“Pertemuan ini ditunda, bawahannya bilang jika kolega kita mendadak ada urusan.” Ucap pak Farhan begitu Anya masuk ke ruangan yang sudah di pesan.
Anya yang memang dalam pikiran kalut sedikit bersyukur dengan penundaan ini.
“Apakah saya boleh cuti siang ini pak?” Tanya Anya dengan serius.
Pak Farhan mengangguk mengerti, terlebih melihat apa yang terjadi tadi. “Baiklah, tenangkan pikiranmu dulu. Kamu boleh cuti setengah hari.” Ucap pak Farhan.
Anya mengangguk lalu memesan taxi untuk kembali ke rumah, dia harus segera mendapatkan penjelasan dari Dimas sekarang.
Begitu sampai di rumah, betapa terkejutnya dia jika Dimas masih membawa wanita itu dan lebih menyakitkannya lagi adalah ketika ibu mertuanya yang tampak menyambut selingkuhan suaminya dengan sangat baik.
“Untunglah kamu pulang, buatkan minum untuk mereka.” Titah Regina tanpa ada empati dan malam mengelus perut wanita itu dengan penuh kasih.
Anya mengepalkan tangannya dengan kuat, kesabarannya sudah berada di puncak.
“Mas, jelaskan apa maksudnya ini.” Nada suara Anya berubah menjadi dingin.
Selama ini dia hanya menjadi wanita lemah lembut dan tak berani membantah, tapi sekarang tak ada Anya yang dulu lemah lembu dan penurut.
Dimas berdiri dari sofa, mencoba mendekati Anya dengan raut wajah penuh kecemasan. "Anya, dengarkan aku dulu. Ini semua hanya kesalahpahaman."
Wanita yang berada di samping Dimas, yang Anya kenal sebagai mantan kekasih suaminya, tersenyum sinis. "Kesalahpahaman? Jangan berpura-pura lagi, Mas. Sudah waktunya mba Anya tahu yang sebenarnya."
Regina, yang sedari tadi menyaksikan dengan senyum puas, menambahkan, "Sudah waktunya Anya tahu posisinya, Dimas. Kita butuh cucu, dan jika Anya tidak bisa memberikannya, maka kita harus mencari solusi lain, seperti sekarang ini."
Anya menatap ibu mertuanya dengan mata berapi-api. "Bu, ini pernikahanku dan Dimas. Bukan urusan ibu untuk mencampuri."
Regina terbelalak mendengar Anya berbicara dengan nada setajam itu. "Kamu berani bicara seperti itu padaku?"
Anya menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya meskipun hatinya bergejolak. "Mas, apa yang sebenarnya terjadi di sini? Apa hubunganmu dengan dia?" tanya Anya sambil menatap Dimas dengan penuh kesedihan.
Dimas tampak bingung, tidak tahu harus menjawab apa. "Anya, aku hanya... aku hanya ingin memastikan kita bisa punya anak. Dan jika kamu tidak bisa memberikannya..."
"Jadi kamu berpikir solusinya adalah dengan berselingkuh?" potong Anya dengan suara bergetar, tidak bisa menahan air matanya lagi.
Wanita di samping Dimas, yang tampak menikmati situasi ini, menambahkan, "Mba Anya, jika kamu tak bisa memberikan keturunan untuk mas Dimas, kamu harus terima jika dia memiliki keturunan dari rahim lain. Dan sekarang aku hamil anak mas Dimas, jadi mba Anya harus menerimanya dengan lapang hati dan intropeksi diri.”
“Anggun benar, dia sudah mengandung cucuku. Lihat dia hanya berhubungan dengan anakku sebulan dan langsung jadi. Tidak sepertimu.” Sinis Regina.
Dimas mengusap wajahnya lalu memegang tangan Anya, “Anya, maafkan aku. Aku tidak akan menceraikanmu. Hanya saja izinkan aku menikahi Anggun karena dia sudah hamil anakku.”
Anya menatap Dimas dengan tatapan tak percaya. Tangannya bergetar hebat saat mendengar kata-kata yang keluar dari mulut suaminya. Hatinya serasa remuk mendengar pengkhianatan dan ketidakadilan yang diterimanya.
"Mas... kamu pikir ini adil?" Anya bertanya dengan suara yang hampir hilang. "Kamu pikir aku bisa menerima semua ini begitu saja? Bagaimana kamu bisa melakukan ini padaku?"
Dimas berusaha meraih tangan Anya lagi, namun Anya mundur, menjauh dari sentuhan suaminya. "Anya, ini bukan tentang adil atau tidak. Ini tentang kita memiliki keturunan. Aku tidak ingin kehilanganmu, tapi aku juga tidak bisa mengabaikan kebutuhan untuk punya anak."
Regina tersenyum puas, merasa kemenangan sudah di tangan. "Sudah jelas kan, Anya? Ini demi kebaikan keluarga kita. Terimalah ini dengan lapang hati."
Anya menggeleng, air mata mengalir deras di pipinya. "Kalian... kalian semua menganggap aku hanya sebagai alat untuk menghasilkan keturunan. Padahal pernikahan itu bukan hanya tentang memiliki anak. Ini tentang cinta, kepercayaan, dan kesetiaan."
Anggun, yang dari tadi tampak menikmati setiap detik penderitaan Anya, menambahkan, "Mba Anya, kamu harus kuat. Terima kenyataan bahwa mas Dimas akan menikahi aku juga."
Anya mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri meskipun hatinya terasa hancur. "Kalian semua telah mengkhianatiku. Aku tidak bisa hidup dalam kebohongan dan penghinaan seperti ini. Jika ini yang kalian inginkan, maka aku tidak bisa lagi berada di sini."
Dimas tampak panik, "Anya, tunggu! Jangan pergi. Kita bisa bicarakan ini baik-baik."
Namun, Anya tidak mendengarkan. Dia berjalan keluar dari rumah dengan langkah tegas, meninggalkan semua di belakangnya.
Rasanya begitu menyesakkan, suaminya yang membawa madu dan ibu mertuanya yang sangat mendukung ketidakadilan ini.
Dia terus berlari bahkan tak sadar dia sudah sampai di jalan raya, matanya yang sembab membuat pusat perhatian tapi Anya tidak peduli.
Dia segera mengeluarkan ponselnya dan menghubungi nomor seseorang.
Cukup lama orang itu mengangkat hingga akhirnya sambungan suara terhubung.
“Halo, Anya?” Suara Felisha terdengar diseberang sana.
“Fel.. Apa kamu di rumah?” Tanya Anya dengan suara serak.
“Aku sedang di rumah sakit, sebentar lagi akan pulang.” Ucap Felisha.
“Kamu tidak apa-apa kan?” Tanya Felisha karena mendengar sedikit isakan yang keluar dari mulut Anya.
Anya berusaha mengendalikan isak tangisnya agar tidak terlalu terdengar oleh Felisha. "Fel... aku butuh tempat untuk tinggal sementara. Aku tidak bisa lagi di rumah itu. Tolong... aku tidak tahu harus ke mana."
Felisha merasakan keputusasaan dalam suara sahabatnya dan segera merespons dengan penuh perhatian. "Tentu, Anya. Kamu bisa tinggal di rumahku. Aku akan pulang secepatnya. Kamu bisa langsung menuju rumahku, aku akan beri tahu satpam untuk membukakan pintu. Tenang saja, semuanya akan baik-baik saja."
Anya mengucapkan terima kasih dengan suara yang hampir hilang dan menutup telepon. Dengan langkah berat, dia memutuskan untuk berjalan ke rumah Felisha yang tidak terlalu jauh dari situ.
Setibanya di rumah Felisha, dia disambut oleh satpam yang sudah diberi instruksi untuk membukakan pintu. "Silakan masuk, non Anya. non Felisha sudah mengabari saya," katanya dengan ramah.
Anya mengangguk lemah dan memasuki rumah yang terasa sangat tenang dan nyaman dibandingkan dengan rumahnya sendiri. Dia duduk di sofa dan memeluk dirinya sendiri, mencoba meredakan kepedihan yang terasa begitu mendalam.
Tak lama kemudian, pintu depan terbuka dan Felisha masuk dengan wajah penuh kekhawatiran. "Anya!" Dia segera menghampiri dan memeluk sahabatnya erat-erat. "Apa yang terjadi? Ceritakan padaku."
Anya, yang merasa sedikit lebih tenang di pelukan sahabatnya, mulai menceritakan semua yang terjadi—pengkhianatan Dimas, perlakuan ibu mertuanya, dan kehadiran Anggun. Air matanya mengalir deras saat dia menceritakan bagaimana suaminya ingin menikahi wanita lain dan bagaimana dia merasa sangat tidak dihargai.
Felisha mendengarkan dengan sabar, memberikan waktu bagi Anya untuk menumpahkan semua perasaannya. Setelah Anya selesai bercerita, Felisha menghela napas panjang dan berkata, "Anya, kamu tidak pantas diperlakukan seperti ini. Kamu berhak mendapatkan kebahagiaan. Aku ada di sini untukmu, kita akan melewati ini bersama."
Anya mengangguk pelan, merasakan sedikit ketenangan dari dukungan sahabatnya. "Terima kasih, Fel. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang."
Felisha tersenyum lembut, "Langkah pertama adalah kamu butuh waktu untuk dirimu sendiri. Istirahatlah dulu di sini. Kita bisa bicarakan langkah selanjutnya besok. Kamu tidak sendiri dalam menghadapi ini."
Anya mengangguk, dia sangat hancur saat ini. Dia masih tak percaya dengan Dimas yang membawa wanita di rumah tangga mereka.
Dia mengurung dirinya di kamar Felisha, dan sahabatnya itu sangat mengerti dirinya jika dia sedang tak ingin di ganggu saat ini.
Panggilan dan spam pesan dari Dimas tidak dia hiraukan, bahkan dia hanya menatap ke arah ponsel yang menyala itu tanpa berniat untuk mengangkatnya.
Namun, ada nomor asing yang memanggilnya juga. Anya yakin jika bukan nomor Dimas yang menelponnya terlebih dia melihat foto profil yang menelepon adalah nomor ayah mertuanya.
Dia berniat untuk mengabaikannya, namun satu pesan dari pria itu membuatnya mengangkatnya.
“Dimana?” Tanya David dengan nada dingin.
“Ada apa, ayah? Aku sedang berada di rumah teman.” Ucap Anya dengan pelan.
“Share lokasimu sekarang. selesaikan masalahmu.” Ucap David dengan tegas.
Anya yang mendengar itu langsung melihat ponsel yang sudah mati tersebut, dia menghela nafasnya.
Dia berniat untuk kembali kesana menyelesaikan masalah ini, kabur dan bersembunyi juga bukan solusi terbaik.
Hingga saat dia keluar kamar, Felisha menghampiri Anya.
“Udah mau pergi ya? Ada pria di depan pintu, apakah kerabatmu?” Tanya Felisha yang memang kebetulan ingin memanggil Anya tadi.
Anya sedikit terkejut saat tahu ayah mertuanya benar-benar menjemputnya secepat ini.
“Iya. Aku pergi dulu.” Ucap Anya dengan buru-buru, tapi Felisha menahannya.
“Bawa ini.” Felisha menyerahkan hasil lab Dimas.
Anya mengangguk, tapi sebelum dia mencapai pintu dia sempat membuka hasil lab karena sangat penasaran.
Tapi begitu membaca hasilnya, dia mematung hingga raut wajahnya berubah pucat pasi.
“Dimas mandul?!”
Anya masih mematung di depan pintu, hasil lab yang baru dia lihat saat ini membuat gejolak tersendiri dihatinya. Dan saat Anya masih berdiri mematung di depan pintu, pintu itu terbuka yang membuat Anya mendongakkan kepalanya dan melihat ke arah David. Ternyata pintu itu tidak terkunci dan mungkin David tidak sabar menunggu Anya keluar.Tangannya masih menggenggam erat ke arah kertas hasil lab tersebut. David yang menyadari perubahan wajah Anya membuat pria itu penasaran.“Ada apa?” Tanya David dengan datar, tapi Anya merasa jika nada pria itu erlihat khawatir.Tapi Anya tak menjawab hingga David melihat ke arah surat hasil lab di tangannya.Tanpa pikir panjang, David langsung merebut kertas itu dari tangan Anya. Dia langsung membacanya, tak ada ekspresi lain yang David keluarkan selain wajah dingin dan rahang mengeras.“Jadi dia mandul?” Ucap David dengan dingin dan geram.Anya tak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan ayah mertuanya tersebut, disana memang sudah tertulis dengan jel
Dimas terdiam cukup lama dengan pilihan yang diberikan oleh Anya.“Aku tak bisa memilih diantara kalian, Nya. Pria tidak masalah jika memiliki istri lebih dari satu, dan jaminanmu surga, Nya.” Dimas meyakinkan Anya saat ini.Anya menatap Dimas dengan tajam, merasa amarahnya semakin memuncak. "Mas, surga bukan dijamin dengan poligami, apalagi jika itu dilakukan tanpa keadilan dan kejujuran. Kamu telah mengkhianatiku dan sekarang meminta aku untuk menerima ini semua? Tidak, Mas. Aku tidak akan hidup dalam kebohongan dan ketidaksetiaan."Dimas terlihat bingung dan terdesak. "Tapi, Anya, aku mencintaimu. Aku hanya ingin kita semua bahagia."Anya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya meskipun hatinya bergemuruh. "Kamu tidak bisa mencintai seseorang dengan cara menghancurkan hatinya, Dimas. Jika kamu benar-benar mencintaiku, kamu akan menghormati perasaan dan kehormatan kita."Regina, yang sejak tadi diam di luar kamar langsung masuk dan mulai angkat bicara dengan nada taja
“Ini apartemen ayah mertuamu?” Felisha yang baru berkunjung pada pagi harinya langsung melihat desain interior apartemen tersebut.“Iya, padahal aku sudah mempunyai rumah di kota tapi memang tidak ada yang tahu.” Ucap Anya yang berada di dapur menyiapkan minuman untuk Felisha dan kembali ke ruang tamu.“Itu bagus, setidaknya dari pihak suamimu ada yang mendukungmu, Anya.” Ucap Felisha.Anya mengangguk, “Ya, aku juga bersyukur tentang hal itu. Aku juga belum menceritakan hal ini pada pamanku.”“Aku tak bisa membayangkan bagaimana marahnya pamanmu saat mengetahui kamu diperlakukan seperti ini. Tapi kamu belum menceritakan tentang Dimas yang mandul, Nya?”Anya menggeleng, “Aku akan mengatakan dan memberikan bukti di waktu yang tepat, aku ingin Dimas merasakan bahagia terlebih dahulu sebelum dia menghancurkannya sampai pria itu menjadi gila.”Felisha mengangguk setuju, dia juga merasa sakit hati saat sahabatnya di khianati. “Untung kamu tidak ingin di poligami, Nya. Jaman sekarang pria m
Di depan layar komputer yang masih menyala, Anya kembali melamun. Dina yang sudah tahu tentang permasalahan yang dialami Anya memilih untuk tidak mengajak wanita itu bicara.Hingga telepon kantor berbunyi, Dina segera bangkit dan mengangkatnya.“Ada, pak. Baik, pak.” Ucap Dina menjawab telepon tersebut lalu mendekati Anya.“Mba Anya, pak Farhan memanggil mba Anya.”Mendengar itu Anya mengangguk dan segera bangkit seolah tahu apa yang akan dibicarakan atasannya itu.Hingga dia sampai di ruangan pak Farhan, Anya langsung mengetuk pintu dan masuk.“Apa bapak memanggil saya?”Pak Farhan mengangguk dan segera menyuruh Anya untuk duduk.“Bagaimana, apakah kamu sudah memutuskan? Kali ini aku tak mendesakmu Anya, melihat kemarin kamu cuti pasti ada masalah yang menimpamu setelah kejadian di restoran itu.” Pak Farhan mengingatkan dengan raut wajah yang tampak ikut simpati.“Terima kasih pak atas perhatiannya. Berhubung bapak sudah tahu, saya akan menerimanya pak. Tapi mungkin butuh waktu satu
Anya masih termenung di dalam kamar, memikirkan Dimas yang benar-benar akan menikahi Anggun.Meskipun ada rasa sakit hati dan dendam yang memenuhi hatinya, tapi tetap saja tidak bisa dipungkiri ada rasa tak rela. Hubungan mereka bukanlah sebentar terlebih mereka pacaran lebih dari tiga tahun tapi harus kandang di pernikahan yang ke enam bulan.Dia menangis untuk terakhir kalinya di malam ini dan berjanji dia akan benar-benar menghapus perasaannya.“Aku sangat mencintaimu, Nya. Mau kah kamu menikah denganku.”Anya mengingat lamaran Dimas padanya di sebuah restoran mewah di kota kalimantan. Dulu tak ada badai di rumah tangga mereka sebelum Regina mulai mengusik mereka di pernikahan mereka yang ke tiga bulan.“Ibu mertua memang maut untuk menantunya.” Gumamnya sambil mengusap air matanya.Saat dia membuka ponselnya untuk mengalihkan rasa sesaknya, tapi begitu dia membuka sosial medianya, banyak pesan masuk disana dan mengirimkan sebuah foto dan pesan yang tertulis.Anya segera membuka p
Anya mengira setelah pulang dari butik dia akan kembali apartemen dan bebas. Ternyata apa yang dia pikirkan salah.“David, kenapa kita berhenti disini?” Tanya Anya pada David.Tapi pria itu hanya tersenyum tipis dan keluar dari mobil begitu saja. Anya pun dengan enggan mengikuti David keluar dari mobil.Anya merasa sedikit canggung saat mengikuti David masuk ke restoran mewah itu. Para pengunjung lainnya yang menggunakan setelan jas dan gaun indah membuatnya merasa kurang sesuai dengan pakaian kerjanya. Namun, David tampak tidak terpengaruh dan terus berjalan menuju meja yang sudah dipesan sebelumnya.Setelah mereka duduk, seorang pelayan datang dengan menu, namun David langsung memberi isyarat bahwa mereka tidak membutuhkannya. “Saya sudah memesan makanan sebelumnya,” kata David kepada pelayan.Anya menatap David dengan bingung. “Kenapa kita disini?”David tersenyum, kali ini senyum yang lebih hangat. “Aku pikir kamu membutuhkan sedikit hiburan setelah semua yang kamu alami. Makan ma
Hari pernikahan Dimas tiba, cuaca yang sedikit mendung menambah ketenangan di hati.Anya yang berhias dengan gaun indah berwarna marun dengan berlian yang menghiasi leher dan telinganya menambah kesan glamour.Tak ada rasa sedih ataupun senang di wajahnya yang ayu, hanya ada ketegasan dan ketidakpedulian disana.Dengan dijemput oleh orang suruhan David, Anya mulai berangkat ke acara pernikahan yang berlangsung di rumah Dimas dimana dibangun untuk hadiah pernikahannya dengan pria itu.“Non kata tuan jika nanti tidak sanggup kita bisa kembali lebih dulu.” Ucap supir itu pada Anya.David mungkin khawatir jika Anya tak sanggup melihat Dimas yang masih menjadi suaminya mengucapkan sumpah janji pernikahan dengan wanita lain.“Aku tak lemah hanya karena itu.” Ucap Anya dengan datar.Dan pria itu terdiam dan mengangguk, tidak ada obrolan lagi di sana hingga Anya sampai di halaman rumah yang sudah diubah menjadi acara pesta pernikahan.Senyum miring Anya terbit, ternyata acaranya tak lebih bes
Bandara internasional soekarno-hatta, tempat pertama kali Anya menginjakkan kakinya di jakarta.Dia mulai menjalani kehidupan barunya disini, meskipun dia masih satu minggu lagi untuk masuk ke kantor karena untuk proses pemindahannya. Dia memilih untuk berangkat lebih cepat.“Kota baru kenangan baru.” Gumamnya sambil melihat cerahnya cuaca di ibu kota.Dia mulai menarik kopernya untuk keluar bandara menuju ke apartemen yang dia sewa secara online.Dengan menggunakan taxi, dia pergi menuju tempat untuk dia bisa beristirahat.“Daerah mana, non?” Supir taxi itu bertanya saat Anya sudah masuk ke dalam mobil."Ke daerah Thamrin, Pak," jawab Anya dengan senyuman, menyebutkan alamat apartemen yang sudah dia sewa.Supir taksi mengangguk dan mulai melajukan kendaraannya. Sepanjang perjalanan, Anya memandangi pemandangan kota Jakarta yang ramai. Meskipun ada perasaan canggung karena berada di kota yang sama sekali baru baginya, Anya juga merasa antusias dan berharap bisa menemukan kebahagiaan se
Aditya menunggu dengan tidak sabar pemeriksaan Agnia yang masih berada di dalam bersama dokter.“Sayang, duduklah dengan tenang aku yakin Agnia baik-baik saja.” Ucap Rima pada putranya tersebut.Kevin juga mengangguk menenangkan putranya, “Benar kata ibumu.”Aditya menghela napas dalam, berusaha mengendalikan kegelisahannya. Meski ia tahu orang tuanya berusaha menenangkan, perasaan cemas tetap menguasai dirinya. “Aku tahu, tapi tetap saja… ini sangat tiba-tiba,” jawabnya sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan.Tak lama kemudian, pintu ruang pemeriksaan terbuka, dan dokter keluar dengan raut wajah yang tenang. Aditya langsung berdiri dan menghampiri, "Dokter, bagaimana keadaan istri saya?"Dokter tersenyum kecil, “Tenang, Pak Aditya. Istri Anda hanya kelelahan dan mengalami gejala yang cukup umum di trimester awal kehamilan. Selamat, Pak, Ibu Agnia sedang mengandung.” Aditya terdiam, antara terkejut dan bahagia, sebelum senyum lebar terpancar di wajahnya. Rima dan Kevin yang men
Hari-hari berlalu, hingga pernikahan Agnia dan Aditya datang di pagi yang cerah ini.“Kau sangat tampan sayang.” Ucap Rima pada putranya yang tengah bersiap untuk prosesi pernikahannya.Aditya tersenyum pada ibunya, Rima, yang tampak berkaca-kaca melihat putranya dalam balutan pakaian pengantin. "Terima kasih, Ibu. Tanpa Ibu, aku mungkin tak akan sampai di hari ini," ucapnya sambil merapikan setelan jasnya.Rima mengangguk, menyentuh pipinya dengan lembut. "Ibu bangga padamu, Aditya. Kau telah memilih pasangan yang baik dan penuh kasih. Semoga kalian berdua selalu berbahagia."Aditya mengangguk penuh keyakinan. "Aku tahu, Bu. Agnia adalah seseorang yang benar-benar bisa kuandalkan, dan aku siap menjalani hidup bersamanya."Sementara itu, di ruangan lain, Agnia juga tengah bersiap dengan gaun pengantinnya yang anggun. Anya, Angel, dan Mila, membantu memastikan segalanya sempurna. Anya merapikan sedikit veil Agnia dan berkata dengan senyum hangat, "Kau benar-benar cantik, Agnia. Aditya
“Kita akan main banana boat!!” Ucap Rose dengan semangat saat mereka bermain di tepi pantai dan akan menaiki permainan itu.Rose, Misella, dan Alex tampak sangat bersemangat saat mengenakan jaket pelampung mereka. Suasana pantai yang cerah dan angin laut yang segar semakin menambah antusiasme mereka. "Ini pasti seru banget!" seru Misella dengan tawa yang lepas, tak sabar untuk segera bermain.Banana boat yang berwarna cerah itu berayun di atas air laut yang jernih, siap membawa mereka meluncur cepat di atas ombak. Alex, yang awalnya terlihat sedikit canggung, akhirnya tersenyum kecil karena semangat yang menular dari kedua temannya.Ketika banana boat mulai bergerak, Rose berteriak penuh kegembiraan, diikuti oleh Misella yang tak henti tertawa. Ombak mengayunkan mereka dengan cukup kencang, membuat perasaan adrenalin dan kegembiraan memenuhi suasana. Alex, yang awalnya tampak tenang, akhirnya ikut berteriak seru, menikmati momen tersebut bersama mereka."Pegangan yang kuat!" seru Mise
Johanna, istri Henry yang sedang bersantai di mansionnya tampak melihat sosial medianya. Sebagai nyonya Anderson, dia sama sekali tak melakukan apapun selain menikmati hidup dan uang suaminya.Hingga tak sengaja dia melihat akun Anya, istri dan nyonya dari keluarga Baskara tersebut. Rasa penasarannya mulai timbul terlebih melihat pengikut wanita itu mencapai jutaan followers.“Dia seorang artis?” Gumam Johanna dengan penasaran namun tatapannya merendahkan, karena menurutnya pekerjaan seperti itu tak menunjukkan martabat keluarga terpandang karena terlalu mengekspose kegiatan privasinya.Dengan tenang dia mulai melihat story Anya yang begitu banyak, mulai dari pemandangan di bali hingga perayaan ulang tahunnya disana.“Apa bagusnya merayakan di Bali?” Gumam Johanna dengan sinis, hingga dia melihat video Anya yang diperlakukan suaminya bak ratu, terlebih melihat pandangan David yang begitu terlihat mencintai istrinya bahkan menciumnya setelah mengucapkan selamat ulang tahun.Johanna men
“Happy birthday to you!!” Semua orang gembira merayakan ulang tahun Anya.Anya tertawa bahagia di tengah-tengah mereka, “Happy birthday, honey.” Ucap David sambil mengecup bibir Anya sekilas.Anya memeluk suaminya dengan lembut, “Terima kasih sayang.” Ucapnya dengan penuh cinta.Suasana pesta ulang tahun Anya di Bali terasa hangat dan penuh kebahagiaan. Semua orang bersorak-sorai, dan tawa Anya memenuhi ruangan. Dia memeluk David dengan erat, merasa sangat bersyukur memiliki suami yang selalu ada di sisinya."Ini ulang tahun terbaik," ucap Anya dengan mata berbinar, masih memeluk David. "Aku tidak bisa meminta lebih dari ini."David tersenyum, menatapnya dengan penuh cinta. "Kau pantas mendapatkan semua kebahagiaan ini, sayang."Sahabat-sahabat Anya, seperti Angel, Mila, dan Nersa, ikut memberikan ucapan selamat sambil memberikan hadiah-hadiah kecil yang dipilih dengan penuh perhatian.“Apakah kami telat?” Tiba-tiba suara Aditya datang membuat mereka semua menoleh.“Kalian sudah datan
“Diana sudah kau siapkan barang endors-nya? Kita akan terbang pukul sepuluh pagi nanti.” Ucap Anya saat mereka akan berangkat ke Bali.Diana mengangguk, “Sudah, ini semua aman. Huft padahal kita suda menaikkan rate card-nya tapi masih banyak yang mengendors, membuatku harus mengedit lebih banyak saja.” Gumam Diana dengan mengeluh.Anya yang mendengarnya tertawa, “Bukankan gajimu sudah dua digit, setidaknya sebanding bukan?” Ucap Anya dengan kekeha ringan.Memang selama lima tahun ini karir Anya sebagai influencer sangat stabil bahkan cenderung semakin naik, meskipun Anya sekarang sudah membatasi endorsan yang masuk, namun tetap saja Diana sebagai editor dan juga manajernya cukup kalang kabut.“Tentu saja, setiap gajian aku bisa membeli satu motor baru. Tapi tetap saja lelah.” Ucap Diana dengan santai.Anya tersenyum, “Ya sudah, masukkan itu dalam mobil dan minta supir untuk mengambil sisanya. Kita berangkat sekarang, aku akan memanggil anak-anak dan juga suamiku.” Ucap Anya dengan lem
“Mama, apa aku boleh ajak Rose dan Alex ke bali nanti?” Tanya Misella saat mereka sedang makan malam.Anya yang mendengar nama Alex disebut juga langsung terkejut, “Alex?”Misella mengangguk, “Tadi dia bergabung denganku dan Rose, dia sudah cukup baik dari sebelumnya. Dan sepertinya teman-temannya dulu ikut menjauhinya dan sekarang dia jadi temanku. Saat aku cerita akan ke Bali dia terlihat murung, sepertinya dia tak pernah liburan bersama keluarga.” Ucap Misella.Anya dan David saling bertukar pandang, memikirkan permintaan putri mereka. Anya merasakan keraguan, terutama karena pengalaman sebelumnya dengan Alex, namun dia juga tak bisa mengabaikan sifat baik hati Misella.“Kamu sudah yakin dengan perubahan Alex, Misella? Aku tahu dia telah meminta maaf, tapi mengajaknya liburan bersama keluarga kita adalah hal yang besar,” kata Anya pelan, mencoba memahami situasinya.Misella mengangguk mantap. “Iya, Ma. Dia memang terlihat menyesal. Teman-teman lamanya juga menjauhinya, dan aku tak
“Aihh… Calon mantuku datang. Bagaimana persiapannya? Apakah sudah memilih gaun?” Tanya Rima dengan lembut saat Agnia datang berkunjung ke mansion.Agnia tersenyum lalu menaruh kue yang dia bawa di meja.“Kau bawa apa, Agnia? Kue buatanmu lagi ya? Wahh, ayah Aditya sangat senang kemarin dan hari ini kau bawakan lagi, pasti dia sangat bahagia.” Ucap Rima dengan semangat.Agnia tertawa pelan, dia bahagia dia disambut dengan sangat hangat di mansion ini. Seolah mereka tak mempermasalahkan status Agnia bahkan hanya kue sederhana saja mereka sudah sangat bahagia sehingga dia merasa dihargai.“Hanya kue biasa, bu. Kalau ibu ingin kue yang lain nanti Agnia buatkan, kebetulan Agnia sangat suka buat kue.” Ucap Agnia dengan lembut.Rima tersenyum hangat, wajahnya penuh kebahagiaan. "Kau ini memang sangat perhatian. Kami beruntung sekali mendapatkan calon menantu sepertimu, Agnia." Dia mengambil kue dari meja, lalu mencicipinya dengan penuh antusias. "Hmm, enak sekali! Ayah Aditya pasti sangat me
“Bagaimana dengan desain gaun ini, nona? Apakah anda suka?” Tanya desainer gaun pengantin yang ditunjuk oleh Aditya untuk Agnia.Agnia tampak bingung memilih, terlebih keluarga Aditya juga mendesak untuk acara pernikahan mereka digelar satu bulan lagi, tentu persiapan yang cukup singkat apalagi keluarga Baskara ingin acara pernikahan ini mewah.“Saya masih bingung, bisakah saya membawa gambar dari beberapa desain ini? Saya ingin menunjukkan dan meminta saran dari calon ibu mertua saya.” Ucap Agnia dengan lembut.Desainer gaun itu tersenyum sopan dan mengangguk. "Tentu saja, Nona Agnia. Saya akan menyiapkan beberapa gambar desain yang bisa Anda bawa. Kami ingin memastikan Anda merasa nyaman dan puas dengan pilihan Anda, apalagi ini hari yang sangat istimewa."Agnia tersenyum tipis, meskipun perasaan di dalam hatinya masih campur aduk. Proses persiapan yang begitu cepat dan tuntutan dari keluarga Baskara untuk membuat pernikahan mereka mewah cukup membuatnya tertekan. Dia tidak pernah m