Pukul lima sore Naren sudah siap untuk melakukan misi selanjutnya. Dia melirik jam sekilas, kemudian membuka pintu kamar. Di luar semua orang berkumpul kecuali Ardina.
"Pak, izin ke luar sebentar. Kalau ada apa-apa hubungi saja," pamit Naren yang mendapat anggukan dari Ferdila.
Lelaki itu mempercepat langkahnya karena harus menjemput sosok paling penting. Mobil hitam keluar dari halaman rumah dan melaju dengan kecepatan sedang.
Tepat satu kilometer dari rumah, seorang perempuan berdiri sambil melipat kedua tangan di depan dada. Rambutnya bergelombang dengan mata diolesi eye linear. Cantik, pikir Naren.
"Lama banget," gerutu perempuan itu ketika Naren berhenti tepat di depannya.
Keduanya sama-sama duduk di depan karena sudah akrab sejak dulu. Siapa lagi perempuan itu kalau bukan sahabatnya. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi karena harus segera sampai ke gudang sebelum magrib tiba.
"Apa Ferdila tidak curiga?"
"Tidak
Pukul sepuluh pagi Naren menerima telepon dari bawahannya. Sungguh di luar nalar karena Vidia berhasil kabur ketika Rey lengah. Dia juga tidak sampai merasakan sakit yang sama dengan Ardina dulu.Beruntung orangtua Ferdila sudah pulang sejak tadi. Jadi, di rumah itu hanya ada dia dan Ardina. Naren memanggil nama perempuan itu sedikit sungkan, kemudian ketika mereka saling beradu pandang, Naren berkata, "Vidia berhasil kabur. Mereka yakin tidak ada yang membantunya. Entah di mana perempuan itu sekarang.""Jadi, kita harus gimana, Ren?""Ke gudang. Jangan lupa gantian sebentar."Ardina mengangguk, dia masuk ke kamar untuk mengambil tas. Tidak lama kemudian sudah kembali dan menyusul Naren yang sejak tadi menunggu di mobil.Tidak ada pembahasan dalam perjalanan itu. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi bahkan Naren hampir saja menabrak motor yang belok tanpa menyalakan sen. Untung saja takdir masih berpihak pada mereka.Matahari sudah sem
Vidia terlunta-lunta di pinggir jalan karena lelah berlari. Sandalnya sudah putus jadi harus bertelanjang kaki. Rambut perempuan itu memang masih rapi, tetapi peluh dan debu menjadikannya terlihat menyedihkan.Dia memegang perut dengan tangan kanan karena cacing terus meronta. Terlampau lelah, Vidia duduk di trotoar sambil terus memikirkan cara mendapat pertolongan. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang lewat, dia melempar dua keping uang lima ratusan."Hey!" teriak Vidia. Lelaki itu menoleh. "Lu kira gue pengemis apa?!""Kalau bukan pengemis, terus apa?""Lu yang pengemis!" Vidia berkacak pinggang. "Gue ini anak orang kaya cuma abis diculik!""Orang gila ... orang gila ..." teriak para pengamen kecil yang membawa gitar.Orang-orang sudah mengerumuni Vidia karena menjadi pusat perhatian. Banyak yang mengeluarkan ponsel, kemudian menyalakan kamera tidak peduli teriakan Vidia. Hari ini dia merasa sangat stres dan ingin mengakhiri hidup
Dalam rumah yang berukuran lumayan besar itu duduk seorang Vidia yang baru saja selesai membersihkan diri. Dia meminjam pakaian sandi yang kebetulan sepantaran dengannya.Lelaki itu bergeming sesaat, kemudian mengungkap apa yang ada dalam hatinya. "Vid, kamu mau gak jadi pacar aku?"Vidia menoleh menatap Sandi tidak percaya. Dalam hati dia merasa bahagia, bukan karena tampannya atau memiliki rasa yang sama, tetapi lelaki itu lumayan tajir. Mata Vidia kini berkedip beberapa kali membayangkan indahnya menjadi pacar lelaki itu."Aku sudah menikah, San," jawabnya kemudian."Tapi suami kamu selingkuh, 'kan? Aku tahu perasaan kamu, Vid karena ... melihat gebetan atau kekasih kita bahagia dengan orang lain itu sakit banget.""Lalu, kenapa ngajakin aku pacaran?" Vidia benar-benar sudah tertarik untuk selingkuh tidak peduli bagaimana nantinya ketika ketahuan Ferdila terutama Falen.Lagi pula dua lelaki itu tidak mencariku, pikir Vidia lagi."H
"Gimana keadaanmu, Din. Kita ke rumah sakit, yuk!" Ferdila terpaksa pulang ke rumah karena ada sms dari istrinya yang mengatakan sedang sakit."Enggak, Fer. Di rumah aja gak apa-apa. Ini juga udah agak mendingan." Ardina tersenyum, wajahnya pucat pasi. "Kalau nanti aku meninggal–"Ferdila meletakkan jari telunjuknya di bibir Ardina. "Hust! Kamu gak boleh ngomong kayak gitu, Sayang. Kita akan hidup bahagia bersama.""Bagaimana dengan istri keduamu?""Aku sudah janji akan menceraikannya ketika sudah ketemu. Ponselnya gak aktif."Ardina yang lemah menutup mata perlahan, dia ingin menikmati masa-masa seperti ini. Ketika tangannya digenggam erat sang suami, air mata jatuh begitu deras membentuk anak sungai."Sayang?" panggil Ferdila. Dia khawatir terjadi sesuatu pada istri tercinta."Aku masih hidup, Fer," sahut Ardina masih menutup mata. Keadaannya begitu memprihatinkan dengan peluh yang menghiasi pelipisnya.***Vidia
Dua hari berlalu tidak ada peningkatan selain Sandi yang selalu menyuruh Vidia melakukan semua pekerjaan rumah. Shella yang sudah tahu keberadaan Vidia karena tidak sengaja melihatnya selalu mengintai rumah itu.Naren pun tahu kalau misinya sedang dalam bahaya. Dia diberitahu oleh bawahannya yang mengikuti mobil Shella dan Falen. Akhirnya tadi malam tepat pukul satu dini hari Vidia dikembalikan ke gudang karena Ardina merasa Sandi tidak becus bekerja.Rabu pagi ini Ardina yang masih sedikit lemah sudah berdiri di hadapan Vidia yang kakinya dirantai pun tangan diikat ke belakang. Mata Ardina memancarkan luka mengingat kedua sahabat yang harus meregang nyawa."Apa maumu, Ardina?" tanya Vidia dengan suara lirih."Tidak ada.""Lalu kenapa menyandraku di sini?" teriak Vidia mulai emosi. Wajahnya merah."Aku tidak pernah menyandramu, Vidia. Lagi pula jika keadaannya seperti ini, maka Yuni juga Genta akan merasa bahagia." Ardina menarik napas panja
"Jangan bertanya apa pun dulu, kepalaku nyut-nyut," sahut Ardina sambil menutup mata perlahan.Mobil melaju dengan kecepatan sedang dikemudi oleh Naren. Tidak ada percakapan dalam mobil itu karena Ardina benar-benar tidak ingin diusik dulu.Mereka bukannya melaju tanpa tujuan karena sejatinya Naren tahu harus ke mana. Mereka ke cafe yang jauh dari kantor Ferdila berada khawatir ketemu dan langsung ketahuan saat itu juga.Sebenarnya Ardina menutup mata karena rasa dilema. Dia memikirkan Vidia yang pasti merasa tersiksa. Jauh di lubuk hatinya ada rasa ingin memeluk sekalipun perempuan itu yang menjadi perusak rumah tangganya.Ardina menarik napas panjang karena betul-betul dilema. Baru kali ini dia merasa frustrasi sampai makan pun sebenarnya sulit. "Ah, pusing!""Jangan kasihan sama mereka bertiga, Din. Kamu tahu jika kita lepas atau biarkan mereka begitu saja? Resikonya kamu yang disiksa atau mungkin dibunuhlah seperti Yuni dan Genta," tegur
"Kamu memang pantas untuk dihukum karena mulutmu sangat kotor. Bebas sekali mengumpat pada Ardina tanpa harus meminta maaf. Jika aku menginjak-injak harga dirimu, maka pasti kamu ingin membunuhku," ucap Arnila."Iya, aku sangat ingin membunuhmu.""Lalu, kalau adikku kau injak-injak harga dirinya, kira-kira aku akan melakukan apa?""Tentu saja membunuhnya," sela Ardina.Vidia hanya diam, air matanya berlinang. Dia masih terkejut melihat ada dua perempuan dengan wajah yang sama, tetapi sikap sedikit berbeda."Tidak usah memasang tampang seperti itu di hadapanku atau akan tamat riwayatmu!" tegas Arnila kemudian menarik lengan adiknya.Dia tidak ingin berlama-lama menatap Vidia yang hanya cantik rupa saja. Tanpa Arnila sadari kalau adiknya sudah menitikkan air mata hingga sesegukan. Perempuan itu lantas menoleh. "Kenapa menangis?""Aku gak nyangka bakal mengalami takdir yang seperti ini. Bahkan juga tidak pernah bermimpi kamu akan m
POV ARDINAFerdila baru pulang kerja setelah jam menunjuk angka sembilan, katanya harus lembut bersama dua teman lainnya. Wajahnya sudah segar karena langsung mandi saat baru tiba tadi."Seharian ini ngapain aja, Yang?" tanya Ferdila sembari menyandarkan bekang di headboard."Anu, gak ngapa-ngapain.""Kalau bosan, gak apa keluar rumah asal tidak melirik yang lain."Aku tersenyum tipis menanggapi kalimat suami barusan. Dia mengatakan itu bukan karena serius, aku telah berhasil mengembalikan sifat lamanya. Dulu memang selalu bercanda dan saling cemberut ketika cemburu.Akan tetapi, untuk sesaat aku merenung tentang kehidupan esok harinya. Arnila berencana mengembalikan Vidia untuk melanjutkan misi. Jika hilang begitu lama khawatir keluarganya akan mencari dan melibatkan pihak berwajib."Kenapa merenung?" tegur Ferdila."Gak apa-apa." Aku yang memang sedang menyisir rambut wajar mendapat teguran karena menatap kosong ke arah