Ketika malam telah tiba, kami sudah berada dalam kamar Naren. Beruntung ranjangnya besar, jadi bisa menjaga jarak dengan adik ipar. Dia memakai piyama tidur lengan pendek karena cuaca sedikit membuat gerah, sementara aku memaksa diri untuk tidak buka baju.
Ferdila sudah membaringkan tubuhnya, aku sendiri duduk seraya menyandarkan kepala di headboard. Sekalipun sudah mengantuk, sebenarnya aku menunggu seseorang untuk menghindari Ferdila.
"Kenapa belum tidur? Gak gerah?" Ferdila akhirnya membuka suara.
"Gak, ini malah dingin. Entah kenapa belum ngantuk, Fer." Aku mengucapkan kalimat itu sambil menahan mulut agar tidak sampai menguap.
"Kangen," lirih Ferdila. Aku membulatkan mata sambil terus berharap sesuatu yang lain.
Tok, tok, tok!
Ketukan di pintu itu pastilah karena ibu. Aku mengambangkan senyum, lalu beranjak mendekati pintu. Ketika sudah terbuka lebar, benar sekali karena kita sudah janjian sore tadi.
"Ada apa, Bu?"
"Ibu ma
POV ARDINASetelah mematikan sambungan telepon, aku menatap ibu penuh kerinduan. Wajahnya tidak lagi muda, bahkan ada beberapa kerutan di bawah mata dan sudut bibir. Akan tetapi, tutur katanya selalu lembut."Bagaimana bisa kamu rahasiakan pada ibu, Din?""Aku merasa bisa menyelesaikan masalah ini sebelum akhirnya bertemu dengan ibu dan ayah. Akan tetapi, ternyata semua terjadi di luar dugaan."Sekali pun menyakiti, aku tetap harus menjaga kehormatan suami sendiri apalagi cinta itu masih ada. Ferdila juga tidak seberubah dulu ketika Vidia baru saja menginjakkan kaki di rumah ini."Di luar dugaan bagaimana yang kamu bicarakan, Nak?"Aku menghela napas berat. Sulit menceritakan masalah ketika Vidia keluar dari penjara, maka aku memulai dari awal tepat ketika perempuan itu berdiri di hadapanku dengan angkuhnya. Banyak yang aku sembunyikan dari ibu agar beliau tidak terlalu merasa sedih.Biarlah yang disalahkan fokus pada Vidia saja karen
POV ARNILADetik demi detik waktu berlalu begitu cepat, sekarang ibu tidak lagi di rumah karena kemarin mendadak pulang diantar Ferdila. Sebenarnya aku enggan melepas begitu saja, tetapi kekhawatiran ibu jika ketahuan ayah semakin menjadi.Aku tidak ingin masalah semakin rumit dan memisahkan Ardina dari suaminya. Untuk itu aku mengiyakan, sekarang sudah bertukar peran lagi. Vidia bersikap seperti biasa, begitupun Ferdila bahkan mereka tidur bersama tadi malam."Ferdila!" panggil Vidia membuatku tersentak. Pasalnya sejak tadi mengaduk minuman di dapur sampai lupa membawanya ke luar. "Kamu lihat Ferdila, Din?" tanya perempuan itu ketika mata kami saling beradu."Tadi dia duduk di teras rumah baca koran.""Itu minuman buat Ferdila?"Aku mengangguk. Dengan gerak cepat Vidia merebut secangkir kopi itu dan membawanya keluar dengan senyum semringah. Aku memutar bola mata malas bukan karena cemburu. Jika Ardina yang berada di posisi ini, mungkin hat
"Maksud, Bu Hana?" Aku memperjelas arah pembiacaraannya takut salah kaprah."Tadi aku lihat Vidia dimarahi suamimu gara-gara gak bisa ngebedain gula sama garam. Bilang sama dia, kalau mau jadi perebut suami orang itu harus belajar banyak hal. Jangan sampai cibiran kamu sangka pujian," jawab Bu Hana.Aku mengangguk paham, rupanya dia sempat melihat kejadian memalukan itu. Untung bukan aku yang membawa kopi tadi ke Ferdila karena darah bisa mendidih kalau disiram apalagi aku bukan istrinya.Bu Hana meminta izin untuk ikut duduk katanya jenuh di rumah sendirian. Perempuan tua itu memang selalu sendiri karena suaminya sibuk bekerja serta dua anak lainnya. Mereka pun telah berkeluarga."Ngomong-ngomong, Vidia viral di sosial media ya?" bisik Bu Hana begitu Ferdila tidak ada di sisi kami lagi. Perutnya tiba-tiba sakit dan jika sudah berada di toilet, bisa menghabiskan waktu hampir satu jam."Viral kenapa, Bu?""Ada seseakun yang posting cerita ten
Ferdila tidak banyak bicara, dia menyeret Vidia masuk rumah. Di depan kamar keduanya saling menatap tajam. Aku kembali menjadi penonton untuk madu Ardina."Jelaskan!" geram Ferdila."Harusnya istri kesayanganmu yang nenjelaskan semua ini, Fer!"Ferdila memicingkan kedua matanya. Dia terlihat bingung dengan kalimat Vidia tadi. Memang suami adikku itu tidak update sosial media. Aku bahkan jarang melihatnya memegang ponsel jika bukan urusan kantor.Hanya nasib yang merubah segalanya. Ardina harus menelan kenyataan pahit bahwa suaminya telah mendua. Aku tidak tahu pasti awal mula kejadian ini karena ketika Ardina memberitahu, darah langsung mendidih ingin memberi pelajaran pada adik ipar."Ardina?""Iya, tanya sama dia apa saja yang sudah dilakukannya!"Pandangan Ferdila beralih padaku. Namun, tidak sesangar tadi ketika bersitegang dengan Vidia. Aku memaksa senyum meski sebenarnya muak pada drama yang selalu hadir mengelabui hati da
POV VIDIA MAIDA *** Untung saja tadi aku sempat menyambar tas yang tergantung di dekat pintu. Kali ini bibirku terkunci dan aku tidak bisa terus berdiri di hadapan mereka seperti pecundang. Ardina, aku yakin bukan dia yang berada di rumah itu melainkan saudari kembarnya. Di depan rumah, aku berdiri mematung menatap kosong ke depan. Pasti amarah Ferdila memuncak, tetapi entah alasan apa sehingga tidak ada cekalan di tangan. Dia membiarkanku pergi begitu saja. "Honey," sapa seseorang. Lantas aku menoleh dan ternyata itu David dengan mobil kesayangannya. Seketika mata membola melihat kehadirannya yang tiba-tiba. "David!" Aku memekik dengan suara tertahan. "Ngapain ke sini?" tanyaku sambil sesekali menatap ke rumah khawatir ada Ardina atau Ferdila yang mengintip. Jantung berdebar begitu cepat. "Masuk ke mobil!" titahnya sambil menunjuk pintu mobil dengan dagunya yang breawokan. Dengan langkah cepat aku masuk ke mobil milik David de
POV ARNILASekarang aku berada di kediaman Naren sejak kepergian Vidia tadi. Beruntung sekali adik ipar percaya kalau aku keluar hendak membeki bra karena sudah bosan dengan yang lama.Bukan berdua, melainkan ada Ardina juga di sini. Sejak tadi aku menyusun kalimat yang paling bagus supaya bisa menghasut Ardina yang cinta mati pada suaminya."Tidak!" jawab Ardina setelah pertanyaan lima menit lalu aku lontarkan."Kamu harus bisa ikhlas melepas Ferdila, maka masalah akan selesai, Din. Kamu gak akan sakit hati lagi!" tekanku."Dengan melepas Ferdila malah semakin membuatku sakit hati. Memang dia tidak setampan sahabtmu, tetapi hati tidak bisa mengelak kalau cinta itu masih ada."Aku bukannya tidak mau membantu Ardina kembali dengan Ferdila. Apalagi jika niat mengalah dan membiarkan Vidia tersenyum menang. Hanya saja, jika aku menyakiti Ferdila sama saja menyakiti saudari kembar sendiri.Naren pun terlihat bingung, diam-diam menghe
Sore sudah tiba, aku berdiri di belakang rumah Ardina dengan memakai daster yang sengaja aku beli. Sesuai pesan yang dikirim melalui akun Whats*pp, satu menit lagi aku masuk ke rumah. Semoga saja si Bodoh itu sudah pergi dengan memakai taksi yang kami pesankan sebelumnya. Ada sms yang dikirim Ardina.[Masuk!]Aku membuka pintu sambil memerhatikan sekitar, takut-takut Vidia memergoki kami. Takdir berpihak, suasana lagi aman. Dengan langkah cepat aku masuk ke kamar dan merebahkan diri di tempat tidur. Rupanya Ferdila masih mandi."Ganti baju lagi?" tanya Ferdila begitu keluar dari kamar mandi. Aku memalingkan wajah karena dia hanya memakai handuk."Iya.""Kenapa palingkan wajah?""Enggak." Aku menjawab sambil menatap padanya. Lagi pula sama sekali tidak tergoda dan semoga lelaki itu tidak menggodaku.Ferdila tidak lagi membuka suara, dia langsung mencari baju dalam lemari dan memakainya dengan gerak cepat. Huh, aku mengembus napas
"Tidak usah takut dipeluk jika kamu memang Ardina. Bahkan kalau bisa kalian ciuman untuk membuktikan saja. Suami istri boleh melakukan itu, kan?""Gila kamu!" sungutku kesal."Pak Ferdila!" panggil seseorang. Itu tentu saja Naren. Aku bernapas lega. "Mohon maaf, sedikit mengganggu. Ada yang mencari Bapak di depan. Namanya David.""W-what?!" Vidia kaget. Wajahnya pucat. Dengan gerak cepat dia menyusul Ferdila ke luar. Aku tentu saja tidak ingin ketinggalan. Namun, sebelum meninggalkan kamar aku melihat Naren mengedipkan sebelah matanya dengan senyum manis.Tampan juga sahabatku itu, semoga dia segera menikah hingga tidak perlu mengikutiku lagi.Di depan rumah, terlihat seorang lelaki breawok yang bisa dikata tampan. Dia langsung menarik Vidia dan memeluknya di depan Ferdila. Tangan adik iparku terkepal kuat dengan rahang mengeras. Dia tersulut emosi."Siapa itu, Vidia?" tanyaku. Sementara Vidia meronta ingin dilepas, tetapi kekuatan Dav