117. Tamu Istimewaku
"Iya, kalau bukan kamu yang ngerjain aku lantas siapa lagi. Waktu aku buka baju aja kamu yang ngintip, kan?" Vidia mengeraskan suaranya.
"Vid! Kamu pikir aku ini ganda apa? Tadi aja aku di luar bicara sama Bu Hana, kamu nyusul dan datang tetangga lainnya. Terus mana ada kesempatan masuk kamarmu, sedangkan kamu masuk lebih dulu. Lagi pula aku memang mengintip karena penasaran saja."
"Bisa jadi itu saudari kembarmu!" bela Vidia pada dirinya.
Aku bersidekap, kemudian memutar bola mata malas. Jujur saja malas berdebat karena tidak akan berujung kecuali memang sudah pada waktunya. Ferdila hanya diam, mungkin menanti kami saling membongkar kedok satu sama lain.
Vidia terus membuat cerita palsu. Dengan terpaksa aku menunjukkan video tadi pada Ferdila yang membuatnya terperanjat. "Asal kamu tahu, Fer kalau Vidia yang memaksaku menyusu bahkan menggigit payud4ranya. Bahkan sebenarnya ada sesuatu yang dia sembunyikan, aku tidak membe
Ketika malam telah tiba, kami sudah berada dalam kamar Naren. Beruntung ranjangnya besar, jadi bisa menjaga jarak dengan adik ipar. Dia memakai piyama tidur lengan pendek karena cuaca sedikit membuat gerah, sementara aku memaksa diri untuk tidak buka baju.Ferdila sudah membaringkan tubuhnya, aku sendiri duduk seraya menyandarkan kepala di headboard. Sekalipun sudah mengantuk, sebenarnya aku menunggu seseorang untuk menghindari Ferdila."Kenapa belum tidur? Gak gerah?" Ferdila akhirnya membuka suara."Gak, ini malah dingin. Entah kenapa belum ngantuk, Fer." Aku mengucapkan kalimat itu sambil menahan mulut agar tidak sampai menguap."Kangen," lirih Ferdila. Aku membulatkan mata sambil terus berharap sesuatu yang lain.Tok, tok, tok!Ketukan di pintu itu pastilah karena ibu. Aku mengambangkan senyum, lalu beranjak mendekati pintu. Ketika sudah terbuka lebar, benar sekali karena kita sudah janjian sore tadi."Ada apa, Bu?""Ibu ma
POV ARDINASetelah mematikan sambungan telepon, aku menatap ibu penuh kerinduan. Wajahnya tidak lagi muda, bahkan ada beberapa kerutan di bawah mata dan sudut bibir. Akan tetapi, tutur katanya selalu lembut."Bagaimana bisa kamu rahasiakan pada ibu, Din?""Aku merasa bisa menyelesaikan masalah ini sebelum akhirnya bertemu dengan ibu dan ayah. Akan tetapi, ternyata semua terjadi di luar dugaan."Sekali pun menyakiti, aku tetap harus menjaga kehormatan suami sendiri apalagi cinta itu masih ada. Ferdila juga tidak seberubah dulu ketika Vidia baru saja menginjakkan kaki di rumah ini."Di luar dugaan bagaimana yang kamu bicarakan, Nak?"Aku menghela napas berat. Sulit menceritakan masalah ketika Vidia keluar dari penjara, maka aku memulai dari awal tepat ketika perempuan itu berdiri di hadapanku dengan angkuhnya. Banyak yang aku sembunyikan dari ibu agar beliau tidak terlalu merasa sedih.Biarlah yang disalahkan fokus pada Vidia saja karen
POV ARNILADetik demi detik waktu berlalu begitu cepat, sekarang ibu tidak lagi di rumah karena kemarin mendadak pulang diantar Ferdila. Sebenarnya aku enggan melepas begitu saja, tetapi kekhawatiran ibu jika ketahuan ayah semakin menjadi.Aku tidak ingin masalah semakin rumit dan memisahkan Ardina dari suaminya. Untuk itu aku mengiyakan, sekarang sudah bertukar peran lagi. Vidia bersikap seperti biasa, begitupun Ferdila bahkan mereka tidur bersama tadi malam."Ferdila!" panggil Vidia membuatku tersentak. Pasalnya sejak tadi mengaduk minuman di dapur sampai lupa membawanya ke luar. "Kamu lihat Ferdila, Din?" tanya perempuan itu ketika mata kami saling beradu."Tadi dia duduk di teras rumah baca koran.""Itu minuman buat Ferdila?"Aku mengangguk. Dengan gerak cepat Vidia merebut secangkir kopi itu dan membawanya keluar dengan senyum semringah. Aku memutar bola mata malas bukan karena cemburu. Jika Ardina yang berada di posisi ini, mungkin hat
"Maksud, Bu Hana?" Aku memperjelas arah pembiacaraannya takut salah kaprah."Tadi aku lihat Vidia dimarahi suamimu gara-gara gak bisa ngebedain gula sama garam. Bilang sama dia, kalau mau jadi perebut suami orang itu harus belajar banyak hal. Jangan sampai cibiran kamu sangka pujian," jawab Bu Hana.Aku mengangguk paham, rupanya dia sempat melihat kejadian memalukan itu. Untung bukan aku yang membawa kopi tadi ke Ferdila karena darah bisa mendidih kalau disiram apalagi aku bukan istrinya.Bu Hana meminta izin untuk ikut duduk katanya jenuh di rumah sendirian. Perempuan tua itu memang selalu sendiri karena suaminya sibuk bekerja serta dua anak lainnya. Mereka pun telah berkeluarga."Ngomong-ngomong, Vidia viral di sosial media ya?" bisik Bu Hana begitu Ferdila tidak ada di sisi kami lagi. Perutnya tiba-tiba sakit dan jika sudah berada di toilet, bisa menghabiskan waktu hampir satu jam."Viral kenapa, Bu?""Ada seseakun yang posting cerita ten
Ferdila tidak banyak bicara, dia menyeret Vidia masuk rumah. Di depan kamar keduanya saling menatap tajam. Aku kembali menjadi penonton untuk madu Ardina."Jelaskan!" geram Ferdila."Harusnya istri kesayanganmu yang nenjelaskan semua ini, Fer!"Ferdila memicingkan kedua matanya. Dia terlihat bingung dengan kalimat Vidia tadi. Memang suami adikku itu tidak update sosial media. Aku bahkan jarang melihatnya memegang ponsel jika bukan urusan kantor.Hanya nasib yang merubah segalanya. Ardina harus menelan kenyataan pahit bahwa suaminya telah mendua. Aku tidak tahu pasti awal mula kejadian ini karena ketika Ardina memberitahu, darah langsung mendidih ingin memberi pelajaran pada adik ipar."Ardina?""Iya, tanya sama dia apa saja yang sudah dilakukannya!"Pandangan Ferdila beralih padaku. Namun, tidak sesangar tadi ketika bersitegang dengan Vidia. Aku memaksa senyum meski sebenarnya muak pada drama yang selalu hadir mengelabui hati da
POV VIDIA MAIDA *** Untung saja tadi aku sempat menyambar tas yang tergantung di dekat pintu. Kali ini bibirku terkunci dan aku tidak bisa terus berdiri di hadapan mereka seperti pecundang. Ardina, aku yakin bukan dia yang berada di rumah itu melainkan saudari kembarnya. Di depan rumah, aku berdiri mematung menatap kosong ke depan. Pasti amarah Ferdila memuncak, tetapi entah alasan apa sehingga tidak ada cekalan di tangan. Dia membiarkanku pergi begitu saja. "Honey," sapa seseorang. Lantas aku menoleh dan ternyata itu David dengan mobil kesayangannya. Seketika mata membola melihat kehadirannya yang tiba-tiba. "David!" Aku memekik dengan suara tertahan. "Ngapain ke sini?" tanyaku sambil sesekali menatap ke rumah khawatir ada Ardina atau Ferdila yang mengintip. Jantung berdebar begitu cepat. "Masuk ke mobil!" titahnya sambil menunjuk pintu mobil dengan dagunya yang breawokan. Dengan langkah cepat aku masuk ke mobil milik David de
POV ARNILASekarang aku berada di kediaman Naren sejak kepergian Vidia tadi. Beruntung sekali adik ipar percaya kalau aku keluar hendak membeki bra karena sudah bosan dengan yang lama.Bukan berdua, melainkan ada Ardina juga di sini. Sejak tadi aku menyusun kalimat yang paling bagus supaya bisa menghasut Ardina yang cinta mati pada suaminya."Tidak!" jawab Ardina setelah pertanyaan lima menit lalu aku lontarkan."Kamu harus bisa ikhlas melepas Ferdila, maka masalah akan selesai, Din. Kamu gak akan sakit hati lagi!" tekanku."Dengan melepas Ferdila malah semakin membuatku sakit hati. Memang dia tidak setampan sahabtmu, tetapi hati tidak bisa mengelak kalau cinta itu masih ada."Aku bukannya tidak mau membantu Ardina kembali dengan Ferdila. Apalagi jika niat mengalah dan membiarkan Vidia tersenyum menang. Hanya saja, jika aku menyakiti Ferdila sama saja menyakiti saudari kembar sendiri.Naren pun terlihat bingung, diam-diam menghe
Sore sudah tiba, aku berdiri di belakang rumah Ardina dengan memakai daster yang sengaja aku beli. Sesuai pesan yang dikirim melalui akun Whats*pp, satu menit lagi aku masuk ke rumah. Semoga saja si Bodoh itu sudah pergi dengan memakai taksi yang kami pesankan sebelumnya. Ada sms yang dikirim Ardina.[Masuk!]Aku membuka pintu sambil memerhatikan sekitar, takut-takut Vidia memergoki kami. Takdir berpihak, suasana lagi aman. Dengan langkah cepat aku masuk ke kamar dan merebahkan diri di tempat tidur. Rupanya Ferdila masih mandi."Ganti baju lagi?" tanya Ferdila begitu keluar dari kamar mandi. Aku memalingkan wajah karena dia hanya memakai handuk."Iya.""Kenapa palingkan wajah?""Enggak." Aku menjawab sambil menatap padanya. Lagi pula sama sekali tidak tergoda dan semoga lelaki itu tidak menggodaku.Ferdila tidak lagi membuka suara, dia langsung mencari baju dalam lemari dan memakainya dengan gerak cepat. Huh, aku mengembus napas
POV AUTHOR 💚 "Jangan pergi atau akan semakin menyakitimu." "Tapi, Ferdila–" "Dia khawatir bukan karena cinta, melainkan rasa bersalah karena telah merobek mulut Vidia. Kamu di sini, tunggu kabar di telepon saja," potong Arnila. Dia tidak ingin adik kembarnya khawatir. Masalah Ferdila salah peluk kemarin biar menjadi rahasiaku sendiri selama Naren tidak tahu juga Vidia maka akan baik-baik saja. Adikku harus bahagia, batin Arnila sedih. Ponsel berdering, ada pesan masuk ke aplikasi hijau. Perempuan tempramental itu mengurangi cahaya layar agar tidak ketahuan kalau ada pesan masuk apalagi jika kabar buruk. Benar saja, Naren mengabari bahwa Vidia meninggal. "Mereka kok lama ya? Gak ada kabar lagi," keluh Ardina. Dia memikirkan suaminya. "Gini, Din ...." Arnila menggigit bibirnya, dia menunduk dalam. Sementara di rumah sakit sedang gaduh. Naren mengurus banyak hal termasuk meminta mereka semua tutup mulut. Pasalnya
POV ARDINA💚Selesai makan malam, terdengar deru mobil dari luar. Aku dan Arnila saling berpandangan. Jantung berdegup cepat tak ubahnya pacuan kuda. Beberapa kali aku menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan."Tenang, Ardina. Tidak akan terjadi apa-apa. Aku yang akan menjelaskan semua ini. Kamu diam dan hanya menyahut ketika kutanya. Oke?"Enak sekali menjadi Arnila karena dia terlihat seperti tidak memiliki beban hidup. Lagi pula jika ada yang mengusik tentu kalah dengan satu pukulan telak. Aku memaksa senyum.Pintu rumah terbuka lebar. Naren dan Ferdila melangkah beriringan. Begitu sampai di hadapan kami, keduanya bungkam. Aku bisa menangkap raut wajah suamiku menyiratkan kebingungan."Ardina yang mana?" tanyanya setelah hening beberapa saat."Fer, biar aku jelaskan semuanya. Aku Arnila saudari kembar istrimu. Kita berpisah sudah lama bahkan ketika kamu menikah, tidak sempat hadir." Arnila menjeda kalimatnya.D
POV AUTHOR💚Satu minggu pasca operasi, Vidia sudah merasa sehat sekalipun disibukkan dengan mengganti perban. Perawat menyarankan untuk tidak memakai cermin hingga masa penyembuhan selesai, tetapi dia bersikeras."Baiklah," jawab seorang perawat. Dia keluar mengambil cermin.Sementara Vidia dia begitu penasaran dengan bentuk wajahnya setelah digunting Ferdila. Rasa untuk balas dendam semakin membuncah. Dia merasa tidak bisa hidup tenang sampai Ardina merasakan luka yang sama atau bahkan lebih perih.Rambut indahnya pun sudah hilang. Dia memakai rambut palsu sejak kemarin. Tidak ada yang diizinkan masuk menjenguk walau orang itu mengaku sebagai sahabat dekatnya.Orangtua Vidia tidak tahu kabar ini karena Naren menutup mulut semua orang bahkan memalsukan data agar tidak ada yang bisa mengecek keberadaannya.Beberapa menit menunggu, seorang perawat datang dan menyerahkan sebuah cermin. Namun, sebelum itu dia berpesan agar V
"Gimana keadaan Vidia, Ren? Ada yang tahu perkara ini?" tanyaku khawatir.Kami sudah berada di rumah sakit sejak sepuluh menit lalu. Ferdila terus diam menangisi kebodohannya. Aku terus menghibur dengan dalih Vidia yang salah."Dia ditangani dokter. Tenang saja, aku bisa membungkam mulut mereka semua. Sekarang kamu fokus pada diri sendiri. Beruntung di outlet tadi lagi sepi," jelas Naren."Terimakasih, Ren. Kami berhutang budi padamu," ucapku tulus, lalu kembali duduk di samping Ferdila.Suamiku benar-benar menyesali perbuatannya. Sekali lagi aku menghibur dengan mengalihkan pikiran. Alhamdulillah, dia bisa tersenyum ketika kukatakan akan pergi dari sini jika terus murung.Tangan kekar itu sekarang mengelus perutku yang rata. Dia menasihati calon anak kami agar tidak pernah selingkuh jika sudah lahir. Ferdila sadar, yang mendua kelak akan diduakan dan rasanya seratus kali lipat lebih sakit."Anak kita harus jadi salihah, tidak boleh se
Dua hari sejak kejadian itu Vidia belum juga pulang. Mungkin dia tahu kalau Falen meninggal di hari yang sama jadi ada rasa galau. Entah, ini hanya praduga.Naren pun tidak pernah datang, hanya ada aku dan Ferdila di sini. Outlet warna merah muda sudah terpasang rapi di halaman rumah. Senin lalu mulai buka. Beruntung banyak pelanggan sampai Ferdila sedikit kewalahan."Jualan bakso?" tanya Vidia tiba-tiba ketika Naren sedang sibuk meladeni satu pelanggan terakhir. "Makanya aku malu balik ke sini karena gak mau punya suami tukang bakso. Mana jualnya di depan rumah, ogah banget!""Kalau begitu silakan pergi dari sini!" geram Ferdila."Iya, walau tidak kamu minta aku akan pergi! Dasar lelaki miskin!" makinya sambil melangkah masuk rumah.Dia memang tidak punya malu. Sudah mengatai suami sendiri, tapi dengan santainya melangkah masuk rumah. Aku sampai geleng-geleng kepala melihat kelakuan Vidia.Sebenarnya Ferdila ingin membahas masalah abo
"Kamu menang kali ini, Din!" gumam Vidia, tetapi aku masih mampu mendengarnya.Dia berdiri, memungut ponsel itu dan melangkah masuk kamar. Pintu dibanting kasar. Aku sampai mengelus dada berulang kali sambil membaca istigfar. Semoga saja janin dalam kandungan ini kuat dan dilindungi sama Allah.Naren meminta kami istirahat saja dulu kbawatir pikiran semakin kacau. Ferdila setuju, lalu menuntunku masuk kamar. Sabtu besok dia harus ke tukang kayu untuk mengambil outlet karena memang tidak melakukan pengiriman khusus weekend."Besok, kamu jangan keluar kamar. Nanti bisa dikerjain Vidia. Kalau bisa pas lagi makan aja. Oke?" Ferdila mengingatkan."Iya, Sayang."Aku menatap langit-langit kamar. Entah kenapa ada firasat hal buruk akan terjadi. Namun, suamiku selalu mengingatkan bahwa kita harus berprasangka baik agar jika ada petaka, dia akan pergi.***Pagi menyapa, dua jam lalu Ferdila pergi bersama Naren. Jarak rumah tukang kayu itu lumay
Malam menyapa ketika kami bertiga sedang kumpul di depan televisi. Vidia datang dengan senyum merekah dan duduk di dekat kami. Tangannya mengeluarkan ponsel dari saku.Aku cuek saja, lalu meraih gelas dan meneguk isinya. Malam ini tidak boleh stres karena bisa berakibat parah pada janin yang baru saja hadir dalam rahimku."Fer, tidakkah kamu berpikir Ardina mempermainkanmu?" Vidia membuka percakapan. Aku menoleh padanya begitupun Naren, tidak dengan Ferdila."Maksud kamu mempermainkan apa, Vid?" Aku bertanya.Ferdila menatapku dalam. Dia memberi isyarat untuk tidak merespon Vidia. Memang magrib tadi aku juga diperingatkan untuk mendiami perempuan berambut pirang itu agar tidak semakin menjadi atau berbuat sesuka hati.Aku memang setuju, tetapi mendengar kalimat itu membuat darah seketika nendidih dalam hitungan detik. Ingin sekali tangan ini menjambak rambut dan merobek mulutnya. Huh, hidup bersama Vidia memang tidak pernah membawa ketena
POV ARDINA💚Aku baru selesai mandi ketika mendengar suara tawa perempuan di luar rumah. Namun, samar terdengar karena gemericik air mengganggu pendengaran. Setelah mengenakan pakaian rumah serta mengeringkan rambut, aku melangkah ke luar kamar dan menoleh ke kiri. Rupanya ada tamu Vidia."Sini, Din!" panggil Vidia. Aku mendekat karena menghormati tamu dan duduk di samping adik madu.Perempuan ini cantik sekali. Wajah dan postur tubuhnya terpahat sempurna. Kulit putih bersih bahkan mengalahkan Vidia. Aku kagum, entah darimana asalnya. Akan tetapi, semoga hati perempuan itu tidak seburuk Vidia.Aku tersenyum ketika dia memperkenalkan nama. Dia Venny dan aku–"Dia ini kakak maduku, Ven. Namanya Ardina." Vidia mendahuluiku memperkenalkan diri. Sudahlah, tidak mengapa selagi masih wajar.Perempuan itu tersenyum ramah. Hingga detik ini aku merasa masih aman-aman saja. Vidia menjelaskan kalau temannya itu baru tiba dari Jepang. Aku m
POV VIDIA MAIDA💚Mereka terlalu bahagia di dalam sana sehingga membuat muak untuk melihat terlalu lama. Aneh sekali kenapa Ardina bisa hamil. Apakah ini yang dinamakan keajaiban?Huh, aku mengembus napas kasar begitu ingat tentang Ferdila yang tidak lagi bekerja di kantor. Untuk apa bertahan? Pertanyaan itu sesuatu yang konyol, tentu saja ingin mengais harta lelaki itu. Aku sangat yakin dia memiliki tabungan di bank."Sial!" umpatku ketia Ferdila menoleh dan langsung melangkah ke dekat televisi.Ada ide lain, aku harus melakukan sesuatu yang tidak disukai perempuan itu bahkan kalau bisa menyebar fitnah agar dicerai dalam keadaan hamil. Pasti ada cara yang paling jitu.Mudah! Aku akan melakukan satu rencana yang sangat besar. Bahkan sudah ada dalam pikiran. Naren pasti akan sering ke sini karena Ferdila tidak lagi sibuk di kantor. Kelihatannya bakal ada usaha baru yang akan dikerjakan."Vidia?" Suara Ferdila mengagetkanku yang