“Wajahmu sudah membaik?” Nada suara yang penuh kekhawatiran terdengar melalui panggilan video tersebut.Anya yang saat ini tengah menyandar di kepala ranjang tampak tersenyum. “Lihat wajahku sudah membaik, kau tak perlu khawatir.” Ucap Anya untuk menenangkan pria itu.Anya tahu David sangat khawatir dan itu membuat Anya senang karena perhatian pria itu.David meskipun tak percaya namun masih tetap mengangguk, “Setelah pekerjaanku selesai aku akan pergi kesana.” Anya yang mendengar itu tampak terdiam, meskipun dia bisa mengatasinya tapi dia mungkin membutuhkan David untuk melawan mereka.“Baiklah, aku akan menjemputmu nanti.” Ucap Anya dengan lembut.David tersenyum, “Aku juga sangat merindukanmu.” Ucapnya yang membuat Anya tersipu. David sekarang lebih sering mengungkapkan apa yang dia rasakan dibanding memendamnya.“Jika seperti ini kita seperti anak muda,” Ucap Anya yang mendapat respon tawa dari David.“Kamu memang masih muda Anya, nikmati semua fasilitas yang aku berikan untukmu.
Regina sudah menghubungi David beberapa kali, namun telepon yang dia sambungkan sama sekali tidak dijawab oleh pria itu hingga pada panggilan terakhir David menjawab dengan nada suara yang begitu dingin.“Aku sedang sibuk, ada apa?” Jawab David dengan dingin.“Mas, kenapa rumah Dimas dijual? Aku dan keluarga Dimas tinggal dimana? Mas kamu tidak setega itu kan pada kami?” Tanya Regina dengan tanpa berbasa basi.David terdiam sejenak sebelum menjawab, nada suaranya tetap dingin dan tegas. "Regina, rumah itu dijual karena ada beberapa masalah sengketa. Kamu tahu sendiri itu jika tanah yang dipilih Dimas dia beli bukan dari pemilik aslinya. Jadi itu bukan urusanku.” Ucap David.Regina terdiam, lalu menjawab, “Lalu kami tinggal dimana mas? Anggun sedang hamil, apakah kamu tega?”Terdengar suara helaan nafas dari David, “Dimas udah dewasa, dia bukan tanggung jawabku lagi. Dan kau kembali lah kerumah yang Anya tinggali dan untuk Dimas aku tak membiarkannya menginjakkan kaki di rumah itu.” Te
Suasana pagi di rumah ini terlihat cukup sepi, Regina yang baru bangun tidur heran karena belum ada sarapan di meja makan.“Dimana bi Narsih?” Tanya Regina pada Anya yang sedang duduk dengan laptop di depannya di ruang makan tersebut.“Cuti, anaknya menikah.” Jawab Anya seadanya.Regina hanya mengangguk, “Ya sudah buatkan aku sarapan.” Titah Regina seolah dia masih nyonya besar yang berkuasa disini.Namun Anya hanya diam dan fokus dengan pekerjaannya di laptop sambil sesekali menyeruput teh paginya.“Hei, apa kau tak mendengarku?” Seru Regina dengan keras.Anya yang mendengar itu melirik tajam Regina, “Kamu masih punya tangan dan kaki untuk membuat sarapanmu sendiri, jika kamu tidak ingin melakukannya ya jangan makan.” Jawabnya dengan datar.Regina merasa terhina dengan respons Anya. "Apa kamu berani bicara seperti itu padaku?"Anya menutup laptopnya dengan tenang dan menatap Regina dengan dingin. "Regina, di rumah ini, semua orang punya tanggung jawab masing-masing. Bi Narsih sedang
“Kamu akan ke Kalimantan besok?” Tanya Anya melalui telepon seluler saat dia berada di bandara.“Iya, apa kamu tak merindukanku?” Tanya David dengan tenang di seberang sana.“Ah tidak, hanya saja kebetulan sekali dengan Nersa dan Angel yang akan kembali ke Jakarta hari ini.”“Mereka akan pulang? Aku kira mereka akan lama.” Ucap David dengan tenang.Anya tersenyum kecil mendengar nada tenang dari suaminya. "Iya, mereka sudah selesai dengan urusan mereka di sini. Aku pikir ini kesempatan yang baik untuk kita bisa menghabiskan waktu bersama setelah mereka pulang."David tertawa pelan. "Kalau begitu, kita harus merencanakan sesuatu yang spesial. Mungkin kita bisa pergi ke tempat yang belum pernah kita kunjungi sebelumnya."Anya memandang sekeliling bandara, merasa sedikit lebih ringan. "Aku suka ide itu. Aku akan memikirkan tempat yang menarik. Kita bisa berbicara lebih lanjut ketika kamu sampai di Kalimantan."David mengangguk, meskipun Anya tidak bisa melihatnya. "Baik, aku menantikan s
Di ruang makan yang terdapat tiga orang di meja tampak terasa hangat. Tidak, tidak semuanya terasa hangat, namun ada satu yang merasa terbakar.Regina yang sejak tadi melihat kemesraan David dengan Anya merasa hatinya seperti dibakar oleh api besar.“Mas, makan ini.” Ucap Anya sambil menaruh lauk dengan nada manis.David menanggapinya dengan senyuman dan anggukan, sikapnya sangat berbeda jauh saat bersama Regina dulu.Regina merasakan kemarahan yang membara di dalam hatinya. Tidak tahan lagi melihat kemesraan antara David dan Anya, dia menaruh sendoknya dengan keras di meja, suaranya menggema di ruang makan.“Mas, kenapa kamu begitu berubah? Dulu kamu tidak pernah sehangat ini padaku,” ucap Regina dengan suara yang bergetar menahan emosi.David mengangkat pandangannya dari piring dan menatap Regina dengan tatapan yang datar namun tajam. “Regina, kamu tahu sendiri bagaimana hubungan kita dulu. Semua ini sudah berlalu, dan sekarang aku bahagia dengan Anya. Lebih baik kamu belajar meneri
“Regina kemana?” Tanya Anya pada David saat mereka sarapan tapi Regina tak kunjung keluar.“Mungkin belum pulang.” Ucap David dengan tenang seolah tak peduli kemana wanita itu pergi.“Belum pulang? Memang kemana dia, Mas?” Tanya Anya dengan bingung.Tapi sebelum David menjawab, suara pintu terbuka yang membuat mereka langsung menoleh. Anya dan David bisa melihat tampilan Regina tampak tidak rapi dan dengan mata jeli Anya bisa melihat ada bekas tanda merah di leher wanita itu yang membuatnya curiga.Regina berusaha berjalan dengan tenang, meskipun merasa tatapan Anya dan David tertuju padanya. Dia menundukkan kepala sedikit, mencoba menghindari tatapan langsung dari mereka.“Pagi,” ucap Regina dengan suara yang sedikit serak, berusaha terdengar santai.David hanya mengangguk singkat sebagai balasan, sementara Anya terus menatap Regina dengan curiga. "Kamu tidak tidur di rumah semalam?" tanya Anya dengan nada sedikit curiga.Regina menghela napas, mencoba mencari alasan yang masuk akal.
Di dapur, Regina tampak sangat sibuk dengan bi Narsih yang sudah pulang dari kampungnya. Mereka seperti sedang membuat sesuatu yang membuat Anya penasaran.Tapi dia tak bertanya dan mengamati mereka, hingga saat David datang Regina langsung mendekati pria itu.“Mas, aku buatkan ayam kecap kesukaanmu.” Ucapnya dengan nada yang begitu manis yang membuat Anya mengerutkan dahinya dengan bingung.David tersenyum tipis menanggapi Regina, tetapi tatapannya beralih kepada Anya yang berdiri di dekat pintu dapur. "Ya. Terima kasih. Tapi aku ingin tahu pendapat Anya juga. Apakah dia sudah mencoba masakanmu?"Anya yang mendengar percakapan itu merasa semakin curiga. Regina yang selama ini tidak pernah mau repot-repot di dapur tiba-tiba menunjukkan perhatian. Namun, dia tetap tenang dan mendekat ke meja."Terima kasih, Regina. Kamu terlihat sangat sibuk di dapur. Apa ada sesuatu yang istimewa hari ini?" tanya Anya dengan nada datar.Regina tersenyum tipis, berusaha menampilkan wajah tanpa rasa ber
“Mereka dimana, bi?” Tanya Regina yang baru keluar dari kamar tapi tak melihat adanya David dan Anya di rumah.Bi Narsih yang tadinya membereskan rumah langsung berhenti dan berbalik, “Saya kurang tahu, nyonya. Tapi tuan tadi terlihat buru-buru pergi bersama nyonya Anya.” Ucap bi Narsih.Regina mengerutkan kening, merasa penasaran. "Buru-buru pergi bersama Anya? Ada apa?" gumamnya sendiri.Dia berjalan menuju ruang tamu, mencoba menghubungi David melalui ponselnya, tetapi tidak ada jawaban. Dengan perasaan tidak tenang, Regina memutuskan untuk menunggu di rumah, berharap mendapatkan jawaban segera.Sementara itu, David dan Anya sedang dalam perjalanan menuju ke rumah mereka setelah pulang dari rumah sakit.“Aku akan mengatakan pada bi Narsih nanti untuk memasakkan masakan yang sehat untukmu.” Ucap David saat mereka masih di dalam mobil."Terima kasih, Mas. Aku akan sangat berterima kasih untuk itu," balas Anya sambil tersenyum.Mobil mereka melaju pelan memasuki halaman rumah. Ketika