"Luke, ke mana kau mau membawaku? Biarkan aku tetap membuka mata dan melihat keindahan di negara ini," protes Asha yang entah sudah ke berapa kali. Ia kecewa karena sejak turun dari mobil sampai sekarang ia masih tidak bisa menikmati pemandangan di sekitarnya.
"Kenapa kau begitu cerewet Asha? Tidak bisakah kau membiarkan aku melancarkan kejutan?" Luke menahan tangan istrinya yang hendak membuka penutup mata.
Di tengah mata tertutup itu, Asha mengerutkan kening. "Kejutan apa? Bukankah kau berjanji tidak akan merencanakan kejutan lagi?"
Luke mendesah mendengar sang istri yang belum juga berhenti bicara. Dengan embusan napa kecil, ia mencoba sabar. "Kali ini beda. Kau bersamaku, jadi otomatis keselamatanmu terjamin."
"Sudah jangan bicara lagi. Kau akan tau setelah kita sampai di sana," lanjut Luke yang kembali menuntun tubuh sang istri untuk kembali berjalan.
<
"Kita mau ke mana?" tanya Asha seraya menghentikan tarikan tangan sang suami. Luke menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah sang istri yang masih menampakkan rasa takut. "Ke atas. Jika hanya di sini, kita tidak bisa melihat hal yang lebih menakjubkan lagi," terang Luke dengan senyum lebar. Bukannya berbinar atau antusias atas keterangan suaminya, Asha malah semakin mengerutkan dahi sembari menggigit bibir saat matanya menjelajahi eskalator yang bergerak ke atas membawa beberapa orang yang menaikinya. "Ayo." Luke kembali menarik tangan Asha. Namun kembali berhenti ketika wanita itu menolak ajakannya. Saat Luke menoleh lagi, ia langsung disambut gelengan kepala oleh istrinya. Membuat lelaki itu mengembuskan napas samar. "Bagaimana jika kita menunggu orang-orang itu untuk turun dulu. Baru kita ke atas," usul Asha. Mengetahui jika sang istri masih ditakuti oleh perasaannya akan robohnya bang
Suara ketukan pintu mampu membuyarkan kepokusan yang terjadi selama satu jam lamanya. Dengan kedipan beberapa kali, Luke berdehem dan mengalihkan tatapannya pada dokumen yang sejak tadi ia kerjakan. "Masuk." Satu kalimat itu telah mampu menghentikan suara berisik, berganti dengan pintu yang mulai terbuka hingga tampaklah seorang wanita yang membawa secangkir kopi kesukaan sang pria. Setelah menutup pintu kembali, wanita itu masih bergeming di tempat dengan pandangan tertuju pada sang suami yang terlihat serius dalam membaca dokumen. Menghembuskan napas sejenak sebelum ia kembali mengayunkan kaki. Dengan langkah pelan, ia tidak ingin membuat suaminya hilang konsentrasi. Setelah memastikan bahwa cangkir kopi itu telah berada di atas meja dengan aman. Si wanita melirik sebentar ke arah si pria yang sepertinya tidak menyadari kedatangannya. Ia mengulas senyum tipis sebelum akhirnya ia berbalik hendak meninggalkan sang suami. Na
Paginya, Asha berjalan dari dapur dengan membawa nampan yang di atasnya terdapat secangkir teh madu kesukaan ibu mertua dan cemilan. Ia meletakkannya di atas meja, tepat di depan mertua. "Bu, ini tehmu," ujar Asha memberitahu. Selina Watson--ibu mertua Asha hanya berdehem dan kembali meletakkan majalah yang sedang ia baca. "Sudah ada tanda-tanda?" tanya Selina yang langsung membuat Asha bergeming. Asha tahu maksud dari pertanyaan itu. Ia pun menggeleng ragu yang membuat Selina menghembus napas gusar. "Asha, kenapa belum ada tanda-tanda? Kau sudah menikah dengan anakku selama tiga tahun, berapa lama lagi aku harus menunggu. Aku tidak akan mati dengan tenang sebelum memastikan bahwa penerus perusahaan keluarga dilahirkan!" tegas sang mertua, Asha hanya menunduk, mengatup bibirnya rapat-rapat. Ini juga bukan kehendaknya, wanita mana yang tidak menginginkan anak setelah ia menikah? "Bu, kenapa kau terus menekan istr
"Ilona, tadi kau bilang ingin ke rumah. Kenapa belum datang?" tanya Selina dari seberang telpon. Ilona menarik napas sedalam-dalamnya, berusaha menyurut emosi di dalam diri. Hatinya begitu panas di pagi hari ia harus melihat hal yang menjijikkan. "Hm, maaf Tante. Tiba-tiba, Ilona ada urusan mendadak di kantor. Mungkin lain kali, Ilona bakal nyempetin buat ke rumah," ucapnya dengan suara normal seperti tidak terjadi apapun. "Yah, padahal tadi Tante berharap banget kamu ke sini. Tante butuh teman ngobrol, nih." Alis Ilona tertaut mendengar keluhan dari seberang. "Butuh teman ngobrol? Bukankah Asha ada untuk nemenin Tante ngobrol?" "Jangan membahas adikmu itu, dia yang bikin mood Tante buruk. Menyebalkan sekali," gerutu Selina. Kedua sudut bibir Ilona seketika terangkat. Kalimat Selina barusan mampu menyiram hatinya yang tadi terasa panas. "Dulu Tante berharap banget yang nikah sama Luke adalah kamu buk
"Apa aku menganggu waktumu?" tanyanya seraya menutup pintu dan berjalan mendekati meja. Luke menoleh, ia langsung menutup berkas di hadapannya lalu menepinya di sudut meja. "Ada keperluan apa kau datang ke kantorku? Apa ada masalah?" tanya Luke sedikit tidak nyaman. Sebelum menjawab, Ilona langsung meletakkan tas kecil itu ke atas meja dan mengeluarkan sebuah kotak makan. "Apa aku harus menemuimu disaat aku ada masalah? Ini sudah waktunya makan siang, jadi aku membawa makanan kesukaanmu," ucap Ilona. "Kau tidak perlu repot-repot membawanya ke sini. Istriku telah menyiapkan semuanya." Luke membawa tas kecil lain ke hadapan Ilona. Membuat wanita itu menggertak geram. "Hm, karena Kakak ipar telah repot membawanya ke sini. Jadi, aku akan tetap menerima kebaikanmu ini. Aku akan menyuruh Dery memakannya nanti. Terima kasih." Luke sengaja memanggil Ilona dengan sebutan kakak ipar, sekedar ingin menegaskan b
Mobil putih mewah itu kini melesat di jalan yang tidak terlalu ramai kendaraan. Asha hanya menatap keluar jendela tanpa membuka suara. Pikirannya dipenuhi oleh peringatan ibu mertuanya tadi, tentang melahirkan seorang anak. Ia menghela napas gusar, mengingat keberuntungan belum memihak padanya. Sudah puluhan test pack yang ia gunakan, tetapi semuanya menampilkan sesuatu yang sama. Sama-sama mengecewakan. Ia terjingkat kaget saat sesuatu menjalar di punggung tangannya, Asha menoleh dan mendapati sang suami sedang tersenyum ke arahnya. Lelaki itu semakin menggenggam erat tangan istrinya. Meski tidak tahu apa yang sedang Asha pikirkan, ia hanya tidak ingin melihat Asha murung. "Apa ada masalah?" tanya Luke dengan lembut. Asha berdehem kemudian menggeleng, satu tangannya terangkat, memegang tangan Luke yang kini berada di atas punggung tangannya. "Tidak ada. Aku hanya penasaran kemana kau akan membawaku?" Asha mengalihkan pembi
"Ini untukku?" "Tentu saja. Aku akan membantumu memasangkannya." Luke berdiri dan berjalan ke arah Asha kemudian memasangkan kalung itu ke leher jenjang istrinya. Asha menunduk dan memegang manik mutiara itu. "Kau suka?" Lagi-lagi Asha hanya mengangguk senang. Akhirnya Luke kembali bisa membuat Asha melupakan kegusarannya. "Kau tau. Sengaja aku memesan manik dengan bentuk hati. Manik itu mewakilkan hatiku. Asha aku benar-benar telah memberikan seluruh hatiku padamu." Asha bergeming, tangannya terus mengusap lembut manik itu. Lalu ia memegang tangan suaminya. "Dan aku akan menjaga hatimu dengan baik. Terima kasih Luke atas semua cintamu." Luke mengeluarkan semua oksigennya lalu membalas pegangan itu. "Asha ingatlah, tidak peduli apapun yang akan terjadi. Kita akan tetap bersama. Melewatinya bersama, hm." Asha hanya mengangguk. Bersamaan dengan itu, petasan kembang api menyala b
"Kenapa istriku ini berdandan begitu cantik?" ucap Luke seraya memeluk Asha dari belakang. Ia menatap ke seluruh penampilan istrinya dari pantulan cermin. Asha hanya tersenyum simpul lalu kembali melanjutkan memakai anting-anting di telinga kanannya. Setelah itu beralih memegang tangan suaminya yang berada di pinggangnya. "Kau cemburu?" Luke hanya mengangguk lemah dengan terus memanyunkan bibirnya. "Aku tidak rela kecantikan istriku ini dipertonton begitu saja di depan orang banyak." Asha berbalik setelah menaikkan kedua sudut bibirnya dan membiarkan tangannya terkalung manja di leher jenjang sang suami. Wanita itu menatap intens bola mata di hadapannya. "Mereka hanya bisa melihat, sedang kau adalah pemilik semua yang ada padaku. Benarkan?" "Kau menghiburku?" "Tentu saja tidak. Ini memang kenyataannya, kan? Bahwa aku adalah milikmu. Luke Watson," bisik Asha di dekat telinga suaminya.
"Kita mau ke mana?" tanya Asha seraya menghentikan tarikan tangan sang suami. Luke menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah sang istri yang masih menampakkan rasa takut. "Ke atas. Jika hanya di sini, kita tidak bisa melihat hal yang lebih menakjubkan lagi," terang Luke dengan senyum lebar. Bukannya berbinar atau antusias atas keterangan suaminya, Asha malah semakin mengerutkan dahi sembari menggigit bibir saat matanya menjelajahi eskalator yang bergerak ke atas membawa beberapa orang yang menaikinya. "Ayo." Luke kembali menarik tangan Asha. Namun kembali berhenti ketika wanita itu menolak ajakannya. Saat Luke menoleh lagi, ia langsung disambut gelengan kepala oleh istrinya. Membuat lelaki itu mengembuskan napas samar. "Bagaimana jika kita menunggu orang-orang itu untuk turun dulu. Baru kita ke atas," usul Asha. Mengetahui jika sang istri masih ditakuti oleh perasaannya akan robohnya bang
"Luke, ke mana kau mau membawaku? Biarkan aku tetap membuka mata dan melihat keindahan di negara ini," protes Asha yang entah sudah ke berapa kali. Ia kecewa karena sejak turun dari mobil sampai sekarang ia masih tidak bisa menikmati pemandangan di sekitarnya."Kenapa kau begitu cerewet Asha? Tidak bisakah kau membiarkan aku melancarkan kejutan?" Luke menahan tangan istrinya yang hendak membuka penutup mata.Di tengah mata tertutup itu, Asha mengerutkan kening. "Kejutan apa? Bukankah kau berjanji tidak akan merencanakan kejutan lagi?"Luke mendesah mendengar sang istri yang belum juga berhenti bicara. Dengan embusan napa kecil, ia mencoba sabar. "Kali ini beda. Kau bersamaku, jadi otomatis keselamatanmu terjamin.""Sudah jangan bicara lagi. Kau akan tau setelah kita sampai di sana," lanjut Luke yang kembali menuntun tubuh sang istri untuk kembali berjalan.
Luke membuka pintu kamar, tepat pada saat itu ia melihat Asha tengah merapikan kasur yang sepertinya tidak menyadari kedatangan dirinya.Dengan senyum yang telah terpasang, Luke menutup pintu dengan pelan tanpa memberi suara. Dengan langkah pelan juga ia menghampiri sang istri dan langsung memeluknya dari belakang.Asha yang tengah pokus dengan pekerjaannya, otomatis terkejut ketika sebuah tangan melingkar di pinggangnya. Ia baru bisa bernapas lega setelah melihat siapa pelakunya."Luke, kenapa kau begitu suka mengejutkanku? Kau bahkan masuk tanpa bersuara," sungut Asha yang kembali melanjutkan kegiatannya tanpa mempedulikan sang suami yang semakin mengeratkan pelukan."Aku tidak mengejutkanmu. Kau sendiri yang terlalu pokus dengan pekerjaanmu sampai kau tidak menyadari kepulanganku," timpal Luke dengan nada tidak terima.Mendengar pernyataan dari sa
"Asal kau tau, butuh usaha keras untuk tidak memelukmu saat itu, Asha. Bagaimana bisa kau mengatakan jika aku tidak merindukanmu lagi?" ujar Luke setelah melepaskan tautan bibir mereka. "Lalu kenapa kau mengacuhkanku?" Pertanyaan itu membuat Luke merubah ekspresi, otaknya mengingat saat ia berada di pesawat ketika hendak pulang dari hanymoon. Entah ide dari mana ia ingin membuat kejutan yang benar-benar tidak terduga kepada sang istri. "Untuk memberimu kejutan di hari ulang tahunmu," sahut Luke setelah beberapa saat. "Ulang tahunku?" ulang Asha sebelum menggerakkan bola matanya ke sudut, setelah beberapa saat mengingat, ia tersenyum dan kembali menatap sang suami. "Aku bahkan tidak ingat jika hari ini adalah ulang tahunku. Sikapmu yang tiba-tiba berubah membuat pikiranku teralih, Luke." Asha memajukan bibir tanda protes.  
"Asha, kau tidak apa-apa?" Luke membantu istrinya duduk dengan hati-hati.Suara ringisan berhasil membuat kekhawatiran Luke semakin memuncak. "Ada apa? Apa yang sakit?"Bukannya menjawab, Asha malah menatap sang suami begitu dalam, bola matanya bergerak menjelajah setiap inci tubuh suaminya."Kau tidak terluka?" tanyanya seraya menyentuh wajah suaminya dengan penuh keharuan. Air matanya kembali merembes keluar, ia lega karena masih bisa melihat sang suami.Luke memegangi tangan yang terasa dingin di wajahnya lalu kemudian mengecup telapak tangan itu. Setelah itu ia langsung memeluk erat tubuh istrinya."Maafkan aku Asha. Maafkan aku, jika aku tidak merencanakan kejutan konyol itu. Mungkin sekarang kau tidak terluka seperti ini. Aku benar-benar payah karena telah membawamu ke lubang bahaya," ungkap Luke seraya membaui aroma sang istri. Ia semakin meme
"Kenapa kita berhenti di sini? Bukankah kita harus pergi ke hotel Admaja?" ujar Asha di tengah sesenggukan akibat terlalu khawatir akan kabar yang begitu mengejutkan.Asha celingak-celinguk menatap ke sekeliling dengan kerutan tebal di dahi. Karena mobil itu kini berhenti di pinggir jalan yang di kelilingi oleh hutan belantara.Tiba-tiba ia mengalihkan pandangan ke depan, tepat ke kaca spion tengah saat ia mendengar suara tawa menggema dari sang supir."Apakah kau sangat berharap jika suamimu celaka?"Mencium bau mencurigakan, barulah Asha mulai berpikir di otaknya. "Siapa sebenarnya kau? Di mana Luke?" teriak Asha yang tidak sabaran."Tenanglah Nyonya. Siapa yang bisa mencelakai suamimu itu, hah? Seharusnya sekarang kau pikirkan keselamatanmu sendiri." Setelah menyelesaikan kalimatnya, pria bertopi hitam itu turun dari mobil dan membuka pintu belaka
Di tengah hati yang tersakiti, Asha memilih untuk menyibukkan diri dan berusaha sekeras mungkin untuk menyembunyikan luka yang bersemayam di hatinya. Ia baru saja keluar dari ruangan pakaian dengan membawa beberapa kemeja Luke yang telah disetrika untuk digantungkan di lemari. Tidak sengaja ia melihat Luke berdiri di balkon utama. Sesaat Asha bergeming di tempat dengan pandangan lurus ke punggung kekar di sana. Rasa rindu semakin menggebu hebat dan segera ingin dilepaskan, ia mengembus napas panjang kemudian melangkahkan kakinya ke balkon setelah memastikan senyuman terbit di wajahnya. "Luke, kau-" Kalimat Asha terpotong saat ponsel Luke tiba-tiba berdering. Ia memperhatikan lelaki itu mengambil ponsel di dalam saku celananya. Sebelum ia menerima panggilan, Luke berbalik menghadap Asha. "Asha, kau ingin mengatakan sesuatu?" Asha hendak melanjutkan kalimatnya. Namun saat sang suami mengalihkan pandangan ke layar ponsel, ia m
Seminggu akhirnya telah berhasil mereka lewatkan. Selama itu bahkan mereka tidak tidur dalam satu ranjang. Hanya saja yang membuat Ilona merasa senang karena momen di restoran kala itu. Hari itu tidak akan pernah ia lupakan, tangan kekar yang berhasil ia genggam meski sang pemilik sama sekali tidak merespon lebih.Pesawat yang mereka tumpangi sebentar lagi akan mendarat di bandara ibu kota. Luke menarik napas lebih dalam, akhirnya ia telah kembali ke negara yang sangat ia rindukan. Terlebih karena ada wanita cantik di dalamnya. Wanita yang tidak sabar ia peluk.Jauh di tempat yang berbeda, Asha dengan senyum sumringah terus menyibukkan diri di dapur sejak pukul tiga sore. Dengan semangat, ia memasakkan beberapa hidangan kesukaan sang suami. Senyumnya semakin lebar saat membayangkan wajah senang Luke saat menikmati masakannya."Nyonya, sejak tadi Anda terus memasak. Biarkan saya melakukan sesuatu untuk m
"Luke, masalah tadi malam ... maafkan aku. Aku terlalu terbawa emosi. Bisakah kau melupakan kejadian semalam?" kata Ilona di tengah sarapan. Matanya tidak lepas dari wajah yang kini sama sekali tidak menampakkan ekspresi. Luke masih diam tidak menyahut. Setelah beberapa menit berpikir. Ia meletakkan sendok dan garpu ke atas piring. "Jangan membicarakan hal itu lagi. Aku sudah kenyang," sahutnya yang hendak pergi. "Eh, tunggu sebentar," cegah Ilona yang membuat Luke berhenti melangkah. Namun, pria itu sama sekali tidak berbalik. "Ada apa?" "Kita sudah empat hari di sini. Mama memintaku untuk mengirim beberapa foto kegiatan kita selama di sini. Jadi ... bisakah hari ini kita keluar?" tanya Ilona hati-hati. Ia menggigit bibir seraya menunggu jawaban. Lama menanti, akhirnya suara bass itu melancarkan pernapasan yang sempat terhenti. "Bersiaplah." *** "Luke, bagaimana. Apakah gaun ini cocok un