Selain pemimpin bisnis Jasa Kick, Yusuf adalah seorang pengusaha kaya raya. Ia memiliki pabrik tekstil yang produknya laku di pasaran. Tidak hanya dalam negeri, ia pun sering mengekspor produk-produknya itu hingga mendapat untung lembaran dolar.
“Bukannya hari ini ada perekrutan, kenapa ruang HRD nampak sepi?” tanya Yusuf ke sekretaris yang berjalan di sampingnya. Padahal biasanya kalau ada perekrutan, ruangan kecil di pojok gedung selalu ramai dipadati peserta bersetelan putih hitam mengantri sambil membawa map.
“Perekrutannya dimulai jam sembilan, Bos,” jawab Lidiya tegas. Ia berjalan cepat mengimbangi langkah kaki Yusuf, di lipatan tangannya tersampir kemeja warna biru muda.
Yusuf terus berjalan menatap ke depan dengan wajah yang sangar. Beberapa karyawan yang berpapasan dengannya menyapanya dengan hangat namun ia tidak membalas. Seperti biasanya, ekspresinya tetap dingin dan datar. Ia sama sekali tidak pernah tersenyum jika disapa.
“Tunggu di sini, aku mau ganti baju dulu,” pesan Yusuf meninggalkan Lidiya. Ia berbelok menuju toilet. Diraihnya kemeja biru muda yang tersampir di tangan Lidiya.
***
Dilain tempat, seorang wanita muda memakai setelan putih hitam berada di lantai basement pabrik. Dia adalah Farah, wanita berumur 21 tahun, anak kuliahan yang datang ke sana karena ingin mengikuti wawancara menjadi buruh part time. Wajahnya terlihat sangat cantik dengan riasan natural. Di sana ia nampak sedang gelisah menahan sesuatu. Kakinya menyilang rapat berjalan tak beraturan.
“Astaga kebiasaan ya kamu Far. Di mana ini kamar kecilnya, aku sudah tidak tahan lagi,” gusarnya. Bola matanya mengedar mengamati sekitar. “Pabrik sebesar ini, mobil berjejer-jejer kenapa tidak ada satu pun manusia di sini,” gerutunya.
Kakinya mulai memasuki lorong-lorong gedung. Hanya dengan bermodal feeling, ia terus saja berjalan dengan kaki menyilang sambil membawa map berwarna biru mencari-cari toilet.
Tepat saat ia melihat tulisan toilet terpampang di depan pintu, ia membuka pintu itu dengan kencang, menerobos masuk, dan membantingnya.
Terkejutlah ia, ternyata toilet yang ia masuki bukan toilet wanita.
“Ah sial. Ini toilet laki-laki.”
Di dalam toilet itu, berjejer empat urinoar dan empat kamar kecil. Untung saja, tidak ada siapa-siapa di sana. Bersicepat ia membalik badan hendak keluar. Namun saat ia ingin membuka pintu, dari depan terdengar suara laki-laki sedang mengobrol. Farah menjadi semakin panik kebingungan. Ia mondar-mandir di belakang pintu dengan kakinya yang masih menyilang menahan kencing. Tak ada pilihan lain, ia pun menoleh ke arah kamar kecil dan berlari masuk ke dalam.
Seorang laki-laki yang suaranya terdengar sedang mengobrol di depan membuka pintu toilet. Hentakan sepatu pantofel bersahutan terdengar jelas di telinga Farah.
Berada dalam kamar kecil yang lembab membuat Farah tidak bisa lagi menahan. Ia akhirnya memilih untuk mengeluarkan sesuatu yang ia tahan sedari tadi. Meskipun di luar ada laki-laki namun ia berusaha untuk bersikap tidak peduli. Lagi pula, laki-laki di luar juga tidak tahu jika seseorang yang berada di kamar kecil itu adalah seorang wanita, fikirnya.
“Semoga laki-laki di luar selesai dengan cepat dan tidak ada laki-laki lain yang masuk, jangan sampai aku tidak bisa keluar dari sini dan tidak bisa interview,” gumamnya dalam hati.
Dari luar ada yang mengetuk pintu. “Bos Yusuf, Apakah di dalam aman?”
Yusuf menyahutnya cepat dengan berteriak, “Aman. Jangan buat aku malu. Aku sudah bilang jangan di depan pintu toilet laki-laki!”
Penasaran dengan sosok laki-laki yang di luar, Farah membuka sedikit pintu dan mengintip. Laki-laki itu berada tepat di depan cermin, pantulan wajah, dan badannya dapat terlihat jelas dari mata Farah.
“Ganteng juga.” Kekaguman Farah membuat matanya berbinar-binar memandangi pantulan wajah laki-laki tampan itu.
Seketika matanya membola melihat laki-laki itu membuka kaos. Ia menelungkupkan kedua tangannya ke mulut dan semakin fokus melihat pemandangan indah itu. Dada yang bidang, bahu yang lebar, dan otot perut yang sixpack membuat kaki Farah terkulai lemas.
“Sungguh sempurna dan tampan sekali ciptaanmu Tuhan,” batinnya, matanya semakin mendayu-dayu tak sanggup. Dia sudah merekam raut wajah laki-laki tampan nan gagah itu dalam otaknya. “Kira-kira apa pekerjaan laki-laki itu? Kenapa banyak bekas luka tusuk di punggungnya? Apa jangan-jangan dia seorang pengawal?” batin Farah.
Merasa ada yang mengamatinya sedari tadi, Yusuf menoleh ke arah kamar kecil dan berjalan menghampiri pintu kamar kecil yang tertutup. Untung saja, Farah tidak sampai ketahuan. Ia lebih dulu menutup pintu saat laki-laki itu hendak menoleh.
“Hampir saja ketahuan.” Farah menghela napas lega.
“Siapa di dalam?” bentak Yusuf sambil menendang-nendang pintu dengan kakinya. Ia bersicepat mengambil pisau lipat dari dalam saku celananya dan melebarkannya. Dari dalam Farah bergidik ketakutan, kedua jari-jari tangannya saling meremas. Ia sedang berusaha memikirkan apa yang seharusnya ia lakukan.
Beberapa detik kemudian, terdengar jawaban dari dalam yang membuat Yusuf cukup syok. “Iya bentar. Ah Mas ini tidak sabaran.”
Yusuf nampak kebingungan. Pisau lipat yang di tangannya lanjut dimasukkan lagi ke dalam sakunya. “Siapa kamu? Kamu seorang wanita?” tanya Yusuf.
Farah menyahut cepat. “Iya, Mas. Saya salah masuk.”
“Keluar kamu!” bentak Yusuf. Sikapnya memang tak pernah ramah.
“Saya masih ganti baju loh Mas. Mas jangan coba berbuat yang tidak-tidak dengan saya,” tegas Farah. Ia terpaksa berbohong agar laki-laki yang di luar segera pergi. Tak hanya itu, tangannya bersicepat melepas kancing bajunya, membuka sedikit pintu, dan menunjukkan bajunya ke laki-laki yang terus saja menyuruhnya untuk keluar.
“Ini baju belum saya pakai loh Mas. Jangan coba-coba untuk berbuat yang tidak-tidak,” teriak Farah dengan suaranya yang sedikit bergetar. Sungguh wanita yang sangat manipulatif. Dalam waktu beberapa detik saja ia sudah terfikir untuk berbuat seperti itu. Segera Farah kembali menutup pintu.
Yusuf menggedor-gedor pintu dan kembali berteriak, “Dasar wanita gila. Makanya mata itu dipakai. Salah masuk kok di toilet laki-laki.”
“Namanya juga salah masuk. Terus buat apa Mas masih di sini? Masih mau berbuat yang tidak-tidak dengan saya?” Farah kembali memakai baju putihnya.
Yusuf berdeham sebentar. “Apa kamu bilang? Siapa juga yang mau berbuat aneh-aneh dengan wanita gila seperti kamu.” Ia kembali menggedor pintu. “Saya hanya mau memastikan kamu ini pegawai sini atau bukan?”
“Iya, saya pegawai di sini Mas,” jawab Farah. Ia berbohong lagi lalu ia mencoba mengancam Yusuf. “Jika Mas tidak pergi, saya akan berteriak. Lalu Mas akan dihajar masa karena dituduh berbuat yang tidak-tidak dengan saya.”
“Teriak saja aku tidak takut. Dasar wanita gila.” Yusuf kembali menggedor-gedor pintu. Ia bahkan hendak mendobrak. Akan tetapi Farah wanita banyak akal ini malah membuat drama dengan menjerit meminta tolong dan mengerang keras.
Sontak suara wanita gila itu membuat Yusuf berekspresi aneh kebingungan. Ia bahkan malah mengingat suara erangan wanita yang pernah ia tiduri. Tak ingin berlama-lama di sana, Yusuf pun berlalu pergi dan membanting pintu dengan sangat keras. Raut wajahnya nampak tidak enak dilihat.
“Dasar wanita gila!”
Buru-buru Farah keluar sebelum ada laki-laki lain yang masuk. Namun, ketika melihat cermin ia malah berhenti menelisik penampilannya sendiri, make up naturalnya masih menempel di wajahnya.Diputarnya keran wastafel, tapi seketika itu ia terkejut. Keran wastafel dimatikan, tangannya gesit mengambil jam tangan yang tergeletak di samping wastafel.“Oh … ini bukannya jam tangan mahal?” Farah memejamkan matanya rekat lalu membuka matanya dengan lebar. Jam tangan itu masih terlihat mewah, warnanya hampir sama dengan warna keran yakni berwarna perak mengkilat.“Oh Tuhan … terima kasih Tuhan, ternyata rezekiku yang serat selama ini ada di toilet laki-laki. Besok-besok kasih lagi Tuhan.” Farah sujud syukur di depan wastafel. Kali ini hatinya sangat gembira tiada tara, tubuhnya berputar-putar dan menari-nari di depan wastafel.“Dengan benda mewah ini semua tagihanku akan terbayar lunas. Aku tidak akan
“Satpam yang di depan sudah dipecat Bos. Sudah saya pastikan juga jika eksekusi di jembatan kemarin malam bersih tanpa meninggalkan jejak. Kasus yang masuk di kepolisian menyatakan jika wanita itu mati karena bunuh diri,” terang Lidiya. Ia berdiri tepat di belakang Yusuf. Yusuf yang tengah berdiri memegang botol wine koleksinya hanya menyunggingkan bibir. Kentara sekali kalau laki-laki berusia 30 tahun ini merasa bosan melihat Lidiya. Setiap harinya ia harus memandang tubuh seksi sekretarisnya ini. Lagi-lagi Lidiya memakai rok dan blus dengan belahan rendah. Seakan-akan sepasang pakaian itu adalah seragamnya ketika bertemu Yusuf. “Oh iya Bos, saya juga ingin mengabarkan jika ada perubahan jadwal dadakan. Client meminta kita untuk membunuh targetnya malam ini. Dia meminta agar si target dibunuh dengan cara di lempar di air terjun, Bos.” Sayangnya, kabar dari sekretarisnya ini membuat emosi Yusuf mendadak naik lagi, ia mendengus kesal. Dari raut
“Pak,” panggil Farah sambil menggerak-gerakkan telapak tangannya di depan wajah Yusuf. Baru setelah pundaknya ditepuk oleh Farah, ia mulai tersadar dan bangkit dari duduknya. Ia meletakkan kacamata dan ipad-nya di meja dan mempersilahkan Farah untuk duduk terlebih dahulu. Dari tingkahnya kentara sekali, jika ia benar-benar tertarik dengan Farah. “Nama kamu siapa?” Tangan kiri Yusuf terus saja mengusap-usap leher bagian belakang. Nampaknya ia sedang salah tingkah. Terus saja ia senyum-senyum sendiri saat memandang Farah. Lesung pipinya sangat menggoda dan membuat siapa pun yang melihat tingkah Yusuf pasti gemas. Yusuf, seorang mafia dingin dan juga kejam yang susah sekali untuk didekati oleh wanita menjadi bersikap lunak dan berlemah lembut di hadapan wanita muda bernama Farah. Wanita yang ia maki-maki dengan sebutan wanita gila di toilet laki-laki. “Nama saya Farah, Pak.” Farah menjawab sambil menundukkan pandangannya. Ia tak sanggup ditatap sebegitu anehnya oleh Yusuf. “Jangan p
Di dalam ruangan paling pojok dekat pintu masuk pabrik, tiga orang ibu-ibu dan dua orang bapak-bapak sedang menghadapi satu kandidat pelamar pekerjaan yang ngotot tidak mau diwawancarai langsung oleh pimpinannya. Dia-Farah bersikukuh meminta agar mereka para satf HRD saja yang mewawancarai dirinya. Ditunjukkanlah nomor antrian angka 40 yang diletakkan di atas meja. Susah payah ia menyisihkan waktu untuk ikut wawancara, ia tidak ingin menyerah begitu saja"Ayolah Bu Indah. Saya sudah menunggu di kursi depan saat kandidat dari nomor 35 sampai nomor 39 diwawancarai. Seharusnya nomor selanjutnya saya kan Bu?" protes Farah sambil menunjuk-nunjuk kertas lusuh yang bertulis nomor antriannya.Farah tahu jika ibu yang di depannya ini bernama 'Bu Indah, Head of HR and GA Department' dari nametag yang terkalung di lehernya. Bu Indah hanya menatap dingin Farah, begitu juga bawahannya yang duduk di samping-sampingnya. Mereka semua se
“Saya sudah punya pacar Pak,” jawab Farah sambil tersenyum bangga mengatakannya. Lantas Yusuf membalas senyuman Farah dengan senyuman kecut. Ia kembali meminum air putih yang ada di sampingnya. “Sejak kapan?” “Hah? Kenapa Bapak menanyakan hal privasi saya? Itu tidak diperbolehkan Pak,” bantah Farah. Farah sendiri ialah mahasiswa jurusan psikologi, materi mengenai hal-hal yang biasa ditanyakan pewawancara saat merekrut karyawan dia sudah mempelajarinya di kampus. Oleh karenanya, ia mencoba menjelaskan mana yang boleh ditanyakan dan mana yang tak boleh ditanyakan, semua dijelaskan dengan detail. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan tegas mencoba untuk mendominasi. Sedari tadi Yusuf mencercanya dengan banyak pertanyaan kini Farah pun ingin membalik keadaan. Sama sekali ia tak punya lagi rasa segan ke Yusuf. “Iya, iya cukup. Tidak perlu kamu jelaskan lagi.” “Jadi wawancara ini sudah selesai kan ya Pak? Hasilnya akan diberitahu sekarang atau nanti akan ada pengumuman lanjutan Pak?
Yusuf lalu berdiri mengulurkan tangannya ke depan dan ingin menjabat tangan Farah. Semua ucapan Farah membuatnya tersadar jika dirinya memang bukan laki-laki yang seutuhnya sempurna. Berkat Farah ia tersadar jika latar belakang dirinya yang sebagai seorang mafia adalah bahaya bagi dirinya dan pasangannya kelak. Kini ia pun sadar jika ia harus menemukan seorang wanita yang benar-benar bisa menarik hatinya sekaligus mau menerima latar belakang kehidupannya. Yang mau mendukungnya serta menasehatinya misal nantinya ia benar-benar salah arah. Detik itu juga, Yusuf pun mulai memahami mengapa Big Bos menyuruhnya untuk mencari wanita sebagai seorang pendamping. “Terima kasih atas semua kata mutiaramu tadi. Kamu aku terima kerja di pabrikku. Senang berkenalan denganmu, FARAH,” ucap Yusuf sambil menjabat tangan Farah. Farah pun menundukkan kepalanya memberi hormat kepada pimpinan pabrik yang telah mewawancarainya itu. Walaupun baginya ini adalah wawancara terlama yang pernah ia hadiri. “Teri
"Lidiya, akan kutelan kau hidup-hidup!" Yusuf memekik mendongakkan kepalanya ke atas gedung pabrik. Sambil bersungut-sungut dengan emosi yang ingin segera dilampiaskan, ia pun berlari sekencang mungkin memasuki pabrik, menekan tombol lift dan melejit ke lantai paling atas. Hembusan angin sisa-sisa pendaratan jet pribadinya membuat rambut Yusuf terbang-terbang di terpa angin. Tangannya kesusahan merapikan rambut yang justru semakin berantakan. "Lidiyaaaa!" teriak Yusuf memekik. Sementara di sisi lain, Yusuf tak sadar jika Raline ikut mengekor di belakangnya. Ia mendadak berjingkat kaget ketika Raline tiba-tiba mencolek punggungnya. "Bapak harus ikut saya ke kantor polisi!" Raline menarik-narik lengan Yusuf. Tuduhan pelecehan yang ditujukan ke Yusuf belum berakhir. Si wanita muda itu tidak terima telah dilecehkan. "Kamu lagi? Lepaskan gak?" teriak Yusuf menoleh tegas ke belakang memberikan sorotan tajam seperti laser. "Di depan gedung pasti ada CCTV-nya. Kalau Bapak mangkir akan l
"Maafkan saya Tuan. Jangan bunuh saya. Tolong jangan bunuh saya. Jika saya mati, nanti siapa yang menjaga anak saya," rengek wanita paruh baya duduk bersimpuh di atas jembatan sedang memohon-mohon kepada laki-laki sangar dan bertubuh kekar di depannya. Yusuf, laki-laki sangar, bertubuh kekar, dan kejam itu dengan tega malah menendang kembali si wanita. Diliputi keputusasaan, wanita itu merangkak ke arah Yusuf. Ia menangis terseok-seok meminta pengampunan. "Bayangkan jika saya ini ibu Tuan, apakah Tuan masih mau membunuh saya? Kasihanilah saya Tuan." Yusuf tersenyum remeh. Sembari giginya menarik pelan sarung tangan yang sudah membungkus kedua telapak tangannya. "Ibu? Aku tidak punya seorang ibu," pekik Yusuf. Mulutnya hampir menerkam wanita paruh baya itu. Suaranya melengking sama menakutkannya dengan suara deras aliran air sungai di bawah jembatan. Tidak mempunyai ibu dan menjadi anak buangan bersama adiknya, hidup Yusuf sungguh kelam. Berbagai kehidupan gelap sudah ia jalani. M