Tepat pukul dua dini hari semua administrasi dan pengurusan jenazah selesai. Bu Aminah telah mendapatkan haknya sebagai muslimah yang sudah meninggal. Sesuai permintaan Kiyada yang menginginkan sang ibu secepatnya bisa dibawa pulang. Ia ingin sedikit lebih lama berada di sisi sang ibu, sebelum esok diberangkatkan menuju tempat peristirahatan terakhir.Ustaz Subhan dengan sigap mengurus segala sesuatu untuk pemakaman. Sebab saat ini hanya dia yang dimiliki Kiyada. Meski di saat yang bersamaan ia belum bisa tenang sebelum mengetahui secara langsung bagaimana konsisi Shofia –sang istri pertama- saat ini.Tak lama setelah menyampaikan beberapa pesan utuk Shofia tadi, Ustaz Subhan segera memutuskan sambungan telephon. Suasana duka semakin terasa saat ambulance yang akan membawa Bu Aminah terparkir rapi di halaman rumah sakit.Tangisan Kiyada sedikit mereda. Namun, wajah kehilangan itu akan membuat siapa saja yang melihatnya seolah turut merasakan kesedihan yang mendalam. Ustaz Subhan mende
“Astaghfirullah.” Kiyada memekik seraya memejamkan mata.“Maaf.” Ustaz Subhan mengusap wajah dengan kasar. Memilih untuk menepikan mobil di depan toko yang sudah tutup.Kejadian beberapa detik yang lalu membuat dada Ustaz Subhan berdebar hebat. Hampir saja ia membuat celaka Kiyada dan calon anak mereka. Terlambat membanting setir sedikit saja, entah apa yang akan terjadi padanya juga sang istri.“Mas Subhan tidak apa-apa? Atau mau saya belikan air mineral dulu.”Ustaz Subhan menggeleng lemah seraya menatap Kiyada dengan perasaan bersalah. Di saat sedang hancur pun wanita itu masih sempat memikirkan orang lain. Kiyada selalu menunjukkan baktinya sebagai istri di segala situasi dan kondisi. Sedangkan ia sebagai suami kerap melalaikan kewajibannya untuk berlaku adil.Benda pipih itu masih dalam genggaman Ustaz Subhan. Ia menyandarkan punggung untuk membaca kembali pesan yang dikirim Jihan. Pikirannya sungguh kacau. Menjaga dua wanita di waktu yang sama bukanlah hal yang mudah.[Kak Shofi
Tak ada lagi air mata yang keluar. Separuh jiwa Kiyada seolah ikut pergi bersama sang ibu. Satu-satunya keluarga yang ia miliki. Sosok yang menghujaninya dengan sepenuh cinta dan lasih sayang, tanpa tapi dan tanpa nanti.Kiyada tak tahu apa yang harus ia lakukan setelah ini. Meski kini sang suami tengah berada di sisinya, tapi Kiyada tak terlalu bodoh hanya untuk menyadari satu hal. Bahwa hati dan pikiran Ustaz Subhan tengah dipenuhi dengan sang istri pertama. Tak bisakah untuk saat ini saja, Kiyada ingin memiliki Ustaz Subhan seutuhnya. Mengapa Ustazah Shofia harus saat di saat bersamaan dengan meninggalnya ibu. Kiyada benar-benar membutuhkan sandaran? Kiyada ingin sekali bersikap egois barang sejenak.Walau dokter sudah memprediksi jauh-jauh hari, nyatanya sekuat apapun Kiyada menyiapkan mentalnya, ia tetap lemah. Tak ada lagi sosok yang memberinya cinta dan kasih sayang setulus ibu. Tempat berbagi keluh kesah segala hal.“Kamu tidur saja kalau lelah. Biar aku yang akan mengaji di
Menjadi istri ke dua ternyata tak semudah yang Kiyada bayangkan. Nyatanya perasaan yang sekuat tenaga ia hindari justru tumbuh subur tanpa terkendali. Dari awal pernikahan ini memang tak ada rasa yang dimiliki Ustaz Subhan untuknya. Kiyada sepenuhnya menyadari akan hal itu.Lagipula tak mungkin juga Ustaz Subhan akan semudah itu berpaling dari Ustazah Shofia. Jika dibandigkan dengan beliau, tentulah Kiyada tak ada apa-apanya. Bahkan, jika setelah anak dalam kandungan Kiyada lahir, ia sudah siap jika memang harus pergi.Jika dipikir dengan logika, bantuan materi yang telah diberikan selama perawatan ibu sudah lebih dari cukup. Meski pada akhirnya takdir berkata lain, tapi tanpa dana dari Ustaz Subhan mungkin saat ini Kiyada masih harus pusing memikirkan hutang ratusan juta yang harus dibayar.Namun, di sisi lain hati Kiyada masih berontak. Ia ingin merasakan kasih sayang seutuhnya. Dan di saat seperti ini, Ustaz Subhan justru memasrahkan semua pada Farhan. Tak adakah setitik rasa cembu
Beberapa detik dua insan yang pernah menjalin kedekatan tersebut saling terdiam. Kiyada sadar jika ia tak boleh larut dalam suasana seperti ini. Sekecewa apapun dengan posisinya yang hanya menjadi istri ke dua, tapi ia tak boleh terlena.Mungkin Farhan pernah menawarkan cinta yang utuh, tapi di atas itu semua ada aturan agama yang harus ditaati. Setulus apapun cinta yang dimiliki, tetap masih ada Allah di atas segalanya.Ibu sudah berpesan jika Kiyada harus patuh pada Ustaz Subhan. Ada atau tanpa cinta dari sang suami, tali pernikahan memang mengharuskan keduanya saling menjaga. Kali ini Kiyada akan berusaha sekuat tenaga untuk mencoba menjalankan amanah ibu.“Sini biar aku saja yang membuatkan kopi. Kamu istirahat dulu kalau lelah.” Farhan kini telah berdiri di sisi Kiyada.Jarak mereka memang cukup jauh, Farhan tampaknya juga sangat sadar dengan situasi keduanya saat ini. Namun, tetap saja Kiyada masih bisa menghidu aroma parfum kayu yang kerap digunakan Farhan.“Tidak perlu, Kak. S
Hingga azan Subuh berkumandang, Ustaz Subhan masih belum menampakkan batang hidungnya. Jenazah ibu memang telah dimandikan dan dikafani, hanya tinggal menunggu untuk dimakamkan. Namun, Kiyada tidak pernah tahu bagaimana proses pemakaman di tempat ini. Apa saja hal yang harus ia lakukan selaku tuan rumah satu-satunya.Bapak-bapak yang tadi berjaga di depan rumah Kiyada telah kembali ke rumah masing-masing untuk melakukan salat Subuh. Farhan juga berpamitan pergi ke masjid sejak beberapa menit yang lalu. Suasana rumah kini benar-benar sunyi. Kiyada kembali hanya berdua dengan Ibu seperti hari-hari biasanya. Hanya saja sekarang mereka telah berada di alam yang berbeda.Sebelum melakukan salat Subuh, Kiyada menyempatkan untuk membuka aplikasi hijau pada ponselnya. Berharap ada satu saja pesan dari sang suami yang dapat melegakan pikirannya yang berkecamuk. Sayangnya masih tak ada apa-apa di sana. Selain chat beberapa grup di kampusnya. Bahkan, saat ini Kiyada hampir lupa jika ia masih ber
Sementara di tempat lain kecemasan juga tengah melanda keluarga Shofia. Bahkan Abah tak dapat menutupi kesedihannya mengetahui sang putri ternyata mengidap kanker. Penyakit yang dulu merenggut nyawa sang istri tercinta. Sosok yang tak lain adalah ibu dari kedua putrinya.“Kenapa kamu menutupi ini semua dari Abah, Subhan?” Abah menatap sang menantu dengan perasaan kecewa.Ustaz Subhan tertunduk dalam. Ia tak tahu harus menjawab bagaimana. Lidahnya kelu melihat kondidi Shofia yang kian menurun. Berbagai kemungkinan buruk berlomba merasuki fikirannya.“Shofia tidak ingin membuat khawatir orang-orang disekitarnya, Bah.” Ustaz Subhan menjawab lirih dengan wajah penuh rasa bersalah.Bagaimanapun selain sebagai istri, Shofia adalah putri dari gurunya yang diamanahkan untuk dijaga. Hati orang tua mana yang tak terluka menyaksikan sang putri lemah tak berdaya seperti itu.Sementara Jihan sedari tadi hilir mudik di depan ruang IGD. Ia ngin marah, tapi tak tahu harus melampiaskan pada siapa. Sho
Hingga pagi menjelang belum ada tanda-tanda Shofia akan sadarkan diri. Berbagai peralatan medis terpasang di tubuh yang kian kurus tersebut. Ustaz Subhan menggenggam erat telapak sang istri, berharap wanitanya segera sadar seperti sedia kala.“Kamu tidak ke rumah Kiyada, Subhan?” tanya Abah sesaat setelah beliau keluar dari ruangan Shofia.Ustaz Subhan sempat terdiam beberapa saat. Dari awal Abah tak menyalahkan siapapun atas kejadian yang menimpa sang putri. Meski beliau sempat kecewa lantaran tidak diberitahu perihal penyakit yang diderita Shofia.“Saya akan di sini saja menunggu Shofia sampai sadar, Bah,” jawab Ustaz Subhan lirih.Tak ada komentar apapun dari Abah selain helaan napas panjangnya. Sejurus kemudian Abah duduk bersandar di kursi tunggu sembari jemarinya memutar tasbih.Bukan sengaja mengabaikan janji pada Kiyada. Namun, hati Ustaz Subhan merasa sangat berat untuk meninggalkan Shofia dalam keadaan seperti ini. Laki-laki tersebut sadar jika ia telah bersikap tidak adil p
Memasuki halaman rumah sakit, ingatan Kiyada kembali pada sang ibu. Saat pertama kali menginjakkan kaki di sini, hingga Allah memanggil ibu untuk pulang. Namun, Kiyada tahu, ia tidak boleh terlalu lama larut dalam kesedihan. Demi bayi yang ada dalam rahimnya, ia harus bisa mengendalikan suasana hati. Meski untuk saat ini itu bukanlah hal yang mudah.“Apakah saya nanti boleh masuk ke dalam menemui Ustazah Shofia?” tanya Kiyada saat ia dan Ustaz Subhan baru saja memasuki lift.“Nanti kita konsultasikan dulu sama dokter.”Kiyada hanya bisa menarik napas panjang seraya mengangguk pasrah. Ia tak bisa memaksa kali ini. Meski dirinya sangat ingin melihat secara langsung kondisi Ustazah Shofia.“Keadaan Shofia dua hari terakhir benar-benar menurun. Tidak sembarang orang bisa masuk ke ruangannya,” ucap Ustaz Subhan memberi penjelasan.Kiyada tahu pasti bagaimana prosedur orang-orang dengan penyakit kronis seperti Ustazah Shofia. Barangkali Ustaz Subhan lupa bahwa Kiyada telah merawat ibu seora
Kiyada sangat menikmati makan malamnya. Meski hanya di warung sederhana dan menu seadanya. Namun, kebersamaan dengan sang suami yang membuat suasana terasa istimewa. Semenjak menikah, sepertinya bisa dihitung dengan jari berapa kali Kiyada dan Ustaz Subhan makan berdua saja.Keduanya makan dalam hening. Kiyada diam-diam memperhatikan laki-laki di seberang tempat duduknya yang makan dengan tampak lahap. Entah karena terburu ingin segera kembali ke rumah sakit tempat Ustazah Shofia dirawat, atau memang perutnya merasa sangat lapar.Meski cahaya di tempat itu tidak terlalu terang, tapi Kiyada masih bisa melihat dengan jelas gurat kelelahan di wajah Ustaz Subhan. Ia tahu berada di posisi sang suami saat ini pasti tidak mudah. Memiliki dua istri yang sama-sama membutuhkan kehadirannya.“Kalau boleh saya bisa kok menggantikan menjaga Ustazah Shofia,” ucap Kiyada setelah ia menyantap setengah porsi soto pesanannya. Rasa lapar yang tadi sempat melanda mendadak lenyap melihat keadaan Ustaz Sub
Kiyada dan Ustaz Subhan duduk di serambi masjid. Keduanya sama-sama terdiam seraya mengamati lalu lalang para jamaah. Kiyada tak memiliki keberanian untuk memulai pembicaraan. Ia takut salah bicara. Apalagi melihat tampang Ustaz Subhan yang begitu kelelahan. Lingkaran di sekitar matanya amat kentara.“Belum ada perkembangan sama sekali dengan kondisi Shofia.” Ustaz Subhan mulai angkat bicara. Ia menoleh sekilas ke arah Kiyada. “Sepertinya dokter juga sudah pasrah. Tidak banyak hal yang bisa dilakukan.”Selama mengenal sosok Ustaz Subhan, rasanya baru kali ini Kiyada menyaksikan laki-laki itu begitu rapuh. Bahkan Ustaz Subhan tampak berusaha keras untuk menahan air matanya.“Mas, sudah makan?” Tak ingin sang suami terlalu larut dalam kesedihan, Kiyada memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan.Ustaz Subhan menggeleng. “Terakhir makan tadi pagi.”“Bagaimana kalau kita cari makan dulu? Kebetulan saya juga belum makan.”“Ya sudah kita cari tempat makan di dekat sini.”Mendapat sambutan
24 jam sudah berlalu, tapi tak ada perkembangan sama sekali terhadap kondisi Shofia. Ustaz Subhan juga hampir tak beranjak dari sisi sang istri, kecuali hanya keluar untuk makan dan salat. Entah mengapa Ustaz Subhan merasa Shofia kian jauh.“Bagaimana perkembangan istri saya, Dokter?” tanya Ustaz Subhan pada dokter yang baru saja memeriksa keadaan Shofia.Dokter laki-laki paruh baya itu terdiam beberapa saat. Tak ada harapan sama sekali dari raut wajah yang mulai keriput tersebut.“Doakan saja yang terbaik, Pak.”Ucapan dokter itu memang terdengar ringan, tetapi Ustaz Paham apa maksud yang tersirat dari kalimatnya. Sepertinya ia sudah harus siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Dan ia tetap berharap keajaiban itu masih bisa terjadi.“Baik, Dok. Terima kasih.”Sudah hampir 2 hari Shofia tidak membuka mata sama sekali. Tubuhnya dipenuhi berbagai macam peralatan medis. Bahkan jika alat-alat penunjang itu dilepas, Ustaz Subhan tidak terlalu yakin jika sang istri masih bisa h
Ustaz Subhan sempat tertegun beberapa saat mendapati Kiyada memutus sambungan telepon secara sepihak. Bahkan tanpa ucapan salam sama sekali. Tak biasanya wanita itu bersikap seperti ini. Apakah sikapnya melarang Kiyada datang ke sini sudah keterlaluan?Meski telah bertahun-tahun hidup dengan Shofia, dan beberapa bulan menjadi suami Kiyada, Ustaz Subhan masih belum bisa memahami keduanya dengan baik. Ia tak memiliki ide apapun untuk membujuk Kiyada, atau sekadar menanyakan sikapnya tadi.Namun, untuk sekarang, tentu kondisi Shofia lebih penting dari apapun. Laki-laki itu melangkah tergesa menuju ruang perawatan Shofia. Berharap setelah ini akan ada kabar baik terkait perkembangan sang istri.Di depan ruangan yang dijaga cukup ketat itu, Jihan duduk termenung. Wajahnya muram, hingga tak menyadari kedatangan Ustaz Subhan.“Kamu sudah makan, Jihan?” Ustaz Subhan mencoba berbasi-basi. Berharap bisa sedikit mengurai aura kebencian dari wanita itu yang timbul semenjak ia menikah lagi.Jihan
Keadaan Kiyada yang masih terasa lemah setelah kehilangan sang ibu, kini harus kembali menerima kabar kurang baik dari sang suami. Meski kerap merasa cemburu dengan kasih sayang Ustaz Subhan pada Shofia, tetapi Kiyada sungguh tak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada wanita itu.Walau bagaimanapun, tanpa perantara Shofia, pernikahan ini tak akan pernah terjadi. Dan Kiyada harus berjuang sendiri memikirkan biaya pengobatan sang ibu yang cukup menguras dompet. Apalagi mengingat di kampung ini ia hanya memiliki ibu.“Mas, saya ingin melihat kondisi Ustazah Shofia,” pinta Kiyada pada Ustaz Subhan.“Besok kalau keadaannya sudah membaik, kamu saya ajak ke sini, ya.”Kiyada tertunduk lesu. Meski tidak melarang secara langsung, ia paham jika kalimat itu adalah sebuah larangan secara halus. Padahal berada di rumah seorang diri juga membosankan baginya. Kiyada jadi lebih sering teringat ibu dan itu membuatnya terus-terusan bersedih.“Tapi saya bosan di rumah sendirian. Siapa tahu di sana bisa m
Malam itu perasaan Kiyada sungguh bahagia. Sebab tak dapat dipungkiri bahwa dirinya juga teramat merindukan belaian sang suami. Meski tak banyak kalimat manis yang dilontarkan Ustaz Subhan, setidaknya senyuman dan satu kali panggilan-sayang- sudah lebih dari cukup bagi Kiyada.Namun, sepertinya harapan Kiyada terlampau tinggi. Nyatanya, saat terbangun menjelang waktu Subuh, Ustaz Subhan sudah tidak ada disisinya. Padahal tadi malam ia sempat berpesan untuk dibangunkan salat tahajud. “Mas?” Perlahan Kiyada bangkit dari tempat tidur. Mencari sosok Ustaz Subhan yang ternyata tidak ada di dalam kamar.Perut Kiyada yang semakin membesar membuat ia tak bisa bergerak selincah biasanya. Ia berjalan menuju kamar mandi, barangkali Ustaz Subhan tengah mandi atau mengambil wudhu. Lagi-lagi tak ada siapapun di sana. Suasana rumah terasa sepi dan sunyi. Hanya terdengar suara detak jarum jam juga sesekali suara kokok ayam jantan.Tidak biasanya Ustaz Subhan berangkat ke masjid sebelum Subuh seperti
Sepertinya Aldi masih belum cukup puas dengan jawaban yang diberikan Ustaz Subhan. Sementara suara qiraat penanda akan masuknya waktu Isya sudah berkumandang dari arah masjid. Obrolan keduanya pun mau tak mau harus berakhir.“Kalau kapan-kapan saya silaturahim ke rumah Ustaz, boleh?” tanya Aldi sebelum Ustaz Subhan beranjak.Meski sempat ragu, Ustaz Subhan akhirnya mengangguk seraya tersenyum simpul. Tidak mungkin ia menolak seseorang yang ingin datang untuk bertanya perihal agama. Namun, Ustaz Subhan masih belum tahu apakah Aldi sudah tahu statusnya sebagai suami yang memiliki dua istri.Hingga selesai jamaah Isya dan menempuh perjalanan menuju rumah Kiyada, percakapan singkat dengan Aldi masih terus saja menghantui hati dan pikiran Ustaz Subhan. Bagaimana jika Aldi belum tahu akan statusnya? Pikiran yang berkelana di sepanjang perjalanan, membuat Ustaz Subhan tak sadar jika ia telah sampai di halaman rumah Kiyada. Suasana rumah itu tak lagi sepi seperti sebelum ia berangkat ke masj
Sejujurnya beberapa menit yang lalu Ustaz Subhan telah berbohong pada Kiyada, dengan mengatakan bahwa ia ada urusan dengan remaja masjid setempat. Ia hanya ingin memberi waktu jeda pada hubungan mereka. Sebab sejak perbincangan tadi semua terasa semakin canggung. Entah lah apa penyebab pastinya.Lalu tanpa diduga pertemuannya dengan seorang remaja laki-laki yang mempertanyakan persoalan poligami membuat Ustaz Subhan merasa terusik. Sebenarnya apa yang ingin dipertanyakan, dan mengapa harus dirinya yang mendapat pertanyaan?Benar saja, setelah turun dari salat jamaah, remaja tersebut menunggu di dekat gapura masjid. Ini baru kali pertama Ustaz Subhan bertemu dengan laki-laki itu. Dilihat dari tampilannya, bisa ditebak jika ia bukan seperti penduduk setempat.“Assalamualaikum, Ustaz.” Dengan takzim ia mencium punggung tangan Ustaz Subhan.“Waalaikumsalam.” Ustaz Subhan memasang mimik setenang mungkin.“Sebelumnya maaf, apa saya mengganggu waktunya Ustaz?”Waktu menuju Isya’ masih cukup