Kata 'dia' di sini tertuju pada Gian. Wanita itu memang selalu membantah. Apalagi umpatan terakhir Gian yang menerobos ke indra pendengarannya cukup meyakinkan jika Gian memang wanita yang tak tahu sopan santun dan tak punya rasa hormat kepadanya.
Darren menghabiskan 50 menit waktunya untuk melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda, pun sambil menunggu Pak Dadang kembali ke kantor. Dia mengecek data penjualan dan keuangan dengan berkonsentrasi penuh. Ada sesuatu yang janggal dan dia ingin membongkarnya. Dua orang menjadi tersangka yang diduga telah melakukan kecurangan sehingga menyebabkan perusahaan merugi hampir satu milyar dua bulan yang lalu."Pak, saya sudah di parkiran."Pesan dari Pak Dadang langsung ditanggapi Darren."Terima kasih. Pak Dadang boleh pulang terlebih dahulu. Kunci dititipkan bagian security.""Baik, Pak."Lantaran belum selesai mengecek laporan tersebut, Darren tak ingin pulang di menit itu. Dia merasa har"Kalian mau apa? Uang?" Darren mengatupkan rahang rapat-rapat saat menengok salah seorang pria mengeluarkan pisau dari jaketnya. Bernegosiasi, dia baru saja melakukan satu hal yang sia-sia. Mereka jelas menginginkan nyawanya. Mata lelaki itu menelisik sekitar dengan cepat. Tidak ada satu orang pun yang melintas. Sial! Kenapa jalanan yang selalu ramai dilintasi orang-orang, mendadak sepi di saat dia membutuhkan pertolongan?"Argh!" Darren tersentak saat pria itu mengacungkan benda tajam tepat ke matanya. Perlahan, pria tadi menurunkan pisau hingga sejajar dengan dada. Refleks, Darren mundur seketika saat ujung pisau terasa sedikit menembus baju yang dia kenakan."Sial@n!" Napas Darren tersendat. Dia tak pernah berpikir akan mati dengan cara seperti itu. Ilmu bela diri yang dikuasai tidak berguna jika dikeroyok begini."Serang!"Darren melompat saat mendengar komando itu. Dia berhasil keluar dari lin
"Tumben dia baik," gumam Gian saat sudah berada di dalam mobil menuju ke apartemen.Senyuman di bibir itu sungguh mempesona siapapun yang memandang. Termasuk Pak Dadang yang dari kaca spion depan, tak sengaja kepergok Giandra bergumam dan memamerkan lesung pipi.Wanita itu mengucapkan terima kasih, lalu turun setelah mobil hitam berinisial M berhenti tetap di pintu utama gedung apartemen. Dia melangkah cepat dengan suasana hati yang membaik. Ya, mungkin sedikit perhatian Darren yang menyuruh Pak Dadang mengantarnya pulang, menurunkan kadar kekesalan yang membakar dada.Mengguyurkan tubuh itulah yang dilakukan Gian pertama kali saat tiba di apartemen. Kesegaran dirasakan seketika. Tadi di kantor, dia tak sanggup melempar protes atas titah sang atasan yang mutlak. Terpaksa dikerjakan walau dengan hati tidak ikhlas. Mengingat kejadian di kantor, membuat hati itu kembali membengkak."Aku tuh tak ingin memenangkan proyek itu. Biarkan Karina saja atau t
Tanpa peduli dengan busana ala pantai yang dikenakan, Gian pun menarik lengan dan menyuruhnya duduk. Rasa panik lebih menguasai diri daripada rasa malu dan sungkan. Meski dia tahu si atasan tak pernah sekalipun bermurah hati kepadanya, tetapi terhadap sesama manusia yang sedang membutuhkan pertolongan, dia semestinya akan membantu."Astaga, Pak. Ini kenapa? Bapak habis berkelahi? Dengan siapa? Bentar-bentar, aku ambil air hangat buat ngompres biar nggak gitu bengkak. Bapak jangan banyak gerak dulu."Baru saja Gian hendak melangkah, tangannya dicekal Darren. Detik itu juga, Gian memalingkan wajah dan dahinya berkerut mendapat sorot mata Darren yang tak biasa. Dalam hitungan delapan detik, mereka saling mengunci pandangan. Desiran halus menggelitik hati kedua makhluk tersebut dan mereka menikmatinya. Namun, detik berikut setelah menyelami ada hal yang janggal, Gian berkedip berkali-kali menetralisir perasaan aneh itu."Ada apa, Pak? Apa Bapak butuh sesuatu?
"Asyik, kita bebas hari ini!"Teriakan Karina mengalihkan perhatian Gian dari layar laptop. Wanita itu sedang sibuk dengan desain yang belum mendapatkan persetujuan dari pria yang menjamahnya tadi malam."Ada apa, Rin?"Sekilas Gian melihatnya, lalu mata dibuang kembali ke layar setelah wanita berkacamata itu duduk di sampingnya."Tahu, nggak. Hari Bu Emma dan Pak Darren tak datang kantor."Cahaya secerah mentari pagi terpampang di wajah Karina dan secepat kilat Gian menoleh kala mendengar berita tersebut."Pak Darren tak datang, kenapa?"Spontan perasaan Gian menjadi sepi. Pria yang tidur bersamanya semalam, belum menyapa tadi pagi. Saat membuka mata, Gian tak menemukan sang suami di samping kasur. Pria itu meninggalkan apartemen tanpa pamit. Jam berapa dia pergi, Gian tak tahu. Dia terlalu nyenyak berselimutkan cover bed yang tebal tanpa sehelai benang, setelah mendapatkan perlakuan lembut dari Darren. Berbeda saat per
"Gi, apa kamu sudah tidur? Besok pagi aku jemput, mau? Aku mau ajak kamu ke suatu tempat."Senyuman yang tadinya merekah, kini meredup kembali. Bukan dia. Bukan dia yang ditunggu. Namun, Gian tetap menerima ajakannya karena memang besok Sabtu dan dia memang belum ada acara apa pun."Baiklah. Jam berapa, Jack?"***Siang itu, matahari tak begitu terik meski jarum jam pendek di pergelangan menunjuk angka dua belas. Giandra sudah menunggu di depan pintu masuk apartemen. Tadi malam Jacky bilang akan menjemputnya jam segitu. Lantaran tak ingin pria itu menunggu, dia berinisiatif berada di sana tepat waktu.Namun, sudah 15 menit kaki itu berdiri di sana, Gian tak berniat menghubunginya. Mungkin macet, itulah terkaannya yang tak ingin bergelayut ke pikiran negatif. Sambil membunuh rasa bosan, seperti biasa dia membuka halaman media sosial dan membaca apa saja yang menarik di sana."Gi, sorry. Apa sudah lama?"Saking serius deng
Gian menengok tubuh itu mendekati tanpa sepatah kata yang bisa diucapkan. Sementara Jacky menahan geram sambil memainkan tuas gas di tangan kanan. "Kalian tahu berpergian dengan motor tanpa helm di jalan raya, sungguh membahayakan.""Tapi Sabtu kayak gitu, nggak ada polisi yang ...."Mungkin otak Gian mengalami sedikit konsleting sehingga kalimat yang diucapkan sedikit ngelantur dan tak menyambung."Bukan masalah adanya polisi atau tidak. Jelas tanpa helm, pengendara motor dilarang melintas ke jalan raya. Semuanya sudah diatur undang-undang lalu lintas. Untuk pasalnya sendiri, aku tidak menghafalnya. Tapi sebagai warga negara yang patuh, harusnya kita sama-sama tahu akan adanya peraturan tertulis seperti itu."Mendengar petuah panjang lebar, Jacky merasa sedikit menyesal karena tidak mau menyempatkan diri singgah ke laundry helm dan membawanya. Diri itu bukan tak tahu kesalahan tetapi pun tak mau merasa disalahkan karena orang itu adalah
"Aku tak mau menerima tawaran itu jika wanita yang kalian targetkan adalah Gian.""Nggak bisa. Kau sudah terima sebagian uang kami. Kau tak bisa menolak sesuka hati. Malah, seharusnya uang bayaran akan kami potong karena tadi malam kau gagal membawa mayat Darren."Bibir bergincu merah itu bersuara keras ketika orang suruhannya menolak tugas baru yang telah diperintahkan. Wanita paruh baya itu menatap marah tepat di kedua mata pria berjaket hitam."Jika kau mundur sekarang, siap-siaplah kau mencium lantai penjara seumur hidupmu. Aku bisa saja memanipulasi fakta dan kau akan menjadi tersangka dengan bantuan pengacaraku."Pria itu hanya bisa menghela napas panjang dan pasrah meski dengan hati yang tak ikhlas. Dia tahu bagaimana nyonya itu bertindak dan tidak akan main-main dengan ucapannya. Bukan baru satu atau dua kali, dia bekerja sama untuknya. Urusan penculikan dan menghabiskan nyawa sudah beberapa kali dilakukan atas perintahnya."Maafkan aku, Gian. Maaf!"***"Bergaul dengan siapapu
"Supaya para buaya darat di luar sana tahu kalau kamu sudah menikah dan akulah suamimu. Buruan pilih, waktu kita terbatas."Jantung Gian terasa tergelitik ketika menyadari betapa lebay Darren mengaku-ngaku status suaminya. Dia menipiskan bibir menahan senyum sambil mata memindai cincin emas putih berlian yang ada di dalam etalase. Kilauan permata yang indah, membuat Gian bingung harus memilih. Detik berikutnya, jari menunjuk salah satu di antara mereka."Kenapa harus itu? Bukankah cincin itu terlihat biasa dan berliannya sangat kecil?"Darren mengambil cincin yang dipegang Gian lalu mengembalikannya kepada karyawan berseragam putih. Terpaksa, Gian memilih yang lain."Aku tidak suka dengan model itu. Terkesan biasa saja, pasaran.""Yang ini biji berliannya kecil-kecil yang disambungkan, kurang mewah.""Model itu kuno dan lihatlah nggak cocok jika disematkan di jarimu."Begitulah komentar Darren, setiap kali Gian menentuka