Koridor kantor Liu Corporation membentang panjang dan mewah, dengan lantai marmer putih mengkilap dan lampu gantung kristal yang memantul sempurna di langit-langit tinggi.
Nathan melangkah keluar dari ruang rapat dengan langkah cepat dan tegas, jas hitamnya jatuh pas di tubuh atletisnya. Di sampingnya, seorang pria bertubuh tegap dengan wajah serius mengikuti sambil menatap tablet di tangannya—Adrian Alexander, sekretaris pribadinya yang juga dikenal dengan kepiawaiannya menangani jadwal dan emosi Nathan yang tak pernah stabil.
"Proyek ekspansi di Tokyo akan dimulai bulan depan. Tim dari Jepang meminta revisi pada bagian kontrak logistik," jelas Adrian tanpa berhenti berjalan, mata fokus menatap data yang tersaji.
Nathan mengangguk tipis. Di belakang mereka, beberapa staf penting bergegas mencatat instruksi dan arahan dari pria muda itu. Tak ada yang berani bicara jika tidak ditanya, karena mereka tahu betul betapa dingin dan tegasnya CEO muda tersebut.
Namun langkah Nathan terhenti sepersekian detik saat ponselnya bergetar di saku. Ia mengeluarkannya, menekan layar, dan mendapati sebuah pesan dari... Yara.
[Yara: "Nathan, sapunya di mana?"]
Nathan mengerjap, mendengus pelan. Jemarinya langsung mengetik balasan tanpa ekspresi.
[Nathan: "Tidak ada sapu. Pakai vacuum cleaner."]
Baru saja ponsel kembali masuk ke saku, getaran lain menyusul.
[Yara: "Gimana cara makenya?"] Nathan menarik napas dalam, menahan desah frustrasi yang nyaris meluncur. Sambil tetap berjalan, ia membuka platform video dan mengirimkan tautan singkat tentang cara menggunakan vacuum cleaner untuk pemula.
Adrian, yang melihat semua itu dari sudut matanya, sedikit terkejut. Bukan karena Nathan membalas pesan—tapi karena dia benar-benar meladeni. Biasanya, satu pesan tak penting saja cukup untuk membuat ponsel Nathan dibanting ke meja. Tapi kali ini?
"Semua baik-baik saja, Tuan Nathan?" tanya Adrian hati-hati.
"Perempuan itu," jawab Nathan singkat.
Tapi dari cara ia mengusap wajahnya setelah itu, Adrian bisa menebak: tidak ada yang baik-baik saja. Andrian tahu siapa yang Nathan maksud, Yara Jang, pacar yang baru saja teken kontrak dengan Nathan dan hanya mereka yang tahu akan hal ini.
Mereka pun melanjutkan ke lokasi selanjutnya tanpa satu patah kata lagi.
___
Sore hari.
Ruangan kerja Nathan begitu hening hingga bunyi detik jam terdengar jelas. Di balik jendela tinggi, matahari mulai turun, melukis langit London dengan semburat jingga.
Nathan duduk di balik meja besar dari kayu mahoni, kedua sikunya bersandar dan jemarinya memijat pelipisnya pelan. Ia terlihat letih, tapi bukan hanya karena presentasi dan jadwal padat hari ini.
Ponselnya—yang kini tergeletak di meja—telah menyala dan mati beberapa kali karena pesan dari Yara.
["Remote AC di mana?"]
["Kenapa air galon bunyinya kayak mau meledak?"]
["Kulkasnya dingin banget, bisa bekuin tangan, tau!"]
["Ah, aku tidak tahu cara membuka gorden jendela ruang tengah!"]
Nathan melirik layar itu sekali lagi, lalu menggeleng pelan. Apa dia benar-benar bodoh? pikirnya.
Tepat saat itu, pintu diketuk dan terbuka perlahan. Adrian masuk sambil membawa tablet berisi agenda malam hari.
"Tuan, malam ini ada undangan makan malam bersama keluarga besar Anda. Diselenggarakan oleh Tuan Besar Liu sendiri."
Nathan hanya menoleh sekilas.
Adrian menambahkan dengan nada hati-hati, "Beliau berpesan ..., untuk membawa Nyonya Clara."
Suasana langsung menegang. Mata Nathan yang sejak tadi lelah, kini tampak tajam seketika. Rahangnya mengeras.
"Clara?" ulangnya pelan, nyaris seperti bisikan yang dingin.
Adrian mengangguk pelan. "Itu pesan langsung dari beliau, Tuan."
Nathan bersandar ke kursinya dengan ekspresi sulit ditebak. Ia menatap langit-langit sebentar, lalu memejamkan mata.
Makan malam keluarga... bersama para sepupu, paman, bibi, dan tentu saja... Ayahnya, James Liu—si singa tua yang tak segan mencabik siapapun yang membuat malu keluarga. Pasti sudah menunggu untuk menerkam Nathan.
Dia tahu, acara malam ini pasti untuk menyudutkannya. Apalagi, beberapa hari terakhir, nama Nathan Liu menjadi trending topik karena 'Memamerkan pacar barunya kepada publik'. Jelas saja hal ini akan di bahas oleh James, dan Nathan masih enggan menghadapi mereka meskipun tahu hal ini akan terjadi.
Dan sekarang, ia harus mengawasi Yara. Si gadis ceroboh yang bahkan tak bisa memakai vacuum cleaner. Ah, apa dia salah pilih pacar?
Nathan membuka mata, menatap Adrian lurus. "Aku akan pergi jam tujuh malam, kau tidak perlu ikut."
Adrian tampak ingin protes, dia tahu Nathan tidak akan baik-baik saja setelah makan malam bersama keluarganya, dia sangat mengenal Nathan. Namun, Adrian tahu batasannya.
"Baik, Tuan," ucapnya dengan hormat sebelum keluar dari ruangan.
Begitu pintu tertutup, Nathan menatap ponselnya lagi. Dalam hati, dia mendesah.
"Apa dia baik-baik saja?" gumamnya, karena Yara sudah berhenti menghubunginya sejak setengah jam yang lalu. "Apa dia tidak akan menghancurkan rumahku?"
Tiga bulan, katanya...
Tapi mengapa rasanya baru sehari saja sudah seperti tiga tahun?Dan entah kenapa... satu bagian dalam dirinya yang paling dingin itu, mulai merasa... penasaran akan kelanjutan dari semua ini.
Apartemen Nathan malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu-lampu utama sudah dipadamkan, hanya tersisa sorot hangat dari lampu dinding di sudut-sudut ruangan yang memberi nuansa redup dan tenang.Di dalamnya, Yara tengah memeluk guling di atas tempat tidur besar nan empuk, rambut panjangnya tergerai berantakan, wajahnya damai untuk pertama kalinya setelah sekian lama.Sejak usia belia, hidup Yara tak pernah benar-benar mengenal kata "libur". Hidupnya penuh dengan perjuangan—mengurus tagihan yang tak ada habisnya, bekerja dari satu tempat ke tempat lain, dan bolak-balik ke rumah sakit demi ibunya yang tak kunjung sembuh.Tapi hari ini, semuanya berbeda. Hari ini adalah tentang dirinya. Makan makanan mahal dari kulkas Nathan, nonton film kesukaannya di layar besar, bahkan mencoba semua aroma sabun mandi yang ada di kamar mandinya seperti spa pribadi.Bagi Yara, ini bukan sekadar hari libur. Ini adalah penghargaan atas luka-luka yang selama ini tak pernah dia punya waktu untuk ob
Yara terbangun dengan pelipis yang masih terasa hangat, meski matahari belum menyengat penuh dari jendela apartemen. Ia duduk dengan tubuh terbungkus selimut, memegangi kepalanya seperti orang linglung."Astaga ...," desisnya, menekuk lutut dan menyembunyikan wajah di sana.Bayangan semalam menghantamnya seperti tsunami. Ciuman itu. Sentuhan bibir Nathan. Nafas anggurnya. Dan paling memalukan, dia memejamkan mata, menyerah seperti tokoh utama di drama romantis yang selama ini ia cela dalam hati. Bodoh sekali."Kenapa aku tutup mata, sih? Kenapa?! Argh!" Yara merutuki diri sendiri sambil mencakar-cakar bantal.Dia mencoba berdiri dan menggoyang-goyangkan kepala. "Mungkin dia mabuk ..., iya, pasti! Kalau mabuk pasti gak inget, kan?”Ia menepuk pipinya pelan, mencoba menenangkan detak jantung yang belum juga normal.Beberapa menit kemudianDengan hati-hati seperti maling yang menyelinap, Yara membuka pintu kamar dan menengok ke ruang tengah. Sepi."Gak ada orang, kan? Dia ..., mungkin su
Yara menggerutu, menggulung tubuhnya di atas kasur seperti kepompong. "Astaga ..., apa sih yang aku lakuin semalam?" desisnya dengan wajah terkubur di bantal.Pikiran tentang bibir Nathan yang menyentuhnya kembali berputar-putar di kepala. Panas. Dingin. Merinding. Dia mengerang pelan sambil menendang selimut."Kenapa sih dia harus ganteng banget! Kenapa wajahnya bisa sekeren itu, sih?!" gumamnya, berguling ke kanan, lalu ke kiri lagi. "Kenapa juga dia harus inget, ih malu!"Wajah Nathan muncul di kepalanya seperti hologram 3D—dengan senyum tipis dan tatapan dalam yang bikin jantungnya lompat-lompat tak karuan."Aduh ..., kenapa air bisa jatuh dari lehernya semesra itu?! Kan cuma air!" Yara menjerit tanpa suara sambil menampar pipinya sendiri pelan. "Kamu cuma premenstruasi, Yara. Itu cuma hormon. HORMON!" katanya menyakinkan diri sendiri.Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Yara langsung menoleh, dan layar menyala menampilkan satu nama: Nathan.[Nathan: Cepat mandi dan temui aku di ruang t
Lampu kristal yang menggantung di langit-langit ballroom hotel berbintang itu memancarkan kilau elegan yang memantul di gaun-gaun mewah dan jas para tamu undangan. Musik klasik mengalun pelan, menambah kesan megah pesta malam itu. Namun, seketika suasana itu seolah berhenti sejenak ketika seorang wanita melangkah masuk ke dalam ruangan.Dia berdiri tegak, anggun dalam balutan gaun satin berwarna emerald gelap yang membalut tubuh rampingnya sempurna. Rambut panjangnya disanggul rapi dengan beberapa helai dibiarkan tergerai, mempertegas garis rahangnya yang tegas dan elegan. Clara Zhang—nama itu berbisik di antara bibir-bibir sosialita yang hadir."Dia cantik sekali ..., bener-bener perfect ya ....""Designer ternama satu ini memang seperti dewi dari langit.""Tapi sayang, suaminya sering selingkuh ....""Benar, padahal istrinya sangat sempurna, apa yang suaminya itu cari?""Memalukan! Kalian lihat berita terakhir kali? Suaminya menggandeng wanita lain di tempat umum.""Lihat tuh, dia t
Suara perutnya berbunyi keras, hampir seperti dentuman genderang perang. Yara menggerutu pelan, duduk bersedekap di kursi penumpang dengan wajah cemberut."Aku ini kelaparan, tahu nggak? Dari tadi siang cuma diajarin cara duduk, cara jalan, bahkan ..., cara pegang sendok! Aku bukan anak umur lima tahun, Nathan!"Nathan yang sedang menyetir hanya menoleh sekilas lalu kembali fokus ke jalan. Wajahnya seperti biasa, datar, tenang, nyaris tak terganggu oleh ocehan Yara yang seperti radio rusak."Kamu harus belajar, Yara. Siapa tahu dalam waktu dekat kamu akan ikut ke acara penting bersamaku."Yara mendengus. "Acara penting, acara penting! Kamu pikir aku Barbie apa yang bisa didandanin terus dilempar ke pesta elite? Aku ini orang biasa, tahu? Makan nasi kucing aja udah bahagia."Nathan tersenyum kecil, lalu berkata, "bukankah itu tugasmu setelah tanda tangan kontrak waktu itu?" Ucapan Nathan ada benarnya. "Dan orang biasa pun harus tahu cara menjaga diri. Jangan keluar sendirian dari apart
"Perutku udah nggak muat, sumpah .... Tapi masih pengen makan es krim," gerutu Yara sambil mengelus perutnya yang sedikit membuncit."Kalau kamu makan es krim sekarang, nanti malam bisa sakit perut," kata Nathan tenang, sambil membuka pintu mobil untuknya."Aku kuat, Tuan! Tubuh ini terlatih menahan dingin karena hidup udah cukup dingin tanpa kasih sayang," celetuk Yara dengan nada dramatis.Nathan hanya mengangkat alis, lalu menutup pintu. Dalam hati dia mengakui, hidup memang tidak pernah membosankan sejak Yara datang.Mereka berkendara menuju supermarket. Nathan menyetir sambil sesekali melirik ke arah Yara yang terlihat santai menyandarkan kepala di jendela, memandangi lampu-lampu kota. Gadis itu... entah kenapa selalu terlihat lugu dan liar di waktu yang bersamaan.Sampai di supermarket, Nathan menyerahkan keranjang dorong ke tangan Yara."Ambil semua yang kamu suka. Persediaan di apartemenku mulai menipis, dan aku nggak mau kamu kehabisan makanan."Yara berkedip. "Ini ..., seriu
"Dasar nyebelin ..., udah ganteng, kaya, tapi gak punya empati," gerutu Yara sambil menyeret dua kantong besar penuh belanjaan ke dapur.Tangannya penuh, pundaknya pegal, tapi pria bernama Nathan itu malah langsung masuk ke ruang kerja begitu sampai di apartemen.Tidak ada ucapan terima kasih. Tidak ada bantuan membawakan kantong belanja. Bahkan di supermarket tadi, sejak telepon itu masuk, dia jadi dingin seperti kulkas dua pintu."Jadi kayak robot kerjaannya. Eh, tapi cakep sih, sayang aja otaknya sibuk terus," ocehnya lagi sambil mulai mengeluarkan isi kantong.Yara mencuci buah dan sayuran, kemudian menatanya satu per satu ke dalam kulkas besar yang lebih mirip lemari baju sultan—luas, dingin, dan penuh ruang."Ayo wortel, kamu duduk manis ya di rak ketiga. Jangan iri sama brokoli, dia di atas bukan karena sombong, tapi karena bentuknya gede," gumam Yara sambil tertawa kecil.Ia memindahkan daging ke freezer, menaruh beberapa kotak susu dan yogurt ke tempatnya, dan menepuk tangan
Yara mengerjap pelan. Kelopak matanya terasa berat, tapi matanya perlahan membuka. Cahaya pagi menyusup lembut lewat celah gorden, membelai wajahnya. Tubuhnya masih malas bergerak… sampai…"HAH?!"Napasnya tercekat. Detak jantungnya seperti dipompa keras dari dalam dada."N-Nathan?"Tepat di sampingnya, Nathan tertidur pulas. Wajahnya tenang, rambutnya sedikit berantakan, dan kemeja putih yang dikenakannya terbuka beberapa kancing atas. Seolah... seolah dia tidur di sini memang sudah biasa. Tapi tidak! Ini tidak biasa! Ini sangat, sangat tidak biasa!Yara membuka mulutnya, ingin berteriak, ingin panik, tapi suaranya tersangkut di tenggorokan. Otaknya sibuk mencari logika—bagaimana bisa Nathan, si bos beku dengan aura intimidasi dingin ini, tidur di tempat tidurnya? Di sebelahnya?Tangannya yang gemetar menggapai selimut, menutup dada meski ia sadar ia masih memakai kaos oblong longgarnya—tanpa dalaman. Dia menoleh perlahan, mencoba memastikan bahwa dia tidak sedang mimpi.Lalu, Nathan
Setelah sarapan pagi yang... canggung, dengan sisa rasa ciuman Nathan yang masih membekas di ujung bibir dan pipi Yara yang tak kunjung mendingin, suasana pagi berubah cepat.Nathan menerima telepon dari seseorang—suara laki-laki di seberang terdengar tegang, meski Yara tidak tahu persis siapa. Tak sampai lima menit, Nathan sudah berdiri sambil mengenakan jas dan memasukkan ponsel ke sakunya."Aku harus pergi," katanya cepat.Yara yang masih setengah sadar karena detak jantung yang belum stabil sejak ciuman tadi hanya mengangguk pelan. "O-oh... iya."Nathan sempat meliriknya dari ujung pintu. "Dan Yara… jangan keluar apartemen. Apa pun yang terjadi, tetap di sini."Gadis itu menatap bingung. "Eh? Kenapa?""Tolong, turuti saja. Aku akan jelaskan nanti."Belum sempat Yara membalas, pintu sudah tertutup. Nathan hilang dalam suara langkah cepat dan bunyi lift.Dan... rumah pun sepi.Sangat sepi.Yara berjalan ke wastafel, mencuci bekas makannya. Lalu dia kembali ke ruang tengah apartemen
Pagi menyapa dengan cahaya hangat yang menelusup malu-malu dari balik tirai tipis kamar Yara. Udara masih sedikit dingin, menyisakan embun di jendela. Nathan mengerjapkan mata perlahan, membiasakan diri dari rasa kantuk yang masih melekat.Namun, ada sesuatu yang aneh. Tangannya terasa berat. Ia menoleh, dan pandangannya langsung bertemu dengan rambut berantakan Yara yang terurai bebas di atas lengannya—ya, di atas lengannya.Gadis itu, dengan wajah tenang dan napas teratur, tidur berbantalkan lengan Nathan… dan memeluk perutnya erat seperti guling.Nathan menahan napas. Rasanya... absurd. Aneh. Tapi juga... menyenangkan?Dia refleks ingin menarik tangannya agar tidak kesemutan, tapi gerakannya terhenti. Pandangannya tertahan pada wajah Yara. Gadis itu tidur nyenyak sekali, alisnya sedikit berkerut seolah sedang mimpi yang intens, dan bibir mungilnya sedikit terbuka, membuat Nathan menelan ludah tanpa sadar.“Cantik,” bisiknya pelan, hampir seperti gumaman tanpa suara.Dia tak tahu se
Malam di London terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis menggantung di udara, memantulkan cahaya temaram dari lampu taman yang tertata rapi di sekitar kolam pribadi kediaman keluarga Liu, tepatnya rumah Clara dan suaminya.Clara duduk di kursi santai dengan sandaran empuk berbalut beludru. Baju tidurnya, satin lembut berwarna peach, membungkus tubuh semampainya dengan anggun. Angin malam yang menggoda tak menyurutkan niatnya menikmati seteguk anggur merah yang kini berputar perlahan dalam gelas kristal di tangannya.Langkah hak sepatu terdengar menghampiri, ragu namun tetap mantap. Sang sekretaris, seorang wanita muda berambut hitam dikuncir rapi, datang membawa tablet di tangan dan setumpuk berkas yang sudah disusun rapi. Wajahnya tenang seperti biasa, namun sorot matanya penuh kehati-hatian. Ia tahu betul siapa yang sedang ia hadapi malam ini."Nyonya Clara," ucapnya, membungkuk sedikit dengan sopan. “Laporan yang Anda minta, sudah saya susun sesuai urutan waktu.”Clara hanya
Suasana ruang makan malam itu terasa... berbeda.Yara duduk di salah satu kursi, tubuhnya lemas tapi tetap berusaha tegak. Di depannya, Nathan tampak sibuk menyajikan makanan di atas meja. Tidak ada ekspresi kesal di wajah pria itu, malah justru terlihat serius, seperti sedang melakukan pekerjaan penting."Aku bantu deh sedikit," ujar Yara pelan, mencoba berdiri."Tetap duduk.""Tapi—""Duduk, Yara."Nada Nathan datar, tapi tegas. Tidak bisa ditawar. Membuat Yara langsung duduk kembali seperti anak sekolah yang tertangkap mau menyontek.Dia hanya bisa mengerucutkan bibir. Ish, galak amat.Tapi kali ini, dia memilih tidak banyak protes. Perutnya memang belum bersahabat. Rasa kram itu muncul lagi dan membuat tubuhnya terasa berat.Biasanya, dia akan berisik. Mengomentari menu makanan, meributkan kenapa Nathan tidak bisa masak yang lebih berwarna, atau sekadar menyelipkan candaan receh soal bentuk nasi. Tapi hari ini… dia hanya diam.Nathan sempat melirik sekilas. Diamnya Yara malam ini
Langit sore mulai menggelap saat Nathan memarkir mobilnya di basement apartemen. Langkahnya cepat dan terburu-buru. Jas yang tadi rapi sudah disampirkan di lengan, dasi tergantung lepas di lehernya, dan kerutan di dahinya semakin jelas.Adrian tadi mengabari Nathan tentang insiden di supermarket. Nathan yang semula sedang rapat langsung memutuskan untuk pulang. Bukan karena dia peduli—setidaknya begitu yang selalu dia katakan pada dirinya sendiri—tapi karena Yara adalah tanggung jawabnya.Tangannya menekan tombol lift dengan gelisah, dan detik-detik terasa lambat sekali. Begitu sampai di lantai unit apartemen, Nathan langsung melangkah cepat ke kamar Yara. Pintu itu terkunci.Tok. Tok."Yara."Sunyi.Dia mengetuk lagi, lebih keras."Yara, buka pintunya."Tidak ada jawaban.Nathan mendecak. Ponselnya keluar dari saku, cepat-cepat ia kirim pesan.[Nathan: Buka pintunya, atau aku dobrak.]Masih tidak ada balasan. Jantungnya berdetak tak karuan, campuran antara cemas dan kesal. Dia berbal
Yara mendengus pelan sambil menyimpan ponselnya ke dalam saku hoodie yang kebesaran. Chat dari Nathan tadi masih terngiang di kepalanya."Sudah kubilang jangan keluar sendirian. Jangan terlalu mencolok.""Memangnya aku apa? Anak kecil?" gumamnya, kesal.Langkahnya semakin cepat menuju rak bagian toiletries di supermarket. Sesekali ia menunduk, menarik bagian bawah hoodie-nya untuk menutupi bagian belakang celana legging hitamnya. Ia benar-benar merasa tidak nyaman. Rasanya seperti… bocor."Aduh, semoga enggak ada noda deh..." ocehnya sambil terus menunduk.Setelah menemukan pembalut yang ia cari, ia ambil beberapa bungkus sekaligus, memilih yang panjang dan extra night. "Kalau begini aja aku panik, gimana nanti kalau udah jadi ibu dua anak, ya?" gumamnya sendiri, mencoba bercanda untuk menenangkan dirinya.Namun saat melangkah menuju kasir, ia mulai menyadari sesuatu.Beberapa orang mulai memperhatikannya. Tatapan mereka... bukan tatapan biasa. Ada yang menatap dengan jijik. Ada pula
Setelah malam yang... cukup mendebarkan—dan memalukan—Yara terbangun keesokan paginya dengan kepala yang masih berat, dan dada yang sesak oleh banyak hal. Bukan cuma karena efek anggur sialan itu, tapi juga karena Nathan. Kenapa laki-laki itu tidur di sebelahnya? Kenapa dia memeluk? Kenapa harus membuat jantungnya kerja lembur?Namun pagi itu berlalu begitu saja. Setelah sarapan sekadarnya dan sedikit obrolan canggung, mereka pulang ke apartemen. Nathan menyetir dengan ekspresi datar seperti biasa. Tapi Yara masih merasakan sedikit bekas kehangatan di antara jeda-jeda keheningan mereka.Begitu sampai di apartemen, Nathan langsung melepas jasnya dan menyingsingkan lengan kemejanya."Aku ada rapat setelah ini," katanya sambil berjalan cepat menuju kamar.Yara hanya mengedikkan bahu. Dia berjalan ke arah dapur, mengambil air minum dan makan buah apel.Setengah jam kemudian. Nathan keluar dari kamarnya. Pria itu terlihat rapi dengan setelannya dan rambut di tata rapi."Jangan keluar rumah
Yara membuka matanya perlahan. Pandangannya buram, samar-samar. Rasa pening di kepalanya seperti ombak pasang yang menghantam pelan namun berkali-kali. Sekelilingnya gelap, hanya cahaya redup dari sela jendela yang sedikit memberi bentuk pada benda-benda di kamar."Aduh…" gumamnya sambil menutup mata kembali, satu tangan menekan pelipis.Kepalanya berat, perutnya mual, dan tubuhnya serasa tak punya tenaga. Ini semua gara-gara anggur bodoh itu, batinnya.Tak lama, suara pintu berderit terdengar, dan aroma jahe hangat menyusup ke dalam indra penciumannya. Ia membuka mata sedikit, melihat sosok tinggi dengan hoodie abu-abu masuk ke dalam kamar."Nathan?" suaranya serak, nyaris seperti bisikan.Nathan berjalan pelan menuju ranjang, membawakan secangkir teh beruap. "Minum ini. Teh jahe. Biar gak terlalu pusing," katanya, lalu duduk di tepi ranjang.Yara memicingkan mata, mengerang pelan. "Kenapa lampunya gak dinyalain, sih? Gelap banget."Nathan menyandarkan punggungnya ke ranjang, menatap
Matahari siang mulai menyengat lembut di halaman villa, tapi hawa hangatnya tak mampu mencairkan kegugupan yang menggantung di dada Yara sejak kejadian tadi pagi.Bahkan saat Keno dengan semangat seperti anak kecil berteriak, "Ayo kita main truth or dare! Gak jadi berenang. Siang-siang begini lebih seru main game!"Nathan, yang sedang bersandar santai di sofa dekat jendela kaca, hanya mendengus malas. Kayak anak TK aja main ginian siang-siang…""Ayolah, Nat! Jangan kaku!" Keno langsung menyeret tangan Nathan, sementara Linda tak mau kalah, menarik tangan Yara yang baru keluar dari dapur membawa sebotol air dingin."A-aku? Aku nggak mau ikut…," Yara berusaha menolak, namun kalah tenaga. Tubuhnya kecil, tak ada apa-apanya dibanding semangat penuh api Linda yang hampir seperti anak kecil minta permen."Jangan banyak protes, sayang. Ini seru!" Linda terkekeh, menggiring Yara ke arah meja bundar di ruang tengah. Di sana sudah ada sebotol wine di tengah, siap diputar.Sepertinya Keno dan Li