Vidia terlunta-lunta di pinggir jalan karena lelah berlari. Sandalnya sudah putus jadi harus bertelanjang kaki. Rambut perempuan itu memang masih rapi, tetapi peluh dan debu menjadikannya terlihat menyedihkan.
Dia memegang perut dengan tangan kanan karena cacing terus meronta. Terlampau lelah, Vidia duduk di trotoar sambil terus memikirkan cara mendapat pertolongan. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang lewat, dia melempar dua keping uang lima ratusan.
"Hey!" teriak Vidia. Lelaki itu menoleh. "Lu kira gue pengemis apa?!"
"Kalau bukan pengemis, terus apa?"
"Lu yang pengemis!" Vidia berkacak pinggang. "Gue ini anak orang kaya cuma abis diculik!"
"Orang gila ... orang gila ..." teriak para pengamen kecil yang membawa gitar.
Orang-orang sudah mengerumuni Vidia karena menjadi pusat perhatian. Banyak yang mengeluarkan ponsel, kemudian menyalakan kamera tidak peduli teriakan Vidia. Hari ini dia merasa sangat stres dan ingin mengakhiri hidup
Dalam rumah yang berukuran lumayan besar itu duduk seorang Vidia yang baru saja selesai membersihkan diri. Dia meminjam pakaian sandi yang kebetulan sepantaran dengannya.Lelaki itu bergeming sesaat, kemudian mengungkap apa yang ada dalam hatinya. "Vid, kamu mau gak jadi pacar aku?"Vidia menoleh menatap Sandi tidak percaya. Dalam hati dia merasa bahagia, bukan karena tampannya atau memiliki rasa yang sama, tetapi lelaki itu lumayan tajir. Mata Vidia kini berkedip beberapa kali membayangkan indahnya menjadi pacar lelaki itu."Aku sudah menikah, San," jawabnya kemudian."Tapi suami kamu selingkuh, 'kan? Aku tahu perasaan kamu, Vid karena ... melihat gebetan atau kekasih kita bahagia dengan orang lain itu sakit banget.""Lalu, kenapa ngajakin aku pacaran?" Vidia benar-benar sudah tertarik untuk selingkuh tidak peduli bagaimana nantinya ketika ketahuan Ferdila terutama Falen.Lagi pula dua lelaki itu tidak mencariku, pikir Vidia lagi."H
"Gimana keadaanmu, Din. Kita ke rumah sakit, yuk!" Ferdila terpaksa pulang ke rumah karena ada sms dari istrinya yang mengatakan sedang sakit."Enggak, Fer. Di rumah aja gak apa-apa. Ini juga udah agak mendingan." Ardina tersenyum, wajahnya pucat pasi. "Kalau nanti aku meninggal–"Ferdila meletakkan jari telunjuknya di bibir Ardina. "Hust! Kamu gak boleh ngomong kayak gitu, Sayang. Kita akan hidup bahagia bersama.""Bagaimana dengan istri keduamu?""Aku sudah janji akan menceraikannya ketika sudah ketemu. Ponselnya gak aktif."Ardina yang lemah menutup mata perlahan, dia ingin menikmati masa-masa seperti ini. Ketika tangannya digenggam erat sang suami, air mata jatuh begitu deras membentuk anak sungai."Sayang?" panggil Ferdila. Dia khawatir terjadi sesuatu pada istri tercinta."Aku masih hidup, Fer," sahut Ardina masih menutup mata. Keadaannya begitu memprihatinkan dengan peluh yang menghiasi pelipisnya.***Vidia
Dua hari berlalu tidak ada peningkatan selain Sandi yang selalu menyuruh Vidia melakukan semua pekerjaan rumah. Shella yang sudah tahu keberadaan Vidia karena tidak sengaja melihatnya selalu mengintai rumah itu.Naren pun tahu kalau misinya sedang dalam bahaya. Dia diberitahu oleh bawahannya yang mengikuti mobil Shella dan Falen. Akhirnya tadi malam tepat pukul satu dini hari Vidia dikembalikan ke gudang karena Ardina merasa Sandi tidak becus bekerja.Rabu pagi ini Ardina yang masih sedikit lemah sudah berdiri di hadapan Vidia yang kakinya dirantai pun tangan diikat ke belakang. Mata Ardina memancarkan luka mengingat kedua sahabat yang harus meregang nyawa."Apa maumu, Ardina?" tanya Vidia dengan suara lirih."Tidak ada.""Lalu kenapa menyandraku di sini?" teriak Vidia mulai emosi. Wajahnya merah."Aku tidak pernah menyandramu, Vidia. Lagi pula jika keadaannya seperti ini, maka Yuni juga Genta akan merasa bahagia." Ardina menarik napas panja
"Jangan bertanya apa pun dulu, kepalaku nyut-nyut," sahut Ardina sambil menutup mata perlahan.Mobil melaju dengan kecepatan sedang dikemudi oleh Naren. Tidak ada percakapan dalam mobil itu karena Ardina benar-benar tidak ingin diusik dulu.Mereka bukannya melaju tanpa tujuan karena sejatinya Naren tahu harus ke mana. Mereka ke cafe yang jauh dari kantor Ferdila berada khawatir ketemu dan langsung ketahuan saat itu juga.Sebenarnya Ardina menutup mata karena rasa dilema. Dia memikirkan Vidia yang pasti merasa tersiksa. Jauh di lubuk hatinya ada rasa ingin memeluk sekalipun perempuan itu yang menjadi perusak rumah tangganya.Ardina menarik napas panjang karena betul-betul dilema. Baru kali ini dia merasa frustrasi sampai makan pun sebenarnya sulit. "Ah, pusing!""Jangan kasihan sama mereka bertiga, Din. Kamu tahu jika kita lepas atau biarkan mereka begitu saja? Resikonya kamu yang disiksa atau mungkin dibunuhlah seperti Yuni dan Genta," tegur
"Kamu memang pantas untuk dihukum karena mulutmu sangat kotor. Bebas sekali mengumpat pada Ardina tanpa harus meminta maaf. Jika aku menginjak-injak harga dirimu, maka pasti kamu ingin membunuhku," ucap Arnila."Iya, aku sangat ingin membunuhmu.""Lalu, kalau adikku kau injak-injak harga dirinya, kira-kira aku akan melakukan apa?""Tentu saja membunuhnya," sela Ardina.Vidia hanya diam, air matanya berlinang. Dia masih terkejut melihat ada dua perempuan dengan wajah yang sama, tetapi sikap sedikit berbeda."Tidak usah memasang tampang seperti itu di hadapanku atau akan tamat riwayatmu!" tegas Arnila kemudian menarik lengan adiknya.Dia tidak ingin berlama-lama menatap Vidia yang hanya cantik rupa saja. Tanpa Arnila sadari kalau adiknya sudah menitikkan air mata hingga sesegukan. Perempuan itu lantas menoleh. "Kenapa menangis?""Aku gak nyangka bakal mengalami takdir yang seperti ini. Bahkan juga tidak pernah bermimpi kamu akan m
POV ARDINAFerdila baru pulang kerja setelah jam menunjuk angka sembilan, katanya harus lembut bersama dua teman lainnya. Wajahnya sudah segar karena langsung mandi saat baru tiba tadi."Seharian ini ngapain aja, Yang?" tanya Ferdila sembari menyandarkan bekang di headboard."Anu, gak ngapa-ngapain.""Kalau bosan, gak apa keluar rumah asal tidak melirik yang lain."Aku tersenyum tipis menanggapi kalimat suami barusan. Dia mengatakan itu bukan karena serius, aku telah berhasil mengembalikan sifat lamanya. Dulu memang selalu bercanda dan saling cemberut ketika cemburu.Akan tetapi, untuk sesaat aku merenung tentang kehidupan esok harinya. Arnila berencana mengembalikan Vidia untuk melanjutkan misi. Jika hilang begitu lama khawatir keluarganya akan mencari dan melibatkan pihak berwajib."Kenapa merenung?" tegur Ferdila."Gak apa-apa." Aku yang memang sedang menyisir rambut wajar mendapat teguran karena menatap kosong ke arah
Belum lagi aku membanca pesan itu, Ferdila sudah memanggil dari dalam kamar. Aku harus melangkah masuk daripada harus dicurigai. Lelaki itu duduk di tepi ranjang sambil menatap serius.Saat kami saling berhadapan, dia berucap pelan, "Aku tidak ingin tahu banyak tentang Vidia Maida. Besok dia harus kucerai apa pun kondisinya. Jika menolak, terserah.""Sabar, Fer. Bisa jadi Vidia sedang sakit. Lihat saja pandangannya, begitu kosong dan hampa. Dia bahkan tidak pernah berucap sepatah kata pun." Aku tulus menenangkannya."Aku tidak ingin dia melukaimu lagi, Din. Sikap seperti itu bisa jadi hanya akal-akalan semata." Ferdila berdiri. "Aku ke rumah bos dulu, ada urusan penting," lanjutnya sambil memutar rekaman suara saat menelepon tadi. Aku mengangguk.Sepuluh menit kemudian, suamiku sudah benar-benar tidak ada di rumah. Aku kembali membuka ponsel untuk tahu jawaban Arnila. Jantung kembali berdegup begitu cepat.Arnila : Sebenarnya ada sesuatu yang membu
POV AUTHOR"Itu kenapa, ya, Jeng?" tanya Bu Nafis dengan penampilan sosialita."Pasti azab jadi pelakor. Makanya, Jeng Vidia kalau gak laku jangan ngerebut suami orang," timpal Bu Nur."Ngeri juga kalau harus gila karena ngerebut, tapi syukurlah karena Jeng Ardina jadi gak harus sakit hati," sela Bu Nafis. Lagi.Ardina mendekati Vidia yang sedang duduk memeluk lutut. Air mata perempuan itu luruh tanpa permisi. Dia sedih karena tidak bisa menolong madunya. Sejahat apa pun Vidia, Ardina tidak akan pernah tega jika melihat keanehan itu.Dipeluknya tubuh Vidia yang mulai lemas. Beberapa tetangga terus menggunjing si pelakor. Ardina tidak bisa mencegah terlalu tegas karena memang di lingkungan mereka bahkan mungkin di semua daerah kalau ada perebut suami orang, pasti kena batunya baik berupa cacian atau sumpah serapah dari tetangga."Jeng, jangan dikasihani perempuan model gitu!" geram Bu Nafis."Maaf, Bu. Vidia juga manusia dan aku punya
POV AUTHOR 💚 "Jangan pergi atau akan semakin menyakitimu." "Tapi, Ferdila–" "Dia khawatir bukan karena cinta, melainkan rasa bersalah karena telah merobek mulut Vidia. Kamu di sini, tunggu kabar di telepon saja," potong Arnila. Dia tidak ingin adik kembarnya khawatir. Masalah Ferdila salah peluk kemarin biar menjadi rahasiaku sendiri selama Naren tidak tahu juga Vidia maka akan baik-baik saja. Adikku harus bahagia, batin Arnila sedih. Ponsel berdering, ada pesan masuk ke aplikasi hijau. Perempuan tempramental itu mengurangi cahaya layar agar tidak ketahuan kalau ada pesan masuk apalagi jika kabar buruk. Benar saja, Naren mengabari bahwa Vidia meninggal. "Mereka kok lama ya? Gak ada kabar lagi," keluh Ardina. Dia memikirkan suaminya. "Gini, Din ...." Arnila menggigit bibirnya, dia menunduk dalam. Sementara di rumah sakit sedang gaduh. Naren mengurus banyak hal termasuk meminta mereka semua tutup mulut. Pasalnya
POV ARDINA💚Selesai makan malam, terdengar deru mobil dari luar. Aku dan Arnila saling berpandangan. Jantung berdegup cepat tak ubahnya pacuan kuda. Beberapa kali aku menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan."Tenang, Ardina. Tidak akan terjadi apa-apa. Aku yang akan menjelaskan semua ini. Kamu diam dan hanya menyahut ketika kutanya. Oke?"Enak sekali menjadi Arnila karena dia terlihat seperti tidak memiliki beban hidup. Lagi pula jika ada yang mengusik tentu kalah dengan satu pukulan telak. Aku memaksa senyum.Pintu rumah terbuka lebar. Naren dan Ferdila melangkah beriringan. Begitu sampai di hadapan kami, keduanya bungkam. Aku bisa menangkap raut wajah suamiku menyiratkan kebingungan."Ardina yang mana?" tanyanya setelah hening beberapa saat."Fer, biar aku jelaskan semuanya. Aku Arnila saudari kembar istrimu. Kita berpisah sudah lama bahkan ketika kamu menikah, tidak sempat hadir." Arnila menjeda kalimatnya.D
POV AUTHOR💚Satu minggu pasca operasi, Vidia sudah merasa sehat sekalipun disibukkan dengan mengganti perban. Perawat menyarankan untuk tidak memakai cermin hingga masa penyembuhan selesai, tetapi dia bersikeras."Baiklah," jawab seorang perawat. Dia keluar mengambil cermin.Sementara Vidia dia begitu penasaran dengan bentuk wajahnya setelah digunting Ferdila. Rasa untuk balas dendam semakin membuncah. Dia merasa tidak bisa hidup tenang sampai Ardina merasakan luka yang sama atau bahkan lebih perih.Rambut indahnya pun sudah hilang. Dia memakai rambut palsu sejak kemarin. Tidak ada yang diizinkan masuk menjenguk walau orang itu mengaku sebagai sahabat dekatnya.Orangtua Vidia tidak tahu kabar ini karena Naren menutup mulut semua orang bahkan memalsukan data agar tidak ada yang bisa mengecek keberadaannya.Beberapa menit menunggu, seorang perawat datang dan menyerahkan sebuah cermin. Namun, sebelum itu dia berpesan agar V
"Gimana keadaan Vidia, Ren? Ada yang tahu perkara ini?" tanyaku khawatir.Kami sudah berada di rumah sakit sejak sepuluh menit lalu. Ferdila terus diam menangisi kebodohannya. Aku terus menghibur dengan dalih Vidia yang salah."Dia ditangani dokter. Tenang saja, aku bisa membungkam mulut mereka semua. Sekarang kamu fokus pada diri sendiri. Beruntung di outlet tadi lagi sepi," jelas Naren."Terimakasih, Ren. Kami berhutang budi padamu," ucapku tulus, lalu kembali duduk di samping Ferdila.Suamiku benar-benar menyesali perbuatannya. Sekali lagi aku menghibur dengan mengalihkan pikiran. Alhamdulillah, dia bisa tersenyum ketika kukatakan akan pergi dari sini jika terus murung.Tangan kekar itu sekarang mengelus perutku yang rata. Dia menasihati calon anak kami agar tidak pernah selingkuh jika sudah lahir. Ferdila sadar, yang mendua kelak akan diduakan dan rasanya seratus kali lipat lebih sakit."Anak kita harus jadi salihah, tidak boleh se
Dua hari sejak kejadian itu Vidia belum juga pulang. Mungkin dia tahu kalau Falen meninggal di hari yang sama jadi ada rasa galau. Entah, ini hanya praduga.Naren pun tidak pernah datang, hanya ada aku dan Ferdila di sini. Outlet warna merah muda sudah terpasang rapi di halaman rumah. Senin lalu mulai buka. Beruntung banyak pelanggan sampai Ferdila sedikit kewalahan."Jualan bakso?" tanya Vidia tiba-tiba ketika Naren sedang sibuk meladeni satu pelanggan terakhir. "Makanya aku malu balik ke sini karena gak mau punya suami tukang bakso. Mana jualnya di depan rumah, ogah banget!""Kalau begitu silakan pergi dari sini!" geram Ferdila."Iya, walau tidak kamu minta aku akan pergi! Dasar lelaki miskin!" makinya sambil melangkah masuk rumah.Dia memang tidak punya malu. Sudah mengatai suami sendiri, tapi dengan santainya melangkah masuk rumah. Aku sampai geleng-geleng kepala melihat kelakuan Vidia.Sebenarnya Ferdila ingin membahas masalah abo
"Kamu menang kali ini, Din!" gumam Vidia, tetapi aku masih mampu mendengarnya.Dia berdiri, memungut ponsel itu dan melangkah masuk kamar. Pintu dibanting kasar. Aku sampai mengelus dada berulang kali sambil membaca istigfar. Semoga saja janin dalam kandungan ini kuat dan dilindungi sama Allah.Naren meminta kami istirahat saja dulu kbawatir pikiran semakin kacau. Ferdila setuju, lalu menuntunku masuk kamar. Sabtu besok dia harus ke tukang kayu untuk mengambil outlet karena memang tidak melakukan pengiriman khusus weekend."Besok, kamu jangan keluar kamar. Nanti bisa dikerjain Vidia. Kalau bisa pas lagi makan aja. Oke?" Ferdila mengingatkan."Iya, Sayang."Aku menatap langit-langit kamar. Entah kenapa ada firasat hal buruk akan terjadi. Namun, suamiku selalu mengingatkan bahwa kita harus berprasangka baik agar jika ada petaka, dia akan pergi.***Pagi menyapa, dua jam lalu Ferdila pergi bersama Naren. Jarak rumah tukang kayu itu lumay
Malam menyapa ketika kami bertiga sedang kumpul di depan televisi. Vidia datang dengan senyum merekah dan duduk di dekat kami. Tangannya mengeluarkan ponsel dari saku.Aku cuek saja, lalu meraih gelas dan meneguk isinya. Malam ini tidak boleh stres karena bisa berakibat parah pada janin yang baru saja hadir dalam rahimku."Fer, tidakkah kamu berpikir Ardina mempermainkanmu?" Vidia membuka percakapan. Aku menoleh padanya begitupun Naren, tidak dengan Ferdila."Maksud kamu mempermainkan apa, Vid?" Aku bertanya.Ferdila menatapku dalam. Dia memberi isyarat untuk tidak merespon Vidia. Memang magrib tadi aku juga diperingatkan untuk mendiami perempuan berambut pirang itu agar tidak semakin menjadi atau berbuat sesuka hati.Aku memang setuju, tetapi mendengar kalimat itu membuat darah seketika nendidih dalam hitungan detik. Ingin sekali tangan ini menjambak rambut dan merobek mulutnya. Huh, hidup bersama Vidia memang tidak pernah membawa ketena
POV ARDINA💚Aku baru selesai mandi ketika mendengar suara tawa perempuan di luar rumah. Namun, samar terdengar karena gemericik air mengganggu pendengaran. Setelah mengenakan pakaian rumah serta mengeringkan rambut, aku melangkah ke luar kamar dan menoleh ke kiri. Rupanya ada tamu Vidia."Sini, Din!" panggil Vidia. Aku mendekat karena menghormati tamu dan duduk di samping adik madu.Perempuan ini cantik sekali. Wajah dan postur tubuhnya terpahat sempurna. Kulit putih bersih bahkan mengalahkan Vidia. Aku kagum, entah darimana asalnya. Akan tetapi, semoga hati perempuan itu tidak seburuk Vidia.Aku tersenyum ketika dia memperkenalkan nama. Dia Venny dan aku–"Dia ini kakak maduku, Ven. Namanya Ardina." Vidia mendahuluiku memperkenalkan diri. Sudahlah, tidak mengapa selagi masih wajar.Perempuan itu tersenyum ramah. Hingga detik ini aku merasa masih aman-aman saja. Vidia menjelaskan kalau temannya itu baru tiba dari Jepang. Aku m
POV VIDIA MAIDA💚Mereka terlalu bahagia di dalam sana sehingga membuat muak untuk melihat terlalu lama. Aneh sekali kenapa Ardina bisa hamil. Apakah ini yang dinamakan keajaiban?Huh, aku mengembus napas kasar begitu ingat tentang Ferdila yang tidak lagi bekerja di kantor. Untuk apa bertahan? Pertanyaan itu sesuatu yang konyol, tentu saja ingin mengais harta lelaki itu. Aku sangat yakin dia memiliki tabungan di bank."Sial!" umpatku ketia Ferdila menoleh dan langsung melangkah ke dekat televisi.Ada ide lain, aku harus melakukan sesuatu yang tidak disukai perempuan itu bahkan kalau bisa menyebar fitnah agar dicerai dalam keadaan hamil. Pasti ada cara yang paling jitu.Mudah! Aku akan melakukan satu rencana yang sangat besar. Bahkan sudah ada dalam pikiran. Naren pasti akan sering ke sini karena Ferdila tidak lagi sibuk di kantor. Kelihatannya bakal ada usaha baru yang akan dikerjakan."Vidia?" Suara Ferdila mengagetkanku yang