Pukul sembilan malam Ferdila sudah masuk di kamarku. Dia menyeringai layaknya singa kelaparan. Sementara aku hanya duduk bersandar di kepala ranjang menanti lelaki itu memulai lebih dulu.
Detak jantung seakan saling berkejaran. Sensasinya seperti malam pertama dan entah mengapa aku sangat menginginkan. Ferdila.
Aku menelan saliva ketika jarak kami semakin dekat. Dia duduk di tepi ranjang. "Apa kamu sudah siap bertempur malam ini, Sayang?"
"Sekarang?"
"Iya, kamu cantik sekali malam ini, Din. Sepertinya saat ini adalah waktu yang tepat. Aku tidak sabar menyentuh setiap inci tubuhmu."
Aku tersenyum manis. Aroma parfum Ferdila menusuk indera penciuman. Dia semakin memutus jarak di antara kami. Tangan sudah saling berpegangan.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka lebar. Aku terperanjat bukan main melihat Vidia memeluk bantal. "Malam ini aku tidur di sini, Din. Takut di kamar sendirian, ada yang ketuk-ketuk jendela."
"Benarkah? Atau itu cuma akal-
POV VIDIA MAIDA***"Jika ada ular yang terlihat jinak, jangan kau pastikan tidak berbisa. Seperti itulah aku, bersikap baik dan cengeng pada kakak madu hanya untuk membuatnya terluka lebih lama," gumamku sambil menatap ke luar jendela hotel.Tidak ada sesiapa pun di sini karena orang yang datang bersamaku baru saja pergi. Dia tahu kalau Ferdila akan datang sore nanti. Ya, kami akan jalan bertiga sesuai rencana, tetapi sebenarnya tidak.Aku memang mengirim pesan pada Ardina, memintanya untuk siap-siap. Namun, ada sesuatu di balik itu semua.Saat melirik jam, sudah menunjuk angka tiga, aku menelepon Ferdila dan langsung terhubung. "Fer," lirihku."Vid, kamu kenapa?""Aku ... perutku sakit banget, Fer. Mungkin gak bisa ikut pergi bareng kalian.""Sakit banget emang?""Iya, kan lagi halangan. Sakit banget ini," rengekku lagi padahal semua ini palsu."Kalau gitu kita tunda saja keluarnya. Nanti aku telepon Ardina dan
POV ARDINA***"Ferdila belum datang, Din?" tanya Naren dari dalam rumah. Ya, aku masih duduk di dekat jendela sambil terus memandang ke luar. Jam sudah menunjuk angka tujuh."Belum, mungkin lagi belanja sama Vidia. Abis itu singgah ke sini dan langsung berangkat biar gak repot ganti bajunya nanti." Aku menjawab ragu.Ada rasa gelisah yang menyelimuti jiwa, tetapi malu mengungkap pada Naren. Biar bagaimana pun, Ferdila tetaplah seorang suami yang wajib aku jaga kehormatannya. Aku merasa seperti itu untuk sesaat."Coba ditelepon, jangan sampai menunggu padahal gak jadi pergi.""Sudah, ponselnya gak aktif. Vidia juga gak baca pesan aku. Kemungkinan besar sibuk belanja."Naren hanya mengangguk. Aku mengerti bagaimana prihatinnya lelaki itu. Beberapa detik kemudian ada deru mobil dan aku spontan menoleh, sayang sekali itu mobil milik tetangga."Sampai kapan kamu akan menunggu, Din?""Sampai Ferdila datang. Aku percaya dia ak
Aku gamang. Jantung berdegup semakin cepat. Lelaki itu menyeringai dengan tatapan tajam seakan ingin menerkamku habis-habisan."Tidak usah mencari berkas yang tidak ada. Mari kita menikmati malam berdua, kita habiskan dengan bercumbu rayu!" Pak Robby mendekat. Dia mendorongku."Jangan! Tolong!" teriakku berusaha menghindar, tetapi kalah kekuatan. Tentu saja!"Tidak ada orang lain di sini. Kita nikmati malam ini." Pak Robby hendak membuka bajunya, tetapi terhenti karena pintu tiba-tiba terbuka. Ada yang menendangnya dari luar.Malaikat penolong, pasti itu Naren! batinku penuh harap."Jangan mau menikmati sendirian Robby, bagi ke gue juga!" bentaknya.Robby hanya tersenyum. Dia mempersilakan untuk menj*mahku lebih dulu. Rasa takut semakin menjadi. Aku mulai menitikkan air mata, Naren tidak juga muncul.Lelaki hidung belang yang umurnya tidak lagi muda itu melempar jaket yang dikenakannya asal. Dia pun sudah selesai melepas baju dan ters
Siang hari barulah Vidia kembali ke rumah, dia sendiri dengan tanpa membawa belanjaan. Wajahnya nampak begitu ceria."Dari mana aja, Vid?" Aku yang sedang duduk di sofa tentulah terusik untuk bertanya."Dari bareng Ferdila tadi malam, cuma gak dianter ke sini." Vidia tersenyum. "Oh iya, tadi malam lupa ngabarin kita gak jadi jemput karena aku sakit perut."Aku hanya diam membiarkan Vidia masuk. Rumah masih berantakan, aku enggan untuk membereskan sebelum ada penjelasan dari Ferdila.Hati merasa gamang. Sekilas aku melihat tanda merah di leher perempuan tadi. Tidak mungkin tadi malam mereka sibuk berc*mbu di hotel dan membiarkanku sendirian di rumah."Kenapa rumah berantakan gini?" Vidia kembali ke luar sambil mengedarkan pandangan ke seluruh sisi."Gak tahu, mungkin tadi malam ada pencuri. Tanya pada Naren karena dia di sini juga tadi malam.""Naren di sini?"Aku mengangguk. Tidak lama kemudian beranjak juga menghampiri perempu
Pukul empat sore aku baru tiba di rumah karena malas jika bertemu Vidia sepanjang hari. Huh, berat sekali beban hidup yang bertengger di pundak."Dari mana?""Bukan urusanmu!" jawabku ketus."Tadi itu Arnila, kan?" Tatapan Vidia terlihat menyelidik. Aku menggeleng cepat sambil mengibaskan tangan berusaha menghindari pertanyaan yang bisa menjebak sampai ketahuan."Arnila apanya?""Aku tidak bisa kamu bohongi, Din. Telinga ini sudah sangat hafal suara saudari kembarmu itu."Untuk sesaat aku memutar bola mata malas, kemudian berlalu masuk kamar. Hati sedang tidak mood untuk diajak membahas hal sepele seperti itu. Biarlah dia menerka sendiri agar tahu bagaimana rasanya penasaran.Dalam kamar aku bersandar pada headboard sambil terus menatap ponsel yang tidak ada kabar dari Ferdila bahkan pesan suara yang aku kirim hanya dibaca. Mungkin dia ingin menjelaskan secara langsung.Ada notifikasi Whats*pp dan itu bukan dari suamiku, tetapi
Baru pukul empat sore, deru mobil sudah terdengar memasuki halaman rumah. Gegas kaki melangkah ke luar untuk memastikan siapa yang datang dan benar saja itu suamiku. Dia melangkah mendekat dan langsung mengulurkan tangannya ketika mata kami saling bertemu."Capek!" keluhnya menjatuhkan bobot di sofa. Aku ikut menemani sementara Vidia sekilas terlihat masuk dapur.Ada rasa iba melihat suami pulang dengan peluh yang membasahi sekujur tubuh. Jadi, untuk membahas sekarang rasanya tidak perlu. Nanti berujung pertengkaran."Tumben pulang cepat?""Karena mulai besok harus lembur selama sebulan.""Lembur sampai jam berapa?""Jam sembilan malam."Aku hanya mengangguk apalagi tidak terlalu faham dunia pekerjaan. Tidak lama, Vidia keluar dengan baki yang berisi kopi hangat. Senyuman lelaki itu seketika mengambang sempurna.Vidia duduk di sampingku, dia berkata dengan suara sangat lembut, "Mau aku siapin air untuk mandi?""Boleh, Sa
POV ARNILASetelah mengirim pesan balasan pada Ardina, aku langsung mematikan ponsel karena nendengar suara pintu kamar yang terbuka. Benar sekali, seseorang yang keluar adalah adik iparku si Ferdila.Dia menoleh dengan raut wajah bingung. Beruntung aku sudah di depan kamar jadi tidak terlalu pusing mengambil alasan."Kenapa ke luar?""Tadi aku haus, jadi mau ke dapur buat minum. Kamu sendiri?" Aku berusaha bersikap santai."Mau minum juga," jawab Ferdila santai. "Kenapa bawa ponsel?"Aku menatap ponsel, kemudian tertawa renyah. "Ah, iya kenapa bawa ponsel padahal ponselnya mati."Lelaki itu geleng-geleng kepala kemudian melangkah ke dapur. Mau tidak mau aku harus mengikuti dari belakang karena kalau langsung masuk kamar bisa ketahuan. Lagi pula siapa tahu ada kesempatan mencuri informasi.Lampu dapur sudah menyala, aku gegas mengambil gelas dan mengisinya dengan air putih. Setengah saja karena tidak benar-benar haus. Ber
"Good morning, Vidia! How are you to day?" sapaku setelah melihatnya sibuk di dapur sepagi ini."Morning too, i am fine," sahutnya, kemudian tangan yang sedang menumis ikan itu berhenti dan menoleh padaku. "Arnila?"Aku mengibas tangan di depan wajah sambil tersenyum. "Kenapa, Vid? Kangen sama saudariku?"Dia memicingkan mata tanda curiga. Cepat-cepat aku bertingkah seperti Ardina yang lugu. Sementara perempuan itu kembali melakukan aktivitasnya. "Entah kenapa akhir-akhir ini aku selalu mengira kamu Arnila.""Lucu sekali," ejekku."Di mana dia sekarang? Pasti sibuk mengerjai Shella dan juga Falen, kan?"Aku meletakkan gelas di meja, duduk di kursi sambil menatap punggung perempuan berambut pirang itu. Jengkel sekali melihatnya bahkan ada rasa ingin mendorong wajah menyebalkan itu ke wajan agar semakin terlihat menawan."Entahlah, aku juga tidak tahu Arnila sedang apa sekarang. Kami tidak pernah mengobrol walau sekadar menanyakan
POV AUTHOR 💚 "Jangan pergi atau akan semakin menyakitimu." "Tapi, Ferdila–" "Dia khawatir bukan karena cinta, melainkan rasa bersalah karena telah merobek mulut Vidia. Kamu di sini, tunggu kabar di telepon saja," potong Arnila. Dia tidak ingin adik kembarnya khawatir. Masalah Ferdila salah peluk kemarin biar menjadi rahasiaku sendiri selama Naren tidak tahu juga Vidia maka akan baik-baik saja. Adikku harus bahagia, batin Arnila sedih. Ponsel berdering, ada pesan masuk ke aplikasi hijau. Perempuan tempramental itu mengurangi cahaya layar agar tidak ketahuan kalau ada pesan masuk apalagi jika kabar buruk. Benar saja, Naren mengabari bahwa Vidia meninggal. "Mereka kok lama ya? Gak ada kabar lagi," keluh Ardina. Dia memikirkan suaminya. "Gini, Din ...." Arnila menggigit bibirnya, dia menunduk dalam. Sementara di rumah sakit sedang gaduh. Naren mengurus banyak hal termasuk meminta mereka semua tutup mulut. Pasalnya
POV ARDINA💚Selesai makan malam, terdengar deru mobil dari luar. Aku dan Arnila saling berpandangan. Jantung berdegup cepat tak ubahnya pacuan kuda. Beberapa kali aku menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan."Tenang, Ardina. Tidak akan terjadi apa-apa. Aku yang akan menjelaskan semua ini. Kamu diam dan hanya menyahut ketika kutanya. Oke?"Enak sekali menjadi Arnila karena dia terlihat seperti tidak memiliki beban hidup. Lagi pula jika ada yang mengusik tentu kalah dengan satu pukulan telak. Aku memaksa senyum.Pintu rumah terbuka lebar. Naren dan Ferdila melangkah beriringan. Begitu sampai di hadapan kami, keduanya bungkam. Aku bisa menangkap raut wajah suamiku menyiratkan kebingungan."Ardina yang mana?" tanyanya setelah hening beberapa saat."Fer, biar aku jelaskan semuanya. Aku Arnila saudari kembar istrimu. Kita berpisah sudah lama bahkan ketika kamu menikah, tidak sempat hadir." Arnila menjeda kalimatnya.D
POV AUTHOR💚Satu minggu pasca operasi, Vidia sudah merasa sehat sekalipun disibukkan dengan mengganti perban. Perawat menyarankan untuk tidak memakai cermin hingga masa penyembuhan selesai, tetapi dia bersikeras."Baiklah," jawab seorang perawat. Dia keluar mengambil cermin.Sementara Vidia dia begitu penasaran dengan bentuk wajahnya setelah digunting Ferdila. Rasa untuk balas dendam semakin membuncah. Dia merasa tidak bisa hidup tenang sampai Ardina merasakan luka yang sama atau bahkan lebih perih.Rambut indahnya pun sudah hilang. Dia memakai rambut palsu sejak kemarin. Tidak ada yang diizinkan masuk menjenguk walau orang itu mengaku sebagai sahabat dekatnya.Orangtua Vidia tidak tahu kabar ini karena Naren menutup mulut semua orang bahkan memalsukan data agar tidak ada yang bisa mengecek keberadaannya.Beberapa menit menunggu, seorang perawat datang dan menyerahkan sebuah cermin. Namun, sebelum itu dia berpesan agar V
"Gimana keadaan Vidia, Ren? Ada yang tahu perkara ini?" tanyaku khawatir.Kami sudah berada di rumah sakit sejak sepuluh menit lalu. Ferdila terus diam menangisi kebodohannya. Aku terus menghibur dengan dalih Vidia yang salah."Dia ditangani dokter. Tenang saja, aku bisa membungkam mulut mereka semua. Sekarang kamu fokus pada diri sendiri. Beruntung di outlet tadi lagi sepi," jelas Naren."Terimakasih, Ren. Kami berhutang budi padamu," ucapku tulus, lalu kembali duduk di samping Ferdila.Suamiku benar-benar menyesali perbuatannya. Sekali lagi aku menghibur dengan mengalihkan pikiran. Alhamdulillah, dia bisa tersenyum ketika kukatakan akan pergi dari sini jika terus murung.Tangan kekar itu sekarang mengelus perutku yang rata. Dia menasihati calon anak kami agar tidak pernah selingkuh jika sudah lahir. Ferdila sadar, yang mendua kelak akan diduakan dan rasanya seratus kali lipat lebih sakit."Anak kita harus jadi salihah, tidak boleh se
Dua hari sejak kejadian itu Vidia belum juga pulang. Mungkin dia tahu kalau Falen meninggal di hari yang sama jadi ada rasa galau. Entah, ini hanya praduga.Naren pun tidak pernah datang, hanya ada aku dan Ferdila di sini. Outlet warna merah muda sudah terpasang rapi di halaman rumah. Senin lalu mulai buka. Beruntung banyak pelanggan sampai Ferdila sedikit kewalahan."Jualan bakso?" tanya Vidia tiba-tiba ketika Naren sedang sibuk meladeni satu pelanggan terakhir. "Makanya aku malu balik ke sini karena gak mau punya suami tukang bakso. Mana jualnya di depan rumah, ogah banget!""Kalau begitu silakan pergi dari sini!" geram Ferdila."Iya, walau tidak kamu minta aku akan pergi! Dasar lelaki miskin!" makinya sambil melangkah masuk rumah.Dia memang tidak punya malu. Sudah mengatai suami sendiri, tapi dengan santainya melangkah masuk rumah. Aku sampai geleng-geleng kepala melihat kelakuan Vidia.Sebenarnya Ferdila ingin membahas masalah abo
"Kamu menang kali ini, Din!" gumam Vidia, tetapi aku masih mampu mendengarnya.Dia berdiri, memungut ponsel itu dan melangkah masuk kamar. Pintu dibanting kasar. Aku sampai mengelus dada berulang kali sambil membaca istigfar. Semoga saja janin dalam kandungan ini kuat dan dilindungi sama Allah.Naren meminta kami istirahat saja dulu kbawatir pikiran semakin kacau. Ferdila setuju, lalu menuntunku masuk kamar. Sabtu besok dia harus ke tukang kayu untuk mengambil outlet karena memang tidak melakukan pengiriman khusus weekend."Besok, kamu jangan keluar kamar. Nanti bisa dikerjain Vidia. Kalau bisa pas lagi makan aja. Oke?" Ferdila mengingatkan."Iya, Sayang."Aku menatap langit-langit kamar. Entah kenapa ada firasat hal buruk akan terjadi. Namun, suamiku selalu mengingatkan bahwa kita harus berprasangka baik agar jika ada petaka, dia akan pergi.***Pagi menyapa, dua jam lalu Ferdila pergi bersama Naren. Jarak rumah tukang kayu itu lumay
Malam menyapa ketika kami bertiga sedang kumpul di depan televisi. Vidia datang dengan senyum merekah dan duduk di dekat kami. Tangannya mengeluarkan ponsel dari saku.Aku cuek saja, lalu meraih gelas dan meneguk isinya. Malam ini tidak boleh stres karena bisa berakibat parah pada janin yang baru saja hadir dalam rahimku."Fer, tidakkah kamu berpikir Ardina mempermainkanmu?" Vidia membuka percakapan. Aku menoleh padanya begitupun Naren, tidak dengan Ferdila."Maksud kamu mempermainkan apa, Vid?" Aku bertanya.Ferdila menatapku dalam. Dia memberi isyarat untuk tidak merespon Vidia. Memang magrib tadi aku juga diperingatkan untuk mendiami perempuan berambut pirang itu agar tidak semakin menjadi atau berbuat sesuka hati.Aku memang setuju, tetapi mendengar kalimat itu membuat darah seketika nendidih dalam hitungan detik. Ingin sekali tangan ini menjambak rambut dan merobek mulutnya. Huh, hidup bersama Vidia memang tidak pernah membawa ketena
POV ARDINA💚Aku baru selesai mandi ketika mendengar suara tawa perempuan di luar rumah. Namun, samar terdengar karena gemericik air mengganggu pendengaran. Setelah mengenakan pakaian rumah serta mengeringkan rambut, aku melangkah ke luar kamar dan menoleh ke kiri. Rupanya ada tamu Vidia."Sini, Din!" panggil Vidia. Aku mendekat karena menghormati tamu dan duduk di samping adik madu.Perempuan ini cantik sekali. Wajah dan postur tubuhnya terpahat sempurna. Kulit putih bersih bahkan mengalahkan Vidia. Aku kagum, entah darimana asalnya. Akan tetapi, semoga hati perempuan itu tidak seburuk Vidia.Aku tersenyum ketika dia memperkenalkan nama. Dia Venny dan aku–"Dia ini kakak maduku, Ven. Namanya Ardina." Vidia mendahuluiku memperkenalkan diri. Sudahlah, tidak mengapa selagi masih wajar.Perempuan itu tersenyum ramah. Hingga detik ini aku merasa masih aman-aman saja. Vidia menjelaskan kalau temannya itu baru tiba dari Jepang. Aku m
POV VIDIA MAIDA💚Mereka terlalu bahagia di dalam sana sehingga membuat muak untuk melihat terlalu lama. Aneh sekali kenapa Ardina bisa hamil. Apakah ini yang dinamakan keajaiban?Huh, aku mengembus napas kasar begitu ingat tentang Ferdila yang tidak lagi bekerja di kantor. Untuk apa bertahan? Pertanyaan itu sesuatu yang konyol, tentu saja ingin mengais harta lelaki itu. Aku sangat yakin dia memiliki tabungan di bank."Sial!" umpatku ketia Ferdila menoleh dan langsung melangkah ke dekat televisi.Ada ide lain, aku harus melakukan sesuatu yang tidak disukai perempuan itu bahkan kalau bisa menyebar fitnah agar dicerai dalam keadaan hamil. Pasti ada cara yang paling jitu.Mudah! Aku akan melakukan satu rencana yang sangat besar. Bahkan sudah ada dalam pikiran. Naren pasti akan sering ke sini karena Ferdila tidak lagi sibuk di kantor. Kelihatannya bakal ada usaha baru yang akan dikerjakan."Vidia?" Suara Ferdila mengagetkanku yang