Setelah keduanya kelelahan karena aktifitas panas mereka, Dani dan Tari pun kini terkapar tak berdaya di atas ranjang penginapan.
Dani begitu tenang dalam tidurnya, begitu pula Tari. Kegiatan tadi rupanya menjadi sebuah kesenangan bagi pasangan yang tidak terikat pernikahan itu.
Tari terbangun dari tidur siangnya, wanita itu mengucek mata. Dia teringat akan rencananya datang ke pantai, yaitu untuk melihat sunset.
"Mas! Mas Dani!" Tari menggerak-gerakkan lengan Dani agar lelaki itu terbangun. Keduanya masih sama-sama tak berpakaian.
"Hm ...!" Dani hanya mengubah posisi tidurnya, miring ke kanan membelakangi Tari.
"Ish! Mas Dani gimana sih. Udah setengah lima sore ini. Cepetan bangun lalu mandi, biar nggak ketinggalan sunset-nya!" Tari menjadi sewot karena rupanya Dani tidak menggubrisnya. Malah kembali bergelut dengan alam mimpinya.
"Apa sih, Ren!" Tentu saja Dani mengucapkannya tanpa sengaja. Ternyata di alam baw
"Ngapain Mas Dani sampai sini?" Penasaran, Reni pun menepikan motornya. Dia ikut memarkirkan motor ayahnya di tempat motor Dani berada, di sebuah rumah makan padang."Kok aku penasaran, ya?" Dengan pelan Reni berjalan menuju arah dalam rumah makan itu. Sungguh apa yang dilihatnya adalah hal yang sangat tak ingin dia lihat. Kali ini hatinya benar-benar terluka."Mas Dani!" Teriakan Reni yang tertahan di tenggorokan kala melihat Dani sedang menyuapi Tari dengan mesra.Meski sudah tahu, tapi melihat sendiri ternyata rasanya lebih sakit. Tidak mungkin kebersamaan yang telah terjalin begitu lama dapat terhapus saja."Re-Reni!" Tak kalah kaget dengan Reni, Dani segera berdiri dari duduknya. Dia begitu kaget melihat Reni ada di sini, apalagi dia sedang bersama Tari."Terusin aja, Mas. Anggap aja kita nggak pernah kenal." Reni melenggang masuk ke dalam resto padang itu. Dia ingin menguji, sudah seberapa tak tahu malunya mereka.Dengan emosi ya
Dani dan Tari keluar dari rumah makan padang itu dengan perasaan campur aduk. Kesal. marah, kecewa, sakit hati, dan berbagai perasaan lainnya. Kondisi keduanya pun tak sehangat dan semesra saat berangkat, bahkan Tari tak melingkarkan tangannya di pinggang Dani. Tari duduk agak ke belakang menjauhi Dani. Dia masih merasa cemburu karena Dani mencemburui Reni. Ah! Persoalan yang rumit. Begitu pula Dani, seolah lupa jika sedang bersama Tari, dia terus melajukan motornya kencang. Dia benar-benar tidak terima ada laki-laki lain yang memperhatikan Reni. Terlebih, laki-laki itu ternyata memiliki pekerjaan yang lebih bergengsi dari padanya. 'Kenapa juga tadi mesti makan di tempat itu?' batin Dani. Tempat itu memang dia lewati saat pulang dari pantai. Karena Tari merasa lapar, jadinya Dani memutuskan untuk berhenti di salah satu rumah makan padang di sepanjang jalan itu. 'Kenapa juga Reni bisa ada di sana? Siapa pula laki-laki itu? Tidak mungkin dia selingkuhan
"Terima kasih sekali lagi." Hanya itu yang bisa Reni ucapkan pada Bram, yang lagi-lagi telah menolongnya.Dan juga telah membuatnya tidak kehilangan muka di hadapan orang-orang. Reni melihat sekeliling, nampaknya mereka masih mencuri pandang ke arahnya. Tetu saja Reni sangat tahu alasannya.Tapi, dia memilih tidak peduli. Memikirkan Dani hanya akan membuatnya sakit kepala."Kamu, mau aku anterin," tawar Bram pada Reni. Reni kembali mendongak menatap pria itu sebari tersenyum."Nggak usah, Bram. Aku bawa motor sendiri." Reni bukan orang yang mudah baper dengan perhatian orang lain. Meski saat ini Bram begitu baik padanya, tak serta merta menjadikannya menyukai pria itu.Reni berpikir, semua orang pasti akan melakukan hal yang dilakukan Bram."Kamu masih simpan nomorku 'kan?" Reni mengangguk. Dia tentu saja ingat hal itu dan alasan menyimpan nomor Bram."Kalau butuh bantuan, kamu bisa langsung hubungi aku. Akan aku usahakan untuk bantui
"Bruk!" Reni terjatuh saat masih di parkiran. Naas, di sana tidak ada seorang pun, sehingga Reni tidak segera tertolong. Ada sebuah mobil yang memasuki parkiran tempat itu. Seorang pria berkaca mata hitam keluar dari dalam mobil. Dia hanya memakai celana pendek serta kaos lengan pendek. Awalnya pria itu tak menyadari ada sesorang yang tergeletak di sana. "Eh!" Pria itu menoleh ketika kakinya seperti menyenggol sesuatu. "Lho! Mbak!" Dia segera mengangkat kepala Reni dan menyandarkannya di pahanya. Pria itu tampak mengamati dengan seksama wajah Reni, dai mengernyitkan dahinya. "Reni!" Tak sengaja dia berteriak ketika ternyata yang sedang pingsan adalah wajah yang dikenalnya. "Ren! Bangun, Ren!" Sang pria mencoba menampar pelan pipi Reni berharap Reni akan segera tersadar. Bergeming. Reni tak segera sadar dan membuat sang pria terlihat begitu khawatir. Maksud hati ingin membeli kelinci lagi untuk usahanya, malah dipe
"Ren, apa kamu marah karena aku telah lancang membacanya?"Reni menghela napas. Dia merasa sangat frustasi kali ini."Sebenarnya aku sangat malu bertemu kamu saat aku seperti ini. Dan juga kamu harus mengetahui masalah rumah tanggaku." Reni hanya menunduk, tak mampu menatap lelaki yang pernah ditinggalkannya itu."Angkat wajahmu, Ren. Jangan seperti itu. Kamu tahu 'kan perasaanku untukmu masih sama?" Jari Yudha menyentuh ujung dagu Reni dan mengangkatnya ke atas.Reni memalingkan wajahnya, "Aku nggak pantas buat kamu, Yud." Dia yang terlebih dulu meninggalkan lelaki itu dan memilih menikah dengan Dani. Tak pantas rasanya jika menerima kembali cinta Yudha.Yudha membuang napas kasar. Semua itu bukan sepenuhnya salah Reni, saat di Jepang dia yang terlebih dulu mengabaikan wanita itu, sehingga Reni salah paham dan akhirnya menerima lamaran Dani."Kenapa sulit sekali mencairkan kebekuan hatimu itu, Ren?"Yudha kembali duduk di tempa
"Halo, assalamu'alaikum." Reni mencoba berbicara sedatar mungkin. Tak ingin lawan bicaranya di seberang telepon mengetahui bahwa emosinya sedang naik."Wa'alaikumsalam. Halo, Ren. Kamu di mana? Kenapa sampai sore belum pulang?"Sebuah pertanyaan penuh kekhawatiran diucapkan oleh seorang wanita yang ada di ujung telepon sana.Reni sangat hapal suara itu, siapa lagi kalau bukan Yanti, ibunya. Diliriknya jam dinding yang ada di kamar rumah sakit itu, menunjukkan pukul lima sore. Tentu saja keluarganya di rumah sangat khawatir."Maaf, Bu. Reni belum sempat memberitahu ibu." Reni menggigit bibir bawahnya, pembicaraan dengan Yudha tadi membuatnya lupa untuk menghubungi keluarganya. Pergi sedari pagi, tapi sampai sore belum pulang."Kamu di mana to, Ren. Ibu sama Ayah khawatir, sedari tadi kamu belum pulang. Mau hubungi nunggu Zaki pulang sekolah."Sekitar jam lima sore memang adiknya itu pulang dari sekolah. Maklum sudah kelas
Setelah mematikan telepon, Yanti segera mengajak Bambang menuju klinik yang disebutkan Reni.Di perjalanan tak henti-hentinya wanita paruh baya itu berdoa untuk kesehatan putri dan calon cucunya."Yah, yang cepet, dong. Kasihan Reni, dia sendirian." Yanti merasa suaminya itu berkendara dengan sangat lambat. Padahal Bambang sudah melajukan sepeda motornya dengan kecepatan 80 km/ jam. Lumayan cepat bagi pengendara yang sudah berumur.Reni memang tidak memberi tahu perihal Yudha, jadinya Yanti tahunya wanita itu sedang sendirian."Sabar dong, Bu. Ini juga cepat Jangan karena keburu nafsu, malah membahayakan keselamatan diri sendiri." Berkendara di jalanan, harus tenang. Karena tidak hanya menyangkut keselamatan diri sendiri, tetapi ada banyak hal yang harus diperhitungkan."Ck!" Yanti hanya bisa mencebik, tak mau kena omelan lagi.Sesampainya di klinik, tak ingin membuang waktu, Yanti segera menuju meja resepsionis."Mbak, pasien atas na
"Lho, Ren. Mas ganteng ini siapa, ya?" Melihat Yudha, membuat Yanti teringat dengan aktor drama Turki yang sering dia tonton. Yudha berdiri dan tersenyum menyalami Yanti. Seperti dugaan Yanti, tubuh Yudah tinggi besar seperti aktor-aktor itu, dengan sedikit jamban tipis yang membingkai rahangnya. Dia terlihat begitu tampan. Reni dan Yudha saling melempar pandangan, keduanya tak tahu harus menjawab apa. Takut jika orang tua Reni salah paham. "Ini yang nolongin Reni, Bu. Namanya Yudha, kebetulan dia dulu teman sekolah Reni." Tak mungkin bagi Reni untuk mengakui bahwa Yudha adalah mantan pacarnya sewaktu SMA dulu. Yang paling aman adalah mengenalkannya sebagai teman. Hati Yudha sedikit teriris ketika Reni mengenalkannya hanya sebagai teman. Ya, meski itu lebih baik dari pada tidak saling mengenal. "Malam, Om, Tante," sapa Yudha sopan. Melihat senyumnya ini, pasti bakal membuat siapa pun klepek-klepek. Tak terkecuali emak-emak yang sedari tadi tak
Reni memasak makanan yang menjadi ciri khas di rumah makannya, rica-rica kelinci. Selama ini memang ibunya yang memasak di sana, sementara Reni kembali ke rumah Dani. Namun, saat Reni kembali, dia memutuskan untuk memasak sendiri, kasihan Yanti katanya. Kondisi Yanti semakin lemah, jadi dia tidak boleh capek-capek.Hidangan sudah siap, dia bersiap menyajikan untuk Bram dan Yudha. Berkali-kali dia menarik napas karena kali ini dia berniat untuk membicarakan hal ini dengan keduanya. Dia harus tegas agar keduanya tak terluka."Makanan sudah siap, silakan dimakan." Reni tersenyum ke arah dua pria yang masih saling menatap dengan tatapan yang tak suka. Sungguh Reni sangat merasa bersalah kepada keduanya. Apa dia yang jahat karena seolah memanfaatkan mereka berdua?Reni meletakkan masing-masing satu porsi di hadapan Bram dan juga Yudha. Setelah itu, dia menarik kursi di antara keduanya."Makan dulu! Ada yang pengen aku omongin." Reni berusaha sesantai mungkin,
Bram tak banyak berharap pada Reni. Dia tahu jika rasa sakit Reni memang bisa membuatnya trauma. Mungkin dia yang terlalu terburu-buru hingga membuat Reni merasa takut."Aku antar ke mana ini, Ren?""Ke warung aja, Bram. Masih ada urusan di sana."Lebih baik tak memberi harapan untuk keduanya. Setidaknya itulah yang ada di pikiran Reni saat ini. Dia harus sangat berhati-hati kini. Karena hidup tak melulu soal cinta. Hubungan pun bukan hanya suami istri. Ada hubungan yang lebih luas dari pada itu."Oke!" Bram pun menerima penolakan Reni kali ini. Tak mudah bagi seorang wanita yang telah diselingkuhi, membuka hatinya untuk lelaki lain. Dan itu terjadi pada Reni. Lama belum hamil, disalahkan oleh orang-orang sekitar.Saat hamil, malah dia diselingkuhi oleh suaminya. Di samping itu, dalam kehamilannya, suaminya itu malah semakin melukai hatinya. Berjuang sendiri hingga hamil besar, tanpa kasih sayang dan juga dukungan suami. Bahkan saat det
"Kamu kalau lagi ngambek cantik, deh.""Gombalanmu udah nggak mempan ke aku.""Aku nggak nggombal, sumpah! Mau nggak jadi istri aku?"Reni tercengang mendengar apa yang dikatakan oleh Bram barusan. Wanita itu melongo, nggak nyangka jika lelaki yang berprofesi sebagai pengacara itu memiliki rasa untuknya. Persoalan dengan Yudha saja sudah membuatnya merasa sangat pusing, kini ditambah dengan Bram.Apa ini artinya, Bram sedang melamarnya dengan tidak romantis? Di dalam mobil, tanpa cincin, tanpa candle light dinner yang romantis. Tapi, bukan itu sebenarnya ini permasalahannya. Reni belum sembuh benar hatinya saat ini. Masih ada trauma yang menghinggapi hatinya."Kenapa kamu, Ren?" Melihat Reni yang malah bengong, membuat Bram penasaran. Sebenarnya apa yang dipikirkan oleh wanita di sebelahnya."Uhm ... Bram." Reni berusaha mencari kata yang tepat untuk menjelaskan bahwa dia belum bisa menerima Bram. Tapi, dia juga bingung karena Bram telah mem
Setelah proses yang panjang, akhirnya Reni dan Dani resmi bercerai. Meski awalnya Dani masih keukeuh ingin mempertahankan pernikahan ini, namun Reni mengantungi banyak bukti.Dengan bantuan dari Bram, akhirnya Reni dapat lolos juga dari jeratan Dani. Hubungan toxic yang hanya menyakiti dirinya sendiri. Hubungan yang sehat tak akan menyakiti."Puas sekarang kamu, Ren. Misahin anak sama ayahnya?" Dani menghampiri Reni di depan pengadilan agama. Reni saat ini tengah bersama dengan Bram. Dani melirik ke arah pengacara itu dengan muka kesal. Dia tak mungkin menyewa pengacara, duit aja nggak punya. Terlebih dia juga tengah memikirkan tuntutan dari keluarga Tari tentang uang yang digunakan untuk operasi. Kerjaan aja nggak pasti, bagaimana dia bisa dapat uang?Reni memutar bola mata malas, menghadapi Dani harus berkali-kali menghela napas panjang. Sepertinya lelaki macam itu akan sulit untuk melihat keburukannya sendiri."Maaf, Mas. Tidak ada kepentingan lagi antar
Reni tersenyum getir menanggapi permintaan Dani. Dia tidak mungkin mengubah keputusannya. Hatinya telah tertutup bagi Dani dan sama sekali dia tidak berpikir untuk membukanya lagi."Memulai lagi, Mas? Jangan buat aku ketawa. Setelah semua yang telah kamu perbuat padaku, kamu ingin kita memulai lagi? Jangan bikin aku ketawa, Mas." Yang ada di hati Reni kini hanya rasa benci dan juga kecewa, mana bisa dia harus memulai semuanya lagi dengan Dani? Itu hal yang sangat menakutkan baginya. Atau lebih seperti sebuah trauma yang amat sangat mencekam.Reni melewati kehamilannya seorang diri. Dani hanya sesekali saja berada di sampingnya. Dan itupun tak menampilkan tanda-tanda jika Dani menyayangi anak yang ada dalam kandungan Reni. Tak pernah sekali pun Dani mengelus perut Reni, mencoba berinteraksi dengan bayi yang dikandung Reni. Dan kini Dani dengan tidak tahu malunya meminta Reni untuk memulai semuanya dari awal?"Ren! Apa kamu nggak mikirin anak kita? Dia masih butuh sosok
Setelah kepulangan Reni ke rumah orang tuanya, Dani terus saja menghubungi Reni. Dia selalu berbicara ingin memulai lagi semuanya dengan Reni. Tapi, Reni masih keukeuh dnegan keputusannya. Dia sudah enggan bertemu dengan Dani."Ren! Dani datang dengan kedua orang tuanya ingin bicara sama kamu." Yanti masuk ke kamar Reni yang sedang menyusui bayinya. Reni membuang napas panjang kala mendengar nama Dani."Nanti, Buk. Aku masih netekin si Rey." Sebenarnya sudah sangat malas Reni berhadapan dengan keluarga itu. Tetapi, dia masih menghormati kedua orang tua Dani, meski mereka tidak pernah berlaku baik padanya.Yanti hanya menuruti anaknya. Dia tidak enak hati jika mengusir besannya. Walau bagaimanapun, mereka masih orang yang memiliki unggah ungguh."Sebentar, Reni sedang menyusui Rey." Yanti ikut duduk di ruang tamu, menemani tamunya. Dia sendiri sebenarnya geram dengan perilaku Dani dan juga orang tuanya. Jika orang tua yang benar, anaknya selingkuh, mereka akan men
Setelah Wahyu berbicara dengan ibunya, akhirnya Tari diperbolehkan untuk sementara tinggal di situ. Dan Dani diminta untuk datang ke rumah keluarga Tari untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.Beberapa hari yang lalu, Tari melahirkan secara sesar. Jika dihitung, itu selang dua hari dari waktu Reni melahirkan. Mungkin bisa dikatakan itu sebagai untung double bagi Dani. Atau mungkin kepusingan berlipat bagi lelaki tak memiliki pekerjaan tetap seperti Dani. Hanya modal rayuan dan juga modal dengkul, lelaki tamak itu ingin memiliki istri lebih dari satu. Minus akhlak maupun harta, tetapi begitu serakah.Lelaki baik tidak akan mengkhianati istrinya, begitu pula wanita baik. Dia tidak akan datang di antara rumah tangga orang lain. Apalagi jika hanya dicurhati oleh lelaki bersuami tentang masalah rumah tangganya. Jika dia belum mengantungi surat cerai, itu tandanya dia masih lelaki beristri.Sekarang mereka berdua sama-sama pusing. Tari dengan statusnya, sedang Dani
Tari menangis sejadi-jadinya. Dia tak menyangka ibunya akan menyalahkannya seperti itu. Dia berpikir jika ibunya akan memeluknya dan memberinya kekuatan. Tapi nyatanya, jauh panggang dari pada api. Bahkan tak ada satu pun yang terlihat membelanya kini. "Bu, aku anakmu kenapa Ibu malah menyalahkanku?" tanya Tari dengan masih terisak. Ibunya membuang muka. Dia merasa kecewa dengan anaknya itu. "Kamu mau tahu kenapa?" Ibu Tari ikut terisak bersama dengan anaknya. Rasanya sakit sekali hatinya kali ini. Kenapa anaknya sendiri sekarang yang merusak rumah tangga orang lain. "Karena ibu pernah berada di posisi wanita itu. Seorang istri yang diselingkuhi suaminya dengan wanita lain." Semua orang yang ada di ruangan itu kaget, kecuali paman Tari dan juga ayahnya. "A-apa?" Tari melihat ke arah ayahnya yang tengah menunduk. Sepertinya ayahnya malu kala aibnya di masa lalu akhirnya terbongkar saat ini di hadapan anak-anaknya. Lutut Tari seketik
Tari menunggu Wahyu dengan perasaan gelisah. Ada banyak hal yang mengganggu pikirannya. Dia takut tapi juga tak bisa melakukan semua itu sendiri. Dia butuh orang lain saat seperti ini.Tari berbenah dengan perasaan hancur. Dia yang awalnya mendambakan masa depan bersama dengan Dani, harus menelan pil pahit karena sikap Dani yang plin plan dan juga sikap keras kepala Reni yang tak mau dimadu.Air mata terus meleleh membasahi pipi. Semakin deras hingga Tari seakan lupa cara untuk berhenti. Dia tak bisa seperti ini. Awalnya sudah salah, sampai kapan pun pasti tetap salah.Saat membuka lemari dan memberesi bajunya, Tari menemukan beberapa baju milik Dani. Dia mendekat sejenak lantas memasukkannya ke kantung yang berbeda."Ini ijazah sama akte Mas Dani enaknya gimana?" Tari ragu, Dani memang sudah berencana kabur dengan Tari setelah Tari lahiran. Tetapi akhirnya Dani kembali plin plan dan memilih untuk kembali pada Reni. Hancur sudah semua harapan