Maduku Tak Tahu Aku Kaya
Part 4**
Tepat pukul lima sore aku tiba di rumah dengan mengendarai Mobil Grand Livina hitam milik abang-abang taksi online. Aku melangkahkan kaki mantap masuk ke dalam rumah yang sepertinya tengah sepi tak ada orang. Namun aku salah, ketika masuk dan mendapati begitu banyak orang tengah berkumpul di ruang tamu sedang asik bercengkerama satu sama lain.
Semua mata tertuju padaku, seorang tuan rumah yang dianggap seperti ART ini kini telah berubah menjadi seorang konglomerat dadakan. Tak terkecuali Riska dan Mas Hafiz yang terpaku melihat perubahanku.
Dengan gamis kekinian, serta riasan wajah yang natural dengan tas selempang bermerek dan tak lupa parfum yang sangat menyengat hidung. Membuat semua orang yang ada di depanku itu menatapku dengan penuh kekaguman.
"Ada apa ini? Kenapa ramai sekali?" tanyaku sembari membuka pintu lebar-lebar, agar aroma minuman keras berganti dengan udara segar dari luar.
Mereka tak hanya berbincang, namun juga tengah berpesta minuman beralkohol. Sungguh menjijikkan!
Sejak kapan Mas Hafiz mau menenggak minuman haram itu? Bukankah selama ini ia juga sangat rajin beribadah? Bahkan ia tak segan akan memarahiku jika sampai aku lupa tak mengerjakan sholat lima waktu.
Riska memicingkan mata ke arahku. Menatap dari ujung kaki hingga ujung kepala. Lalu mendekat ke arahku dan menatap tiap inci tubuhku. Aku layaknya seorang pencuri di dalam rumahku sendiri.
"Dari mana kamu mendapatkan semua ini? Bukankah kamu itu miskin?"
Aku meliriknya sekilas yang tengah memandangi tas bermerekku itu. Tersenyum miring lalu berjalan menghampiri Mas Hafiz yang sedang memegang satu gelas kecil berisikan minuman haram itu.
"Kamu sudah lupa sama Tuhanmu, Mas?" tanyaku iba.
Ia menunduk, seperti menyembunyikan sebuah penyesalan dalam dirinya. Dan aku pun menemukan sebuah keganjilan pada diri Mas Hafiz, lewat sorot matanya aku tahu betul jika sebenarnya dia tidak nyaman dengan semua yang sedang ia lakukan ini. Ada apa sebenarnya, Mas?
"Tidak usah ikut campur! Katakan saja dari mana kamu mendapat semua barang mewah di tubuhmu itu?" kata Mas Hafiz menyentak tanganku kasar.
Aku terperanjat melihat reaksinya, dia seperti bukan Mas Hafiz yang aku kenal selama ini. Biasanya tak sekalipun ia berlaku kasar padaku, namun kali ini dengan percaya dirinya ia berbuat kasar kepadaku tepat di hadapan banyak orang.
"Katakan! Siapa yang mengundang kalian kemari." Teriakku lantang pada beberapa orang yang tengah duduk menikmati makanan yang berserakan di meja.
"Hei ... Hei, rupanya si miskin ini punya nyali juga, ya? Aku yang mengundang mereka, kenapa? Mereka semua adalah teman-temanku dan Mas Hafiz."
Riska menghampiriku yang sedang berdiri tepat di hadapan Mas Hafiz yang terduduk di atas sofa ruang tamu. Sorot matanya merah, seperti singa betina yang sedang kelaparan dan siap menerkam mangsanya.
"Oh ... Mungkin kamu habis jual diri, ya. Hingga sekarang, kamu mampu membeli barang-barang mahal ini? Mana bisa kamu membeli semua barang mewah ini jika tidak dari menjual tubuhmu sendiri," ucap Riska sontak membuat beberapa temannya tertawa lantang.
Aku mengepalkan kedua tanganku, rasanya ingin sekali menonjok wajahnya jika tak ingat bahwa kini ia sedang hamil.
Tunggu ... Hamil? Ahh, bahkan aku sampai lupa kalau dia sedang hamil.
"Semoga kelak, anak yang ada di dalam kandunganmu itu tak meniru kelakuan busuk ibunya, ya. Merebut suami orang dengan cara yang tidak terhormat," sambungku sembari berlalu untuk masuk ke dalam kamar.
"Apa? Kamu hamil, Ris? Anak siapa?" Celetuk salah seorang teman perempuannya membuatku berhenti tepat di depan pintu kamarku.
Lewat ekor mataku, kulihat Riska menginjak kaki wanita itu keras hingga ia berteriak kesakitan. Sedang Mas Hafiz telah tertidur pulas di atas sofa, mungkin ia tidak sadar karena pengaruh alkohol. Sungguh memuakkan!
Aku melanjutkan langkahku untuk masuk ke dalam rumah, serta segera mengambil ponsel di dalam tas dan menekan sebuah nomor telepon di dalamnya. Aku harus memberinya sedikit pelajaran, agar ia jera dan tak bermain-main lagi denganku.
"Hallo, Pak. Tolong datang kerumahku sekarang juga, ada pesta miras di sini."
Kurebahkan tubuhku di atas ranjang empuk yang menjadi tempatku bermadu kasih dengan Mas Hafiz selama ini. Namun kini, tak sekalipun ia menjamah ranjang ini. Dan semua ini gara-gara wanita binal tak tahu diri itu.
Setengah jam sudah aku menunggu kedatangan Pak Abdul, petugas keamanan di kompleks ini. Hingga menjelang adzan maghrib barulah kudengar teriakan ketakutan dari beberapa wanita yang kuduga adalah teman-teman Riska, aku hanya tersenyum miring dari dalam kamar. Lalu beranjak menuju depan meja rias dan mulai menghapus make-up yang telah di poleskan oleh Mbak Hana di salon langganan Zahra.
***
"Kamu yakin, tidak mau berpisah dengan Hafiz setelah kejadian ini?" tanya Zahra ketika aku sedang di make over oleh Mbak Hana.
Aku menggeleng yakin, membuat Zahra menghentakkan kaki dan duduk di kursi sebelahku.
"Kamu bodoh, Hum. Seharusnya kamu memilih pisah, apalagi sekarang kamu sudah kaya. Akan ada banyak lelaki yang akan menikahimu setelah ini,"
"Tidak, Ra. Aku adalah tuan rumah di sana, aku juga seorang istri pertama, aku berhak mempertahankan rumah tanggaku sampai titik darah penghabisan. Apalagi, setelah aku tahu Riska mencampur sesuatu ke dalam minuman Mas Hafiz saat ia tengah membuatkan kopi untuknya,"
Zahra mendekat ke arahku dan berjongkok tepat di bawahku. Membuat Mbak Hana sedikit kesulitan saat akan memoleskan blush-on ke pipiku.
"Maksudmu, Hafiz diguna-guna oleh Riska?"
"Feelingku seperti itu, tapi entahlah. Aku belum punya bukti yang kuat untuk membongkar kejahatan Riska," jawabku pasrah.
Zahra manggut-manggut, lalu berdiri dan mondar-mandir di belakangku. Sepertinya ia juga tengah memikirkan cara agar rumah tanggaku bisa diselamatkan.
"Lagipula, Ibu dan Mak Nining telah berpesan padaku. Agar sebisa mungkin aku membawa Mas Hafiz kejalan yang benar dan kembali setia kepadaku, setidaknya agar Mas Hafiz bisa membimbing Riska untuk menjadi madu yang baik untukku," lanjutku.
Sungguh, dalam hati kecilku, aku masih sangat mencintai Mas Hafiz. Sebisa mungkin aku ingin berusaha membawanya kejalan yang benar lagi, agar tak ada perpisahan diantara kami. Karena perpisahan itu sungguh menyakitkan.
"Besok, aku akan membawamu bertemu dengan Mbah Guno, beliau adalah orang sakti. Beliau bisa tahu, seseorang dalam pengaruh sihir atau tidak."
"Tidak, Ra. Aku tidak mau, musyrik!" Bantahku kepada Zahra yang duduk dengan kaki menyilang dan menenggak teh yang dikemas dalam sebuah kardus kotak kecil.
"Ayolah ... Kamu bilang mau mempertahankan rumah tanggamu? Kita tanya saja pada Mbah Guno, apa memang benar kalau Hafiz telah diguna-guna oleh Riska." Ia menatapku dari balik kaca dengan tatapan memohon.
Aku yang merasa tak enak padanya karena telah membantuku sejauh ini hanya bisa mengangguk pasrah dan setuju dengan rencananya. Kamipun lantas pulang setelah penampilanku diubah oleh Mbak Hana menjadi seorang wanita yang sangat cantik.
Kutinggalkan gamis lusuhku dan menggantinya dengan sebuah gamis baru yang sedang trend di media sosial. Membuat Zahra terpaku melihat perubahanku.
Maduku Tak Tahu Aku KayaPart 5**Dookk dookk dookkAku mengerjapkan kedua mataku ketika seseorang menggedor pintu kamarku dengan keras. Lepas maghrib sore kemarin, aku tak sekalipun keluar dari kamar dan melihat apa yang terjadi di luar sana. Seingatku, teman-teman Riska digiring oleh Pak Abdul dan temannya keluar dari rumahku. Entah sekarang mereka dibawa ke mana."Keluar!" Teriak Riska membuatku mengurungkan niatku untuk membuka pintu kamarku.Segera aku memeriksa ponselku yang tergeletak diatas nakas. Melihat beberapa notifikasi muncul setelah aku mengaktifkan data selulernya. Ada pesan dari Ibu, Mak Nining, Zahra, dan sebuah nomor baru tertera di sana. Aku mengernyitkan dahi, siapa nomor baru yang menghubungiku ini.Namun belum sempat aku membuka pesan itu, Mas Hafiz telah membuka pintu kamar dengan kunci cadangan yang ia bawa. Aku lantas mematikan ponselku dan menyembunyikan di bawah bantal, agar ia tak tahu apa yang telah aku pe
Maduku Tak Tahu Aku KayaPart 6**"Cepat kirimkan lokasimu, aku akan menyusulmu ke sana," perintahku pada Zahra disambungan telepon.Tanpa menunggu lebih lama lagi, Zahra mengirimkan alamat di mana dia sekarang berada. Aku lantas memberikan alamat itu kepada pak sopir dan menyuruhnya segera datang ke sana. Hingga akhirnya aku sampai di tempat itu ketika Zahra memberikan instruksi agar aku menunggu agak jauh dari mobil yang sedang ditumpangi Riska.Zahra menghampiriku yang sedang berada di dalam taksi online sekitar sepuluh meter dari mobil Riska. Kami mengamati gerak-gerik Riska, siapa tahu bisa menjadi petunjuk untuk membongkar semua kejahatannya."Huma, lihat. Di sebelah sana itu rumah Mbah Guno, kira-kira ke mana Riska akan pergi," kata Zahra sembari menunjuk sebuah rumah bercat abu-abu di pojok kompleks ini. Aku mengangguk sembari terus mengamati apa yang akan Riska lakukan.Namun semua benar-benar diluar dugaanku dan Zahra. Ketika
Maduku Tak Tahu Aku KayaPart 7Pov Hafiz**Pagi ini aku dibuat terkejut oleh istri pertamaku, Humaira. Ia dandan bak seorang bidadari, tubuhnya kini juga terlihat lebih langsing. Dengan setelan gamis merah serta make up tipis, memberikan kesan ayu pada wajahnya. Serta tas selempang cokelat kecil di pundaknya. Membuatku terperangah melihat perubahannya.Entah dari mana ia mendapat uang untuk membeli semua barang-barangnya itu, karena biasanya aku hanya memberikan uang jatah untuk membeli kebutuhan dapur. Namun, setelah aku membawa Riska kemari dia berubah sangat jauh. Riska adalah gadis yang aku nikahi tanpa sepengetahuan Humaira, dia adalah mantan sekretarisku. Berkat dialah aku sekarang bisa menjabat di posisi kepala bagian pada perusahaan yang telah memperkerjakanku setahun belakangan ini.Karena seringnya kita bertemu, tumbuhlah benih-benih cinta dalam hatiku untuk Riska. Begitupun dirinya, hingga pada akhirnya kami menikah tanpa sepengetah
Maduku Tak Tahu Aku KayaPart 8**Anisa menungguku di depan rumah makan yang telah diberikan Mak Nining padaku ketika aku turun dari taksi online yang membawaku kemari. Senyum hangat Anisa berikan ketika aku mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengannya. Sepertinya ia adalah seorang yang sangat baik dan juga pandai."Mari, Bu. Saya antarkan keliling dulu," ucap Anisa canggung.Aku tersenyum kearahnya dan menghentikan langkahnya."Jangan panggil aku 'Bu'. Biasa saja, anggap kita itu adalah teman. Lagipula sepertinya kita seumuran. Panggil Huma saja, dan tidak perlu berbicara terlalu formal."Anisa terlihat kurang nyaman dengan obrolanku, namun aku segera menggandeng tangannya dan mengajaknya masuk ke dalam. Setelah beberapa saat, barulah Anisa merasa sudah nyaman denganku dan mulai terbiasa memanggilku dengan sebutan Huma."Kamu itu apanya Mak Nining, Nis?"Emm ... Aku itu saudara jauhnya, lebih tepatnya adalah anak d
Maduku Tak Tahu Aku KayaPart 9**Hari sudah beranjak sore ketika Ibu dan Kak Hani serta suaminya datang ke rumah. Mas Hafiz yang mendengar deru mobil masuk ke dalam pekarangan kami lantas keluar bersama Riska yang sepertinya habis menangis karena ponselnya kubanting.Aku mengerutkan dahi, kenapa kedatangan Ibu serasa ada sesuatu yang mengganjal dalam hatiku. Karena biasanya ia tak akan datang ke rumahku dan Mas Hafiz jika bukan karena ada maunya. Kak Ryan menatap tajam pada Riska, aku hanya bisa menghela nafas karena ia memang seorang buaya darat."Bu, ada apa?" tanya Mas Hafiz ketika ibunya itu sampai di teras.Riska tertunduk dan berdiri di belakang Mas Hafiz, sepertinya ia takut jika ketahuan oleh keluarga Mas Hafiz. Tapi, bukankah ini yang Ibu inginkan? Sudah sejak lama Ibu tak suka denganku, karena aku belum bisa memberinya seorang cucu."Kamu tidak mau mempersilahkan Ibu masuk dulu? Baru bertanya?""Silahkan masuk, Bu. Ak
Maduku Tak Tahu Aku KayaPart 10Hari berganti hari, kehadiran Ibu dan Kak Hani beserta suaminya sungguh membuatku semakin geram. Mereka tak henti-hentinya merendahkanku serta keluargaku karena kini Mas Hafiz telah memiliki jabatan yang tinggi di perusahaan tempatnya bekerja. Sedang si Riska, tetap saja dengan muka duanya selalu berlagak cari perhatian pada mertua dan iparnya itu. Padahal di belakangnya, ia sama halnya dengan mertua dan iparku, sama-sama merendahkanku."Lihat saja, kalau aku bisa mengambil hati Ibu dan Kak Hani maka sebentar lagi kamu akan di tendang dari rumah ini," ucapnya ketus pada suatu pagi ketika aku selesai membuat sarapan.Aku yang semula ingin segera bercerai dari Mas Hafiz tiba-tiba saja berubah pikiran, ingin membalaskan dendamku kepada mereka semua yang telah merendahkan keluargaku. Mereka pikir aku hanyalah seorang wanita miskin dan tak sepantasnya bahagia serta bersanding dengan Mas Hafiz yang kini telah memiliki jabatan yang
Maduku Tak Tahu Aku KayaPart 11"Assalamualaikum,"Aku mendongakkan kepala dan tak menemui siapapun di rumah. Kemana mereka semua? Bahkan Riska pun tak terlihat di rumah. Mas Hafiz juga tak memberi kabar kepadaku kalau akan pergi. Apa aku begitu tak berartinya buat Mas Hafiz, sehingga sama sekali tak mengabariku ketika ia akan pergi dari rumah.Kurebahkan tubuhku di atas ranjang kamar, menatap langit-langit kamar yang hampir sebulanan ini aku tempati sendirian. Dua hari yang lalu aku telah membongkar simpanan uangku dan menyerahkan semuanya kepada panti asuhan terdekat. Aku berharap uang itu bisa bermanfaat untuk orang lain.Suara deru mobil terdengar ketika aku selesai mandi dan bersantai di depan televisi. Kumasukkan satu potong pizza ke dalam mulutku, menggigit pelan dan mengunyahnya dengan sangat nikmat. Membuat Kak Hani yang baru saja masuk ke dalam rumah langsung menyerobot pizza terakhir yang ada ditanganku."Dapat uang dar
Maduku Tak Tahu Aku KayaPart 12**Tepat pukul delapan pagi aku telah sampai di rumah terkutuk itu lagi, aku menghela nafas panjang lalu melangkah mantap masuk ke dalam rumah itu. Terlihat dari balik jendela Kak Hani sedang mengganti perban ditangan kanan suaminya, membuat darahku mendidih ketika mengingat insiden semalam."Heh ... Miskin! Dari mana kamu? Dasar istri durhaka, meninggalkan rumah tanpa ijin suamimu." Sepertinya Kak Hani tidak tahu tentang insiden semalam, karena ia terlihat begitu tenang ketika merawat suami laknatnya itu."Hingga kakak iparmu terluka pun kamu tidak tahu, dasar tidak berguna," ujar Ibu menumpangi omongan Kak Hani. Membuatku terhenti sejenak lalu melirik Kak Ryan tajam."Memangnya dia kenapa?""Semalam ada maling yang masuk ke dalam kamarmu, Ryan mengusirnya hingga tangan kanannya terluka. Beruntung ada orang sebaik Ryan, jika tidak maka semua barang-barangmu sudah ludes."Aku mencebik, lalu melanj
Part 9"Sah ...."Suara seluruh orang yang menghadiri acara pernikahanku menggema dalam masjid kecil yang menjadi tempatku mengikat janji sehidup semati dengan Arfan. Seorang lelaki yang bisa menarikku dari kubangan air hitam yang kian menarikku ke dasarnya.Kucium punggung tangan lelaki yang baru beberapa detik yang lalu sah menjadi suamiku. Kemudian, ia mendaratkan sebuah kecupan hangat dikeningku. Hatiku berdesir, mengingat bahwa sosok lelaki yang dulu pernah kukagumi ini hari ini menjadi suamiku.Ucapan demi ucapan selamat kudapatkan dari beberapa anggota keluarga yang hadir saat pernikahan kami. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari hari ini ketika Arfan meminangku dengan surah Ar-Rahman sebagai maharnya. Begitu banyak gadis yang menatapku iri karena aku bisa bersanding dengan jejaka pandai, alim dan berwibawa yang selalu mereka gandrungi. Apalagi statusku yang hanya sebagai seorang janda.***"Terimakasih, ya. Kamu sudah
Part 8Kujatuhkan tubuhku di atas kasur empuk di dalam kamar, rasanya tubuhku ringan tak berdaya. Semua sendi-sendiku bagaikan lepas tak berfungsi, ketika aku harus berusaha menerima kenyataan bahwa dua kedaiku mulai mengalami kebangkrutan. Untuk bulan ini pun Anisa tidak tahu harus membayar semua karyawan dengan apa, karena pemasukan lebih sedikit dibandingkan pengeluaran.Kubenamkan kepalaku di atas bantal, lalu berteriak sekencang-kencangnya agar semua rasa dalam hatiku sedikit berkurang. Aku rasa, Tuhan begitu tidak adil kepadaku. Begitu banyak ujian yang Dia berikan, hingga tak jarang membuatku jatuh tersungkur tak berdaya.Mas Hafidz pergi, dan usahaku bangkrut. Entah harus bagaimana lagi aku menghadapi dunia yang sangat kejam ini. Ini semua tidak adil bagiku, Tuhan begitu jahat."Aarrgghh ...." teriakku kencang dengan melempar kaca riasku dengan ponsel yang tergeletak di samping bantal, hingga menimbulkan sebuah suara pecahan yang sangat nyar
Part 7Hatiku bimbang, ketika beberapa hari yang lalu Bu Santika dan Kak Hany mengabari kalau Mas Hafidz pergi. Ya, pergi ... Dan kami semua tidak tahu kemana.Kutatap foto kami berdua di layar ponselku nanar, senyum mengembang dengan indah di setiap sudut bibir kami masing-masing. Dan kini, untuk kesekian kalinya aku harus kehilangannya lagi. Entah, kemana ia pergi sekarang, dan karena apa ia pergi. Aku pun tak pernah tau alasannya.Nomor teleponnya pun sama sekali tak bisa kuhubungi. Semua teman kerjanya juga tidak tahu dimana keberadaannya. Aku benar-benar kehilangan jejaknya. Mas Hafidz hilang bak ditelan bumi.Kusandarkan tubuhku di atas kursi teras, satu jam sudah aku duduk termenung disini. Menatap dengan indahnya warna jingga yang terpancar di ufuk barat. Namun tidak dengan hatiku yang kini tengah hampa, dan kembali kosong."Nduk," ucap Ibu mengagetkanku.Aku tersentak, lalu menoleh kearahnya. Kulihat Ibu pun ikut sedih dengan
Part 6Pov HafizSinar mentari semakin meninggi, ketika sudah kuputuskan untuk pergi menjauh dari Humaira. Wanita yang dulu adalah istriku yang kusia-siakan demi wanita lain, dan kini telah memantapkan hatinya untuk rujuk kembali denganku.Bukan karena aku tak cinta, ataupun aku terlalu menggantung perasaannya. Namun, aku rasa akan ada seseorang yang akan lebih bisa membahagiakannya dibanding diriku. Kini aku bangkrut, dan hanya bekerja sebagai cleaning service. Itu semua juga karena ulahku sendiri, terlalu memanjakan gundik dan ibu kandungku sehingga sekarang semua hartaku telah habis.Kuhembuskan nafas perlahan, menatap nanar pada kedai Huma yang ramai pengunjung itu. Dari kejauhan kulihat Ibuku, yang dulu adalah wanita yang menginginkan perpisahanku dengan Huma kini malah bekerja padanya. Juga Kak Hany, yang sekarang sudah benar-benar berubah dan ikut serta mencari uang di kedai Huma.Entah terbuat dari apa hatinya, hingga mampu memaafkanku,
Part 5Nafasku terengah-engah ketika kulihat Arfan berdiri di belakang kerumunan orang-orang yang sedang melihatku berkelahi dengan Riska. Ia tetap dengan tatapannya yang teduh, tak sedikitpun terlihat sorot amarah di dalam manik matanya.Ia datang bak seorang pujangga yang menyejukkan siapapun yang mendengar suaranya. Bahkan Riska pun berhenti berteriak ketika mendengar suara lembutnya. Aku yakin dia pasti juga sangat terkagum dengan sosok Arfan.Kulepaskan cengkeraman tanganku dari tubuh Riska, lalu beranjak berdiri dan menjauhinya. Sedang kulihat Mas Hafiz juga masih sama tercengangnya dengan Riska."A-arfan," ucapku lirih.Terlihat dari ekor mataku Mas Hafiz beralih menatapku, lalu mendekat kearahku. Sedang aku memilih merapikan baju gamis yang sedikit sobek akibat ulah Riska."Hentikan. Tidak baik berkelahi di depan umum, malu dilihat orang. Selain itu memang tidak ada manfaatnya jika harus berkelahi." Arfan menasehati kami dengan
Season 2Maduku Tak Tahu Aku KayaPart 4Suara deru mobilku memecah keheningan di antara aku dan Mas Hafiz yang tengah bersama menuju rumahnya untuk mengunjungi Bu Santika yang belum juga sembuh. Kami bertemu setelah jam kerja Mas Hafiz selesai dengan menjemputnya di tempatnya bekerja.Kutatap awan yang seolah bergerak mengikutiku dan Mas Hafiz, seakan tak rela jika saat ini aku tengah berduaan dengan mantan suamiku ini. Mas Hafiz menekan tombol audio, lalu memutar sebuah lagu yang tak asing di telingaku.Tersadar didalam sepikuSetelah jauh melangkahCahaya kasihmu menuntunkuKembali dalam dekap tanganmuTerima kasih cinta untuk segalanyaKau berikan lagi kesempatan ituTak akan terulang lagiSemua kesalahankuYang pernah menyakitimuTanpamu tiada berartiTak mampu lagi berdiriCahaya kasihmu menuntunkuKembali dalam dekap tanganmuTerima kasih cinta untuk segalanyaKau berikan lagi
Part 3"R-riska," pekikku ketika seseorang yang dulu sempat menjadi musuhku menghadang jalanku.Ia tersenyum miring dan menatapku nyalang. Entah sejak kapan ia bebas dari penjara, akhir-akhir ini memang tak kudengar kabar lagi tentangnya. Tapi ternyata secara tiba-tiba ia malah sudah datang lagi di depanku."Ya, ini aku. Kenapa? Kamu kaget?" ucapnya sinis.Kuatur nafasku yang hampir saja habis ketika melihatnya, persis seperti bertemu hantu menyeramkan ketika tengah berhadapan dengannya."Tidak, kenapa harus kaget?" ucapku mencebik, "jadi rupanya penjahat ini sudah bebas, ya?" Lanjutku lagi.Ia melotot ke arahku, lalu menyibakkan rambutnya ke samping. Hingga terlihatlah beberapa perhiasan yang ia kenakan di tubuhnya. Anting, kalung, cincin dan juga gelang terpasang pada tubuhnya, membuatku jengah untuk menatapnya. Ternyata setelah di penjara pun tak membuatnya berubah."Ya beginilah orang kaya, bisa bebas kapanpun. Karena aku ma
Part 2Kusibak gorden yang menutupi jendela kamar, sinar mentari perlahan menerobos masuk ke dalam kamar. Kehangatan yang dibawa turut sertanya perlahan mulai memenuhi kamar yang telah kutinggali hampir dua tahun ini.Kupandangi rumah besar yang berdiri tegak di seberang sana, rumah yang dulu menjadi tempatku melepas penat serta tempatku berbagi kebahagiaan dengan orang tercintaku. Kini, mulai ditumbuhi rumput ilalang yang mulai meninggi.Taman bunga kesayanganku yang kini telah berganti menjadi taman rumput lebih tepatnya. Mang Ade yang aku percaya menjaga rumah itu, serta merawatnya sudah dua bulan ini tak bisa bekerja karena harus merawar istrinya yang tengah sakit.Ah ... Mang Ade. Pria tua yang sangat setia kepada istrinya dalam keadaan apapun, membuatku iri dengan sikapnya yang selalu mengedepankan kepentingan keluarganya, terlebih istrinya. Beliau selalu setia kepada istrinya meski kini istrinya seperti hanya menjadi beban untuknya.Ak
Maduku Tak Tahu Aku KayaSeason 2Part 1"Aww ...." Pekikku ketika bertabrakan dengan seseorang di pelataran masjid agung tak jauh dari kedaiku."M-maaf," ucap pria yang telah menabrakku dengan lembut.Kulihat pria muda yang baru saja menabrakku itu tengah tergesa-gesa masuk ke dalam masjid untuk membantu seorang Ustadz yang kutaksir seusia bapak yang akan keluar dari masjid. Ustadz itu terlihat sedikit pincang, hingga butuh bantuan seseorang untuk membantunya berjalan. Dan tak lama kemudian kulihat kaki kanan beliau ada sebuah perban kecil di betisnya, mungkin sebab itu beliau tidak bisa jalan dengan sempurna.Tanpa memperdulikannya lagi, aku lantas melanjutkan langkahku menuju depan masjid untuk menunggu Mas Hafiz menjemputku. Karena aku berpamitan untuk sholat ashar terlebih dahulu sebelum ia menjemputku.Namun netraku kembali tertuju pada seorang pemuda yang beberapa saat yang lalu tak sengaja menabrakku. Dia duduk di atas troto