"Lembur jika belum dapat Acc dari Pak Darren?"
Nada sedikit berteriak karena kaget, Gian sepertinya tidak terima aturan baru tersebut. Lawan bicara pun hanya bisa pasrah dan mangut-mangut menanggapi. Wajah itu bukan ceria tetapi mendung yang sebentar lagi akan turun gerimis."Astaga, kenapa dia tidak pernah sehari aja tidak membuatku kesal?"Gian bergumam pelan sambil menyandarkan punggung. Muak dengan situasi seperti ini sudah tak bisa ditoleransi. Tingkat kebosanan bekerja dengan kondisi seperti itu hampir mencapai klimaks. Ingin menjatuhkan air mata tetapi dia malu melakukannya di depan teman tim."Aku punya ide yang lain. Kalau kamu mau pakai, ambil saja. Barangkali Pak Darren suka dan kamu juga tidak perlu lembur."Kinara yang mendengar gumaman Gian pun menawarkan bantuan. Wajah sedih yang ditunjukkan bukan lantaran harus ikut lembur tetapi ikut merasakan simpati kepada timnya. Dia melihat wajah lesu mereka setelah beberapa kali kelu"Tolong! Tolong!"Dia tak sanggup berdiri berlama-lama lagi di tempat itu ketika mendengar decitan aneh. Fobia itu sudah merobohkan tiang keberanian yang sudah melekat dalam diri. Hewan tersebut sangat menjijikan di matanya.Gian berteriak sambil menutup telinga dan minta tolong sampai lima kali sebelum pintu itu terbuka. Sosok Darren dengan kemeja hitam yang dikenakan tadi pagi, memasang wajah khawatir. Ternyata suara jeritan si staff desain terdengar sampai di ruangan, yang pintunya memang sengaja dibuka."Ada apa? Kamu kenapa?"Sang atasan bertanya ketika mengedar pandangan ke sekeliling dan tidak menemukan sesuatu yang aneh. Dia mendekat tatkala tidak mendapat respons Gian. Wanita itu masih menutup telinga sembari menampilkan air muka penuh ketakutan."Kamu kenapa? Hei!" Tak sabar, Darren mengguncang bahu Gian dengan sedikit keras. Detik itu pula, si wanita berambut cokelat memeluk Darren dan menyembunyikan wajah di balik da
"Ini perintah Bapak, Bu Gian akan aku antar pulang."Baru saja, kaki Gian menjejaki pintu utama hendak menuju ke halte, Pak Dadang pun menghampiri dan menawarkan tumpangan."Tapi tadi di atas, Pak Darren tidak bilang apa-apa, Pak."Masih setengah percaya dengan apa yang baru didengar, Gian hanya ingin memastikan. Memang benar, tadi saat dirinya menyerahkan hasil desain di ruangan sang atasan, beliau tidak membahas tentang hal itu. Gian hanya melihat wajah penuh serius sedang mendetail kertas putih yang diserahkan Gian. Hanya satu menit, lalu pria itu memperbolehkan dia untuk meninggalkan kantor. Dia tak diberitahu akan pulang diantar oleh supir kantor."Barusan, Bu. Ini Bapak baru telepon menyuruh saya mengantar Bu Gian. Kalau tidak percaya, Ibu boleh telepon Bapak kembali."Malas, Gian tak mau berkomunikasi dengannya. Kalau itu yang dikatakan sang supir, tentu saja dia akan menerima tumpangan dengan senang hati. Mana hari semakin larut,
Kata 'dia' di sini tertuju pada Gian. Wanita itu memang selalu membantah. Apalagi umpatan terakhir Gian yang menerobos ke indra pendengarannya cukup meyakinkan jika Gian memang wanita yang tak tahu sopan santun dan tak punya rasa hormat kepadanya.Darren menghabiskan 50 menit waktunya untuk melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda, pun sambil menunggu Pak Dadang kembali ke kantor. Dia mengecek data penjualan dan keuangan dengan berkonsentrasi penuh. Ada sesuatu yang janggal dan dia ingin membongkarnya. Dua orang menjadi tersangka yang diduga telah melakukan kecurangan sehingga menyebabkan perusahaan merugi hampir satu milyar dua bulan yang lalu."Pak, saya sudah di parkiran."Pesan dari Pak Dadang langsung ditanggapi Darren."Terima kasih. Pak Dadang boleh pulang terlebih dahulu. Kunci dititipkan bagian security.""Baik, Pak."Lantaran belum selesai mengecek laporan tersebut, Darren tak ingin pulang di menit itu. Dia merasa har
"Kalian mau apa? Uang?" Darren mengatupkan rahang rapat-rapat saat menengok salah seorang pria mengeluarkan pisau dari jaketnya. Bernegosiasi, dia baru saja melakukan satu hal yang sia-sia. Mereka jelas menginginkan nyawanya. Mata lelaki itu menelisik sekitar dengan cepat. Tidak ada satu orang pun yang melintas. Sial! Kenapa jalanan yang selalu ramai dilintasi orang-orang, mendadak sepi di saat dia membutuhkan pertolongan?"Argh!" Darren tersentak saat pria itu mengacungkan benda tajam tepat ke matanya. Perlahan, pria tadi menurunkan pisau hingga sejajar dengan dada. Refleks, Darren mundur seketika saat ujung pisau terasa sedikit menembus baju yang dia kenakan."Sial@n!" Napas Darren tersendat. Dia tak pernah berpikir akan mati dengan cara seperti itu. Ilmu bela diri yang dikuasai tidak berguna jika dikeroyok begini."Serang!"Darren melompat saat mendengar komando itu. Dia berhasil keluar dari lin
"Tumben dia baik," gumam Gian saat sudah berada di dalam mobil menuju ke apartemen.Senyuman di bibir itu sungguh mempesona siapapun yang memandang. Termasuk Pak Dadang yang dari kaca spion depan, tak sengaja kepergok Giandra bergumam dan memamerkan lesung pipi.Wanita itu mengucapkan terima kasih, lalu turun setelah mobil hitam berinisial M berhenti tetap di pintu utama gedung apartemen. Dia melangkah cepat dengan suasana hati yang membaik. Ya, mungkin sedikit perhatian Darren yang menyuruh Pak Dadang mengantarnya pulang, menurunkan kadar kekesalan yang membakar dada.Mengguyurkan tubuh itulah yang dilakukan Gian pertama kali saat tiba di apartemen. Kesegaran dirasakan seketika. Tadi di kantor, dia tak sanggup melempar protes atas titah sang atasan yang mutlak. Terpaksa dikerjakan walau dengan hati tidak ikhlas. Mengingat kejadian di kantor, membuat hati itu kembali membengkak."Aku tuh tak ingin memenangkan proyek itu. Biarkan Karina saja atau t
Tanpa peduli dengan busana ala pantai yang dikenakan, Gian pun menarik lengan dan menyuruhnya duduk. Rasa panik lebih menguasai diri daripada rasa malu dan sungkan. Meski dia tahu si atasan tak pernah sekalipun bermurah hati kepadanya, tetapi terhadap sesama manusia yang sedang membutuhkan pertolongan, dia semestinya akan membantu."Astaga, Pak. Ini kenapa? Bapak habis berkelahi? Dengan siapa? Bentar-bentar, aku ambil air hangat buat ngompres biar nggak gitu bengkak. Bapak jangan banyak gerak dulu."Baru saja Gian hendak melangkah, tangannya dicekal Darren. Detik itu juga, Gian memalingkan wajah dan dahinya berkerut mendapat sorot mata Darren yang tak biasa. Dalam hitungan delapan detik, mereka saling mengunci pandangan. Desiran halus menggelitik hati kedua makhluk tersebut dan mereka menikmatinya. Namun, detik berikut setelah menyelami ada hal yang janggal, Gian berkedip berkali-kali menetralisir perasaan aneh itu."Ada apa, Pak? Apa Bapak butuh sesuatu?
"Asyik, kita bebas hari ini!"Teriakan Karina mengalihkan perhatian Gian dari layar laptop. Wanita itu sedang sibuk dengan desain yang belum mendapatkan persetujuan dari pria yang menjamahnya tadi malam."Ada apa, Rin?"Sekilas Gian melihatnya, lalu mata dibuang kembali ke layar setelah wanita berkacamata itu duduk di sampingnya."Tahu, nggak. Hari Bu Emma dan Pak Darren tak datang kantor."Cahaya secerah mentari pagi terpampang di wajah Karina dan secepat kilat Gian menoleh kala mendengar berita tersebut."Pak Darren tak datang, kenapa?"Spontan perasaan Gian menjadi sepi. Pria yang tidur bersamanya semalam, belum menyapa tadi pagi. Saat membuka mata, Gian tak menemukan sang suami di samping kasur. Pria itu meninggalkan apartemen tanpa pamit. Jam berapa dia pergi, Gian tak tahu. Dia terlalu nyenyak berselimutkan cover bed yang tebal tanpa sehelai benang, setelah mendapatkan perlakuan lembut dari Darren. Berbeda saat per
"Gi, apa kamu sudah tidur? Besok pagi aku jemput, mau? Aku mau ajak kamu ke suatu tempat."Senyuman yang tadinya merekah, kini meredup kembali. Bukan dia. Bukan dia yang ditunggu. Namun, Gian tetap menerima ajakannya karena memang besok Sabtu dan dia memang belum ada acara apa pun."Baiklah. Jam berapa, Jack?"***Siang itu, matahari tak begitu terik meski jarum jam pendek di pergelangan menunjuk angka dua belas. Giandra sudah menunggu di depan pintu masuk apartemen. Tadi malam Jacky bilang akan menjemputnya jam segitu. Lantaran tak ingin pria itu menunggu, dia berinisiatif berada di sana tepat waktu.Namun, sudah 15 menit kaki itu berdiri di sana, Gian tak berniat menghubunginya. Mungkin macet, itulah terkaannya yang tak ingin bergelayut ke pikiran negatif. Sambil membunuh rasa bosan, seperti biasa dia membuka halaman media sosial dan membaca apa saja yang menarik di sana."Gi, sorry. Apa sudah lama?"Saking serius deng
Gian menghentakkan tangan Darren yang menggenggam tangannya saat mereka sudah menginjak lantai kantor."Kenapa?" Tanpa melepasnya, dia menoleh ke arah Gian sambil terus berjalan menuju lift."Nggak enak dilihat anak-anak. Aku jadi grogi."Tersenyum lebar, Darren malah mengganti posisi tangan, merangkul bahu wanita yang jalan bersisian dengannya."Mas!" Mata Gian semakin melotot."Kamu istri sah sekarang. Kenapa malu? Ini kamu lihat apa yang aku bawa?"Gian menggeserkan bola mata menuju ke arah tangan yang memegang setumpuk kartu undangan. Dia mengerutkan kening lalu mendongak kepala mencari jawaban."Karyawan di sini harus kenal dengan nyonya Lesmana yang baru dan aku akan mengundang mereka semua.""What?"Tanpa memberi kesempatan Gian melayangkan protes, Darren membawanya masuk ke dalam lift bersama karyawan lain yang menyembunyikan rasa ingin tahu. Darren tampak tak peduli sedangkan Gian ber
Pria itu Agung Wirawan yang kebetulan bertemu dengan Lidya di London dan berkenalan. Sudah lama dia tak pulang ke Indonesia sampai akhirnya dia menemukan flash disk rekaman CCTV. Entah siapa yang memindahkan rekaman itu ke dalam flash disk yang tak sengaja dia temukan di meja kerja sang papa.Di sana terlihat jelas Puspa memasukkan sesuatu ke dalam minuman si suami di dapur. Lalu, tak lama pria itu mendatangi meja makan dan meminumnya setelah disuguhkan Puspa. Hanya butuh sepuluh detik, papa Agung kejang dan mengeluarkan buih dari mulutnya. Sementara Puspa melipat tangan ke depan dada dan tak terlihat panik sama sekali. Sampai akhirnya, tubuh suaminya lemas dan melosot ke lantai."Mama membunuh papa?"Setelah menyaksikan sepotong cuplikan di layar laptop, mulut Emma membeo dengan pelan."Jangan panggil dia Mama. Dia bukan mama kita. Mama kita sudah tenang di surga. Wanita keji itu tak lain adalah seekor binatang yang kejam. Demi menguasai semua ha
"Jangan bunuh anakku! Pergi kalian! Pergi!"Suara keras memenuhi ruangan 3x3 meter. Dengan tangan yang terikat, terselip di baju khusus rumah sakit jiwa, Puspa meronta. Terkadang dia tertawa tak jelas ketika melihat sesuatu yang lucu baginya."Apa lihat-lihat? Belum pernah lihat wanita kaya dan cantik seperti aku?" Tawa di akhir kalimat itu membuat bulu kuduk Gian dan Emma merinding. Mereka tak diperbolehkan masuk karena khawatir Puspa akan melukai dan bertindak kasar. Mereka berdiri di depan pintu dengan jendela kaca di tengahnya. Hanya dengan cara ini, mereka bisa melihat wanita yang sudah divonis menderita gangguan jiwa oleh dokter.Seminggu lalu, saat melihat darah mengalir keluar dari perut Irvan, Puspa merasa sangat menyesal. Tidak sengaja telah menghilangkan nyawa darah dagingnya sendiri. Tak lama kejadian itu, beberapa polisi serta Darren masuk ke dalam ruang yang beraroma amis dan tak menemukan Gian.Emma. Wanita itu duduk sambi
Mendengar kabar duka itu, Gian sangat terpukul. Dia tak menyangka bayi dalam perutnya tidak bisa bertahan sampai dia dilahirkan. Namun, dia tahu rasa nyeri di perut semalaman itu sudah memberi isyarat bahwa kondisi si janin sedang tidak baik-baik saja. Tidak ada yang bisa disesali, bukan kesalahan Darren karena terlambat datang menolongnya. Keesokkan harinya, Gian terpaksa menjalankan tindakan kuret yang ditemani Darren. Dokter mengizinkan lantaran wanita itu butuh pendamping yang menguatkannya. Dia bisa tiba-tiba menangis jika mengingat sesuatu hal sedih yang baru terjadi. Suasana hatinya tak menentu dan belum stabil.***"Bagaimana akhirnya Mas bisa menemukan aku di kota itu?"Setelah seminggu keadaannya sudah stabil, Gian memberanikan diri untuk bertanya hal yang ingin diketahui. Dia sudah bisa menerima apapun yang telah menimpa pada calon bayinya. Ikhlas dan pasrah."Selama ini diam-diam aku menautkan GPS di ponselmu dan aku bisa lel
Namun jika dipikir kembali, Gian bisa mengambil semua hikmah yang terjadi. Dengan semua rangkaian permasalahan yang rumit itu, dia bisa kembali ke kehidupan masa lalunya. Bertemu Darren dan menjadi istrinya yang memang tak disengaja. Benar kata orang, skenario Tuhan tidak ada yang tahu bagaimana ending-nya. Akan tetapi dia percaya, semua akan indah pada waktunya.Entah apa yang dijawab Hardi, Gian tak bisa mendengarkannya. Nyeri menjalar di seluruh kepala ketika dia berhasil mengingat kejadian demi kejadian. Menutup mata, dia larut dalam mimpi. Lelah hati dan fisik membuatnya hanya bisa pasrah apa yang akan terjadi selanjutnya. Haus, lapar, sakit di sekujur tubuhnya bergabung menjadi satu paket. Deru napasnya terlihat berirama dan kesadaran itu menghilang.***"Sayang, kamu bisa mendengarkan aku? Bagaimana kabarmu? Apakah kamu membaik?"Perlahan, orang yang dipanggil membuka mata dengan mengerjapkan berkali-kali. Aroma obat khas rumah sakit menero
Kebetulan tadi di jam saat Puspa, Irvan dan Emma mau mengunjungi Gian, Hardi dan Jaka yang bertugas. Di dalam sana, dia melihat Gian terikat tali dan berniat melepaskannya jika ada kesempatan yang tepat. Tak lama, dia merasa alam telah merestui hajatnya. Aksi rebutan senjata tadi benar-benar memuluskan niatnya."Gian, ayo turun!"Pandangan Gian mengedar sekeliling dan tak tahu ada di mana. Tadi sepanjang perjalanan, dia menumpang tidur di punggung pria yang sudah lama dia cari. Akhirnya ketemu di tempat dan waktu yang sangat menegangkan. Hardi kembali menuntunnya masuk ke sebuah rumah kosong. Entah rumah siapa, dia tak tahu. Sedikit kotor dan gelap."Aku haus, Bang. Aku mau minum."Hardi meneliti wajah Gian yang semakin pucat, lalu mengedar sekililing ruangan."Abang nggak punya makanan dan minuman, Gi. Kamu sabar, ya. Setidaknya kamu di sini sudah aman. Kita tunggu sampe subuh. Kalau memungkinkan, Abang akan cari warung terdek
"Irvan! Anakku!"Jeritan itu terdengar keras lalu tak lama suara tangisan menggelegar. Haru dan sungguh kasihan melihat kedua insan tersebut. Ibu dan anak yang saling merebut senjata yang berakhir dengan tembakan di salah satu dari mereka.Membiarkan aksi itu, Hardi, si sosok serba hitam itu terus melangkahkan kaki sambil terus membantu Gian untuk bisa keluar dari ruangan yang mencekam. Dia tak peduli kalau dirinya akan diancam Puspa atau bertemu dengan polisi yang selama ini paling ditakutkan. Ingat, dia masuk dalam daftar pencarian orang."Kumohon, Jaka. Lepaskan wanita ini. Dia ... Dia adalah adik angkatku yang tengah hamil muda. Bukankah kau memiliki istri yang sedang hamil juga? Jadi, aku mohon belas kasihanmu. Pikirkan jika istrimu berada di posisi wanita ini. Tolong, Jaka. Aku mohon!"Dengan sedikit susah payah, Hardi terus berusaha keras agar bisa meluluhkan hati rekan kerjanya. Jaka yang masuk ke dalam ruangan, hendak mencegat Hardi ketik
Suara Puspa keras tetapi bergetar. Kebencian yang mengakar kuat di hati menguar kala wajah mertua kejam itu terbesit dalam pelupuk matanya. Dendam harus segera dia tuntaskan detik itu juga. Saat lengah, dia tak tahu ternyata diam-diam kaki Irvan terus mendekat dengan pelan. Dengan cepat, tangan Irvan menangkap tangan si mama setelah jarak hanya terbentang satu langkah.Lantaran panik dan refleks aksi itu, Puspa tak sengaja menekan pelatuk pistol sehingga menghasilkan suara tembakan yang keras. Peluru itu melesat entah ke mana. Aksi rebut merebut pun terjadi lagi antara Puspa dan Irvan detik berikutnya.Emma yang berdiri di sana, menyaksikan dengan ketakutan yang dia ciptakan sendiri. Hatinya ngilu selepas mendapatkan pengakuan barusan dari Puspa yang belum pernah dia tahu sebelumnya. Dia? Siapa dirinya? Dari mana asalnya? Siapa orangtuanya? Dia belum tahu siapa dirinya sehingga dia bisa tinggal dan dirawat olehnya.Tiba-tiba suara tembakan kedua terdengar lagi yang membuat kaki Emma ki
Kepingan ingatan saat si mertua mengusir lalu membuangnya ke hutan bersama Irvan kecil dan janin di perut. Sayangnya, calon bayi itu harus meninggal di perut karena guncangan demi guncangan saat dia terjatuh. Diri itu diperlakukan kasar oleh kedua bodyguard berjas hitam tersebut.Siapa yang menolongnya saat itu? Siapa yang merasa iba kepadanya? Tidak ada. Dia harus berjuang sendiri menjadi pengemis dan pemulung. Sampai akhirnya, dia terpaksa menjadi pelayan di salah satu bar. Di situlah dia bertemu seorang duda, tengah mencari kehangatan di malam yang dingin. Duda kaya yang mempunyai banyak anak. Jumlahnya berapa, si wanita tak pernah tahu. Memang, Puspa bisa seberuntung itu.Menikah dengan berganti nama dari Merlin menjadi Puspa, si duda menyanggupinya. Setelah menikah, Puspa merengek ingin merombak hidung dan bibirnya di negara ginseng dengan alasan untuk mempercantik diri.Bukan, bukan itu alasan sebenarnya. Dia sudah merencanakan jauh hari untuk membalaskan dendam. Dan, hari itu te