Maduku Tak Tahu Aku Kaya
Part 5**
Dookk dookk dookk
Aku mengerjapkan kedua mataku ketika seseorang menggedor pintu kamarku dengan keras. Lepas maghrib sore kemarin, aku tak sekalipun keluar dari kamar dan melihat apa yang terjadi di luar sana. Seingatku, teman-teman Riska digiring oleh Pak Abdul dan temannya keluar dari rumahku. Entah sekarang mereka dibawa ke mana.
"Keluar!" Teriak Riska membuatku mengurungkan niatku untuk membuka pintu kamarku.
Segera aku memeriksa ponselku yang tergeletak diatas nakas. Melihat beberapa notifikasi muncul setelah aku mengaktifkan data selulernya. Ada pesan dari Ibu, Mak Nining, Zahra, dan sebuah nomor baru tertera di sana. Aku mengernyitkan dahi, siapa nomor baru yang menghubungiku ini.
Namun belum sempat aku membuka pesan itu, Mas Hafiz telah membuka pintu kamar dengan kunci cadangan yang ia bawa. Aku lantas mematikan ponselku dan menyembunyikan di bawah bantal, agar ia tak tahu apa yang telah aku perbuat selama ini. Ia masuk ke dalam kamar disertai wanita laknat itu di belakangnya.
"Ada apa? Pagi-pagi sudah buat keributan!" ucapku malas.
"Kamu yang melaporkan aku dan teman-temanku kepada Pak Abdul, kan?" ucapnya dengan kedua tangannya menyilang di dada.
Aku tersenyum miring, lalu bersandar pada ranjang kamar.
"Kenapa kamu sekarang berubah?"
Aku mengernyitkan dahi, "berubah? Apanya yang berubah?" tanyaku tak paham pada Mas Hafiz yang telah duduk di kursi meja riasku, sedang si jalang itu berselancar memeriksa setiap detail alat make-up baruku.
"Kamu sekarang membangkang, tidak pernah bersih-bersih, masak, mencuci baju, bahkan kini kamu juga telah berani berdandan menor,"
"Semua ini harus jadi milikku, kamu tidak pantas pakai make-up mahal seperti ini," cetus Riska dengan memasukkan semua make-up baruku ke dalam saku baju tidurnya.
"Ambil saja, aku bisa membeli yang lebih bagus dari itu," ejekku. Membuat Riska menatapku tajam dan melanjutkan memeriksa setiap sudut kamarku.
"Mas, jika kamu bisa berlaku seenakmu sendiri. Aku pun juga bisa,"
Kuambil ponsel lawasku di atas meja rias dan membuka aplikasi biru buatan Om Mark. Terlihat foto-foto mesra Mas Hafiz tengah memeluk dan mencium Riska tanpa tahu malu. Membuatku semakin geram dengan tingkahnya yang semakin menjadi-jadi.
"Lihat! Bahkan sekarang kelakuanmu lebih dari seekor binatang, kamu tidak malu, Mas? Memajang foto seperti ini di EfBe?" ucapku sembari menyodorkan layar ponselku ke arahnya.
Kedua matanya membulat melihat foto-foto mesra dirinya terpampang jelas di sana. Membuat beberapa relasi kerjanya mengomentari dengan sangat pedas. Aku hanya terkekeh kecil saat tangan kekar Mas Hafiz membuka satu persatu komentar dari relasi kerjanya itu.
"Sial!"
Mas Hafiz berdiri dan melemparkan ponsel lawasku ke atas ranjang. Membuat Riska yang tengah membuka satu persatu laci bajuku tersentak karena teriakan Mas Hafiz.
"Siapa yang berani mengunggah foto itu pada akunku."
Riska menghampirinya, lalu memeluk perut buncit Mas Hafiz. Membuatku ingin muntah karena sikap manja Riska yang tak tahu malu.
"Mas, aku kan istrimu juga. Sudah saatnya mereka tahu kalau sekarang kita sudah menikah, lagipula ini keinginan si jabang bayi dalam perutku," rengeknya.
Membuat Mas Hafiz luluh pada akhirnya. Bodoh sekali dirimu, Mas. Mau dipermalukan oleh pujaan hatimu sendiri.
Cuih!
"Huma ... Kamu belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kamu sekarang berubah jadi seperti ini? Dan juga, dari mana semua uang yang kamu gunakan untuk foya-foya ini?" cercanya kepadaku.
"Kamu tak perlu tahu, Mas. Nikmati saja peranmu sebagai suami dengan dua istri," jawabku santai lalu keluar meninggalkan mereka yang masih terheran dengan sikap beraniku.
Jika bukan karena Mak Nining, aku tak akan seberani ini. Karena aku tak punya pondasi untuk membalas semua perbuatan mereka kepadaku. Seketika itu juga aku teringat dengan Mak Nining yang telah berjasa penuh pada hidupku. Semoga Allah selalu melindunginya, Aamiin.
Sesampainya di ruang tengah, kepalaku hampir saja mau pecah ketika melihat ruang tamu yang sangat berantakan bak kapal pecah. Berbagai botol minuman beralkohol beraneka merk, kulit kacang berserakan, serta beberapa bungkus makanan ringan berserakan di lantai. Membuat kepalaku sangat pening melihatnya.
"Riskaaa!" Teriakku lantang dengan berkacak pinggang.
Riska dan Mas Hafiz menghampiriku yang berteriak dari ruang tamu. Dengan tak tahu malunya Riska menggelendot dilengan suamiku itu.
"Apaaa ...." jawabnya panjang dengan nada bicara manja. Membuatku semakin muak di buatnya.
"Lihat! Itu ulah siapa? Bersihkan!" Perintahku.
"Mas ... Aku kan sedang hamil, masa disuruh bersih-bersih. Dia saja, yaa," rengeknya manja.
Aku memutar bola mata malas lalu beranjak kembali ke dalam kamar. Karena aku lupa bahwa hari ini ada janji dengan Zahra untuk ke rumah Mbah Guno.
"Humaira! Bersihkan. Aku mau pergi ke kantor. Jangan membuat kepalaku semakin pening karena pertengkaran kalian yang tidak ada habisnya," perintah Mas Hafiz membuatku terhenti tepat di samping almari barang-barang antik miliknya.
"Mas, aku ikut, ya. Mau ke rumah Hanifa, aku bosan jika harus berdua di rumah sama dia." Tunjuk Riska ke arahku. Membuatku semakin geram dengan sikap manjanya itu.
Aku sengaja berdiri sedikit mendekat ke lemari itu dan berpura-pura tersandung hingga menggoyangkan lemari itu hingga isi di dalamnya bercecer keluar semua. Guci-guci mahal milik Mas Hafiz jatuh berantakan karena aksiku, membuatku tertawa puas dalam hati.
"Humairaaaa ... Apa yang kamu lakukan!" Teriak Mas Hafiz geram.
"Upzz, aku tidak sengaja, Mas. Maaf," ucapku sembari senyum-senyum sendiri dan berlalu ke dalam kamar.
Terlihat dari jendela kamar, Mas Hafiz pergi bersama Riska dengan wajah yang sangat marah. Aku sungguh tak perduli dengan kekonyolanku itu, bahkan aku bisa membeli dua kali lipat dari apa yang aku pecahkan tadi. Kuambil kantung hitam di bawah ranjangku, lalu membukanya dan mengambil segepok uang untuk aku bawa bertemu dengan Zahra. Bila kutaksir, mungkin uang yang Mak Nining berikan ini sekitar seratus juta, namun aku tak sedikitpun berniat memasukkan di bank karena takut Mas Hafiz akan tahu.
***
"Zahra, kamu di mana?" ucapku ketika aku tengah berada dalam taksi online setelah menyuruh Mbok Inem membersihkan rumahku dengan bayaran yang tak sedikit.
"Aku sedang mengikuti madumu,"
Kedua mataku membulat mendengar penuturannya. Bukankah tadi Riska pergi bersama Mas Hafiz? Kenapa Zahra sampai mengikutinya?
"Aku bertemu dengannya setelah suamimu menurunkannya disebuah perempatan jalan di ujung gang kompleksmu, kini aku tengah mengikutinya hingga ke jalan utama. Dan rasanya aku kenal dengan arah jalan ini," lanjutnya lagi tanpa memberiku kesempatan untuk menimpali omongannya.
"Ke mana?" tanyaku penasaran.
"Ini ... Ini seperti jalan ke rumah Mbah Guno,"
Dadaku seakan berhenti berdetak ketika mendengar Zahra mengucapkan hal itu. Jika benar Riska ke rumah Mbah Guno, sudah bisa dipastikan bahwa Mas Hafiz telah habis diguna-guna olehnya.
Maduku Tak Tahu Aku KayaPart 6**"Cepat kirimkan lokasimu, aku akan menyusulmu ke sana," perintahku pada Zahra disambungan telepon.Tanpa menunggu lebih lama lagi, Zahra mengirimkan alamat di mana dia sekarang berada. Aku lantas memberikan alamat itu kepada pak sopir dan menyuruhnya segera datang ke sana. Hingga akhirnya aku sampai di tempat itu ketika Zahra memberikan instruksi agar aku menunggu agak jauh dari mobil yang sedang ditumpangi Riska.Zahra menghampiriku yang sedang berada di dalam taksi online sekitar sepuluh meter dari mobil Riska. Kami mengamati gerak-gerik Riska, siapa tahu bisa menjadi petunjuk untuk membongkar semua kejahatannya."Huma, lihat. Di sebelah sana itu rumah Mbah Guno, kira-kira ke mana Riska akan pergi," kata Zahra sembari menunjuk sebuah rumah bercat abu-abu di pojok kompleks ini. Aku mengangguk sembari terus mengamati apa yang akan Riska lakukan.Namun semua benar-benar diluar dugaanku dan Zahra. Ketika
Maduku Tak Tahu Aku KayaPart 7Pov Hafiz**Pagi ini aku dibuat terkejut oleh istri pertamaku, Humaira. Ia dandan bak seorang bidadari, tubuhnya kini juga terlihat lebih langsing. Dengan setelan gamis merah serta make up tipis, memberikan kesan ayu pada wajahnya. Serta tas selempang cokelat kecil di pundaknya. Membuatku terperangah melihat perubahannya.Entah dari mana ia mendapat uang untuk membeli semua barang-barangnya itu, karena biasanya aku hanya memberikan uang jatah untuk membeli kebutuhan dapur. Namun, setelah aku membawa Riska kemari dia berubah sangat jauh. Riska adalah gadis yang aku nikahi tanpa sepengetahuan Humaira, dia adalah mantan sekretarisku. Berkat dialah aku sekarang bisa menjabat di posisi kepala bagian pada perusahaan yang telah memperkerjakanku setahun belakangan ini.Karena seringnya kita bertemu, tumbuhlah benih-benih cinta dalam hatiku untuk Riska. Begitupun dirinya, hingga pada akhirnya kami menikah tanpa sepengetah
Maduku Tak Tahu Aku KayaPart 8**Anisa menungguku di depan rumah makan yang telah diberikan Mak Nining padaku ketika aku turun dari taksi online yang membawaku kemari. Senyum hangat Anisa berikan ketika aku mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengannya. Sepertinya ia adalah seorang yang sangat baik dan juga pandai."Mari, Bu. Saya antarkan keliling dulu," ucap Anisa canggung.Aku tersenyum kearahnya dan menghentikan langkahnya."Jangan panggil aku 'Bu'. Biasa saja, anggap kita itu adalah teman. Lagipula sepertinya kita seumuran. Panggil Huma saja, dan tidak perlu berbicara terlalu formal."Anisa terlihat kurang nyaman dengan obrolanku, namun aku segera menggandeng tangannya dan mengajaknya masuk ke dalam. Setelah beberapa saat, barulah Anisa merasa sudah nyaman denganku dan mulai terbiasa memanggilku dengan sebutan Huma."Kamu itu apanya Mak Nining, Nis?"Emm ... Aku itu saudara jauhnya, lebih tepatnya adalah anak d
Maduku Tak Tahu Aku KayaPart 9**Hari sudah beranjak sore ketika Ibu dan Kak Hani serta suaminya datang ke rumah. Mas Hafiz yang mendengar deru mobil masuk ke dalam pekarangan kami lantas keluar bersama Riska yang sepertinya habis menangis karena ponselnya kubanting.Aku mengerutkan dahi, kenapa kedatangan Ibu serasa ada sesuatu yang mengganjal dalam hatiku. Karena biasanya ia tak akan datang ke rumahku dan Mas Hafiz jika bukan karena ada maunya. Kak Ryan menatap tajam pada Riska, aku hanya bisa menghela nafas karena ia memang seorang buaya darat."Bu, ada apa?" tanya Mas Hafiz ketika ibunya itu sampai di teras.Riska tertunduk dan berdiri di belakang Mas Hafiz, sepertinya ia takut jika ketahuan oleh keluarga Mas Hafiz. Tapi, bukankah ini yang Ibu inginkan? Sudah sejak lama Ibu tak suka denganku, karena aku belum bisa memberinya seorang cucu."Kamu tidak mau mempersilahkan Ibu masuk dulu? Baru bertanya?""Silahkan masuk, Bu. Ak
Maduku Tak Tahu Aku KayaPart 10Hari berganti hari, kehadiran Ibu dan Kak Hani beserta suaminya sungguh membuatku semakin geram. Mereka tak henti-hentinya merendahkanku serta keluargaku karena kini Mas Hafiz telah memiliki jabatan yang tinggi di perusahaan tempatnya bekerja. Sedang si Riska, tetap saja dengan muka duanya selalu berlagak cari perhatian pada mertua dan iparnya itu. Padahal di belakangnya, ia sama halnya dengan mertua dan iparku, sama-sama merendahkanku."Lihat saja, kalau aku bisa mengambil hati Ibu dan Kak Hani maka sebentar lagi kamu akan di tendang dari rumah ini," ucapnya ketus pada suatu pagi ketika aku selesai membuat sarapan.Aku yang semula ingin segera bercerai dari Mas Hafiz tiba-tiba saja berubah pikiran, ingin membalaskan dendamku kepada mereka semua yang telah merendahkan keluargaku. Mereka pikir aku hanyalah seorang wanita miskin dan tak sepantasnya bahagia serta bersanding dengan Mas Hafiz yang kini telah memiliki jabatan yang
Maduku Tak Tahu Aku KayaPart 11"Assalamualaikum,"Aku mendongakkan kepala dan tak menemui siapapun di rumah. Kemana mereka semua? Bahkan Riska pun tak terlihat di rumah. Mas Hafiz juga tak memberi kabar kepadaku kalau akan pergi. Apa aku begitu tak berartinya buat Mas Hafiz, sehingga sama sekali tak mengabariku ketika ia akan pergi dari rumah.Kurebahkan tubuhku di atas ranjang kamar, menatap langit-langit kamar yang hampir sebulanan ini aku tempati sendirian. Dua hari yang lalu aku telah membongkar simpanan uangku dan menyerahkan semuanya kepada panti asuhan terdekat. Aku berharap uang itu bisa bermanfaat untuk orang lain.Suara deru mobil terdengar ketika aku selesai mandi dan bersantai di depan televisi. Kumasukkan satu potong pizza ke dalam mulutku, menggigit pelan dan mengunyahnya dengan sangat nikmat. Membuat Kak Hani yang baru saja masuk ke dalam rumah langsung menyerobot pizza terakhir yang ada ditanganku."Dapat uang dar
Maduku Tak Tahu Aku KayaPart 12**Tepat pukul delapan pagi aku telah sampai di rumah terkutuk itu lagi, aku menghela nafas panjang lalu melangkah mantap masuk ke dalam rumah itu. Terlihat dari balik jendela Kak Hani sedang mengganti perban ditangan kanan suaminya, membuat darahku mendidih ketika mengingat insiden semalam."Heh ... Miskin! Dari mana kamu? Dasar istri durhaka, meninggalkan rumah tanpa ijin suamimu." Sepertinya Kak Hani tidak tahu tentang insiden semalam, karena ia terlihat begitu tenang ketika merawat suami laknatnya itu."Hingga kakak iparmu terluka pun kamu tidak tahu, dasar tidak berguna," ujar Ibu menumpangi omongan Kak Hani. Membuatku terhenti sejenak lalu melirik Kak Ryan tajam."Memangnya dia kenapa?""Semalam ada maling yang masuk ke dalam kamarmu, Ryan mengusirnya hingga tangan kanannya terluka. Beruntung ada orang sebaik Ryan, jika tidak maka semua barang-barangmu sudah ludes."Aku mencebik, lalu melanj
Maduku Tak Tahu Aku KayaPart 13**Hari berganti sore, semilir angin mulai berhembus menerpa tubuhku yang kini telah berubah lebih ideal lagi. Tak ada lemak bergelambir serta wajah kusam. Kini aku telah menjelma sebagai Humaira yang baru. Zahra begitu bangga dengan perubahanku. Ia terus mendukungku untuk balas dendam kepada suami dan seluruh keluarganya yang telah membuatku sakit hati.Dan benar saja, tak lama berselang setelah aku mengunggah foto setelah aku selesai membeli perhiasan bersama Zahra tadi, ada banyak sekali orang yang mengomentarinya. Mereka sangat heran dengan perubahan yang terjadi denganku sekarang, tak terkecuali Risma dan Kak Hani.[Perhiasan palsu saja bangga]Itulah sebuah komentar yang dibubuhkan oleh Riska pada foto yang baru saja aku unggah. Terlihat Kak Hani juga mengomentari tak kalah pedas dengan Riska.[Beli perhiasan hasil merampok uang suami]Aku tersenyum kecut setelah membaca komentar dari
Part 9"Sah ...."Suara seluruh orang yang menghadiri acara pernikahanku menggema dalam masjid kecil yang menjadi tempatku mengikat janji sehidup semati dengan Arfan. Seorang lelaki yang bisa menarikku dari kubangan air hitam yang kian menarikku ke dasarnya.Kucium punggung tangan lelaki yang baru beberapa detik yang lalu sah menjadi suamiku. Kemudian, ia mendaratkan sebuah kecupan hangat dikeningku. Hatiku berdesir, mengingat bahwa sosok lelaki yang dulu pernah kukagumi ini hari ini menjadi suamiku.Ucapan demi ucapan selamat kudapatkan dari beberapa anggota keluarga yang hadir saat pernikahan kami. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari hari ini ketika Arfan meminangku dengan surah Ar-Rahman sebagai maharnya. Begitu banyak gadis yang menatapku iri karena aku bisa bersanding dengan jejaka pandai, alim dan berwibawa yang selalu mereka gandrungi. Apalagi statusku yang hanya sebagai seorang janda.***"Terimakasih, ya. Kamu sudah
Part 8Kujatuhkan tubuhku di atas kasur empuk di dalam kamar, rasanya tubuhku ringan tak berdaya. Semua sendi-sendiku bagaikan lepas tak berfungsi, ketika aku harus berusaha menerima kenyataan bahwa dua kedaiku mulai mengalami kebangkrutan. Untuk bulan ini pun Anisa tidak tahu harus membayar semua karyawan dengan apa, karena pemasukan lebih sedikit dibandingkan pengeluaran.Kubenamkan kepalaku di atas bantal, lalu berteriak sekencang-kencangnya agar semua rasa dalam hatiku sedikit berkurang. Aku rasa, Tuhan begitu tidak adil kepadaku. Begitu banyak ujian yang Dia berikan, hingga tak jarang membuatku jatuh tersungkur tak berdaya.Mas Hafidz pergi, dan usahaku bangkrut. Entah harus bagaimana lagi aku menghadapi dunia yang sangat kejam ini. Ini semua tidak adil bagiku, Tuhan begitu jahat."Aarrgghh ...." teriakku kencang dengan melempar kaca riasku dengan ponsel yang tergeletak di samping bantal, hingga menimbulkan sebuah suara pecahan yang sangat nyar
Part 7Hatiku bimbang, ketika beberapa hari yang lalu Bu Santika dan Kak Hany mengabari kalau Mas Hafidz pergi. Ya, pergi ... Dan kami semua tidak tahu kemana.Kutatap foto kami berdua di layar ponselku nanar, senyum mengembang dengan indah di setiap sudut bibir kami masing-masing. Dan kini, untuk kesekian kalinya aku harus kehilangannya lagi. Entah, kemana ia pergi sekarang, dan karena apa ia pergi. Aku pun tak pernah tau alasannya.Nomor teleponnya pun sama sekali tak bisa kuhubungi. Semua teman kerjanya juga tidak tahu dimana keberadaannya. Aku benar-benar kehilangan jejaknya. Mas Hafidz hilang bak ditelan bumi.Kusandarkan tubuhku di atas kursi teras, satu jam sudah aku duduk termenung disini. Menatap dengan indahnya warna jingga yang terpancar di ufuk barat. Namun tidak dengan hatiku yang kini tengah hampa, dan kembali kosong."Nduk," ucap Ibu mengagetkanku.Aku tersentak, lalu menoleh kearahnya. Kulihat Ibu pun ikut sedih dengan
Part 6Pov HafizSinar mentari semakin meninggi, ketika sudah kuputuskan untuk pergi menjauh dari Humaira. Wanita yang dulu adalah istriku yang kusia-siakan demi wanita lain, dan kini telah memantapkan hatinya untuk rujuk kembali denganku.Bukan karena aku tak cinta, ataupun aku terlalu menggantung perasaannya. Namun, aku rasa akan ada seseorang yang akan lebih bisa membahagiakannya dibanding diriku. Kini aku bangkrut, dan hanya bekerja sebagai cleaning service. Itu semua juga karena ulahku sendiri, terlalu memanjakan gundik dan ibu kandungku sehingga sekarang semua hartaku telah habis.Kuhembuskan nafas perlahan, menatap nanar pada kedai Huma yang ramai pengunjung itu. Dari kejauhan kulihat Ibuku, yang dulu adalah wanita yang menginginkan perpisahanku dengan Huma kini malah bekerja padanya. Juga Kak Hany, yang sekarang sudah benar-benar berubah dan ikut serta mencari uang di kedai Huma.Entah terbuat dari apa hatinya, hingga mampu memaafkanku,
Part 5Nafasku terengah-engah ketika kulihat Arfan berdiri di belakang kerumunan orang-orang yang sedang melihatku berkelahi dengan Riska. Ia tetap dengan tatapannya yang teduh, tak sedikitpun terlihat sorot amarah di dalam manik matanya.Ia datang bak seorang pujangga yang menyejukkan siapapun yang mendengar suaranya. Bahkan Riska pun berhenti berteriak ketika mendengar suara lembutnya. Aku yakin dia pasti juga sangat terkagum dengan sosok Arfan.Kulepaskan cengkeraman tanganku dari tubuh Riska, lalu beranjak berdiri dan menjauhinya. Sedang kulihat Mas Hafiz juga masih sama tercengangnya dengan Riska."A-arfan," ucapku lirih.Terlihat dari ekor mataku Mas Hafiz beralih menatapku, lalu mendekat kearahku. Sedang aku memilih merapikan baju gamis yang sedikit sobek akibat ulah Riska."Hentikan. Tidak baik berkelahi di depan umum, malu dilihat orang. Selain itu memang tidak ada manfaatnya jika harus berkelahi." Arfan menasehati kami dengan
Season 2Maduku Tak Tahu Aku KayaPart 4Suara deru mobilku memecah keheningan di antara aku dan Mas Hafiz yang tengah bersama menuju rumahnya untuk mengunjungi Bu Santika yang belum juga sembuh. Kami bertemu setelah jam kerja Mas Hafiz selesai dengan menjemputnya di tempatnya bekerja.Kutatap awan yang seolah bergerak mengikutiku dan Mas Hafiz, seakan tak rela jika saat ini aku tengah berduaan dengan mantan suamiku ini. Mas Hafiz menekan tombol audio, lalu memutar sebuah lagu yang tak asing di telingaku.Tersadar didalam sepikuSetelah jauh melangkahCahaya kasihmu menuntunkuKembali dalam dekap tanganmuTerima kasih cinta untuk segalanyaKau berikan lagi kesempatan ituTak akan terulang lagiSemua kesalahankuYang pernah menyakitimuTanpamu tiada berartiTak mampu lagi berdiriCahaya kasihmu menuntunkuKembali dalam dekap tanganmuTerima kasih cinta untuk segalanyaKau berikan lagi
Part 3"R-riska," pekikku ketika seseorang yang dulu sempat menjadi musuhku menghadang jalanku.Ia tersenyum miring dan menatapku nyalang. Entah sejak kapan ia bebas dari penjara, akhir-akhir ini memang tak kudengar kabar lagi tentangnya. Tapi ternyata secara tiba-tiba ia malah sudah datang lagi di depanku."Ya, ini aku. Kenapa? Kamu kaget?" ucapnya sinis.Kuatur nafasku yang hampir saja habis ketika melihatnya, persis seperti bertemu hantu menyeramkan ketika tengah berhadapan dengannya."Tidak, kenapa harus kaget?" ucapku mencebik, "jadi rupanya penjahat ini sudah bebas, ya?" Lanjutku lagi.Ia melotot ke arahku, lalu menyibakkan rambutnya ke samping. Hingga terlihatlah beberapa perhiasan yang ia kenakan di tubuhnya. Anting, kalung, cincin dan juga gelang terpasang pada tubuhnya, membuatku jengah untuk menatapnya. Ternyata setelah di penjara pun tak membuatnya berubah."Ya beginilah orang kaya, bisa bebas kapanpun. Karena aku ma
Part 2Kusibak gorden yang menutupi jendela kamar, sinar mentari perlahan menerobos masuk ke dalam kamar. Kehangatan yang dibawa turut sertanya perlahan mulai memenuhi kamar yang telah kutinggali hampir dua tahun ini.Kupandangi rumah besar yang berdiri tegak di seberang sana, rumah yang dulu menjadi tempatku melepas penat serta tempatku berbagi kebahagiaan dengan orang tercintaku. Kini, mulai ditumbuhi rumput ilalang yang mulai meninggi.Taman bunga kesayanganku yang kini telah berganti menjadi taman rumput lebih tepatnya. Mang Ade yang aku percaya menjaga rumah itu, serta merawatnya sudah dua bulan ini tak bisa bekerja karena harus merawar istrinya yang tengah sakit.Ah ... Mang Ade. Pria tua yang sangat setia kepada istrinya dalam keadaan apapun, membuatku iri dengan sikapnya yang selalu mengedepankan kepentingan keluarganya, terlebih istrinya. Beliau selalu setia kepada istrinya meski kini istrinya seperti hanya menjadi beban untuknya.Ak
Maduku Tak Tahu Aku KayaSeason 2Part 1"Aww ...." Pekikku ketika bertabrakan dengan seseorang di pelataran masjid agung tak jauh dari kedaiku."M-maaf," ucap pria yang telah menabrakku dengan lembut.Kulihat pria muda yang baru saja menabrakku itu tengah tergesa-gesa masuk ke dalam masjid untuk membantu seorang Ustadz yang kutaksir seusia bapak yang akan keluar dari masjid. Ustadz itu terlihat sedikit pincang, hingga butuh bantuan seseorang untuk membantunya berjalan. Dan tak lama kemudian kulihat kaki kanan beliau ada sebuah perban kecil di betisnya, mungkin sebab itu beliau tidak bisa jalan dengan sempurna.Tanpa memperdulikannya lagi, aku lantas melanjutkan langkahku menuju depan masjid untuk menunggu Mas Hafiz menjemputku. Karena aku berpamitan untuk sholat ashar terlebih dahulu sebelum ia menjemputku.Namun netraku kembali tertuju pada seorang pemuda yang beberapa saat yang lalu tak sengaja menabrakku. Dia duduk di atas troto