"Jangan bilang wanita itu Jasmine."
Merasa kikuk sebab sorot Darren serasa menembak ke kedalaman matanya. Gian mengambil cangkir putih berisi kopi manis, meniup sekilas lalu meneguknya pelan. Detik itu pula, kepalanya sedikit berdenyut seusai menyebut nama wanita tadi. Seperti kenal, tapi siapa wanita itu?Gian semakin dilanda kegelisahan kala mata Darren belum beranjak dari wajahnya. Mengalihkan pikiran, dia menggeser piring tersebut. Kue itu memang disajikan khusus untuknya. Tak disuruh, dia mengambil sendok lalu menyuapi ke mulut. Seketika lembut nan manis di lidah pun terasa. Tanpa sadar, dia mengulum senyuman tipis sebelum memasukkan potongan berikut."Enak? Kamu suka?"Darren yang menonton ekspresi wajah itu pun ikut melengkungkan bibir. Tentu saja dia tahu, kue seharga empat puluh ribu itu mempunyai kualitas dan rasa yang menjanjikan. Dulu, Jasmine-nya pun tak akan menolak kue tersebut. Barusan cara Gian menikmati kue mahal itu sama persis"Kenapa aku harus turun? Bukankah Bapak mau mengantarku pulang?"Giandra dapat melihat pengerasan rahang dan kilatan mata, meski wajah Darren tak menoleh ke arahnya. Aura panas mulai terasa dan seketika itu Gian merasa gerah. Dia kira mesin pendingin sudah tak beroperasi dengan baik di dalam mobil."Aku suruh kamu turun sekarang!" Intonasi itu datar tetapi mimik wajah Darren tak bisa bohong. Dia terlihat sangat murka dengan paras yang mulai memerah. Melihat itu, bulu kuduk Gian berdiri. Demi menjaga harga dirinya, wanita itu pun membuka sabuk pengaman dan mengomel entah apa sebelum menarik tuas pintu lalu keluar dari mobil."Turun ya, turun! Aku pun tak sudi menerima tawaran Bapak yang sok baik. Dari awal aku harus paham, Bapak tidak pernah menganggap aku ada. Sekarang aku makin tahu dan sadar diri. Dasar penjahat dingin!"Giandra sempat menendang ban mobil sebelum mobil itu melaju dengan kecepatan yang tinggi. Setelah menatap mobil Darr
"Dia tak mungkin menggunakan kendaraan umum. Wong dompetnya ada di sini. Tapi ke mana dia sekarang? Kenapa cepat sekali menghilang? Apa dia diculik? Atau apa dia ...."Mulut itu berbicara sendiri dengan mata tetap waspada di sekeliling. Suasana gelap membuat dia sedikit kesulitan untuk mencari keberadaannya."Tidak, tidak mungkin. Dia wanita galak dan kasar. Aku yakin dia bisa menjaga diri. Daerah sini daerah ramai. Tidak mungkin ada yang berani melakukan hal-hal yang ...."Kalimat terjeda ketika dia melihat sosok wanita yang mirip dengan Gian, berjalan pelan di trotoar. Dia memberi suara klakson dua kali dan isyarat sien lampu agar wanita itu menoleh dan menyadari keberadaan.Setelah mobil bergerak sejajar dengan wanita yang diduga adalah Gian, Darren menurunkan kaca jendela bagian kiri dan memeriksa apakah benar dia adalah orang yang dicari. Dan ....Darren membuang napas panjang dan menaikkan kaca jendela tersebut selepas wanita itu me
Butuh tiga puluh menit, motor itu melambat dan berhenti tepat di pintu utama apartemen. Tanpa helm, Gian turun dari kuda besi tersebut dengan senyuman yang dipaksakan agar terlihat baik-baik saja."Benar kamu nggak apa-apa, tidak mau aku temani?"Seperti biasa, Jacky akan berbasa-basi sebelum Gian akan meninggalkannya dan naik ke lantai atas. Namun, belum sempat si wanita menanggapi, tubuh modis itu ditarik dan seseorang memeluknya erat."Kamu dari mana saja? Aku sudah mencarimu ke mana-mana tapi kunjung ketemu. Apa kamu baik-baik saja? Maafkan aku. Aku tak sengaja. Aku khilaf. Maafkan aku."Debaran jantung yang tak berirama terdengar jelas saat telinga Gian menempel di dada orang yang mendatanginya secara mendadak. Pria itu Darren. Aroma tubuh telah membius sehingga Gian tak berniat menolak dekapan orang yang telah menghancurkan suasana hatinya hari itu. Meski beberapa jam yang lalu, rasa dongkol meliputi diri disebabkan olehnya."Oh, te
"Untuk apa Bapak masih di sini? Pulang saja ke rumah. Aku ingin sendiri."Setelah masuk ke apartemen, Gian langsung pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh. Tujuannya hanya alasan dia ke toilet, demi menghindari pertemuannya dengan Darren. Dia berharap seusai mandi, pria itu hengkang dari apartemen. Namun, apa yang diharapkan, tidaklah terjadi. Pria itu duduk di sofa kamar, tengah menunggunya sembari memainkan ponsel guna membunuh rasa bosan.Tak perlu menanggapi, sebenarnya Gian sudah menemukan sebuah jawaban. Tatapan Darren sudah mewakili semuanya. Tubuh tegap itu berdiri dan mendekati dengan tangan kanan memegang kotak putih berisi obat pertolongan pertama."Duduk!"Wanita berambut basah itu melengos dan kakinya hendak keluar kamar. Meski pelukan tadi sudah mengobati kekecewaan tetapi tatkala ingatan peristiwa di dalam mobil itu muncul ke permukaan, kekesalan pun hadir kembali. Namun belum sempat tangan meraih daun pintu, lengannya diceka
"Aku Giandra. Jadi, tolong panggil aku dengan namaku.""Min ....""Harus berapa kali kukatakan kalau aku punya nama yang diberikan Bapak dan Ibu?""Aku tidak peduli kamu mau mengakui atau mengelak, tapi aku akan tetap menganggapmu Jasmine-ku yang tengah aku cari selama ini.""Terserah Bapak.""Satu lagi. Mana mungkin ada sesuatu yang kebetulan di dunia ini? Kamu dan Jasmine mempunyai tanda lahir yang letaknya sama. Kalian suka kue keju dan jenis kopi yang sama. Aku sungguh tak percaya keajaiban kalau itu bukan kenyataannya."Setiap kali Darren melihat wajah Giandra, bayangan Jasmine menghampiri. Dulu, bukannya rindu tetapi kebencian yang hadir di hati. Dia benci dengan sikap si tunangan yang dianggap telah mencurangi hubungan mereka. Pria itu memberi cap dirinya sebagai wanita matre yang kabur dengan pria lebih kaya darinya.Namun, setelah yakin wanita di hadapannya adalah Jasmine, Darren seolah mendapat harta karun di p
Setelah minum obat nyeri, Gian bisa menguasai diri. Perlahan, denyutan yang nyaris membuatnya tersiksa pun mereda. Dia mohon pada Darren untuk berhenti mengungkapkan fakta yang tak ingin diingat kembali. Pria itu bisa memaklumi setelah mengerti keadaan kepala Gian yang sakit. Sang suami berjanji akan membawanya ke dokter untuk memeriksakan kondisi saraf kepala. Dia yakin ada sesuatu yang membuat wanita itu melupakannya."Kamu tahu, meski raga kita memang tak bertemu delapan tahun, tapi ketahuilah, mimpi ini selalu tentangmu."Darren yang romantis pun mulai mengeluarkan aksinya. Dia sudah tak tahan untuk terus menyembunyikan kalimat tersebut. Wajah Gian seketika memerah. Ucapan itu meski terdengar sederhana, tetapi mampu membuat jantungnya berdebar seperti saat dia merasakan jatuh cinta."Kamu juga harus tahu, selama ini kamu membuat aku cemas."Darren membantu Gian mengenakan selimut. Setelah ini, dia harus pulang ke rumah, menemui Emma. Barusan s
Lantaran tak bisa tidur, dia mengambil ponsel yang sedang terhubung dengan aliran listrik. Kata Darren, tadi ada notifikasi pesan yang masuk di ponsel. Dia tak sempat melihat siapa pengirimnya lantaran baterai benda itu melemah dan langsung padam.Dia baru ingat dan akan memeriksa siapakah gerangan yang mengirimkan pesan itu. Dan, bagaimana kabar Jacky? Apa dia sudah sampai di rumah dan memberi kabar? Ah, kenapa dia jadi melupakan pria itu gara-gara kehadiran Darren?Layar itu menjadi terang dan Gian menunggu sampai kondisinya stabil. Banyak sekali pesan masuk dari aplikasi hijau. Bukan hanya itu, ada lebih dari sepuluh panggilan masuk yang tak terjawab.Jihan. Semua dari Jihan. Apa ada sesuatu yang telah terjadi? Jarinya menggeser pesan masuk dan Gian membaca satu demi satu pesannya dengan seksama. Astaga, kenapa bisa jadi begini? Dia harus melakukan sesuatu hal yang urgent. Dengan jantung yang masih bertalu hebat, Gian mencari kontak
"Apa yang terjadi, Han? Kenapa ibu bisa jatuh?"Gian yang baru sampai di rumah sakit umum Karawang, langsung mencecar pertanyaan. Setelah membaca pesan yang dikirim adiknya, wanita itu langsung menghubungi Jacky untuk meminta bantuan. Baginya, hanya Jacky yang bisa diandalkan karena Gian tak punya kendaraan, pun tak memungkinkan menggunakan transportasi umum di jam dini hari.Perjalanan Jakarta menuju Karawang membutuhkan dua jam dan bersyukur mereka tidak bertemu dengan kemacetan yang menjadi momok mengerikan warga Jakarta. Sekarang hampir jam empat."Kemarin sudah ada yang aneh dengan sikap ibu. Berulang kali aku bertanya, ibu bilang nggak apa-apa. Sampai tadi siang aku menemukan ibu jatuh di kamar mandi."Meski sedang berbicara dengan Gian, tetapi mata Jihan sesekali melirik ke arah pria berjaket kulit cokelat. Di mata Jihan, di saat Jacky terlihat mengantuk, kadar ketampanannya tak berkurang sama sekali. Gadis itu tak pernah bosan memandangi m
Gian menghentakkan tangan Darren yang menggenggam tangannya saat mereka sudah menginjak lantai kantor."Kenapa?" Tanpa melepasnya, dia menoleh ke arah Gian sambil terus berjalan menuju lift."Nggak enak dilihat anak-anak. Aku jadi grogi."Tersenyum lebar, Darren malah mengganti posisi tangan, merangkul bahu wanita yang jalan bersisian dengannya."Mas!" Mata Gian semakin melotot."Kamu istri sah sekarang. Kenapa malu? Ini kamu lihat apa yang aku bawa?"Gian menggeserkan bola mata menuju ke arah tangan yang memegang setumpuk kartu undangan. Dia mengerutkan kening lalu mendongak kepala mencari jawaban."Karyawan di sini harus kenal dengan nyonya Lesmana yang baru dan aku akan mengundang mereka semua.""What?"Tanpa memberi kesempatan Gian melayangkan protes, Darren membawanya masuk ke dalam lift bersama karyawan lain yang menyembunyikan rasa ingin tahu. Darren tampak tak peduli sedangkan Gian ber
Pria itu Agung Wirawan yang kebetulan bertemu dengan Lidya di London dan berkenalan. Sudah lama dia tak pulang ke Indonesia sampai akhirnya dia menemukan flash disk rekaman CCTV. Entah siapa yang memindahkan rekaman itu ke dalam flash disk yang tak sengaja dia temukan di meja kerja sang papa.Di sana terlihat jelas Puspa memasukkan sesuatu ke dalam minuman si suami di dapur. Lalu, tak lama pria itu mendatangi meja makan dan meminumnya setelah disuguhkan Puspa. Hanya butuh sepuluh detik, papa Agung kejang dan mengeluarkan buih dari mulutnya. Sementara Puspa melipat tangan ke depan dada dan tak terlihat panik sama sekali. Sampai akhirnya, tubuh suaminya lemas dan melosot ke lantai."Mama membunuh papa?"Setelah menyaksikan sepotong cuplikan di layar laptop, mulut Emma membeo dengan pelan."Jangan panggil dia Mama. Dia bukan mama kita. Mama kita sudah tenang di surga. Wanita keji itu tak lain adalah seekor binatang yang kejam. Demi menguasai semua ha
"Jangan bunuh anakku! Pergi kalian! Pergi!"Suara keras memenuhi ruangan 3x3 meter. Dengan tangan yang terikat, terselip di baju khusus rumah sakit jiwa, Puspa meronta. Terkadang dia tertawa tak jelas ketika melihat sesuatu yang lucu baginya."Apa lihat-lihat? Belum pernah lihat wanita kaya dan cantik seperti aku?" Tawa di akhir kalimat itu membuat bulu kuduk Gian dan Emma merinding. Mereka tak diperbolehkan masuk karena khawatir Puspa akan melukai dan bertindak kasar. Mereka berdiri di depan pintu dengan jendela kaca di tengahnya. Hanya dengan cara ini, mereka bisa melihat wanita yang sudah divonis menderita gangguan jiwa oleh dokter.Seminggu lalu, saat melihat darah mengalir keluar dari perut Irvan, Puspa merasa sangat menyesal. Tidak sengaja telah menghilangkan nyawa darah dagingnya sendiri. Tak lama kejadian itu, beberapa polisi serta Darren masuk ke dalam ruang yang beraroma amis dan tak menemukan Gian.Emma. Wanita itu duduk sambi
Mendengar kabar duka itu, Gian sangat terpukul. Dia tak menyangka bayi dalam perutnya tidak bisa bertahan sampai dia dilahirkan. Namun, dia tahu rasa nyeri di perut semalaman itu sudah memberi isyarat bahwa kondisi si janin sedang tidak baik-baik saja. Tidak ada yang bisa disesali, bukan kesalahan Darren karena terlambat datang menolongnya. Keesokkan harinya, Gian terpaksa menjalankan tindakan kuret yang ditemani Darren. Dokter mengizinkan lantaran wanita itu butuh pendamping yang menguatkannya. Dia bisa tiba-tiba menangis jika mengingat sesuatu hal sedih yang baru terjadi. Suasana hatinya tak menentu dan belum stabil.***"Bagaimana akhirnya Mas bisa menemukan aku di kota itu?"Setelah seminggu keadaannya sudah stabil, Gian memberanikan diri untuk bertanya hal yang ingin diketahui. Dia sudah bisa menerima apapun yang telah menimpa pada calon bayinya. Ikhlas dan pasrah."Selama ini diam-diam aku menautkan GPS di ponselmu dan aku bisa lel
Namun jika dipikir kembali, Gian bisa mengambil semua hikmah yang terjadi. Dengan semua rangkaian permasalahan yang rumit itu, dia bisa kembali ke kehidupan masa lalunya. Bertemu Darren dan menjadi istrinya yang memang tak disengaja. Benar kata orang, skenario Tuhan tidak ada yang tahu bagaimana ending-nya. Akan tetapi dia percaya, semua akan indah pada waktunya.Entah apa yang dijawab Hardi, Gian tak bisa mendengarkannya. Nyeri menjalar di seluruh kepala ketika dia berhasil mengingat kejadian demi kejadian. Menutup mata, dia larut dalam mimpi. Lelah hati dan fisik membuatnya hanya bisa pasrah apa yang akan terjadi selanjutnya. Haus, lapar, sakit di sekujur tubuhnya bergabung menjadi satu paket. Deru napasnya terlihat berirama dan kesadaran itu menghilang.***"Sayang, kamu bisa mendengarkan aku? Bagaimana kabarmu? Apakah kamu membaik?"Perlahan, orang yang dipanggil membuka mata dengan mengerjapkan berkali-kali. Aroma obat khas rumah sakit menero
Kebetulan tadi di jam saat Puspa, Irvan dan Emma mau mengunjungi Gian, Hardi dan Jaka yang bertugas. Di dalam sana, dia melihat Gian terikat tali dan berniat melepaskannya jika ada kesempatan yang tepat. Tak lama, dia merasa alam telah merestui hajatnya. Aksi rebutan senjata tadi benar-benar memuluskan niatnya."Gian, ayo turun!"Pandangan Gian mengedar sekeliling dan tak tahu ada di mana. Tadi sepanjang perjalanan, dia menumpang tidur di punggung pria yang sudah lama dia cari. Akhirnya ketemu di tempat dan waktu yang sangat menegangkan. Hardi kembali menuntunnya masuk ke sebuah rumah kosong. Entah rumah siapa, dia tak tahu. Sedikit kotor dan gelap."Aku haus, Bang. Aku mau minum."Hardi meneliti wajah Gian yang semakin pucat, lalu mengedar sekililing ruangan."Abang nggak punya makanan dan minuman, Gi. Kamu sabar, ya. Setidaknya kamu di sini sudah aman. Kita tunggu sampe subuh. Kalau memungkinkan, Abang akan cari warung terdek
"Irvan! Anakku!"Jeritan itu terdengar keras lalu tak lama suara tangisan menggelegar. Haru dan sungguh kasihan melihat kedua insan tersebut. Ibu dan anak yang saling merebut senjata yang berakhir dengan tembakan di salah satu dari mereka.Membiarkan aksi itu, Hardi, si sosok serba hitam itu terus melangkahkan kaki sambil terus membantu Gian untuk bisa keluar dari ruangan yang mencekam. Dia tak peduli kalau dirinya akan diancam Puspa atau bertemu dengan polisi yang selama ini paling ditakutkan. Ingat, dia masuk dalam daftar pencarian orang."Kumohon, Jaka. Lepaskan wanita ini. Dia ... Dia adalah adik angkatku yang tengah hamil muda. Bukankah kau memiliki istri yang sedang hamil juga? Jadi, aku mohon belas kasihanmu. Pikirkan jika istrimu berada di posisi wanita ini. Tolong, Jaka. Aku mohon!"Dengan sedikit susah payah, Hardi terus berusaha keras agar bisa meluluhkan hati rekan kerjanya. Jaka yang masuk ke dalam ruangan, hendak mencegat Hardi ketik
Suara Puspa keras tetapi bergetar. Kebencian yang mengakar kuat di hati menguar kala wajah mertua kejam itu terbesit dalam pelupuk matanya. Dendam harus segera dia tuntaskan detik itu juga. Saat lengah, dia tak tahu ternyata diam-diam kaki Irvan terus mendekat dengan pelan. Dengan cepat, tangan Irvan menangkap tangan si mama setelah jarak hanya terbentang satu langkah.Lantaran panik dan refleks aksi itu, Puspa tak sengaja menekan pelatuk pistol sehingga menghasilkan suara tembakan yang keras. Peluru itu melesat entah ke mana. Aksi rebut merebut pun terjadi lagi antara Puspa dan Irvan detik berikutnya.Emma yang berdiri di sana, menyaksikan dengan ketakutan yang dia ciptakan sendiri. Hatinya ngilu selepas mendapatkan pengakuan barusan dari Puspa yang belum pernah dia tahu sebelumnya. Dia? Siapa dirinya? Dari mana asalnya? Siapa orangtuanya? Dia belum tahu siapa dirinya sehingga dia bisa tinggal dan dirawat olehnya.Tiba-tiba suara tembakan kedua terdengar lagi yang membuat kaki Emma ki
Kepingan ingatan saat si mertua mengusir lalu membuangnya ke hutan bersama Irvan kecil dan janin di perut. Sayangnya, calon bayi itu harus meninggal di perut karena guncangan demi guncangan saat dia terjatuh. Diri itu diperlakukan kasar oleh kedua bodyguard berjas hitam tersebut.Siapa yang menolongnya saat itu? Siapa yang merasa iba kepadanya? Tidak ada. Dia harus berjuang sendiri menjadi pengemis dan pemulung. Sampai akhirnya, dia terpaksa menjadi pelayan di salah satu bar. Di situlah dia bertemu seorang duda, tengah mencari kehangatan di malam yang dingin. Duda kaya yang mempunyai banyak anak. Jumlahnya berapa, si wanita tak pernah tahu. Memang, Puspa bisa seberuntung itu.Menikah dengan berganti nama dari Merlin menjadi Puspa, si duda menyanggupinya. Setelah menikah, Puspa merengek ingin merombak hidung dan bibirnya di negara ginseng dengan alasan untuk mempercantik diri.Bukan, bukan itu alasan sebenarnya. Dia sudah merencanakan jauh hari untuk membalaskan dendam. Dan, hari itu te