Maduku Tak Tahu Aku Kaya
Part 2**
Senangnya hatiku pagi ini bisa membuat Riska kelimpungan karena semua baju kotornya belum kucuci. Sedang aku tengah menikmati bubur ayam kesukaanku di meja makan dengan memainkan ponsel baru pemberian Mak Nining.
"Heh! Wanita miskin, mencuri dari mana ponsel sebagus itu? Hasil menjual baju-baju bagusku itu, ya?"
Riska dengan tak tahu malunya menarik mangkuk bubur ayamku dan memasukkan satu sendok penuh bubur ke dalam mulutnya.
"Huuhh haaahh ..."
Baru satu suap saja dia sudah kepedasan. Memang seleraku adalah makan sesuatu dengan tingkat kepedasan yang tinggi. Rasakan, itu akibatnya menjadi orang yang rakus dan tak tahu sopan santun.
Aku terkekeh kecil sembari melanjutkan makan dan berselancar di dunia maya. Wajar saja aku seperti orang yang mendapat oase di tengah gurun pasir. Selama ini hanya ponsel bututku yang selalu menemani hari-hariku, itupun setiap hari harus membersihkan file-file yang sudah tak berguna karena memori ponselku hampir penuh. Mas Hafiz tak memperdulikan semua itu, kupikir karena ia tengah menabung untuk masa depan kita. Nyatanya uang-uangnya telah habis untuk memanjakan Riska laknat itu.
"Gila ya kamu? Mau meracuniku?" teriak jalang itu dari dalam kamar mandi.
Mas Hafiz keluar kamar ketika mendengar keributan yang disebabkan oleh Riska. Aku yang telah selesai makan pun lantas berdiri dan menyimpan mangkuk ke dalam wastafel untuk kucuci.
"Ada apa ini?" teriak Mas Hafiz ketika sampai di ruang makan.
Riska yang sedang kepedasan langsung menyambar segelas air putih di atas meja setelah memuntahkan seluruh isi perutnya. Sepertinya ia bukan pecinta pedas sepertiku.
"Huma mau meracuniku, Mas."
"Meracuni apa? Jangan mengada-ada Riska." Mas Hafiz duduk dan membuka tudung saji di atas meja.
Kedua netranya membulat, lalu menatapku tajam. Ini sudah pukul delapan pagi dan aku belum menyediakan makanan sedikitpun.
"Bukan salahku, salah kamu sendiri sudah lancang menyerobot bubur ayamku. Rasakan sendiri kalau buburnya pedas," ucapku berlalu dan mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja makan.
Mas Hafiz menarik lenganku dan merebut ponsel yang tengah kugenggam.
"Kenapa kamu belum masak?"
"Capek, Mas. Gantian dia yang harus masak untukmu, bukankah dia juga istrimu?"
Riska mendelik kesal kearahku, "dia juga telah menjual baju-baju mahalku untuk membeli ponsel itu, Mas." Rengek Riska manja, membuatku jijik melihatnya.
"Apa benar?" Tatap Mas Hafiz tajam kearahku.
Aku mengangkat kedua bahuku.
"Siapa bilang? Lihat di keranjang cucian sana, semua bajumu masih tersimpan rapi di dalamnya. Enak saja aku menjual bajumu untuk beli ponsel, tak level!" ucapku mengejek.
Kulihat Mas Hafiz membolak-balikkan ponselku yang tengah ada di genggamannya. Ia mengernyitkan dahi, mungkin ia bingung aku dapat uang dari mana bisa membeli ponsel semahal itu. Karena selama ini ia selalu memberiku uang bulanan yang hanya cukup untuk makan kami berdua.
"Kamu tidak mencuci bajuku juga?"
Aku tertawa lantang dan duduk di depan Mas Hafiz, "tidak, kamu sekarang kan punya dua istri. Ajari dia jadi istri yang baik, aku capek, Mas. Semua bajuku tadi diambil oleh Mbok Inem untuk dimasukkan di laundry-an."
Seketika itu juga kedua orang tak tahu diri itu melongo mendengar perkataanku. Aku lantas berdiri dan merebut ponsel yang masih digenggam Mas Hafiz itu, lalu melenggang masuk ke dalam kamar dan menguncinya rapat-rapat.
***
"Mas, aku ijin pulang ke rumah Ibu, ya," ucapku suatu pagi setelah mendapat pesan dari Mak Nining pada Mas Hafiz yang tengah bermanja dengan Riska di teras depan.
"Untuk apa? Kamu mau mengadu kalau aku telah menduakanmu? Tenang saja, mereka pasti akan mendukung karena Bapakmu pun juga mempunyai dua istri." Tawa Mas Hafiz dan Riska sontak membuatku sangat marah, karena kini keluargaku juga mendapat hinaan dari mereka.
"Jangan pernah menyamakan Mak Nining, madu Ibuku dengan wanita jalang seperti dia sangatlah berbeda jauh. Mak Nining adalah orang yang baik, Bapak juga tidak seperti dirimu, yang mencari istri hanya karena haus akan selangk*ng*n!" hardikku kasar lantas berlalu meninggalkan mereka yang langsung terdiam mendengar jawabanku.
Dua jam sudah aku menempuh perjalanan untuk sampai di kampung halamanku, kampung di mana aku dilahirkan dan dibesarkan oleh Bapak, Ibu dan Mak Nining. Kedua mataku menyisir setiap inci tempat yang aku lalui, mengenang masa kecilku yang sangat indah ketika masih tinggal di sini. Setaun belakangan ini aku tidak bisa pulang kampung, karena kesibukanku mengurus perpindahan rumah baru dan begitu banyaknya pekerjaan yang harus aku urus setelah Mas Hafiz naik jabatan.
Jika dulu ia akan bersedia membantuku mengerjakan pekerjaan rumah, namun setelah ia naik jabatan tak sekalipun membantuku mengurus pekerjaan rumah. Hingga aku sering kelelahan karena mengurus rumah yang sangat besar itu. Namun ternyata semua perjuanganku tak pernah dihargainya, malah kini ia membawa masuk madu pahit itu ke dalam rumah kami.
"Assalamualaikum ... Bu, Mak." Panggilku ketika aku sampai di depan rumah.
Kedua Ibuku itupun langsung berlari ketika mendengar aku mengucap salam. Mereka menciumiku hingga jilbabku berantakan. Sungguh indah memiliki dua ibu sebaik ini, jika saja Riska bisa berbuat baik seperti Mak Nining mungkin rumah tangga kami akan baik-baik saja.
Ibu menyuruhku masuk dan minum teh di ruang tamu, sedang Mak Nining menghampiri Bapak yang tengah mencangkul di ladang belakang. Ibu bilang, ladang itu baru saja dibeli oleh Mak Nining untuk Bapak. Lagi-lagi kedua mataku mengembun, sungguh mulia hati madu Ibuku itu.
Setelah kami semua berkumpul, Mak Nining mengutarakan maksud dan tujuannya menyuruhku untuk pulang ke kampung. Beliau memberikan beberapa lembar sertifikat tanah dan juga uang tunai yang aku tak tahu berapa jumlahnya karena terlalu banyak. Mak Nining mengatakan bahwa sebulan yang lalu Kakek meninggal, karena Mak Nining adalah anak tunggal maka secara otomatis seluruh hartanya akan jatuh ke tangannya. Begitupun seluruh hewan ternaknya, semua telah di jual oleh Mak Nining dan seluruh uangnya diserahkan padaku, anak tirinya.
Hal itu sontak membuatku menangis tergugu, karena tak percaya dengan ketulusannya. Beliau adalah orang yang baik, sudah sepantasnya mendapat perlakuan yang baik juga dariku dan keluargaku. Ibu dan Mak Nining juga menyuruhku untuk membalas perlakuan Mas Hafiz dan Riska setelah aku menceritakan kelakuan buruk mereka berdua padaku.
Ibu menangis terisak mendengar ceritaku, bahwa kini rumah tanggaku sama persis seperti dirinya. Ada seorang madu di dalamnya. Namun aku kembali meyakinkan beliau bahwa aku akan baik-baik saja dan akan membalas seluruh perlakuan Riska terhadapku.
Mak Nining berpesan kepadaku agar aku menyembunyikan uang yang ia berikan ini dengan baik agar Riska tak mengetahui darimana asalnya kekayaan yang aku miliki saat ini. Aku juga menitipkan semua sertifikat tanah pada Mak Nining, bagaimanapun juga beliau masih berhak atas semua itu.
Kedua mataku mengerjap, mengingat seluruh kebaikan Ibu dan Mak Nining padaku. Kemarin Bapak pun juga terlihat meneteskan air mata ketika Mak Nining menyerahkan segepok uang itu padaku. Aku berjanji akan membalas perbuatan Mas Hafiz dan Riska jika mereka masih semena-mena denganku.
Maduku Tak Tahu Aku KayaPart 3**Sayup-sayup kudengar suara bising di luar sana ketika aku akan mengambil air wudhu untuk melaksanakan Sholat Tahajud. Aku yang telah sampai di depan kamar mandi, berbelok arah mendekat arah kamar tamu. Mendengar suara yang sepertinya tak asing di telingaku.'Sial. Menjijikkan sekali aku mendengar rintihan bak ringkikan kuda betina itu' gumamku lalu melanjutkan masuk ke dalam kamar mandi.Air mataku tumpah saat aku tengah berdoa memohon ampun atas segala dosa-dosaku. Memohon ketenangan serta kelapangan hati ketika melihat suami yang sangat aku cintai itu nyatanya kini tengah memadu kasih dengan wanita lain. Begitu sakit ketika hati harus terbagi untuk dua cinta, apalagi ia sama sekali tak mengunjungiku setelah memasukkan madu itu ke dalam rumah.Hingga kumandang adzan subuh aku tak dapat memejamkan mata semenitpun. Rasanya dada ini masih bergemuruh ketika mendengar rintihan menjijikkan dari mulut wanita laknat
Maduku Tak Tahu Aku KayaPart 4**Tepat pukul lima sore aku tiba di rumah dengan mengendarai Mobil Grand Livina hitam milik abang-abang taksi online. Aku melangkahkan kaki mantap masuk ke dalam rumah yang sepertinya tengah sepi tak ada orang. Namun aku salah, ketika masuk dan mendapati begitu banyak orang tengah berkumpul di ruang tamu sedang asik bercengkerama satu sama lain.Semua mata tertuju padaku, seorang tuan rumah yang dianggap seperti ART ini kini telah berubah menjadi seorang konglomerat dadakan. Tak terkecuali Riska dan Mas Hafiz yang terpaku melihat perubahanku.Dengan gamis kekinian, serta riasan wajah yang natural dengan tas selempang bermerek dan tak lupa parfum yang sangat menyengat hidung. Membuat semua orang yang ada di depanku itu menatapku dengan penuh kekaguman."Ada apa ini? Kenapa ramai sekali?" tanyaku sembari membuka pintu lebar-lebar, agar aroma minuman keras berganti dengan udara segar dari luar.Mereka tak h
Maduku Tak Tahu Aku KayaPart 5**Dookk dookk dookkAku mengerjapkan kedua mataku ketika seseorang menggedor pintu kamarku dengan keras. Lepas maghrib sore kemarin, aku tak sekalipun keluar dari kamar dan melihat apa yang terjadi di luar sana. Seingatku, teman-teman Riska digiring oleh Pak Abdul dan temannya keluar dari rumahku. Entah sekarang mereka dibawa ke mana."Keluar!" Teriak Riska membuatku mengurungkan niatku untuk membuka pintu kamarku.Segera aku memeriksa ponselku yang tergeletak diatas nakas. Melihat beberapa notifikasi muncul setelah aku mengaktifkan data selulernya. Ada pesan dari Ibu, Mak Nining, Zahra, dan sebuah nomor baru tertera di sana. Aku mengernyitkan dahi, siapa nomor baru yang menghubungiku ini.Namun belum sempat aku membuka pesan itu, Mas Hafiz telah membuka pintu kamar dengan kunci cadangan yang ia bawa. Aku lantas mematikan ponselku dan menyembunyikan di bawah bantal, agar ia tak tahu apa yang telah aku pe
Maduku Tak Tahu Aku KayaPart 6**"Cepat kirimkan lokasimu, aku akan menyusulmu ke sana," perintahku pada Zahra disambungan telepon.Tanpa menunggu lebih lama lagi, Zahra mengirimkan alamat di mana dia sekarang berada. Aku lantas memberikan alamat itu kepada pak sopir dan menyuruhnya segera datang ke sana. Hingga akhirnya aku sampai di tempat itu ketika Zahra memberikan instruksi agar aku menunggu agak jauh dari mobil yang sedang ditumpangi Riska.Zahra menghampiriku yang sedang berada di dalam taksi online sekitar sepuluh meter dari mobil Riska. Kami mengamati gerak-gerik Riska, siapa tahu bisa menjadi petunjuk untuk membongkar semua kejahatannya."Huma, lihat. Di sebelah sana itu rumah Mbah Guno, kira-kira ke mana Riska akan pergi," kata Zahra sembari menunjuk sebuah rumah bercat abu-abu di pojok kompleks ini. Aku mengangguk sembari terus mengamati apa yang akan Riska lakukan.Namun semua benar-benar diluar dugaanku dan Zahra. Ketika
Maduku Tak Tahu Aku KayaPart 7Pov Hafiz**Pagi ini aku dibuat terkejut oleh istri pertamaku, Humaira. Ia dandan bak seorang bidadari, tubuhnya kini juga terlihat lebih langsing. Dengan setelan gamis merah serta make up tipis, memberikan kesan ayu pada wajahnya. Serta tas selempang cokelat kecil di pundaknya. Membuatku terperangah melihat perubahannya.Entah dari mana ia mendapat uang untuk membeli semua barang-barangnya itu, karena biasanya aku hanya memberikan uang jatah untuk membeli kebutuhan dapur. Namun, setelah aku membawa Riska kemari dia berubah sangat jauh. Riska adalah gadis yang aku nikahi tanpa sepengetahuan Humaira, dia adalah mantan sekretarisku. Berkat dialah aku sekarang bisa menjabat di posisi kepala bagian pada perusahaan yang telah memperkerjakanku setahun belakangan ini.Karena seringnya kita bertemu, tumbuhlah benih-benih cinta dalam hatiku untuk Riska. Begitupun dirinya, hingga pada akhirnya kami menikah tanpa sepengetah
Maduku Tak Tahu Aku KayaPart 8**Anisa menungguku di depan rumah makan yang telah diberikan Mak Nining padaku ketika aku turun dari taksi online yang membawaku kemari. Senyum hangat Anisa berikan ketika aku mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengannya. Sepertinya ia adalah seorang yang sangat baik dan juga pandai."Mari, Bu. Saya antarkan keliling dulu," ucap Anisa canggung.Aku tersenyum kearahnya dan menghentikan langkahnya."Jangan panggil aku 'Bu'. Biasa saja, anggap kita itu adalah teman. Lagipula sepertinya kita seumuran. Panggil Huma saja, dan tidak perlu berbicara terlalu formal."Anisa terlihat kurang nyaman dengan obrolanku, namun aku segera menggandeng tangannya dan mengajaknya masuk ke dalam. Setelah beberapa saat, barulah Anisa merasa sudah nyaman denganku dan mulai terbiasa memanggilku dengan sebutan Huma."Kamu itu apanya Mak Nining, Nis?"Emm ... Aku itu saudara jauhnya, lebih tepatnya adalah anak d
Maduku Tak Tahu Aku KayaPart 9**Hari sudah beranjak sore ketika Ibu dan Kak Hani serta suaminya datang ke rumah. Mas Hafiz yang mendengar deru mobil masuk ke dalam pekarangan kami lantas keluar bersama Riska yang sepertinya habis menangis karena ponselnya kubanting.Aku mengerutkan dahi, kenapa kedatangan Ibu serasa ada sesuatu yang mengganjal dalam hatiku. Karena biasanya ia tak akan datang ke rumahku dan Mas Hafiz jika bukan karena ada maunya. Kak Ryan menatap tajam pada Riska, aku hanya bisa menghela nafas karena ia memang seorang buaya darat."Bu, ada apa?" tanya Mas Hafiz ketika ibunya itu sampai di teras.Riska tertunduk dan berdiri di belakang Mas Hafiz, sepertinya ia takut jika ketahuan oleh keluarga Mas Hafiz. Tapi, bukankah ini yang Ibu inginkan? Sudah sejak lama Ibu tak suka denganku, karena aku belum bisa memberinya seorang cucu."Kamu tidak mau mempersilahkan Ibu masuk dulu? Baru bertanya?""Silahkan masuk, Bu. Ak
Maduku Tak Tahu Aku KayaPart 10Hari berganti hari, kehadiran Ibu dan Kak Hani beserta suaminya sungguh membuatku semakin geram. Mereka tak henti-hentinya merendahkanku serta keluargaku karena kini Mas Hafiz telah memiliki jabatan yang tinggi di perusahaan tempatnya bekerja. Sedang si Riska, tetap saja dengan muka duanya selalu berlagak cari perhatian pada mertua dan iparnya itu. Padahal di belakangnya, ia sama halnya dengan mertua dan iparku, sama-sama merendahkanku."Lihat saja, kalau aku bisa mengambil hati Ibu dan Kak Hani maka sebentar lagi kamu akan di tendang dari rumah ini," ucapnya ketus pada suatu pagi ketika aku selesai membuat sarapan.Aku yang semula ingin segera bercerai dari Mas Hafiz tiba-tiba saja berubah pikiran, ingin membalaskan dendamku kepada mereka semua yang telah merendahkan keluargaku. Mereka pikir aku hanyalah seorang wanita miskin dan tak sepantasnya bahagia serta bersanding dengan Mas Hafiz yang kini telah memiliki jabatan yang
Part 9"Sah ...."Suara seluruh orang yang menghadiri acara pernikahanku menggema dalam masjid kecil yang menjadi tempatku mengikat janji sehidup semati dengan Arfan. Seorang lelaki yang bisa menarikku dari kubangan air hitam yang kian menarikku ke dasarnya.Kucium punggung tangan lelaki yang baru beberapa detik yang lalu sah menjadi suamiku. Kemudian, ia mendaratkan sebuah kecupan hangat dikeningku. Hatiku berdesir, mengingat bahwa sosok lelaki yang dulu pernah kukagumi ini hari ini menjadi suamiku.Ucapan demi ucapan selamat kudapatkan dari beberapa anggota keluarga yang hadir saat pernikahan kami. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari hari ini ketika Arfan meminangku dengan surah Ar-Rahman sebagai maharnya. Begitu banyak gadis yang menatapku iri karena aku bisa bersanding dengan jejaka pandai, alim dan berwibawa yang selalu mereka gandrungi. Apalagi statusku yang hanya sebagai seorang janda.***"Terimakasih, ya. Kamu sudah
Part 8Kujatuhkan tubuhku di atas kasur empuk di dalam kamar, rasanya tubuhku ringan tak berdaya. Semua sendi-sendiku bagaikan lepas tak berfungsi, ketika aku harus berusaha menerima kenyataan bahwa dua kedaiku mulai mengalami kebangkrutan. Untuk bulan ini pun Anisa tidak tahu harus membayar semua karyawan dengan apa, karena pemasukan lebih sedikit dibandingkan pengeluaran.Kubenamkan kepalaku di atas bantal, lalu berteriak sekencang-kencangnya agar semua rasa dalam hatiku sedikit berkurang. Aku rasa, Tuhan begitu tidak adil kepadaku. Begitu banyak ujian yang Dia berikan, hingga tak jarang membuatku jatuh tersungkur tak berdaya.Mas Hafidz pergi, dan usahaku bangkrut. Entah harus bagaimana lagi aku menghadapi dunia yang sangat kejam ini. Ini semua tidak adil bagiku, Tuhan begitu jahat."Aarrgghh ...." teriakku kencang dengan melempar kaca riasku dengan ponsel yang tergeletak di samping bantal, hingga menimbulkan sebuah suara pecahan yang sangat nyar
Part 7Hatiku bimbang, ketika beberapa hari yang lalu Bu Santika dan Kak Hany mengabari kalau Mas Hafidz pergi. Ya, pergi ... Dan kami semua tidak tahu kemana.Kutatap foto kami berdua di layar ponselku nanar, senyum mengembang dengan indah di setiap sudut bibir kami masing-masing. Dan kini, untuk kesekian kalinya aku harus kehilangannya lagi. Entah, kemana ia pergi sekarang, dan karena apa ia pergi. Aku pun tak pernah tau alasannya.Nomor teleponnya pun sama sekali tak bisa kuhubungi. Semua teman kerjanya juga tidak tahu dimana keberadaannya. Aku benar-benar kehilangan jejaknya. Mas Hafidz hilang bak ditelan bumi.Kusandarkan tubuhku di atas kursi teras, satu jam sudah aku duduk termenung disini. Menatap dengan indahnya warna jingga yang terpancar di ufuk barat. Namun tidak dengan hatiku yang kini tengah hampa, dan kembali kosong."Nduk," ucap Ibu mengagetkanku.Aku tersentak, lalu menoleh kearahnya. Kulihat Ibu pun ikut sedih dengan
Part 6Pov HafizSinar mentari semakin meninggi, ketika sudah kuputuskan untuk pergi menjauh dari Humaira. Wanita yang dulu adalah istriku yang kusia-siakan demi wanita lain, dan kini telah memantapkan hatinya untuk rujuk kembali denganku.Bukan karena aku tak cinta, ataupun aku terlalu menggantung perasaannya. Namun, aku rasa akan ada seseorang yang akan lebih bisa membahagiakannya dibanding diriku. Kini aku bangkrut, dan hanya bekerja sebagai cleaning service. Itu semua juga karena ulahku sendiri, terlalu memanjakan gundik dan ibu kandungku sehingga sekarang semua hartaku telah habis.Kuhembuskan nafas perlahan, menatap nanar pada kedai Huma yang ramai pengunjung itu. Dari kejauhan kulihat Ibuku, yang dulu adalah wanita yang menginginkan perpisahanku dengan Huma kini malah bekerja padanya. Juga Kak Hany, yang sekarang sudah benar-benar berubah dan ikut serta mencari uang di kedai Huma.Entah terbuat dari apa hatinya, hingga mampu memaafkanku,
Part 5Nafasku terengah-engah ketika kulihat Arfan berdiri di belakang kerumunan orang-orang yang sedang melihatku berkelahi dengan Riska. Ia tetap dengan tatapannya yang teduh, tak sedikitpun terlihat sorot amarah di dalam manik matanya.Ia datang bak seorang pujangga yang menyejukkan siapapun yang mendengar suaranya. Bahkan Riska pun berhenti berteriak ketika mendengar suara lembutnya. Aku yakin dia pasti juga sangat terkagum dengan sosok Arfan.Kulepaskan cengkeraman tanganku dari tubuh Riska, lalu beranjak berdiri dan menjauhinya. Sedang kulihat Mas Hafiz juga masih sama tercengangnya dengan Riska."A-arfan," ucapku lirih.Terlihat dari ekor mataku Mas Hafiz beralih menatapku, lalu mendekat kearahku. Sedang aku memilih merapikan baju gamis yang sedikit sobek akibat ulah Riska."Hentikan. Tidak baik berkelahi di depan umum, malu dilihat orang. Selain itu memang tidak ada manfaatnya jika harus berkelahi." Arfan menasehati kami dengan
Season 2Maduku Tak Tahu Aku KayaPart 4Suara deru mobilku memecah keheningan di antara aku dan Mas Hafiz yang tengah bersama menuju rumahnya untuk mengunjungi Bu Santika yang belum juga sembuh. Kami bertemu setelah jam kerja Mas Hafiz selesai dengan menjemputnya di tempatnya bekerja.Kutatap awan yang seolah bergerak mengikutiku dan Mas Hafiz, seakan tak rela jika saat ini aku tengah berduaan dengan mantan suamiku ini. Mas Hafiz menekan tombol audio, lalu memutar sebuah lagu yang tak asing di telingaku.Tersadar didalam sepikuSetelah jauh melangkahCahaya kasihmu menuntunkuKembali dalam dekap tanganmuTerima kasih cinta untuk segalanyaKau berikan lagi kesempatan ituTak akan terulang lagiSemua kesalahankuYang pernah menyakitimuTanpamu tiada berartiTak mampu lagi berdiriCahaya kasihmu menuntunkuKembali dalam dekap tanganmuTerima kasih cinta untuk segalanyaKau berikan lagi
Part 3"R-riska," pekikku ketika seseorang yang dulu sempat menjadi musuhku menghadang jalanku.Ia tersenyum miring dan menatapku nyalang. Entah sejak kapan ia bebas dari penjara, akhir-akhir ini memang tak kudengar kabar lagi tentangnya. Tapi ternyata secara tiba-tiba ia malah sudah datang lagi di depanku."Ya, ini aku. Kenapa? Kamu kaget?" ucapnya sinis.Kuatur nafasku yang hampir saja habis ketika melihatnya, persis seperti bertemu hantu menyeramkan ketika tengah berhadapan dengannya."Tidak, kenapa harus kaget?" ucapku mencebik, "jadi rupanya penjahat ini sudah bebas, ya?" Lanjutku lagi.Ia melotot ke arahku, lalu menyibakkan rambutnya ke samping. Hingga terlihatlah beberapa perhiasan yang ia kenakan di tubuhnya. Anting, kalung, cincin dan juga gelang terpasang pada tubuhnya, membuatku jengah untuk menatapnya. Ternyata setelah di penjara pun tak membuatnya berubah."Ya beginilah orang kaya, bisa bebas kapanpun. Karena aku ma
Part 2Kusibak gorden yang menutupi jendela kamar, sinar mentari perlahan menerobos masuk ke dalam kamar. Kehangatan yang dibawa turut sertanya perlahan mulai memenuhi kamar yang telah kutinggali hampir dua tahun ini.Kupandangi rumah besar yang berdiri tegak di seberang sana, rumah yang dulu menjadi tempatku melepas penat serta tempatku berbagi kebahagiaan dengan orang tercintaku. Kini, mulai ditumbuhi rumput ilalang yang mulai meninggi.Taman bunga kesayanganku yang kini telah berganti menjadi taman rumput lebih tepatnya. Mang Ade yang aku percaya menjaga rumah itu, serta merawatnya sudah dua bulan ini tak bisa bekerja karena harus merawar istrinya yang tengah sakit.Ah ... Mang Ade. Pria tua yang sangat setia kepada istrinya dalam keadaan apapun, membuatku iri dengan sikapnya yang selalu mengedepankan kepentingan keluarganya, terlebih istrinya. Beliau selalu setia kepada istrinya meski kini istrinya seperti hanya menjadi beban untuknya.Ak
Maduku Tak Tahu Aku KayaSeason 2Part 1"Aww ...." Pekikku ketika bertabrakan dengan seseorang di pelataran masjid agung tak jauh dari kedaiku."M-maaf," ucap pria yang telah menabrakku dengan lembut.Kulihat pria muda yang baru saja menabrakku itu tengah tergesa-gesa masuk ke dalam masjid untuk membantu seorang Ustadz yang kutaksir seusia bapak yang akan keluar dari masjid. Ustadz itu terlihat sedikit pincang, hingga butuh bantuan seseorang untuk membantunya berjalan. Dan tak lama kemudian kulihat kaki kanan beliau ada sebuah perban kecil di betisnya, mungkin sebab itu beliau tidak bisa jalan dengan sempurna.Tanpa memperdulikannya lagi, aku lantas melanjutkan langkahku menuju depan masjid untuk menunggu Mas Hafiz menjemputku. Karena aku berpamitan untuk sholat ashar terlebih dahulu sebelum ia menjemputku.Namun netraku kembali tertuju pada seorang pemuda yang beberapa saat yang lalu tak sengaja menabrakku. Dia duduk di atas troto