sedang mimpi yang intens, dan bibir mungilnya sedikit terbuka, membuat Nathan menelan ludah tanpa sadar.“Cantik,” bisiknya pelan, hampir seperti gumaman tanpa suara.Dia tak tahu se

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 26

    Malam di London terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis menggantung di udara, memantulkan cahaya temaram dari lampu taman yang tertata rapi di sekitar kolam pribadi kediaman keluarga Liu, tepatnya rumah Clara dan suaminya.Clara duduk di kursi santai dengan sandaran empuk berbalut beludru. Baju tidurnya, satin lembut berwarna peach, membungkus tubuh semampainya dengan anggun. Angin malam yang menggoda tak menyurutkan niatnya menikmati seteguk anggur merah yang kini berputar perlahan dalam gelas kristal di tangannya.Langkah hak sepatu terdengar menghampiri, ragu namun tetap mantap. Sang sekretaris, seorang wanita muda berambut hitam dikuncir rapi, datang membawa tablet di tangan dan setumpuk berkas yang sudah disusun rapi. Wajahnya tenang seperti biasa, namun sorot matanya penuh kehati-hatian. Ia tahu betul siapa yang sedang ia hadapi malam ini."Nyonya Clara," ucapnya, membungkuk sedikit dengan sopan. “Laporan yang Anda minta, sudah saya susun sesuai urutan waktu.”Clara hanya

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 25

    Suasana ruang makan malam itu terasa... berbeda.Yara duduk di salah satu kursi, tubuhnya lemas tapi tetap berusaha tegak. Di depannya, Nathan tampak sibuk menyajikan makanan di atas meja. Tidak ada ekspresi kesal di wajah pria itu, malah justru terlihat serius, seperti sedang melakukan pekerjaan penting."Aku bantu deh sedikit," ujar Yara pelan, mencoba berdiri."Tetap duduk.""Tapi—""Duduk, Yara."Nada Nathan datar, tapi tegas. Tidak bisa ditawar. Membuat Yara langsung duduk kembali seperti anak sekolah yang tertangkap mau menyontek.Dia hanya bisa mengerucutkan bibir. Ish, galak amat.Tapi kali ini, dia memilih tidak banyak protes. Perutnya memang belum bersahabat. Rasa kram itu muncul lagi dan membuat tubuhnya terasa berat.Biasanya, dia akan berisik. Mengomentari menu makanan, meributkan kenapa Nathan tidak bisa masak yang lebih berwarna, atau sekadar menyelipkan candaan receh soal bentuk nasi. Tapi hari ini… dia hanya diam.Nathan sempat melirik sekilas. Diamnya Yara malam ini

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 24

    Langit sore mulai menggelap saat Nathan memarkir mobilnya di basement apartemen. Langkahnya cepat dan terburu-buru. Jas yang tadi rapi sudah disampirkan di lengan, dasi tergantung lepas di lehernya, dan kerutan di dahinya semakin jelas.Adrian tadi mengabari Nathan tentang insiden di supermarket. Nathan yang semula sedang rapat langsung memutuskan untuk pulang. Bukan karena dia peduli—setidaknya begitu yang selalu dia katakan pada dirinya sendiri—tapi karena Yara adalah tanggung jawabnya.Tangannya menekan tombol lift dengan gelisah, dan detik-detik terasa lambat sekali. Begitu sampai di lantai unit apartemen, Nathan langsung melangkah cepat ke kamar Yara. Pintu itu terkunci.Tok. Tok."Yara."Sunyi.Dia mengetuk lagi, lebih keras."Yara, buka pintunya."Tidak ada jawaban.Nathan mendecak. Ponselnya keluar dari saku, cepat-cepat ia kirim pesan.[Nathan: Buka pintunya, atau aku dobrak.]Masih tidak ada balasan. Jantungnya berdetak tak karuan, campuran antara cemas dan kesal. Dia berbal

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 23

    Yara mendengus pelan sambil menyimpan ponselnya ke dalam saku hoodie yang kebesaran. Chat dari Nathan tadi masih terngiang di kepalanya."Sudah kubilang jangan keluar sendirian. Jangan terlalu mencolok.""Memangnya aku apa? Anak kecil?" gumamnya, kesal.Langkahnya semakin cepat menuju rak bagian toiletries di supermarket. Sesekali ia menunduk, menarik bagian bawah hoodie-nya untuk menutupi bagian belakang celana legging hitamnya. Ia benar-benar merasa tidak nyaman. Rasanya seperti… bocor."Aduh, semoga enggak ada noda deh..." ocehnya sambil terus menunduk.Setelah menemukan pembalut yang ia cari, ia ambil beberapa bungkus sekaligus, memilih yang panjang dan extra night. "Kalau begini aja aku panik, gimana nanti kalau udah jadi ibu dua anak, ya?" gumamnya sendiri, mencoba bercanda untuk menenangkan dirinya.Namun saat melangkah menuju kasir, ia mulai menyadari sesuatu.Beberapa orang mulai memperhatikannya. Tatapan mereka... bukan tatapan biasa. Ada yang menatap dengan jijik. Ada pula

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 22

    Setelah malam yang... cukup mendebarkan—dan memalukan—Yara terbangun keesokan paginya dengan kepala yang masih berat, dan dada yang sesak oleh banyak hal. Bukan cuma karena efek anggur sialan itu, tapi juga karena Nathan. Kenapa laki-laki itu tidur di sebelahnya? Kenapa dia memeluk? Kenapa harus membuat jantungnya kerja lembur?Namun pagi itu berlalu begitu saja. Setelah sarapan sekadarnya dan sedikit obrolan canggung, mereka pulang ke apartemen. Nathan menyetir dengan ekspresi datar seperti biasa. Tapi Yara masih merasakan sedikit bekas kehangatan di antara jeda-jeda keheningan mereka.Begitu sampai di apartemen, Nathan langsung melepas jasnya dan menyingsingkan lengan kemejanya."Aku ada rapat setelah ini," katanya sambil berjalan cepat menuju kamar.Yara hanya mengedikkan bahu. Dia berjalan ke arah dapur, mengambil air minum dan makan buah apel.Setengah jam kemudian. Nathan keluar dari kamarnya. Pria itu terlihat rapi dengan setelannya dan rambut di tata rapi."Jangan keluar rumah

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 21

    Yara membuka matanya perlahan. Pandangannya buram, samar-samar. Rasa pening di kepalanya seperti ombak pasang yang menghantam pelan namun berkali-kali. Sekelilingnya gelap, hanya cahaya redup dari sela jendela yang sedikit memberi bentuk pada benda-benda di kamar."Aduh…" gumamnya sambil menutup mata kembali, satu tangan menekan pelipis.Kepalanya berat, perutnya mual, dan tubuhnya serasa tak punya tenaga. Ini semua gara-gara anggur bodoh itu, batinnya.Tak lama, suara pintu berderit terdengar, dan aroma jahe hangat menyusup ke dalam indra penciumannya. Ia membuka mata sedikit, melihat sosok tinggi dengan hoodie abu-abu masuk ke dalam kamar."Nathan?" suaranya serak, nyaris seperti bisikan.Nathan berjalan pelan menuju ranjang, membawakan secangkir teh beruap. "Minum ini. Teh jahe. Biar gak terlalu pusing," katanya, lalu duduk di tepi ranjang.Yara memicingkan mata, mengerang pelan. "Kenapa lampunya gak dinyalain, sih? Gelap banget."Nathan menyandarkan punggungnya ke ranjang, menatap

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 20

    Matahari siang mulai menyengat lembut di halaman villa, tapi hawa hangatnya tak mampu mencairkan kegugupan yang menggantung di dada Yara sejak kejadian tadi pagi.Bahkan saat Keno dengan semangat seperti anak kecil berteriak, "Ayo kita main truth or dare! Gak jadi berenang. Siang-siang begini lebih seru main game!"Nathan, yang sedang bersandar santai di sofa dekat jendela kaca, hanya mendengus malas. Kayak anak TK aja main ginian siang-siang…""Ayolah, Nat! Jangan kaku!" Keno langsung menyeret tangan Nathan, sementara Linda tak mau kalah, menarik tangan Yara yang baru keluar dari dapur membawa sebotol air dingin."A-aku? Aku nggak mau ikut…," Yara berusaha menolak, namun kalah tenaga. Tubuhnya kecil, tak ada apa-apanya dibanding semangat penuh api Linda yang hampir seperti anak kecil minta permen."Jangan banyak protes, sayang. Ini seru!" Linda terkekeh, menggiring Yara ke arah meja bundar di ruang tengah. Di sana sudah ada sebotol wine di tengah, siap diputar.Sepertinya Keno dan Li

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status