"Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?" tanya Gilbert."Tentu saja pulang ke Indonesia!" tegas La Rossa."Lalu bagaimana dengan Vangsed dan Black Wolf?""Aku tak menginginkan!"Gilbert tak melanjutkan pertanyaannya, ia menatap La Rossa penuh cinta."Kenapa?""Aku melakukan semua ini hanya agar aku bisa terbebas dan tak terikat aturan!""Bagaimana kalau aku yang mengikatmu?""Aku ...,"La Rossa tak melanjutkan ucapannya, mulutnya sudah di sumpal oleh mulut Gilbert.La Rossa memukul dada bidang Gilbert agar ia melepaskan ciumannya, La Rossa merasa risi jika harus melakukan ciuman di luar seperti ini.La Rossa belum terbiasa mengumbar kemesraan di depan orang banyak, lain halnya dengan Gilbert yang sedang di landa bucin.Gilbert tak merasa malu apalagi risi saat mencium La Rossa, jika mungkin ia akan selalu membawa La Rossa kemanapun ia pergi."Lepaskan! Tak enak di lihat orang,""Biarkan saja! Kenapa merasa tak enak? Kalau mereka mau, lakukan saja bersama pasangannya sendiri!"Gilbert
Mereka saling pandang dan bergidik ngeri saat mmbayangkan burungnya harus di potong oleh Nyonya besar yang kejam."Kenapa! Itu juga berlaku untuk kalian dan kamu sayang," ucap La Rossa sambil mengerlingkan matanya ke arah Gilbert.Sontak saja Gilbert langsung menutupi kemaluannya. Sementara La Rossa melihat ketakutan mereka tersenyum jahat."Ayo kita pulang! Aku ingin berendam air hangat, rasanya tubuhku lengket semua," ajak La Rossa, ia menarik lengan Susan.Susan menatap Gilbert dengan tatapan bersalah, sementara Gilbert harus menelan kekecewaannya. Ia menarik nafas dalam, lalu mengikuti La Rossa di belakangnya.Sesampainya di rumah, La Rossa langsung mengisi bath tub dan meneteskan aroma terapi pada bath tub itu. Ia juga menuang wine ke dalam ke gelasnya ia ingin menikmati kemenangan ini.Pintu kamar mandi di gedor dari luar, suaara Gilbert terdengar memanggil."Sayang, kamu di dalam? Butuh bantuan tidak?" ucap Gilbert."Tid
La Rossa memejamkan kelopak matanya, ia kini sedang berada di pesawat menuju ke Jakarta. Ia menaiki pesawat komersil. Meskipun Gilbert memaksanya untuk naik pesawat pribadi miliknya tetap saja La Rossa menolak keras."Tidak Gilbert, biarkan aku naik pesawat komersil!" La Rossa menolak tawaran Gilbert.Gilbert menghela nafas, ia tak bisa memaksa La Rossa karena ia tahu kalau La Rossa itu keras kepala.La Rossa teringat percakapannya dengan Gilbert saat Gilbert membantunya mengeluarkan peluru dari dalam tubuhnya."Kenapa kamu begitu kuat Ros?" tanya Gilbert merasa heran dengan apa yang terjadi pada kekasihnya."Aku juga tidak tahu!" ucap La Rossa. Saat itu ia tak kepikiran mengenai serum yang di berikan oleh Profesor Huang padanya.La Rossa meraba luka di bahunya, ia meringis menahan sakit. "Aku akan menanyakan pada Profesor tua Huang nanti," batin La Rossa.Pesawat yang di tumpangi La Rossa mendarat sempurna di Bandara Internasional Soekarno Hatta, ia berjalan menuruni tangga pesawat
La Rossa pergi ke kantor tempat perusahaan Gilbert berada. Ia mendatangi sebuah gedung bertingkat yang menjulang tinggi hampir menembus cakrawala.La Rossa yang datang dengan menggunakan taxi online pun turun dari mobil. Ia masuk ke dalam gedung itu dan dataang ke rreseptionis untuk menanyakan letak kntor Gilbert."Permisi Mbak, kantor Pak Gilbert ada di lantai berapa ya?" tanya La Rossa sopan. Meski itu bukan gayanya, tapi, karena ini di kantor La Rossa harus bersikap sopan.Reseptionis yang di panggil Mbak itu tak menjawab pertanyaan La Rossa, ia justru sibuk memoles wajahnya. Sekali lagi La Rossa bertanya dengan sopan."Permisi Mbak, kantor milik Pak Gilbert ada di lantai berapa ya?" pertanyaan yang sama La Rossa lontarkan pada reseptionis itu.Kali ini ia merespon, tapi, dengan tatapan sinis ia berkata, "Pak Gilbert tidak ada di kantornya!""Aku tahu, aku hanya perlu tahu, dimana ruangannya?" ucap La Rossa tak lagi sopan.Kembali reseptionis itu memandang sinis La Rossa, ia meneli
La Rossa menarik dokumen itu dan membacanya, ia mengerutkan keningnya hingga menghitam.La Rossa memfoto dokumen itu, dan kemudian menyimpannya kembali. Saat La Rossa sedang menandatangani dokumen-dokumen itu, ada yang mengetuk pintu dan ternyata itu adalah Mia."Maaf Bu, ada yang ingin bertemu. Apa Ibu bersedia menemuinya?" ucap Mia"Siapa?" tanya La Rossa pada Mia."Dia perwakilan dari perusahaan Minshi," jelas Mia."Aku akan menemuinya!" ucap La Rossa.La Rossa menyerahkan dokumen-dokumen itu. Dan Mia mengambilnya kemudian ia keluar.Tak berapa lama pintu kembali di ketuk, Mia mengantar dua orang laki-laki yang memiliki tubuh yang tinggi dengan mata sipit."Permisi Bu, mereka adalah perwakilan dari perusahaan Minshi," Mia memperkenalkan dua orang pria yang masuk bersamanya.La Rossa berdiri dari duduknya dan ia menyalami keduanya. Mereka berdua menelisik penampilan La Rossa yang hanya mengenakan kaos oblong, celana jeans dan sandal jepit.Yang di telisik acuh. Ia tak pernah peduli
Bugh! La Rossa mendapatkan tendangan di punggungnya hingga ia terjerembab dan tersungkur di lantai.La Rossa dengan bersalto ia kembali berdiri. Menghadap ke laki-laki jangkung itu. Sebuah senyum menyeringai ia tampilkan.La Rossa menerjang lawan dengan mengarahkan tinju ke wajahnya, laki-laki itu menangkis serangan La Rossa, ternyata itu hanya pengalihan saja. Serangan yang sesungguhnya adalah sebuah tendangan yang jatuh tepat di selangkangan.Bugh! Awwhh! Jeritnya sambil menegangi buah jakarnya.La Rossa terus menyerang tak memberi sedikit pun celah untuknya bernafas.Bugh! Laki-laki itu jatuh setelah mendapat beberapa kali tinju dan tendangan yang mendarat di dada dan pelipisnya.Ia pun tumbang dengan menghantam meja kaca dan pyar! meja itu pecah hingga menjadi kepingan halus."Keluar!" usir La Rossa dengan suara lantang.Mereka berdiri dan kalang kabut langsung lari hingga terbirit-birit.Para staff yang ada di depan ruangan La Rossa bergerombol mengintip perkelahian antara Bosnya
Pelayan itu membuka matanya lebar-lebar dan menguceknya hingga berkali-kali.Ia masih tak percaya pada penglihatannya, lalu ia kembali dengan membawa kartu hitam itu dan menyerahkan kembali pada La Rossa.orang itu penasaran dan bertanya, "pasti kosong isinya 'kan? Bisa jadi itu kartu palsu!" ucapnya sambil tersenyum mengejek."Siapa namamu?" tanya La Rossa, ia terlalu malas untuk melihat name tag yang tergantung di lehernya." Apa pedulimu?" jawabnya."Aku harap hidupmu baik-baik saja setelah ini!" tegas La Rossa. Ia kembali memasukkan kartu itu ke saku celananya."Cepat katakan berapa isi saldo di dalam kartu itu!" perintah orang itu tak sabar."Isinya ...," belum juga selesai, ucapannya sudah di potong."Isinya paling kosong! hahahah," tawanya mengejek."Tidak Pak! Isinya satu milyar," ucap wanita itu."Hanya satu milyar, tapi, sombongnya selangit dan bertingkah pula!" masih dengan nada mengejek."Satu milyar dolar," sambung wanita itu."Sa-satu milyar dollar?" ucap orang itu terbat
Bugh! Laki-laki baya itu langsung menjatuhkan dirinya di hadapan La Rossa. Ia berlutut dan merendah pada La Rossa.Semua karyawan dealer terbesar di Ibukota itu melotot tak percaya. Bagaimana mungkin seorang Mitsusaka berlutut di hadapan seorang gadis yang biasa saja, malah lebih terlihat seperti gadis miskin.Mereka saling memandang, dan orang yang mengaku sebagai keponakan Tuan Mitsusaka menghampiri pamannya."Paman, apa yang kamu lakukan?" tanya manager itu.Orang yang di panggil Paman itu tak menanggapi pertanyaan dari orang yang mengaku sebagai keponakannya."Paman, ayo bangun! Jangan mempermalukan dirimu sendiri di depan orang banyak, dia hanya gadis miskin yang tidak waras!" ucap orang itu.Mitsusaka menoleh menatap keponakannya. Ia heran apa keponakannya ini dungu atau memang bodoh?Jelas-jelas Mitsusaka berlutut dihadapan La Rossa yang artinya ia sedang memohon pada gadis itu demi untuk keberlangsungan hidupnya."Mario cepat berlutut! Ini berlaku untuk kalian juga!" Perintah
Gilbert semalaman menggempur La Rossa sampai ia kesulitan bangun. "Sstthh! Tubuhku seperti mau remuk," desis La Rossa. "Kenapa dia begitu kuat? Apa yang membuatnya seperti itu?" gumam La Rossa. La Rossa beringsut berusaha untuk turun dari ranjang tempatnya semalam di gempur habis-habisan oleh Gilbert. "Duh, kenapa kakiku berasa lunglai begini ya?" ujar La Rossa mengeluh dalam hati. La Rossa berjalan dengan tertatih menuju ke kamar mandi, sejak membuka matanya La Rossa tak menemukan Gilbert di mana pun. "Ke mana perginya Gilbert?" "Apa mungkin ia sedang berjalan di tepi pantai?" "Ish!" desis La Rossa kesal saat membayangkan suaminya malah tengah asyik menikmati suasana pagi dengan berjalan-jalan di tepi pantai sambil memandang matahari terbit. La Rossa keluar dari kamarnya, perutnya terasa lapar. Ia pun pergi menuju dapur dan ternyata Gilbert tengah asyik memasak. "Kamu di sini?" tanya La Rossa heran. "Berarti tuduhanku tadi salah," gumam La Rossa dalam hati. Gilbert menol
"Stop di sana!" perintah Gilbert."Perbesar!" Lanjut Gilbert.Gilbert tersenyum penuh kemenangan."Jo, bawa wanita sialan itu! Kita berangkat sekarang!" perintah Gilbert pada Jonathan.Jonathan tak mengerti dengan perintah yang Gilbert berikan."Wanita mana? Pergi ke mana?" tanya Jonathan.Gilbert yang sudah bersiap meninggalkan ruangan itu langsung menghentikan langkahnya "Jo, sejak kapan kamu berubah menjadi bodoh?" tanya Gilbert dengan nada kesal."Wanita yang telah berani menggodaku dan kita akan pergi menemui La Rossaku!" tegas Gilbert.Lalu, ia kembali berjalan menuju ke pintu dan ke luar dari ruangan itu. Yang kemudian di susul oleh Jonathan.Malam itu juga, Gilbert langsung pergi menyusul La Rossa dengan menggunaksn pesawat pribadi.Gilbert duduk dengan tenang, kali ini tak ada kecemasan dalam raut wajahnya.'Aku menemukanmu, Ros. Kamu tak akan bisa pergi jauh dariku,' batin Gilbert senang.Sementara itu, di belakangnya ada seorang wanita yang tengah memperhatikannya dengan s
Gilbert frustasi, ia benar-benar tak tahu lagi harus mencari La Rossa ke mana?Sudah sejak siang hingga malam hari Gilbert mencari La Rossa. Ia sudah mendatangi banyak tempat. Namun, tak ada satu pun tempat yang ia kunjungi menandakan adanya La Rossa di sana."Aaarrrrggghhh!" Gilbert berteriak kencang.Wajahnya sudah lecek dengan penampilan yang kusut. Otaknya tiba-tiba terasa buntu. Ia tidak lagi bisa berpikir dengan jernih.Gilbert menyugar rambutnya kasar. Ia memaki dirinya sendiri."Sial!" makinya.Gilbert melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya."Sudah larut malam," ucapnya pada diri sendiri.Gilbert memutuskan untuk pulang. Sesampainya di dalam kamarnya. Gilbert menatap ranjang besar tempatnya semalam menghabiskan waktu bersama La Rossa.Ia mengusap ranjang itu dengan telapak tangannya."Ros," panggilnya lirih.Akibat kelelahan lama kelamaan mata Gilbert menutup. Ia terlelap tidur.Pagi pun menjelang, pintu depan rumah Gilbert di gefor sangat keras.Took! Toook!P
La Rossa menenteng rantang yang berisi masakan hasil buatannya sendiri dengan arahan koki di rumahnya.La Rossa memeluk rantang di tangannya sembari tersenyum bahagia."Gilbert pasti suka," ucap La Rossa bergumam lirih. Ia terus mengulas senyum di bibirnya.La Rossa pergi ke kantornya Gilbert dengan diantar supir.Mobil memasuki area parkir dan kemudian La Rossa turun dari mobil. Ia masuk ke dalam gedung perusahaan milik Gilbert dan gegas pergi menuju lift.La Rossa berjalan dengan langkah lebar dan hati yang riang gembira, ia begitu tak sabar ingin menunjukan hasil masakannya pada Gilbert."Pasti dia sangat senang," gumam La Rossa.Para karyawan yang berpapasan dengan La Rossa menyapanya ramah. Dulu sekali, ia pernah menjadi pengganti Gilbert di kantor itu, sehingga banyak karyawan yang mengenalnya.La Rossa hanya mengangguk lirih menanggapi sapaan mereka.La Rossa berjalan di koridor, ia menenteng rantangnya.Begitu sampai di depan kantor Gilbert, La Rossa langsung masuk ke dalam ta
La Rossa dan Gilbert terlelap tidur setelah mereka bermandi peluh. Rasa lelah setelah bergumul membuat mereka tertidur.Malam pun berlalu dengan syahdunya.Keesokan harinya mereka langsung cek out dari hotel. Gilbert membawa La Rossa ke sebuah rumah yang sangat megah dan mewah.Mereka turun dari mobil yang membawa mereka ke sana.Setelah menapaki teras rumah La Rossa dan Gilbert langsung di sambut oleh para pelayan yang berbaris rapi dengan seragam khas maid."Selamat datang, Tuan, Nyonya," sapa mereka serempak.La Rossa berusaha bersikap ramah dengan mengulum senyum.Sementara Gilbert hanya mengangguk pelan.Gilbert membawa La Rossa ke atas melewati tangga satu demi satu.Gilbert membuka kamar itu dan mempersilahkan La Rossa untuk masuk terlebih dahulu."Kamarnya sangat luas," ucap La Rossa."Kenapa kita harus tinggal di rumah sebesar ini? Padahal kita hanya tinggal berdua saja," ujar La Rossa."Apa kamu tak menyukainya?" tanya Gilbert."Suka. Hanya saja aku lebih nyaman tinggal di r
Gilbert dan La Rossa meresmikan hubungan mereka di depan penghulu dengan wali hakim karena La Rossa tak memiliki saudara.Pernikahan mereka di gelar di KUA dan di saksikan oleh Jonny, Profesor Huang, Anisa, Lucas, Jonathan dan Susan.Mereka menjadi saksi keabadian cinta mereka.La Rossa menggelayut manja di lengan Gilbert yang kokoh."Terima kasih. Aku bahagia sekali," ucap La Rossa mengungkapkan rasa bahagianya."Tidak, sayang. Aku lah yang seharusnya berterima kasih padamu karena telah menerimaku apa adanya meski wajahku ini awalnya buruk rupa bagai monster, tapi kamu tetap menerimaku," ungkap Gilbert.La Rossa mencium punggung tangan Gilbert setelah ijab qobul diikrarkan dan Gilbert mencium kening La Rossa.Jonny menghampiri mereka berdua."Selamat ya, Ros," ucap Jonny, "Kini dia aku serahkan padamu. Jaga dia dengan baik," Lanjut Jonny sambil menepuk pundak Gilbert.Gilbert menepuk dadanya bangga, "Serahkan saja padaku. Aku akan menjaganya melebihi diriku sendiri," ucapnya."Hm," J
"Sudah jangan menangis, semoga kita bertemu lagi," ucap Profesir Huang ambigu."Apa maksud ucapanmu itu?" tanya La Rossa."Tidak ada," jawab Profesor Huang."Apa kamu lapar?" tanya Profesor Huang."Iya, aku lapar. Apa kamu punya makanan?" jawab La Rossa sekaligus bertanya."Sebentar, aku lihat dulu di dapur," jawab Profesor Huang.La Rossa mengangguk, "baik."Profesor Huang keluar ia pergi menuju dapur, di sana ia melihat Anisa dan dibantu oleh Lucas sedang memasak. Aroma wangi masakan tercium oleh hidung Profesor Huang, ia terus memgendus aroma itu, "hmmm ... wanginya. Bikin perutku semakin lapar saja.""Apa semuanya sudah siap di sajikan dan di santap?" tanya Profesor Huang sambil melangkah mendekati mereka berdua."Sudah, sisa ini saja yang belum matang. Tunggu sebentar lagi ya?" ucap Anisa sambil tersenyum.Lucas justru mendengkus, "huh, enak saja datang-datang langsung minta makan."Anisa memperingati Lucas, "hust! Jangan begitu, biar bagaimanapun dapur ini miliknya begitu pun de
Lucas menatap Gilbert kesal, ia selalu kalah cepat dengan Gilbert sahabatnya sekaligus rekan bisnisnya itu."Kenapa wajahmu di tekuk begitu? Jangan kesal begitu, dari pada kesal melihatku akan segera menikah, sebaiknya kamu mencari pacar dan segera lamar dia lalu nikahi. Umurmu sudah tak muda lagi, jangan sampai seperti mereka yang kadaluwarsa," ucap Gilbert sambil melirik ke arah Jhonny dan Profesor Huang.Profesor Huang acuh, sedangkan Jhonny merasa tersindir oleh ucapan Gilbert, ia pun melemparkan botol kaca yang ada di dekatnya.Dengan gesit Gilbert menangkap botol itu sambil tersenyum mengejek pada Jhonny karena ia telah berhasil menangkap botol itu.Jhonny mendengkus kesal, "jangan menghinaku. Kalau masih tetap kamu lakukan aku akan menarik kembali restuku padamu," ancam Jhonny."Memangnya bisa?" tanya Gilbert."Tentu saja bisa!" ucap Jhonny dengan nada kesal sekaligus geram."Kalian mau sampai kapan berdebat terus! Kalau masih panjang sebaiknya kalian lakukan di luar, aku mau i
Jhonny begitu terharu melihat La Rossa di lamar oleh laki-laki yang dicintainya.Jhonny menyeka air matanya yang hampir jatuh, ia memalingkan wajahnya demi untuk menyembunyikan keharuannya.Apa kata dunia ketika melihat seorang Jhonny menangis? Ia buru-buru menghapus genangan air yang menggantung di pelupuk matanya.Profesor Huang dan Lucas keluar dari ruang Laboratorium kecil milik Profesor Huang itu.Profesor Huang melihat saat Jhonny menyeka air matanya, ia pun bertanya, "ada apa ini?""Apa aku melewatkan sesuatu yang menarik? Sampai-sampai seorang Jhonny harus meneteskan air matanya," Profesor Huang bertanya dengan sedikit mengejek sahabatnya itu."Siapa yang menangis?" tanya La Rossa."Jhonny, lihat hidungnya sampai memerah," ledek Profesor Huang."Diamlah Huang! Jaga bicaramu," sentak Jhonny dengan nada sedikit marah."Kata-kata mana yang harus aku jaga?" Profesor Huang kembali mengejek Jhonny."Dasar tua bangka, tudak bisakah kamu menjaga mulutmu, ha?!" Jhonny semakin geram den