"Makanlah, Ra," ucap Mas Alif begitu pesanan kami telah datang. Dia membawaku ke sebuah restoran yang terlihat mewah. Entah apa maksudnya membawaku kemari. Aku pun tidak mau menebak-nebaknya.Aku mengangguk, lalu tanganku mulai menyuap makanan yang telah dihidangkan. Sejujurnya aku teramat malas untuk makan, tapi aku butuh asupan tenaga.Hari ini, aku ingin mengakhiri semua hubungan yang kumiliki. Baik dengan Mas Hilman ataupun dengan Mas Alif. Dan aku berharap semua bisa berjalan dengan lancar seperti tadi pagi aku menemui Mas Hilman.Kami makan dalam diam, tidak ada obrolan yang keluar di antara kami. Sejak tadi, aku memang hanya diam saja. Sedangkan Mas Alif juga tidak mengajakku bicara. Dia tampak sedang memikirkan sesuatu. Dan aku tidak tahu apa yang sedang dia pikirkan.Apa mungkin dia sedang memikirkan bagaimana caranya melemparku pada Mas Hilman? Entahlah, aku tidak mau berprasangka buruk.Beberapa menit berlalu, kami pun telah selesai menyantap hidangan yang telah tersedia. A
Aku tersenyum menatap layar laptop di depanku. Akhirnya pekerjaanku telah selesai. Aku merenggangkan tanganku yang terasa kaku, sejak semalam aku begadang mengerjakan desain gaun yang diminta oleh customer di tempatku bekerja.Ah ya, lima tahun berlalu semenjak aku meninggalkan Mas Alif. Dan tidak terasa kini aku telah menemukan tempat yang sangat damai menurutku. Tidak ada lagi yang mengusikku seperti dulu.Setelah aku meninggalkan Mas Alif malam itu, dia tidak henti-hentinya mencoba untuk menemuiku, tapi aku tidak pernah mau menemuinya. Bahkan nomer ponselku pun telah aku ganti. Aku tidak mau jika hatiku goyah jika bertemu dengannya. Aku sudah bertekad untuk mengakhiri semua kisah masa laluku.Lalu dua hari setelah malam itu, aku pun pergi dari tempat tinggalku. Aku meninggalkan semuanya, kemudian membuka lembaran baru. Dan sekarang di sinilah aku. Di sebuah kota yang dijuluki dengan Paris van Java karena keindahannya.Beruntungnya aku karena mempunyai teman seperti Mila, dialah yan
"Kamu ingin warna apa untuk gaunmu, Mil?" tanyaku pada Mila, tadi pagi dia telah sampai di rumahku. Dia datang sendirian tanpa calon suaminya. Katanya, tidak boleh pergi berduaan terlebih dahulu. Belum muhrim. Aku tersenyum mendengar alasannya itu."Emm, di acara akad nanti, aku ingin mengenakan kebaya berwarna putih, tapi aku ingin tampilannya sederhana saja. Tidak banyak hiasan, dan yang pasti terlihat beda dari kebaya pada umumnya. Lalu untuk acara resepsi, aku ingin kamu membuatkanku gaun berwana dusty rose.""Tunggu, Mil. Dusty rose? Kamu yakin pilih warna itu? Tidak ingin warna gold atau lilac?" tanyaku, aku heran saja kenapa Mila memilih warna perpaduan antara pink dan juga ungu itu. Padahal dari dulu dia tidak pernah mempunyai baju berwarna pink. Dan sejauh aku mengenalnya, dia tidak begitu menyukai warna itu."Yap, aku ingin memakai warna itu. Dan aku sudah sangat yakin akan keputusanku. Bagaimana, Ra?"Aku mengangguk menanggapi jawaban Mila. "Lalu untuk desainnya?""Desainny
Langit mulai menggelap, awan-awan gelap sudah mulai berjajar rapi. Sepertinya hujan akan turun sebentar lagi. Walaupun terkadang mendung tak berarti hujan akan turun.Aku sedang fokus mengemudi, aku baru saja pulang dari rumah Mas Atar. Kiara menahanku tadi. Jadilah aku terlalu lama berada di sana. Aku sangat merasa bersalah pada Mila. Seharusnya hari ini aku meluangkan waktuku untuknya. Sudah lama kami tidak bertemu, tapi aku malah mengajaknya ke rumah Mas Atar."Maaf ya, Mil. Aku telah membuang waktu kebersamaan kita. Padahal kita sudah lama sekali tidak bertemu," ucapku masih fokus mengemudi, karena biasanya di waktu-waktu seperti ini banyak kendaraan yang mengebut. Takut jika hujan lebih dulu turun mengganggu perjalanan mereka."Tidak apa-apa, Ra. Keadaan tadi lebih penting. Kasihan anak kecil tadi, dia sedang sakit begitu," sahutnya.Lalu dia terdiam, aku pun melirik Mila sekilas. Dia terlihat asyik bermain ponsel. Sepertinya dia sedang bertukar pesan dengan calon suaminya. Terli
"Ada apa, Ra? Tidak biasanya kamu ke ruanganku di jam seperti ini," tanya Ibu Rani saat aku telah masuk ke dalam ruang kerja beliau. Perempuan berusia lima puluh tujuh tahun itu membenarkan kacamata yang bertengger di atas hidungnya.Maksud kedatanganku ke ruangan beliau adalah untuk meminta ijin. Tidak terasa pernikahan Mila sebentar lagi. Waktu cepat sekali berlalu. Bahkan aku tidak menyangka jika pernikahan Mila sudah di depan mata."Maaf, Bu. Saya ingin meminta ijin tidak masuk untuk satu minggu, awal bulan depan. Saya akan pergi ke Sukabumi, teman baik saya akan menikah," jawabku."Sukabumi?" tanya Ibu Rani tampak sedang berpikir."Iya, Bu," sahutku.Ibu Rani terdiam sejenak, lalu beliau mengambil ponselnya yang berada di atas meja. Aku mengernyit ketika melihat beliau terlihat sibuk dengan ponselnya, tanpa menjawab permintaan ijinku. Berbagai pertanyaan memenuhi pikiranku. Tapi aku rasa tidak mengapa jika aku ijin untuk satu minggu nanti. Aku juga masih bisa membuat sketsa di se
Netraku membulat melihat sosok lelaki yang berdiri di depanku. Dia pun sama, terlihat terkejut ketika melihatku. Senyum di wajahnya seketika menghilang kala bersitatap denganku. Masih teringat dengan jelas wajahnya yang dulu pernah menghiasi duniaku.Lelaki itu, lelaki yang pernah mengisi hari-hariku di masa lalu. Penampilannya tampak berubah. Tubuhnya yang dulu terlihat berisi kini tampak sedikit kurus. Lingkar hitam pun terlihat jelas menghiasi kedua matanya. Seperti orang yang kekurangan tidur.Ya Allah. Rencana apa lagi yang sedang Engkau mainkan? Kenapa aku bisa bertemu kembali dengannya? Padahal sudah lima tahun ini aku bisa bernapas dengan lega. Tidak ada lagi yang mengusikku. Bahkan aku sudah bertekad untuk melupakannya. Tapi kini dia tiba-tiba ada di depanku tanpa terduga."Yang ini bagus tidak, Mas?" Suara Mbak Hanum membuatku tersentak, tersadar dari keterpakuanku karena bertemu dengan mantan suami yang sudah lama tidak pernah bertemu lagi.Ya, lelaki tersebut adalah Mas Hi
"Baiklah, kalau begitu saya undur diri, Bu. Nanti jika barang sudah siap, saya akan segera menghubungi Ibu Inara lagi," pamit Pak Adi di akhir meeting kami."Baik, Pak. Sekali lagi saya mohon maaf atas keterlambatan saya. Tolong Pak Adi jangan kecewa pada kami. Tadi benar-benar di luar kendali kami, Pak," sahutku sembari mengatupkan kedua tangan di depan dada. Aku merasa sangat tidak enak dengan beliau karena sudah menunggu terlalu lama."Tidak apa-apa, Bu. Jangan terus meminta maaf seperti itu. Saya jadi merasa tidak enak," sahut lelaki paruh baya itu ramah."Baik, Pak," tuturku sembari melebarkan senyumku. Pak Adi memanglah orang yang baik, aku sangat menghormati beliau."Kalau begitu saya permisi, Bu," pamit Pak Adi lagi."Baik, Pak. Terima kasih banyak," sahutku.Lalu Pak Adi beranjak bangun dari duduknya, lalu melangkah pergi meninggalkan aku yang masih harus membereskan barang-barangku. Aku juga harus beranjak pergi. Masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan sebelum aku men
"Aku telah memetik apa yang telah aku tanam, Ra. Dulu aku mengkhianatimu, dan aku pun dikhianati oleh Linda," pungkas Mas Hilman, lalu dia mengangkat wajahnya dan menatapku dengan raut sendu. "Maafkan aku, Ra. Aku telah berhutang maaf padamu. Ternyata sakitnya dikhianati sangat menyakitkan. Tidak bisa aku bayangkan bagaimana menjadi dirimu dulu. Tolong maafkan aku, Ra," tambahnya.Aku menghela napas panjang. Memang orang baru akan mengerti rasa sakitnya dikhianati setelah merasakan sendiri. Jadi kumohon jangan salahkan aku jika dulu aku tidak ingin dimadu. Rasanya sungguh sakit sekali. Aku pun tidak ingin mengalaminya lagi. Sudah cukup satu kali aku merasakan bagaimana rasanya dimadu."Sudahlah, Mas. Jangan mengungkit lagi masa lalu. Aku sudah melupakannya. Dan kamu juga akan segera menikah lagi bukan?" tanyaku.Wajah Mas Hilman berubah, dia tampak gugup mendengar pertanyaanku tentang pernikahannya. Tapi kenapa harus demikian? Harusnya dia merasa bahagia bukan?"A-ku ... aku terpaksa
Kuedarkan pandangan menuju tempat akad, dapat kulihat punggung seorang lelaki yang memakai setelan jas yang senada dengan gaun pernikahanku. Keningku berkerut melihat punggungnya, dalam hati aku bertanya-tanya siapa lelaki tersebut.Ada apa ini? Bukankah hari ini aku akan menikah dengan Mas Atar? Lalu, kenapa bukan dia yang duduk di sana? Kenapa dia malah berdiri seperti tamu undangan yang lainnya?Banyak sekali pertanyaan yang bersarang di otakku. Ya Allah ... apa lagi yang Engkau tetapkan untuk hamba-Mu ini? Aku menghiba, rasanya sudah tidak kuasa lagi jika harus menanggung penderitaan lebih lagi."Ra ... ayo. Para tamu undangan sudah menunggu mempelai perempuannya turun," ucap Mila membuatku menoleh padanya.Aku menatap Mila dengan pandangan penuh tanya, aku menuntut jawabannya melalui tatapan, karena untuk membuka mulut pun aku seakan tak kuasa lagi.Mila menerbitkan senyumnya dan berkata, "Sudah saatnya kamu bahagia, Ra. Sudah cukup selama ini kamu menderita. Berbahagialah dengan
"Apa kamu sudah benar-benar yakin, Ra?" tanya Mila di saat aku sedang mengepak baju-bajuku.Mila sekarang sedang berada di rumahku karena besok aku akan menikah dengan Mas Atar. Tak terasa waktu cepat sekali berlalu. Besok aku akan benar-benar menikah dengan Mas Atar. Jujur, hatiku masih berat sekali, tapi aku tidak bisa lari begitu saja setelah memupuk harapan semua orang.Aku terdiam, lalu memandang Mila dengan senyum tipis menghiasi bibirku untuk meyakinkan Mila bahwa aku baik-baik saja. Aku tahu jika Mila mengkhawatirkanku, mengingat besok sudah hari pernikahanku dengan Mas Atar. Tapi aku sudah tidak bisa mundur lagi. Tidak mungkin aku membatalkan pernikahan yang sudah di depan mata. Aku akan membuat semua orang malu. Jika hanya aku yang malu tidak mengapa, tapi jangan keluarga Ibu Rani. Beliau adalah orang baik. Tidak sepatutnya aku membuat beliau malu."Kumohon pikirkan sekali lagi, Ra. Pumpung pernikahanmu belum terjadi." Kembali, Mila membujukku untuk memikirkan tentang keputus
"Ayo kita pergi, Ra." Masih pagi tapi Mas Atar sudah datang ke butik, membuatku tidak bisa fokus pada pekerjaanku. Dia sedang duduk di depan meja kerjaku dengan posisi tangan bertopang dagu. Sementara aku baru saja akan mengerjakan pekerjaanku.Aku meletakkan pena ke atas meja, lalu memandang jengah lelaki yang bergelar calon suamiku itu. Aku sedang sangat sibuk hari ini. Pekerjaanku sedang menumpuk dan harus segera aku selesaikan, mengingat sebentar lagi aku akan disibukkan dengan pernikahanku."Memang mau kemana, Mas? Kamu tahu aku sedang sibuk, bukan?" tanyaku dengan nada datar.Mas Atar terdengar mendecakkan lidahnya. "Aku sudah meminta ijin pada ibu, beliau pun menyetujuinya. Apalagi saat aku mengatakan ingin mencari cincin untuk pernikahan kita, beliau langsung bersemangat untuk menyuruhku menemuimu," jawabnya. "Bahkan beliau yang paling antusias dengan pernikahan kita. Sebegitu bahagianya ibu ketika tahu kita akan segera menikah," imbuhnya dengan senyum melebar.Aku membulatkan
"Jelaskan padaku, Ra. Jelaskan apa yang aku dengar dari Bayu kalau kamu akan menikah dengan Mas Atar itu salah." Suara Mila sedikit meninggi dari balik sambungan telepon.Aku mendesah, aku memang sudah memperkirakan jika Mila akan menuntut penjelasan padaku jika mendengar berita pernikahanku dengan Mas Atar.Tak terasa satu bulan telah berlalu semenjak aku meminta penjelasan pada Mas Atar. Kini, pernikahanku tinggal satu bulan lagi. Ibu Rani meminta kami cepat-cepat menikah. Jadilah bulan depan pernikahan kami akan diadakan.Memang terkesan terburu-buru, tapi aku sudah pasrah. Jalan hidupku akan bagaimana, aku serahkan semuanya pada Yang Kuasa. Entah kebahagiaan ataupun kesengsaraan yang akan menemani sisa hidupku. Aku tidak tahu. Biar takdir yang akan menentukan nasibku kedepannya.Selama ini aku tidak menceritakan tentang pernikahanku dengan Mas Atar pada Mila. Aku tidak mau mengganggu bulan madu Mila. Di pikiranku, nanti saja saat hari pernikahan sudah dekat, agar Mila tidak terlal
Aku melangkah dengan gontai setelah keluar dari ruangan Ibu Rani. Rasanya seluruh kekuatan tubuhku seolah menghilang. Semua yang baru saja terjadi mampu membuatku kehilangan semangat untuk memulai hariku."Kamu kenapa, Ra? Tidak enak badan?" tanya Sarah ketika aku telah sampai di meja kerjaku.Aku hanya menatap Sarah dengan tidak bersemangat. Sarah pun berjalan mendekat ke arahku. Disentuhnya keningku dengan punggung tangannya."Tidak demam. Tapi kenapa wajahmu terlihat pucat," ucapnya sembari mengerutkan kening."Aku tidak apa-apa, Sar. Mungkin aku hanya kecapekan saja," sahutku, tidak mau membuat Sarah semakin khawatir."Iya kali, Ra. Harusnya kamu istirahat saja di rumah."Aku menggelengkan kepala, "Tidak, Sar. Pekerjaanku sudah banyak. Aku tidak mau menunda-nunda pekerjaanku."Sarah tampak menghela napas. "Ya sudah, kalau kamu inginnya begitu, Ra. Aku nggak akan mengganggumu kalau begitu." Sarah pun beranjak menuju meja kerjanya.Aku pun mulai mengerjakan pekerjaanku yang sudah me
"Wah ... kamu sudah datang, Ra." Sarah menatapku dengan senyum yang aneh. Sorot matanya seolah sedang memandang takjub padaku.Aku baru saja datang, dan langsung menuju meja kerjaku. Rasanya sudah lama sekali aku tidak datang ke butik."Ada apa, Sar?" tanyaku penasaran dengan senyum Sarah, biasanya aku juga tidak mau tahu urusan orang lain. Tapi entah kenapa, senyum Sarah terasa aneh bagiku."Kamu jangan pura-pura deh, Ra," sahut Sarah.Aku mengernyitkan keningku, tidak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Sarah. Pura-pura? Pura-pura apa maksudnya? Aku memandang Sarah dengan raut wajah penuh tanya."Ck ... kamu gimana sih, Ra. Masak nggak tahu. Kamu itu jangan pura-pura nggak tahu apa-apa. Mentang-mentang sebentar lagi jadi mantunya Bu Rani, kamu nggak mau berbagi kabar bahagia dengan kami," tutur Sarah mendecakkan lidahnya.Netraku membulat sempurna mendengar penuturan Sarah. Tidak. Dia pasti salah bicara. Aku ... aku tidak mungkin menjadi calon menantu Ibu Rani."Menantu Ibu Rani?
"Ah, aku juga permisi, Mas," pamitku.Aku harus segera pergi sebelum Mas Atar menginterogasiku dengan berbagai pertanyaan yang menyulitkanku. Dan aku tidak mau itu terjadi. Aku langsung melangkah meninggalkan Mas Atar dan Kiara yang berada di dalam gendongannya."Tunggu, Ra. Kamu berhutang sesuatu padaku," ucapnya menahan langkahku. Aku berhenti seketika mendengar ucapan Mas Atar.Aku menoleh ke arahnya, menatap takut-takut padanya. Tapi aku terperangah ketika melihatnya tersenyum tipis ke arahku. Aku mengusap-usap mataku, mencoba memastikan jika mataku tidak salah lihat. Barusan aku benar-benar melihatnya tersenyum.Mas Atar tersenyum? Lelaki es itu tersenyum? Aku sampai melongo melihatnya. Rasanya tidak percaya jika lelaki yang selalu berwajah datar itu tersenyum walaupun tidak begitu terlihat. Tapi aku yakin dia sedang tersenyum tadi."Ada apa? Kenapa melihatku seperti itu?" tanyanya terlihat mengernyitkan kening. Sepertinya dia heran karena aku melihatnya sembari mengusap-usap mat
"Apa?" tanya Mas Alif tampak terkejut dengan jawabanku. Wajahnya pun tidak dapat menyembunyikan rasa keterkejutannya.'Maaf, Mas. Aku harus berbohong demi kebaikan semuanya.'Perlahan aku meriah tangan Kiara dan mengajaknya melangkah mendekat ke arah Mas Alif. Setelah sampai di depannya, aku berjongkok menyejajarkan tinggiku dengan Kiara. Kutatap mata polos gadis kecil di hadapanku itu dengan lembut.'Maafkan aku karena memanfaatkanmu ya, Nak. Semoga kamu mau membantu.'Aku menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. "Sayang, salim dulu sama Om Alif, ya," ucapku pada Kiara dengan nada lembut.Netra bening Kiara menatapku dengan polosnya, tapi tak urung juga dia menganggukkan kepalanya, mengikuti perintahku. Tangan mungilnya terulur ke arah Mas Alif, sementara Mas Alif masih berdiri mematung. Tampak sekali jika dia benar-benar terkejut dengan kebohonganku."Halo, Om," tutur Kiara dengan tangan yang masih terulur.Mas Alif tersentak, lalu kemudian dia ikut berjongkok dan membalas
Aku mematut diriku di cermin, mencoba menyembunyikan mata bengkakku sebaik mungkin. Setelah dirasa mataku yang bengkak tertutup make up, aku pun bangkit dari duduk. Lalu aku segera keluar dari kamar.Aku memandang takjub suasana pesta yang sangat ramai. Mila benar-benar menjadi ratu di hari pernikahannya. Pernikahan Mila sangatlah mewah, benar-benar pernikahan impian setiap wanita. Aku pun dulu sangat memimpikan pernikahan seperti ini. Tapi dulu aku sudah bahagia dengan pernikahan sederhana yang Mas Hilman berikan.Akan tetapi semuanya telah hancur sia-sia. Dan aku pun telah menempuh hidupku sendirian.Aku mendesah kasar. Tidak baik mengingat-ingat hal yang menyakitkan. Hari ini adalah hari bahagia untuk Mila. Aku harusnya mengesampingkan perasaanku.Aku melangkah menuruni tangga, mencoba bergabung dengan orang-orang yang hadir di pesta pernikahan Mila. Tapi setelah sampai di ujung tangga, seseorang menarik tanganku. Aku pun menoleh, menatap orang yang menarik tanganku. Netraku membul