"Lho, Ren. Mas ganteng ini siapa, ya?" Melihat Yudha, membuat Yanti teringat dengan aktor drama Turki yang sering dia tonton.
Yudha berdiri dan tersenyum menyalami Yanti. Seperti dugaan Yanti, tubuh Yudah tinggi besar seperti aktor-aktor itu, dengan sedikit jamban tipis yang membingkai rahangnya. Dia terlihat begitu tampan.
Reni dan Yudha saling melempar pandangan, keduanya tak tahu harus menjawab apa. Takut jika orang tua Reni salah paham.
"Ini yang nolongin Reni, Bu. Namanya Yudha, kebetulan dia dulu teman sekolah Reni." Tak mungkin bagi Reni untuk mengakui bahwa Yudha adalah mantan pacarnya sewaktu SMA dulu. Yang paling aman adalah mengenalkannya sebagai teman.
Hati Yudha sedikit teriris ketika Reni mengenalkannya hanya sebagai teman. Ya, meski itu lebih baik dari pada tidak saling mengenal.
"Malam, Om, Tante," sapa Yudha sopan. Melihat senyumnya ini, pasti bakal membuat siapa pun klepek-klepek. Tak terkecuali emak-emak yang sedari tadi tak
"Mas. Aku ke rumah kamu boleh?" tanya Tari saat keduanya selesai bermain di atas ranjang."Eh! Kenapa kamu mau ke rumah?" jawab Dani gelagapan. Kini dirinya sedang bersiap untuk mandi. Diambilnya baju dan celananya yang tadi berserakan. Dihentikan aktifitasnya untuk menunggu jawaban Tari."Mau kenal saja sama keluarga kamu. Seperti katamu tadi, kalau kamu mau ceraiin istri kamu seusai lahiran." Tari masih enggan beranjak. Dia masih terduduk di atas kasur dengan sebelah tangannya memegangi selimut yang hingga menutupi dada polosnya.Banyak bercak kemerahan yang tertinggal di kulit putihnya itu. Pertanda keganasan Dani saat becinta tadi. Dia melampiaskan kecemburuannya pada Tari.Tak ada sejengkal pun tubuh Tari yang lepas dari keganasannya. Hingga tadi sempat membuat Tari menangis."Ehm, apa tidak terlalu cepat? Aku masih beristri, lho. Apa kata orang tuaku nanti." Ya, bagaimanapun Dani takut orang tuanya akan mengomel."Aku cuma
"Terserah kamu, baiknya apa?" Dani percaya Tari lebih baik dari Reni. Tari pasti bisa mengambil hati orang tuanya."Nanti kita mampir di LaparMart ya, Mas. Aku mau membelikan sesuatu untuk orang tuamu." Dani mengangguk.Dengan motor masing-masing keduanya kini meninggalkan parkiran itu. Motor Dani berada di depan, dan disusul motor Tari yang mengekornya di belakang. Tiba dia salah satu LaparMart, Dani membelokkan motornya pun Tari."Selamat sore, ada yang bisa kami bantu?" sapa petugas LaparMart ramah sesaat ketika keduanya mendorong pintu.Dani dan Tari hanya tersenyum kemudian berlalu menuju ke rak-rak yang terdapat di minimarket itu."Kira-kira ini, orang tuamu suka nggak, Mas?" Tari menunjukkan bungkusan makanan ke arah Dani."Terserah kamu, Sayang. Orang tuaku pasti menyukai semuanya."Beneran, Mas?" Hari ini perasaan Tari begitu berbunga-bunga. Sangat terlihat dari raut wajahnya yang begitu kegirangan."Hu um ...."
Tari meneguksaliva-nya ketika melihat roman wajah Halimah yang menyiratkan kemarahan.'Pasti, ibunya Mas Dani bakal memarahiku dan segera mengusirku?'Dalam hati, Tari terus berpikiran buruk saat pertama melihat Halimah."Ss-s-sore, Tante." Tari segera berdiri dengan lutut dan bibir yang gemetar, bahkan seluruh badannya ikut gemetar.Halimah mendengus, "Kalian ... duduk!" perintahnya pada Tari dan juga Dani yang masih berdiri di belakangnya.Menurut, Dani pun kini telah duduk di samping Tari. Keduanya sama-sama menunduk, bersiap menghadapi kemarahan wanita paruh baya di hadapannya itu."Maaf, Bu," ucap Dani lirih. Dia sadar perbuatannya ini dapat mencoreng nama baik keluarganya. Orang tuanya pasti akan sangat malu, jika keluarga besarnya tahu masalah ini.Saat ini, ayahnya sedang tidak ada di rumah. Pekerjaannya sebagai sopir bus lintas pulau, menjadikannya tak selalu berada di rumah.Amarah Halimah sudah
"Sudah punya anak?" Rasa penasaran Halimah semakin menjadi. Wanita seperti apa yang mampu membuat Dani berpaling dari istrinya?"Su-sudah, Tante." Ada sedikit rasa kecewa di hati wanita paruh baya itu.'Dani ini gimana, sih? Kenapa mau dengan janda yang sudah memiliki anak?'Sangat jelas, Halimah tidak pernah memikirkan perasaan menantunya. Bukankah dia juga orang tua yang memiliki anak gadis?"Berapa?" Halimah bertanya dengan nada sinis."S-satu." Sedari tadi, Tari terus menjawab dengan terbata. Dia begitu takut saat ini."Laki-laki atau perempuan?""Laki-laki.""Umur berapa?""Tiga tahun.""Kamu menjanda sejak kapan?""Sejak setahun yang lalu.""Kenapa bercerai?""Karena suami saya selingkuh," lirih Tari. Kini dia sekarang yang melakukan perselingkuhan dengan suami orang. Miris memang."Dan sekarang kalian selingkuh?" Tari semakin menunduk. Malu mengetahui kenyataan jika
"Ibu mau bantu bicara sama Reni." "Beneran, Mas?" "Alhamdulillah, ya, Mas." "Kata ibu, kamu suruh ngambil minum sendiri." "Berarti, itu tandanya ... ibu sudah menerimaku di sini?" Tak dapat disembunyikan lagi raut kebehagiaan di wajah Tari. Ibu Dani meski awalnya terlihat judes, nyatanya sekarang dapat menerima kehadirannya. Sebua suara yang cukup keras, mengalihkan perhatian keduanya. "Handphone kamu itu, Mas," ucap Tari seraya menunjuk ke arah handphone Dani yang tergeletak di atas meja. Dani mengalihkan pandangannya dan mengambil benda itu. Dahinya mengernyit, seolah mempertanyakan sesuatu. "Siapa, Mas?" Melihat kekasihnya terlihat begitu cemas, Tari juga ikut penasaran. "Zaki," jawab Dani singkat. "Zaki? Siapa?" Tentu saja Tari tidak mengetahui siapa Zaki. "Adik Reni. Aku angkat sebentar. Siapa tahu penting." Dani merasakan perasaan yang tidak enak. Tida
"Kenapa nggak diangkat, Ren?""Nggak kenal, Bu." Entah kenapa Reni merasakan hatinya begitu sakit ketika mengingat Dani. Dia benar-benar tidak ingin berhubungan dengan laki-laki itu lagi."Siapa sih, Ren? Coba Ibu lihat, siapa tahu penting." Yanti hendak beranjak dari duduknya dan menghampiri handphone Reni yang tergeletak di atas nakas."Nggak usah, Bu. Paling orang iseng." Reni buru-buru menyambar hanphone-nya dan memasukkannya di dalam selimut yang menutupi kakinya.Yanti mengernyit heran. Jika tidak penting, mengapa berkali-kali hingga tak sempat berhenti.Di dalam selimut, Reni mematikan handphone-nya, biar Dani tidak bisa menghubunginya lagi. Akhirnya dia bisa bernapas lega, tanpa adanya gangguan dari Dani lagi. Seharusnya dari kemarin-kemarin dia bersikap seperti ini."Oh, iya, Yah. Motor Ayah masih di tempat Bang Lukman. Kemarin--.""Sudah-sudah. Kita bisa mengambilnya besok jika kau sudah sehat.""Ayah, pulang du
"Dan selingkuhannya itu juga hamil.""Apa?!"Kepala Yanti mendadak begitu pusing. Mendengar berita bahwa menantunya itu selingkuh saja sudah membuat dirinya nyaris pingsan, ditambah tahu jika Dani menghamili wanita lain.Reni merasa bersalah saat melihat ibunya itu. Sebenarnya dia sangat tidak tega jika harus mengatakan kejujuran. Karena dia tahu, ibunya itu sering pusing. Apalagi jika harus berpikir keras.Tapi, rasanya dia sudah tidak kuat memendamnya lagi. Memendam perasaan ini sendirian, membuatnya semakin sakit.Yanti memijit keningnya, dia benar-benar pusing saat ini."Ibu ...," panggil Reni lirih. Ingin dia bangkit dan menopang tubuh ibunya yang terlihat begitu rapuh. Tapi apa daya, sebelah tangannya terikat jarum infus yang tidak memungkinkannya untuk banyak bergerak."Ibu nggak apa-apa, Ren." Yanti segera bangkit. Tak ingin anak perempuannya itu tambah beban pikiran karena melihatnya rapuh.Hatinya sakit, melihat
Dani begitu kebingungan ketika Reni tak menjawab panggilannya. Tari semakin cemberut melihat Dani begitu mengkhawatirkan Reni.Tak mau hanya menunggu teleponnya dijawab Reni, Dani segera menghubungi kembali Zaki untuk mengetahui di mana Reni dirawat.Dengan berbekal nama klinik tempat Reni dirawat, Dani segera melaju ke sana."Bu, Reni masuk rumah sakit, aku ke sana dulu, ya," pamitnya pada Halimah."Istri kamu kenapa lagi to, Dan? Ibu dulu waktu hamil kamu saja nggak kayak gitu. Malah Ibu masih bisa kerja di pabrik. Reni memang manja. Itu! Tari saja kerja juga baik-baik saja."Halimah merasa Reni sangat merepotkan. Dia beranggapan Reni seperti ini karena manja."Sudah, Bu. Dani berangkat dulu ke sana." Tak mau mendengar ceramah dari ibunya yang pasti tidak akan berhenti, Dani segera berlalu meninggalkan wanita itu.Halimah membuang napas kasar, " Ya, sudah sana.""Ayok, Tar! Kita bareng sampai jalan besar." Tari mendengus seba