Mungkin ini adalah salah satu hari terburuk bagi Kiyada. Jika boleh memilih ia lebih baik tak mendengar kisah pilu sang ibu di masa lalu. Semua itu ibu lakukan pasti demi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kiyada tahu, bagaimana usaha dan kerja keras wanita yang telah melahirkannya ke dunia tersebut.Namun, siapa sangka. Jika di balik senyuman dan ketenangan ibu, ternyata beliau menyimpan kepahitan yang tak pernah terbayangkan. Kiyada sering menunggu ibu yang terkadang pulang hingga larut malam. Kata ibu, kerjaan menumpuk, dan ia tak boleh pulang sebelum pekerjaan rumah selesai.Sungguh dada Kiyada terasa sesak membayangkan kegetiran yang disimpan ibu seorang diri selama ini. Setahu Kiyada sang ibu memanglah pekerja keras, hampir tak pernah terdengar beliau mengeluh. Dalam keadaan apapun ibu selalu mengajarkan untuk tetap bersyukur.“Apa pesan Ibu, Ustazah?”Shofia tak langsung menjawab pertanyaan yang diajukan Kiyada dengan air mata berderai. Sejak beberapa detik yang lalu kepala Shofi
Detik-detik terasa berjalan lambat bagi Ustaz Subhan. Keadaan sang istri semakin melemah, tetapi Shofia bersikukuh tak mau ke dokter lagi. Selama berada di dalam lift, tiada henti Ustaz Subhan mnggumamkan doa dan dzikir. Agar hatinya tetap tenang, dan bisa menghadapi situasi ini dengan baik.“Aku gendong saja, ya?” pinta Ustaz Subhan setelah pintu lift terbuka. “Atau mau naik kursi roda?” imbuhnya dengan nada khawatir.“Tidak perlu, Mas. Aku masih kuat berjalan sampai ke parkiran,” tolak Shofia lemah. Tangan kirinya bergelayut di lengan kokoh sang suami.Ustaz Subhan mengembuskan napas kasar. Ia sudah paham jika tak ada gunanya memaksa Shofia dalam keadaan seperti ini. Meski sangat khawatir dengan kondisi sang istri, tetapi Ustaz Subhan tak dapat berbuat banyak. Selain menjaga keseimbangan tubuh ringkih itu agar jangan sampai terjatuh apalagi terluka.Keduanya berjalan sangat pelan. Tempat parkir tinggal beberapa meter lagi, tetapi Shofia semakin terlihat lemah. Langkah kakinya terasa
Tak terasa kedua mata Ustaz Subhan mulai basah. Ia benar-benar belum siap jika harus kehilangan sosok wanita yang telah menemaninya bertahun-tahun. Seorang yang mampu membuatnya jatuh hati sejak pandangan pertama.Digenggamnya tangan lemah yang kini terkulai itu, seraya memastikan masih ada denyut nadi di sana. Napas Shofia tampak teratur, hal tersebut membuat Ustaz Subhan sedikit bernapas lega. Paling tidak kemungkinan besar Shofia tengah tertidur, bukan pingsan atau tak sadarkan diri. Sepanjang perjalanan Ustaz Subhan tak melepaskan genggamannya barang sedetik pun. Talapak tangan itu terasa semakin mengecil, dengan tulang yang terlihat menonjol. “Sayang, kita sudah sampai.” Dengan lembut Ustaz Subhan menepuk pipi Shofia. Walau sebenarnya ia tak tega untuk menganggu waktu istirahat Shofia, tapi dengan barang bawaan yang cukup banyak akan sangat kesulitan bila harus menggendongnya. Lagipula tindakan itu dapat memancing perhatian warga sekitar. Sementar Shofia tak ingin dirinya dik
Shofia tampak terlelap tak lama setelah meminum obat yang diberikan dokter. Sesuatu yang dulu sangat tidak disukai Shofia, kini telah menjadi sahabatnya. Ustaz Subhan lah yang selalu memantau jadwal pengobatan rutin Shofia. Meski tengah berperang melawan sakit yang dideritanya, tetapi wajah itu tampak begitu damai saat tertidur. Ustaz Subhan menatap intens sang istri sebelum pergi menemui istri mudanya. Andaikan waktu bisa diulang, ia tak akan mau menuruti permintaan Shofia untuk menikah lagi dengan Kiyada.Situasi seperti ini benar-benar membuat Ustaz Subhan berada di posisi teramat sulit. Ia ingin selalu berada di sisi Shofia melewati masa-masa sakitnya. Namun, di sisi lain Kiyada juga tak kalah butuh perhatian. Selain masih harus merawat sang ibu seorang diri, Kiyada juga tengah hamil muda. Hasil dari pernikahan mereka.Nyatanya konsep adil dalam berumah tangga itu hanya mudah dipahami dalam teorinya saja. Ketika harus diaplikasikan di kehidupan nyata, hanya segelintir orang yang
“Ibu, Mas.” Kiyada terisak dengan suara sangat lirih.Beberapa detik kemudian kedua tangan Ustaz Subhan melingkari tubuh Kiyada. “Ibu kenapa, Ki?”Bukannya menjawab, sang istri muda justru semakin terisak dalam pelukannya. Sementara perawat yag tadi berbicara dengan Kiyada hanya terdiam seraya tertunduk. Ustaz Subhan berusaha menolak kesimpulan yang sempat terlintas dalam kepalanya.Tak lama pintu kamar tempat Bu Aminah diwarat terbuka. Seorang dokter laki-laki paruh baya keluar seraya mengelap peluh di pelipisnya. Wajah itu juga menampakkan sebuah kesedihan. Ia menatap Ustaz Subhan dan perawat bergantian seraya menggeleng lemah.“Ibu Aminah sudah dipanggil Yang Mahakuasa,” ucap dokter dengan sekali tarikan napas.“Innalilahi wainna ilaihi rajiun.” Spontan Ustaz Subhan mengusap lembut punggung Kiyada.Kiyada semakin tergugu. Kehilangan satu-satunya keluarga yang dimiliki bukan lah hal yang mudah. Ustaz Subhan sedikit banyak tahu bagaimana perjuangan Bu Aminah dalam membesarkan Kiyada
Masih ada beberapa hal yang belum diselesaikan terkait pemulangan jenazah Bu Aminah. Sementara pada waktu yang sama Shofia di rumah juga dalam kondisi kurang baik. Belum sempat Ustaz Subhan menjawab panggilan telephon Shofia, kedatangan Kiyada yang berlinang air mata berhasil membuat fokus Ustaz Subhan terpecah lagi.“Apa kita bisa membawa pulang Ibu malam ini juga, Mas?”“Aku usahakan agar Ibu bisa dibawa pulang secepatnya. Kamu yang tenang, ya. Doakan saja ibu.”Di depan Kiyada Ustaz Subhan sebisa mungkin bersikap tenang. Meski hatinya juga tengah gelisah memikirkan sang istri pertama. Namun, saat ini tak ada lagi yang bisa diandalkan Kiyada selain dirinya sebagai sosok suami.“Terima kasih, Mas.” Kiyada mengangguk sekilas lalu duduk bersandar di kursi panjang.Ustaz Subhan berlalu untuk mengurus administrasi seraya menelepon balik Shofia. Ia harus memastikan jika keadaan sang istri di rumah baik-baik saja. Perasaan Ustaz Subhan kian risau ketika Shofia tak kunjung mengangkat panggi
Tepat pukul dua dini hari semua administrasi dan pengurusan jenazah selesai. Bu Aminah telah mendapatkan haknya sebagai muslimah yang sudah meninggal. Sesuai permintaan Kiyada yang menginginkan sang ibu secepatnya bisa dibawa pulang. Ia ingin sedikit lebih lama berada di sisi sang ibu, sebelum esok diberangkatkan menuju tempat peristirahatan terakhir.Ustaz Subhan dengan sigap mengurus segala sesuatu untuk pemakaman. Sebab saat ini hanya dia yang dimiliki Kiyada. Meski di saat yang bersamaan ia belum bisa tenang sebelum mengetahui secara langsung bagaimana konsisi Shofia –sang istri pertama- saat ini.Tak lama setelah menyampaikan beberapa pesan utuk Shofia tadi, Ustaz Subhan segera memutuskan sambungan telephon. Suasana duka semakin terasa saat ambulance yang akan membawa Bu Aminah terparkir rapi di halaman rumah sakit.Tangisan Kiyada sedikit mereda. Namun, wajah kehilangan itu akan membuat siapa saja yang melihatnya seolah turut merasakan kesedihan yang mendalam. Ustaz Subhan mende
“Astaghfirullah.” Kiyada memekik seraya memejamkan mata.“Maaf.” Ustaz Subhan mengusap wajah dengan kasar. Memilih untuk menepikan mobil di depan toko yang sudah tutup.Kejadian beberapa detik yang lalu membuat dada Ustaz Subhan berdebar hebat. Hampir saja ia membuat celaka Kiyada dan calon anak mereka. Terlambat membanting setir sedikit saja, entah apa yang akan terjadi padanya juga sang istri.“Mas Subhan tidak apa-apa? Atau mau saya belikan air mineral dulu.”Ustaz Subhan menggeleng lemah seraya menatap Kiyada dengan perasaan bersalah. Di saat sedang hancur pun wanita itu masih sempat memikirkan orang lain. Kiyada selalu menunjukkan baktinya sebagai istri di segala situasi dan kondisi. Sedangkan ia sebagai suami kerap melalaikan kewajibannya untuk berlaku adil.Benda pipih itu masih dalam genggaman Ustaz Subhan. Ia menyandarkan punggung untuk membaca kembali pesan yang dikirim Jihan. Pikirannya sungguh kacau. Menjaga dua wanita di waktu yang sama bukanlah hal yang mudah.[Kak Shofi
Memasuki halaman rumah sakit, ingatan Kiyada kembali pada sang ibu. Saat pertama kali menginjakkan kaki di sini, hingga Allah memanggil ibu untuk pulang. Namun, Kiyada tahu, ia tidak boleh terlalu lama larut dalam kesedihan. Demi bayi yang ada dalam rahimnya, ia harus bisa mengendalikan suasana hati. Meski untuk saat ini itu bukanlah hal yang mudah.“Apakah saya nanti boleh masuk ke dalam menemui Ustazah Shofia?” tanya Kiyada saat ia dan Ustaz Subhan baru saja memasuki lift.“Nanti kita konsultasikan dulu sama dokter.”Kiyada hanya bisa menarik napas panjang seraya mengangguk pasrah. Ia tak bisa memaksa kali ini. Meski dirinya sangat ingin melihat secara langsung kondisi Ustazah Shofia.“Keadaan Shofia dua hari terakhir benar-benar menurun. Tidak sembarang orang bisa masuk ke ruangannya,” ucap Ustaz Subhan memberi penjelasan.Kiyada tahu pasti bagaimana prosedur orang-orang dengan penyakit kronis seperti Ustazah Shofia. Barangkali Ustaz Subhan lupa bahwa Kiyada telah merawat ibu seora
Kiyada sangat menikmati makan malamnya. Meski hanya di warung sederhana dan menu seadanya. Namun, kebersamaan dengan sang suami yang membuat suasana terasa istimewa. Semenjak menikah, sepertinya bisa dihitung dengan jari berapa kali Kiyada dan Ustaz Subhan makan berdua saja.Keduanya makan dalam hening. Kiyada diam-diam memperhatikan laki-laki di seberang tempat duduknya yang makan dengan tampak lahap. Entah karena terburu ingin segera kembali ke rumah sakit tempat Ustazah Shofia dirawat, atau memang perutnya merasa sangat lapar.Meski cahaya di tempat itu tidak terlalu terang, tapi Kiyada masih bisa melihat dengan jelas gurat kelelahan di wajah Ustaz Subhan. Ia tahu berada di posisi sang suami saat ini pasti tidak mudah. Memiliki dua istri yang sama-sama membutuhkan kehadirannya.“Kalau boleh saya bisa kok menggantikan menjaga Ustazah Shofia,” ucap Kiyada setelah ia menyantap setengah porsi soto pesanannya. Rasa lapar yang tadi sempat melanda mendadak lenyap melihat keadaan Ustaz Sub
Kiyada dan Ustaz Subhan duduk di serambi masjid. Keduanya sama-sama terdiam seraya mengamati lalu lalang para jamaah. Kiyada tak memiliki keberanian untuk memulai pembicaraan. Ia takut salah bicara. Apalagi melihat tampang Ustaz Subhan yang begitu kelelahan. Lingkaran di sekitar matanya amat kentara.“Belum ada perkembangan sama sekali dengan kondisi Shofia.” Ustaz Subhan mulai angkat bicara. Ia menoleh sekilas ke arah Kiyada. “Sepertinya dokter juga sudah pasrah. Tidak banyak hal yang bisa dilakukan.”Selama mengenal sosok Ustaz Subhan, rasanya baru kali ini Kiyada menyaksikan laki-laki itu begitu rapuh. Bahkan Ustaz Subhan tampak berusaha keras untuk menahan air matanya.“Mas, sudah makan?” Tak ingin sang suami terlalu larut dalam kesedihan, Kiyada memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan.Ustaz Subhan menggeleng. “Terakhir makan tadi pagi.”“Bagaimana kalau kita cari makan dulu? Kebetulan saya juga belum makan.”“Ya sudah kita cari tempat makan di dekat sini.”Mendapat sambutan
24 jam sudah berlalu, tapi tak ada perkembangan sama sekali terhadap kondisi Shofia. Ustaz Subhan juga hampir tak beranjak dari sisi sang istri, kecuali hanya keluar untuk makan dan salat. Entah mengapa Ustaz Subhan merasa Shofia kian jauh.“Bagaimana perkembangan istri saya, Dokter?” tanya Ustaz Subhan pada dokter yang baru saja memeriksa keadaan Shofia.Dokter laki-laki paruh baya itu terdiam beberapa saat. Tak ada harapan sama sekali dari raut wajah yang mulai keriput tersebut.“Doakan saja yang terbaik, Pak.”Ucapan dokter itu memang terdengar ringan, tetapi Ustaz Paham apa maksud yang tersirat dari kalimatnya. Sepertinya ia sudah harus siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Dan ia tetap berharap keajaiban itu masih bisa terjadi.“Baik, Dok. Terima kasih.”Sudah hampir 2 hari Shofia tidak membuka mata sama sekali. Tubuhnya dipenuhi berbagai macam peralatan medis. Bahkan jika alat-alat penunjang itu dilepas, Ustaz Subhan tidak terlalu yakin jika sang istri masih bisa h
Ustaz Subhan sempat tertegun beberapa saat mendapati Kiyada memutus sambungan telepon secara sepihak. Bahkan tanpa ucapan salam sama sekali. Tak biasanya wanita itu bersikap seperti ini. Apakah sikapnya melarang Kiyada datang ke sini sudah keterlaluan?Meski telah bertahun-tahun hidup dengan Shofia, dan beberapa bulan menjadi suami Kiyada, Ustaz Subhan masih belum bisa memahami keduanya dengan baik. Ia tak memiliki ide apapun untuk membujuk Kiyada, atau sekadar menanyakan sikapnya tadi.Namun, untuk sekarang, tentu kondisi Shofia lebih penting dari apapun. Laki-laki itu melangkah tergesa menuju ruang perawatan Shofia. Berharap setelah ini akan ada kabar baik terkait perkembangan sang istri.Di depan ruangan yang dijaga cukup ketat itu, Jihan duduk termenung. Wajahnya muram, hingga tak menyadari kedatangan Ustaz Subhan.“Kamu sudah makan, Jihan?” Ustaz Subhan mencoba berbasi-basi. Berharap bisa sedikit mengurai aura kebencian dari wanita itu yang timbul semenjak ia menikah lagi.Jihan
Keadaan Kiyada yang masih terasa lemah setelah kehilangan sang ibu, kini harus kembali menerima kabar kurang baik dari sang suami. Meski kerap merasa cemburu dengan kasih sayang Ustaz Subhan pada Shofia, tetapi Kiyada sungguh tak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada wanita itu.Walau bagaimanapun, tanpa perantara Shofia, pernikahan ini tak akan pernah terjadi. Dan Kiyada harus berjuang sendiri memikirkan biaya pengobatan sang ibu yang cukup menguras dompet. Apalagi mengingat di kampung ini ia hanya memiliki ibu.“Mas, saya ingin melihat kondisi Ustazah Shofia,” pinta Kiyada pada Ustaz Subhan.“Besok kalau keadaannya sudah membaik, kamu saya ajak ke sini, ya.”Kiyada tertunduk lesu. Meski tidak melarang secara langsung, ia paham jika kalimat itu adalah sebuah larangan secara halus. Padahal berada di rumah seorang diri juga membosankan baginya. Kiyada jadi lebih sering teringat ibu dan itu membuatnya terus-terusan bersedih.“Tapi saya bosan di rumah sendirian. Siapa tahu di sana bisa m
Malam itu perasaan Kiyada sungguh bahagia. Sebab tak dapat dipungkiri bahwa dirinya juga teramat merindukan belaian sang suami. Meski tak banyak kalimat manis yang dilontarkan Ustaz Subhan, setidaknya senyuman dan satu kali panggilan-sayang- sudah lebih dari cukup bagi Kiyada.Namun, sepertinya harapan Kiyada terlampau tinggi. Nyatanya, saat terbangun menjelang waktu Subuh, Ustaz Subhan sudah tidak ada disisinya. Padahal tadi malam ia sempat berpesan untuk dibangunkan salat tahajud. “Mas?” Perlahan Kiyada bangkit dari tempat tidur. Mencari sosok Ustaz Subhan yang ternyata tidak ada di dalam kamar.Perut Kiyada yang semakin membesar membuat ia tak bisa bergerak selincah biasanya. Ia berjalan menuju kamar mandi, barangkali Ustaz Subhan tengah mandi atau mengambil wudhu. Lagi-lagi tak ada siapapun di sana. Suasana rumah terasa sepi dan sunyi. Hanya terdengar suara detak jarum jam juga sesekali suara kokok ayam jantan.Tidak biasanya Ustaz Subhan berangkat ke masjid sebelum Subuh seperti
Sepertinya Aldi masih belum cukup puas dengan jawaban yang diberikan Ustaz Subhan. Sementara suara qiraat penanda akan masuknya waktu Isya sudah berkumandang dari arah masjid. Obrolan keduanya pun mau tak mau harus berakhir.“Kalau kapan-kapan saya silaturahim ke rumah Ustaz, boleh?” tanya Aldi sebelum Ustaz Subhan beranjak.Meski sempat ragu, Ustaz Subhan akhirnya mengangguk seraya tersenyum simpul. Tidak mungkin ia menolak seseorang yang ingin datang untuk bertanya perihal agama. Namun, Ustaz Subhan masih belum tahu apakah Aldi sudah tahu statusnya sebagai suami yang memiliki dua istri.Hingga selesai jamaah Isya dan menempuh perjalanan menuju rumah Kiyada, percakapan singkat dengan Aldi masih terus saja menghantui hati dan pikiran Ustaz Subhan. Bagaimana jika Aldi belum tahu akan statusnya? Pikiran yang berkelana di sepanjang perjalanan, membuat Ustaz Subhan tak sadar jika ia telah sampai di halaman rumah Kiyada. Suasana rumah itu tak lagi sepi seperti sebelum ia berangkat ke masj
Sejujurnya beberapa menit yang lalu Ustaz Subhan telah berbohong pada Kiyada, dengan mengatakan bahwa ia ada urusan dengan remaja masjid setempat. Ia hanya ingin memberi waktu jeda pada hubungan mereka. Sebab sejak perbincangan tadi semua terasa semakin canggung. Entah lah apa penyebab pastinya.Lalu tanpa diduga pertemuannya dengan seorang remaja laki-laki yang mempertanyakan persoalan poligami membuat Ustaz Subhan merasa terusik. Sebenarnya apa yang ingin dipertanyakan, dan mengapa harus dirinya yang mendapat pertanyaan?Benar saja, setelah turun dari salat jamaah, remaja tersebut menunggu di dekat gapura masjid. Ini baru kali pertama Ustaz Subhan bertemu dengan laki-laki itu. Dilihat dari tampilannya, bisa ditebak jika ia bukan seperti penduduk setempat.“Assalamualaikum, Ustaz.” Dengan takzim ia mencium punggung tangan Ustaz Subhan.“Waalaikumsalam.” Ustaz Subhan memasang mimik setenang mungkin.“Sebelumnya maaf, apa saya mengganggu waktunya Ustaz?”Waktu menuju Isya’ masih cukup