"Asyik, kita bebas hari ini!"
Teriakan Karina mengalihkan perhatian Gian dari layar laptop. Wanita itu sedang sibuk dengan desain yang belum mendapatkan persetujuan dari pria yang menjamahnya tadi malam."Ada apa, Rin?"Sekilas Gian melihatnya, lalu mata dibuang kembali ke layar setelah wanita berkacamata itu duduk di sampingnya."Tahu, nggak. Hari Bu Emma dan Pak Darren tak datang kantor."Cahaya secerah mentari pagi terpampang di wajah Karina dan secepat kilat Gian menoleh kala mendengar berita tersebut."Pak Darren tak datang, kenapa?"Spontan perasaan Gian menjadi sepi. Pria yang tidur bersamanya semalam, belum menyapa tadi pagi. Saat membuka mata, Gian tak menemukan sang suami di samping kasur. Pria itu meninggalkan apartemen tanpa pamit. Jam berapa dia pergi, Gian tak tahu. Dia terlalu nyenyak berselimutkan cover bed yang tebal tanpa sehelai benang, setelah mendapatkan perlakuan lembut dari Darren. Berbeda saat per"Gi, apa kamu sudah tidur? Besok pagi aku jemput, mau? Aku mau ajak kamu ke suatu tempat."Senyuman yang tadinya merekah, kini meredup kembali. Bukan dia. Bukan dia yang ditunggu. Namun, Gian tetap menerima ajakannya karena memang besok Sabtu dan dia memang belum ada acara apa pun."Baiklah. Jam berapa, Jack?"***Siang itu, matahari tak begitu terik meski jarum jam pendek di pergelangan menunjuk angka dua belas. Giandra sudah menunggu di depan pintu masuk apartemen. Tadi malam Jacky bilang akan menjemputnya jam segitu. Lantaran tak ingin pria itu menunggu, dia berinisiatif berada di sana tepat waktu.Namun, sudah 15 menit kaki itu berdiri di sana, Gian tak berniat menghubunginya. Mungkin macet, itulah terkaannya yang tak ingin bergelayut ke pikiran negatif. Sambil membunuh rasa bosan, seperti biasa dia membuka halaman media sosial dan membaca apa saja yang menarik di sana."Gi, sorry. Apa sudah lama?"Saking serius deng
Gian menengok tubuh itu mendekati tanpa sepatah kata yang bisa diucapkan. Sementara Jacky menahan geram sambil memainkan tuas gas di tangan kanan. "Kalian tahu berpergian dengan motor tanpa helm di jalan raya, sungguh membahayakan.""Tapi Sabtu kayak gitu, nggak ada polisi yang ...."Mungkin otak Gian mengalami sedikit konsleting sehingga kalimat yang diucapkan sedikit ngelantur dan tak menyambung."Bukan masalah adanya polisi atau tidak. Jelas tanpa helm, pengendara motor dilarang melintas ke jalan raya. Semuanya sudah diatur undang-undang lalu lintas. Untuk pasalnya sendiri, aku tidak menghafalnya. Tapi sebagai warga negara yang patuh, harusnya kita sama-sama tahu akan adanya peraturan tertulis seperti itu."Mendengar petuah panjang lebar, Jacky merasa sedikit menyesal karena tidak mau menyempatkan diri singgah ke laundry helm dan membawanya. Diri itu bukan tak tahu kesalahan tetapi pun tak mau merasa disalahkan karena orang itu adalah
"Aku tak mau menerima tawaran itu jika wanita yang kalian targetkan adalah Gian.""Nggak bisa. Kau sudah terima sebagian uang kami. Kau tak bisa menolak sesuka hati. Malah, seharusnya uang bayaran akan kami potong karena tadi malam kau gagal membawa mayat Darren."Bibir bergincu merah itu bersuara keras ketika orang suruhannya menolak tugas baru yang telah diperintahkan. Wanita paruh baya itu menatap marah tepat di kedua mata pria berjaket hitam."Jika kau mundur sekarang, siap-siaplah kau mencium lantai penjara seumur hidupmu. Aku bisa saja memanipulasi fakta dan kau akan menjadi tersangka dengan bantuan pengacaraku."Pria itu hanya bisa menghela napas panjang dan pasrah meski dengan hati yang tak ikhlas. Dia tahu bagaimana nyonya itu bertindak dan tidak akan main-main dengan ucapannya. Bukan baru satu atau dua kali, dia bekerja sama untuknya. Urusan penculikan dan menghabiskan nyawa sudah beberapa kali dilakukan atas perintahnya."Maafkan aku, Gian. Maaf!"***"Bergaul dengan siapapu
"Supaya para buaya darat di luar sana tahu kalau kamu sudah menikah dan akulah suamimu. Buruan pilih, waktu kita terbatas."Jantung Gian terasa tergelitik ketika menyadari betapa lebay Darren mengaku-ngaku status suaminya. Dia menipiskan bibir menahan senyum sambil mata memindai cincin emas putih berlian yang ada di dalam etalase. Kilauan permata yang indah, membuat Gian bingung harus memilih. Detik berikutnya, jari menunjuk salah satu di antara mereka."Kenapa harus itu? Bukankah cincin itu terlihat biasa dan berliannya sangat kecil?"Darren mengambil cincin yang dipegang Gian lalu mengembalikannya kepada karyawan berseragam putih. Terpaksa, Gian memilih yang lain."Aku tidak suka dengan model itu. Terkesan biasa saja, pasaran.""Yang ini biji berliannya kecil-kecil yang disambungkan, kurang mewah.""Model itu kuno dan lihatlah nggak cocok jika disematkan di jarimu."Begitulah komentar Darren, setiap kali Gian menentuka
"Jangan bilang wanita itu Jasmine."Merasa kikuk sebab sorot Darren serasa menembak ke kedalaman matanya. Gian mengambil cangkir putih berisi kopi manis, meniup sekilas lalu meneguknya pelan. Detik itu pula, kepalanya sedikit berdenyut seusai menyebut nama wanita tadi. Seperti kenal, tapi siapa wanita itu?Gian semakin dilanda kegelisahan kala mata Darren belum beranjak dari wajahnya. Mengalihkan pikiran, dia menggeser piring tersebut. Kue itu memang disajikan khusus untuknya. Tak disuruh, dia mengambil sendok lalu menyuapi ke mulut. Seketika lembut nan manis di lidah pun terasa. Tanpa sadar, dia mengulum senyuman tipis sebelum memasukkan potongan berikut."Enak? Kamu suka?"Darren yang menonton ekspresi wajah itu pun ikut melengkungkan bibir. Tentu saja dia tahu, kue seharga empat puluh ribu itu mempunyai kualitas dan rasa yang menjanjikan. Dulu, Jasmine-nya pun tak akan menolak kue tersebut. Barusan cara Gian menikmati kue mahal itu sama persis
"Kenapa aku harus turun? Bukankah Bapak mau mengantarku pulang?"Giandra dapat melihat pengerasan rahang dan kilatan mata, meski wajah Darren tak menoleh ke arahnya. Aura panas mulai terasa dan seketika itu Gian merasa gerah. Dia kira mesin pendingin sudah tak beroperasi dengan baik di dalam mobil."Aku suruh kamu turun sekarang!" Intonasi itu datar tetapi mimik wajah Darren tak bisa bohong. Dia terlihat sangat murka dengan paras yang mulai memerah. Melihat itu, bulu kuduk Gian berdiri. Demi menjaga harga dirinya, wanita itu pun membuka sabuk pengaman dan mengomel entah apa sebelum menarik tuas pintu lalu keluar dari mobil."Turun ya, turun! Aku pun tak sudi menerima tawaran Bapak yang sok baik. Dari awal aku harus paham, Bapak tidak pernah menganggap aku ada. Sekarang aku makin tahu dan sadar diri. Dasar penjahat dingin!"Giandra sempat menendang ban mobil sebelum mobil itu melaju dengan kecepatan yang tinggi. Setelah menatap mobil Darr
"Dia tak mungkin menggunakan kendaraan umum. Wong dompetnya ada di sini. Tapi ke mana dia sekarang? Kenapa cepat sekali menghilang? Apa dia diculik? Atau apa dia ...."Mulut itu berbicara sendiri dengan mata tetap waspada di sekeliling. Suasana gelap membuat dia sedikit kesulitan untuk mencari keberadaannya."Tidak, tidak mungkin. Dia wanita galak dan kasar. Aku yakin dia bisa menjaga diri. Daerah sini daerah ramai. Tidak mungkin ada yang berani melakukan hal-hal yang ...."Kalimat terjeda ketika dia melihat sosok wanita yang mirip dengan Gian, berjalan pelan di trotoar. Dia memberi suara klakson dua kali dan isyarat sien lampu agar wanita itu menoleh dan menyadari keberadaan.Setelah mobil bergerak sejajar dengan wanita yang diduga adalah Gian, Darren menurunkan kaca jendela bagian kiri dan memeriksa apakah benar dia adalah orang yang dicari. Dan ....Darren membuang napas panjang dan menaikkan kaca jendela tersebut selepas wanita itu me
Butuh tiga puluh menit, motor itu melambat dan berhenti tepat di pintu utama apartemen. Tanpa helm, Gian turun dari kuda besi tersebut dengan senyuman yang dipaksakan agar terlihat baik-baik saja."Benar kamu nggak apa-apa, tidak mau aku temani?"Seperti biasa, Jacky akan berbasa-basi sebelum Gian akan meninggalkannya dan naik ke lantai atas. Namun, belum sempat si wanita menanggapi, tubuh modis itu ditarik dan seseorang memeluknya erat."Kamu dari mana saja? Aku sudah mencarimu ke mana-mana tapi kunjung ketemu. Apa kamu baik-baik saja? Maafkan aku. Aku tak sengaja. Aku khilaf. Maafkan aku."Debaran jantung yang tak berirama terdengar jelas saat telinga Gian menempel di dada orang yang mendatanginya secara mendadak. Pria itu Darren. Aroma tubuh telah membius sehingga Gian tak berniat menolak dekapan orang yang telah menghancurkan suasana hatinya hari itu. Meski beberapa jam yang lalu, rasa dongkol meliputi diri disebabkan olehnya."Oh, te